...Disclaimer...
...As Long As You Love Me by Backstreet Boys...
...Songwriters: Martin Karl Sandberg...
...As Long as You Love Me lyrics © Kobalt Music Publishing Ltd....
...
Panggung tempatku ini terlihat amat semarak dengan tatanan bunga yang menghiasi sekelilingnya. Namun sayang, sepertinya bunga mati, bukan bunga hidup. Jikalau bunga hidup, mungkin aku akan memetiknya satu lalu kuberikan kepada tuanku.
Sepertinya aku telah jatuh hati padanya.
Tak ingin terlarut dalam perasaan, segera kumulai senandung lagu ini. Seraya tersenyum aku menghayatinya.
"Although loneliness has always been a friend of mine. I'm leavin' my life in your hands."
Aku mulai bernyanyi dengan tempo yang lambat. Sengaja aku meminta kepada band pengiring agar membiarkanku memetik gitar sendirian.
"People say I'm crazy and that I am blind. Risking it all in a glance."
Kutatap tuanku yang ada di sana. Aku tidak peduli dengan yang lain. Kuutarakan isi hatiku melalui untaian syair lagu. Semoga saja hatinya dapat tersentuh.
"And how you got me blind is still a mystery. I can't get you out of my head."
Mungkin aku tidak tahu diri. Tapi perasaan ini semakin lama semakin tumbuh seiring dengan waktu. Aku juga tidak tahu mengapa, tapi mungkin saja semua ini ada alasannya.
"Don't care what is written in your history. As long as you're here with me."
Ya, aku tidak peduli. Tidak peduli pada yang lain. Aku hanya peduli padanya. Kuakui jika dia memang begitu tampan, paras tubuhnya proposional. Bahkan mendekati sempurna di mataku.
"I don't care who you are. Where you're from. What you did. As long as you love me."
"Who you are. Where you're from. Don't care what you did. As long as you love me..."
Bait demi baik kunyanyikan sepenuh hati. Para hadirin pun terlihat menikmati ritme lambat lagu ini. Band pengiring mulai menambahkan aransemen lagunya. Tak hanya kusenandungkan lewat petikan gitar, melainkan irama piano juga ikut menemaninya.
"Every little thing that you have said and done. Feels like it's deep within me."
Kulihat tuanku menggabungkan kedua tangannya, melihat ke arahku.
"Doesn't really matter if you're on the run. It seems like we're meant to be..."
Dia sepertinya mulai tersentuh dengan lirik lagu yang kubawakan. Tuan, semoga kau menyadari perasaanku.
"I don't care who you are. Where you're from. What you did. As long as you love me."
"Who you are. Where you're from. Don't care what you did. As long as you love me..."
Backing vokal mulai ikut bernyanyi di suara dua.
"I've tried to hide it so that no one knows. But I guess it shows. When you look into my eyes."
Aku jadi teringat saat pertama kali bertemu dengannya.
"What you did and where you're comin' from ... I don't care ... as long as you love me, Baby..."
...
Kulembutkan suaraku di lirik terakhir. Sepenuh hati kuucapkan sayang padanya. Katanya yang berasal dari hati akan sampainya ke hati juga. Semoga saja lagu ini mampu menyentuh hatinya.
Akhirnya aku bisa menyelesaikan lagu persembahan ini. Riuh tepuk tangan pun mewarnai akhir dari laguku. Hampir semua hadirin berdiri setelah melihat pertunjukanku. Mungkin karena tidak enak dengan tuanku, mereka berdiri. Entahlah, aku tidak mau ambil pusing.
"Terima kasih."
Aku tersenyum ke arah hadirin lalu turun dari kursi dengan dibantu oleh backing vokal band. Dan kemudian pelan-pelan menuruni anak tangga.
Akhirnya selesai juga. Benar-benar mendebarkan tadi.
Segera kulangkahkan kaki, kembali ke meja tuanku. Tak lupa di sepanjang jalan kutebarkan senyuman seraya menempelkan kedua telapak tangan, pertanda santun. Kulihat tuanku seperti menunggu kedatanganku.
Tuan, bagaimana penampilanku?
Tidak tahu apa yang ada di pikirannya, aku kembali duduk di sisinya setelah dia menarikkan kursi. Tampaknya malam ini tidak terlalu memalukan baginya.
"Minumlah." Dia memberiku segelas air putih setelah duduk.
"Terima kasih." Aku pun tersenyum padanya.
Jujur saja jantungku ini sudah tidak tahu karuan. Di atas panggung tadi hampir-hampir pingsan karena grogi. Untungnya bisa kubawa santai pikiran ini.
Kok dia diam saja, ya?
Aku masih berharap mendapat pujian darinya, tapi sepertinya dia biasa-biasa saja. Ya sudahlah, mungkin akunya saja yang terlalu berharap.
Eh? Siapa ya pria itu?
Di tengah perasaan yang terombang-ambing, tanpa sengaja kedua mataku melihat ke arah pria pirang itu lagi. Dia duduk sejajar dengan mejaku. Dia juga tersenyum padaku.
