Kobaran api yang tercipta dari kayu yang sengaja ditumpuk-tumpuk menjadi api unggun menjadi penghangat mereka malam ini. Sebenarnya ini masih sore, sekitar pukul tujuh. Tapi karena mereka berada di tempat yang jauh dari pemukiman warga, membuat semuanya gelap. Di sini memanglah masih jarang ada penduduk, sekalinya ada paling bergerombol di satu tempat dan sisanya adalah hutan. Dan tempat mereka bermalam sekarang itu adalah hutan semua, untuk kembali ke tempat di mana mereka membeli bubur tadi pagi pun sudah sangat jauh. Bahkan mereka tak yakin ingat jalan untuk kembali ke pemukiman warga tadi pagi.
Beberapa burung hasil buruan dari kaum adam sedang dipanggang di atas kobaran api unggun yang menyala-nyala itu. Ada sebanyak enam burung yang dipanggang, jadi jatah mereka satu sama. Bahkan ada beberapa jenis ubi-ubian yang sudah berhasil mereka makan sedari tadi. Hanya ini yang bisa mereka makan, mereka berharap lambung mereka bisa menerima.
"Sampai kapan kita bermalam di sini?" suara Azriela memecah keheningan di antara mereka.
Semuanya mengalihkan pandangan ke arah Azriela. Kasihan dengan kondisi gadis itu, tapi mau dibagaimanakan lagi. Semua orang juga memikirkan hal yang sama.
"Lo mau nambah ubinya, Zril?" tawar Afriel yang duduk di samping Azriela.
"Boleh, gue minta maaf ya karena gue nyusahin kalian semua." Azriela menatap satu persatu sahabatnya.
"Lo bilang apa sih, Zril. Sekali lagi ya, di sini nggak ada yang namanya nyusahin atau ngerepotin. Kita semua sahabat, sudah sepantasnya kita saling bantu." Viara mengusap-usap bahu Azriela.
Mario lebih memilih mengangkat burung derkuku yang sudah matang dan memberikan ke semua sahabatnya satu persatu. Alvino adalah orang pertama yang menerima, karena dia duduk paling ujung, selanjutnya Sivia, Azriela, Afriel, Gifyka dan terakhir adalah Mario sendiri. Mereka makan dalam diam, hanya ini yang bisa mengganjal perut mereka. Jangan harap makanan enak di saat seperti ini yang ada dalam pikiran mereka.
"Kira-kira kita bisa berapa hari bertahan di sini?" kini berganti suara Viara yang menggema.
Di depan sebuah gubuk tempat mereka tidur siang itulah menjadi saksi kepiluan keenam remaja yang sedang ditimpa musibah. Harapan mereka saat ini hanyalah selamat, bisa keluar dari keadaan ini dan kembali ke Jakarta bertemu dengan semua keluarga tanpa kurang dari satu pun.
"Kita pasti bisa keluar kok dari sini. Besok kita cari jalan keluar lagi, kondisi fisik bener-bener nggak memungkinkan buat jalan lagi. Via baru sembuh dari sakit, dan kita butuh istirahat. Ditambah hari juga sudah gelap, semuanya terbatas." jelas Gifyka membuat semua orang mengerti.
Benar sekali apa yang dikatakan oleh Gifyka. Mereka butuh istirahat total supaya besok bisa kembali mencari jalan keluar dari sini.
"Gue pengen kencing, ada yang mau nganterin?" Azriela menatap semua sahabatnya.
"Biar gue sama Afriel yang nganter." Gifyka berdiri mengulurkan tangannya ke arah Azriela.
"Iya, biar ada yang jagain kalian." Mario menyetujui usul dari Gifyka.
Azriela hanya menurut saja, menerima uluran tangan dari Gifyka dan mereka bertiga kini berjalan ke arah belakang gubuk. Afriel menjaga jarak antara Azriela dan Gifyka, lebil tepatnya Afriel menjaga lumayan jauh.
