Dia menatapku, terus menatap dan memperhatikanku dari jauh, mungkin ada sekitar lima atau tujuh meter. Ternyata apartemen miliknya ini seluas rumahku.
"Kau tahu jam berapa sekarang?" tanyanya dengan nada ketus.
"Tidak, Tuan." Aku menggelengkan kepala.
"Kau datang setengah dua dini hari. Apa pantas seorang gadis mendatangi pria di jam seperti ini?" tanyanya yang sontak membuatku terkejut.
Setengah dua?!! Ternyata perbedaan waktunya cukup jauh. Aku terkejut. "Tu-tuan, aku juga tidak tahu kenapa bisa sampai ke sini. Begitu sampai aku juga langsung terjatuh." Aku jujur padanya.
"Hah, terserah apa katamu. Sekarang kau ingin keluar sendiri atau kuusir?!" tanyanya yang seketika membuat hatiku sedih.
"Tu-tuan, sungguh aku tidak ada niat buruk. Aku hanya ingin mencari kerja, tidak ada niat lain. Tolong percaya padaku."
Aku takut, sungguh takut jika dia sampai mengusirku. Aku tidak tahu ada di mana dan tidak punya bekal untuk hidup di luar sana. Aku berharap Tuhan menggerakkan hatinya untuk menolongku. Dan entah apa yang ada di pikirannya, dia terdiam sambil terus memperhatikanku.
Tidak ada sesuatu yang kebetulan di dunia ini. Pasti ada alasannya mengapa aku diarahkan kepadanya.
Aku mencoba meyakinkan diri jika pria di hadapanku adalah pria baik yang akan menolongku. Tapi jika melihatnya sekarang, ada rasa khawatir timbul di pikiranku. Aku takut dia berbuat macam-macam.
Ya Tuhan, tolong aku.
Di saat pikiran diselimuti ketakutan, tiba-tiba saja perutku berbunyi kembali. Bunyi perutku ternyata bisa menyadarkannya dari alam pikiran yang tidak kuketahui.
"Kau mencari kerja atau mencari makan?" tanyanya tiba-tiba.
"Ak-aku mencari kerja untuk makan, Tuan," jawabku seadanya.
Dia memejamkan kedua mata. "Hm, ya. Baiklah." Dia menatapku kembali. "Kita akan lanjutkan pembicaraan ini setelah kau selesai mengisi perutmu. Suaranya amat mengganggu." Dia berjalan mendekatiku.
"Ma-maksud Tuan?" tanyaku takut.
Semakin dia berjalan mendekat, semakin kumundurkan langkah kaki ke belakang. Aku takut dia macam-macam. Tapi kemudian, aku seperti melihat seberkas senyuman darinya.
"Masaklah apa yang ada di dapur," katanya lalu berdiri di depanku, jarak kami mungkin hanya dua meter pandangan.
"Tap-tapi, Tuan—"
"Cepat ke dapur sebelum pikiranku berubah!" serunya seperti mengancam.
"Ba-baik, Tuan."
Aku tidak tahu hal ini baik atau buruk untukku. Tapi dia mempersilakanku berjalan lebih dulu ke dapur. Aku pikir dia akan macam-macam, tapi nyatanya dia benar-benar mengantarkanku ke dapur apartemen ini.
Aku rasa dia bukanlah orang jahat.
Sesampainya di dapur, betapa terkejutnya aku melihat keadaan dapur yang begitu mewah, serba lengkap dan juga berkelas. Namun sayangnya, tidak ada apa-apa di sini. Bahkan di kulkas empat pintunya juga tidak ada apa-apa.
"Tuan?" Aku menoleh ke arahnya yang berdiri di pintu dapur.
"Aku belum sempat berbelanja. Masaklah yang ada. Sepertinya aku masih mempunyai mie instan dan telur. Restoran apartemen juga sudah tutup jam segini." Dia menjelaskan padaku.
Aku mengerti maksudnya. "Baik, Tuan."
Segera kuambil mie dan beberapa butir telur lalu kumasak. Sengaja kumasak dua karena kali-kali saja dia juga mau. Ya sudah, aku pasrah. Toh, sudah sampai di sini, tidak mungkin pulang lagi. Gelangku hanya bisa digunakan tiga kali dan aku sudah menggunakannya sekali. Itu berarti hanya tinggal dua kali lagi. Aku harus memanfaatkannya sebaik mungkin.
Setengah jam kemudian...
Aku dan pria tampan ini duduk di depan meja makan. Aku menyantap mie ditemani olehnya. Tapi, dia hanya sebatas menemani, tidak ikut makan bersamaku. Sedari tadi dia memperhatikanku seperti baru pertama kalinya melihat wanita. Entahlah, kuhabiskan saja dua mangkuk mie ini sendiri.
"Kau sangat kelaparan, ya?" Dia menelan ludah saat melihatku makan.
"Maaf, Tuan. Aku belum makan dua hari," kataku sambil menghabiskan mie.
Aku tidak peduli apa yang ada di pikirannya. Kukenyangkan saja perutku agar bisa berpikir jernih. Setelahnya terserah dia mau apa.