Apakah dia orangnya tuan?
Aku membalas senyumannya, menghargai, lalu kembali fokus ke acara. Sepertinya malam ini berjalan lancar tanpa kendala. Kulihat tidak ada pergerakan buruk di acara ini.
Dua jam kemudian...
Malam semakin larut. Dan kini sudah menunjukkan pukul sepuluh malam lewat. Tuanku berpamitan kepada si pemilik acara lalu segera mengandengku menuju mobilnya. Aku pun seperti biasa, melancarkan aktingku sebagai kekasihnya. Namun, setelah masuk ke dalam mobil, aku kembali menjadi seorang pembantu.
"Tuan, maaf jika tadi telah membuatmu malu," kataku setelah memasang sabuk pengaman.
Dia tidak menjawab sama sekali. Hanya melajukan mobil keluar dari halaman parkir gedung ini.
Apa dia marah, ya?
Aku jadi bingung karena dia diam saja. Aku takut dia kecewa atau marah. Kuakui jika telah berlaku tidak sopan dengan menunjuk ke arahnya saat berada di panggung tadi. Aku pun hanya diam saja karena takut salah bicara. Sampai akhirnya kami memasuki jalan raya.
"Kau bisa bermain gitar?" tanyanya tanpa menoleh ke arahku.
"Sedikit," jawabku singkat sambil tertunduk.
"Suaramu merdu juga." Dia akhirnya memujiku.
Tuan ...?
Seketika aku tersipu malu. Tidak menyangka jika dia akan memuji suaraku. Rasanya begitu senang sekali.
"Usiamu berapa Ara?" tanyanya yang seketika membuatku tersentak.
"Aku?" Aku memastikan.
"Iya." Dia membelokkan setirnya ke kanan.
"Saat ini masih delapan belas, Tuan." Aku menjawab jujur.
"Kapan kau lahir?" tanyanya lagi.
"Aku lahir 25 Desember," jawabku.
"Berarti dua bulan lagi kau ulang tahun," katanya yang membuatku bingung harus menjawab apa.
"Tuan, sebenarnya aku tidak enak hati atas kejadian tadi. Maafkan aku." Aku mengulangi permintaan maafku kepadanya.
Kami akhirnya tiba di lampu merah. Dia pun memberhentikan mobilnya. Dia menatap ke arahku, menatap dengan tatapan yang aneh. Seketika aku tertunduk melihatnya. Dan tak lama kudengar dia tertawa kecil, entah kenapa.
"Bulan lahir kita sama, hanya tanggalnya saja yang beda," katanya sambil melihat ke arahku.
"Desember?" tanyaku, melihat ke arahnya.
"Ya, 8 Desember." Dia tersenyum kepadaku.
Ya Tuhan, senyumannya ....
Semakin lama hatiku semakin tak karuan mendapat perlakuan baik darinya. Dia sekarang bisa tersenyum kepadaku padahal masa akting jadi kekasihnya sudah habis.
"Berapa nomor ponselmu, Ara?" tanyanya lalu kembali melajukan mobilnya.
"Maaf, Tuan?"
"Berapa nomor ponselmu?" tanyanya lagi sambil terus mengendarai mobilnya.
"Em, maaf, Tuan. Aku tidak punya ponsel. Aku ke sini tidak membawa apa-apa," jawabku jujur.
Dia terdiam. Aku pikir dia akan terus melajukan mobilnya ke arah apartemen. Tapi ternyata, dia memutar arah. Entah mau ke mana, aku juga segan untuk bertanya.
"Kita beli ponsel dulu untukmu. Nanti kita lanjutkan lagi pembicaraan ini saat sudah sampai di apartemen." Dia akhirnya memberi tahuku.
Tuan?!!
Betapa bahagianya aku. Setelah melewati kesulitan mendapatkan pekerjaan, akhirnya Tuhan memberikan kemudahan. Malam ini juga tuanku akan membelikanku ponsel. Rasanya amat tidak percaya. Ternyata selain tampan, tuanku ini memiliki hati yang dermawan.
Tuan, sempurna sudah dirimu. Hatiku semakin tak karuan. Andai kau menyadarinya, pasti bahagianya aku.
Aku benar-benar tidak tahu diri. Ya, katakanlah jika aku tidak tahu diri. Seorang pembantu menyukai majikannya sendiri. Tapi, aku juga tidak dapat membohongi hati. Biarlah waktu yang akan menuntun semuanya. Toh, sampai di sini juga aku sudah merasa amat bahagia. Tuanku seperti kekasihku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 363 Episodes
Comments
Lasmanah Ramdani
tuh kan rejeki anak soleha g kemana semoga ibu di rumah baik baik aja🥰🥰
2022-05-12
0
Syifa
cinta ara besar bnget sma rain
2021-08-15
1
Syifa
buka yt slowcover bayangin ara yng nyanyi
2021-08-15
0