"Selesai." Akhirnya aku menghabiskan dua mangkuk mie.
"Hah, ada-ada saja." Dia beranjak pergi.
"Tuan?"
"Cepat bereskan meja makannya. Kita lanjutkan lagi obrolan yang tadi." Dia berjalan menuju sofa ruangan.
"Baik." Aku pun menurut.
Segera kubersihkan meja makan lalu kucuci mangkuk bekas makanku. Jujur saja melihat apartemennya membuatku iri dan juga ingin tinggal di sini. Apartemennya amat mewah dan juga serba lengkap. Tak tahu dia siapa, aku juga tidak peduli selama tidak membahayakanku.
Jujur aku masih tidak percaya jika apartemen ini berada di lantai lima puluh. Hanya lampu tengah ruangan yang dia nyalakan sehingga aku belum bisa melihat semuanya. Tapi bisa kupastikan jika apartemennya ini amat luas. Mungkin ada sekitar 10x15 meter atau bahkan lebih.
...
Selesai mencuci piring, aku kembali menghadapnya yang sedang membaca surat kabar. Aku menyapanya agar dia menyadari kehadiranku.
"Tuan." Aku berdiri di hadapannya yang sedang duduk di sofa.
"Em, ya. Sudah selesai?" Dia meletakkan surat kabar ke atas meja.
"Sudah, Tuan," jawabku santun.
"Baiklah, aku hanya ingin memastikan kembali. Dari mana kau datang? Kenapa bisa masuk ke apartemenku?" Dia bertanya dengan pertanyaan yang sama.
Kuhela napasku lalu kujawab pertanyaannya. "Tuan, sungguh aku tidak tahu kenapa bisa sampai ke sini. Aku hanya melewati pintu jatuhan air." Aku jujur padanya.
"Pintu jatuhan air?" tanyanya antusias.
"Benar, Tuan. Aku diarahkan seorang nenek agar melewatinya. Dan akhirnya aku bisa sampai ke sini," kataku lagi.
Dia terdiam, seperti sedang berpikir keras atas perkataanku.
"Tuan, sungguh aku tidak ada maksud buruk padamu. Aku hanya ingin mencari kerja. Aku butuh uang untuk melanjutkan hidup. Tolong aku," pintaku penuh harap.
"Kau ingin bekerja?"
"Benar, Tuan." Aku mengangguk.
"Apa yang kau bisa?" tanyanya lagi.
"Aku ... aku bisa apa saja, Tuan." Aku amat yakin.
"Kau bisa mengebor minyak?"
"Apa?!!" Seketika aku terkejut mendengarnya.
"Kau bilang bisa apa saja, bukan? Apa kau bisa mengebor minyak?" tanyanya lagi.
Pertanyaannya sungguh aneh sekali, atau akunya yang salah menjawab. "Tuan, maksudku aku bisa mengerjakan pekerjaan rumah. Ya, pekerjaan rumah." Aku tersenyum bingung padanya.
"Hahaha, kau ini. Lain kali perjelas lagi perkataanmu, Nona." Dia menyebutku dengan kata nona.
"Tuan, maaf." Aku merasa bersalah.
"Hah, ya. Tak apa." Dia beranjak berdiri. "Sebenarnya aku tidak terlalu membutuhkan seorang pekerja. Tapi karena kau amat membutuhkannya, aku akan memberikannya padamu." Dia berjalan melewatiku.
"Maksud Tuan?" Aku membalikkan badan ke arahnya.
"Ya, kau bisa membantuku mengurus apartemen ini. Lagipula aku akan berada cukup lama di sini." Dia menuturkan.
Ini berarti ... aku diterima kerja?!
"Berapa upah yang kau butuhkan?" tanyanya lalu berbalik menghadapku.
"Sepantasnya saja, Tuan. Diterima kerja saja aku sudah amat senang." Aku tersenyum bahagia.
"Hah, ya baiklah. Mulai hari ini kau bisa bekerja. Tapi kau harus berhati-hati. Jangan sampai kutemukan niatan buruk darimu, karena aku tidak akan segan melemparmu ke bawah," katanya yang sontak membuatku menelan ludah.
"Ba-baik Tuan." Aku menyanggupinya.
"Bagus. Karena kamar apartemen ini hanya satu, kau harus tidur di sofa. Apa kau keberatan?" tanyanya lagi.
"Ti-tidak, Tuan." Aku bersedia.
"Baiklah. Sekarang istirahat saja dulu. Nanti bangun pagi dan siapkan keperluanku. Mulai hari ini kau menjadi asisten pribadiku. Tugasmu hanya melayaniku. Kau mengerti?" tanyanya dengan sorot mata yang tajam.
"Mengerti, Tuan."
Aku mengangguk. Kulihat dia tersenyum tipis lalu segera berlalu. Ternyata dia tidaklah seburuk yang kukira.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 363 Episodes
Comments
Syifa
semakin menarik🖒
2021-08-12
1
Syifa
baiklah ngak ada yng ngak mungkin
2021-08-12
1
Syifa
jadi unsur fantasinya ada di pintu
portal dimensi
2021-08-12
1