Gifyka menunggu Azriela yang sedang membuang zat alam di bawah pohon besar. Sesekali Gifyka melihat ke arah Azriela kemudian ke arah Afriel dan ke arah Azriela lagi. Seperti itu seterusnya, agar dia bisa memastikan bahwa kedua sahabatnya baik-baik saja.
"Zril, masih lama nggak?" Gifyka memandang Azriela yang tak jauh darinya.
"Bentar lagi, Fy." Azriela sudah berdiri dan sedang membenarkan celananya.
Gifyka mengalihkan pandangan ke arah Afriel, lelaki hitam manis itu masih di tempatnya sedang memainkan ranting pohon yang dia petik tadi saat mereka berjalan bertiga menuju belakang gubuk. Gifyka kembali mengalihkan pandangannya ke arah di mana tadi Azriela membenarkan letak celananya.
"Zril!" teriak Gifyka kaget, sahabatnya itu tidak ada di tempatnya.
Gifyka berjalan mendekat ke tempat di mana Azriela membuang zat alamnya dan membuka-buka beberapa daun di sekitarnya. Tetap saja, Azriela tidak ditemukan. Gifyka semakin panik, ditambah sekarang sudah malam.
"Zril jangan bercanda!" teriak Gifyka lagi sedikit emosi. Takut jika Azriela hanya bercanda di saat-saat genting seperti ini.
"Azriela!" panggil Gifyka lagi. Suaranya kembali dia kencangkan supaya Azriela bisa mendengar.
Suara semak-semak belukar kering yang diinjak terdengar di kedua indera Gifyka. Afriel mendekatinya dari kejauhan. Afriel ikut panik saat melihat wajah Gifyka sangat panik dan seperti orang kelimpungan. Bahkan Afriel juga ikut menengokkan kepalanya ke kanan dan ke kiri mencari sesosok gadis yang berstatus sebagai kekasihnya. Siapa lagi yang Afriel cari jika bukan Azriela.
"Ke mana Zril, Fy?" suara panik terdengar jelas dari mulut Afriel. Lelaki hitam manis itu tak kalah paniknya dengan Gifyka mengetahui bahwa Azriela benar-benar menghilang.
"Gue juga nggak tahu Iel, pas Zril selesai dia kan benerin celana. Pas itu gue natap lo masih berdiri di sana. Dan pas gue beralih ke tempat di mana Zril berdiri, Zril udah nggak ada. Gue panik dan gue nggak tahu ke mana Zril pergi, Iel." Gifyka menangis, menumpahkan segala ketakutannya kepada Afriel.
Afriel memeluk Gifyka, mengusap bahunya berulang kali dan mencoba menenangkan Gifyka yang menangis. Dirinya takut terjadi sesuatu dengan Azriela.
"Kenapa gue bodoh banget Iel, gue yang di sini. Tapi kenapa gue bisa nggak tahu Zril ke mana."
"Sekarang kita ke anak-anak, kita cari Zril sampai dapat. Lo tenang Fy, Zril pasti ketemu." Afriel membawa Gifyka berjalan meninggalkan tempat di mana Azriela menghilang.
Afriel dan Gifyka berjalan pelan, berharap Azriela akan berteriak memanggil mereka. Keadaan malam sangat mencekam. Banyak suara-suara hewan sedang berlatih paduan suara. Suara burung hantu menambah kesan mistis di dalam hutan yang terkepung oleh air di pulau Bunaken. Apakah berlibur ke Bunaken semenyeramkan ini sehingga mereka sampai tersesat di salah satu pulau yang ada. Bisakah waktu diputar kembali, jika bisa mereka tidak akan memilih Bunaken sebagai tempat berlibur seusai pengumuman kelulusan sekolah kemarin.
"Kok kalian berdua sih? Zril mana?" Mario lebih dulu menyadari kedatangan Afriel dan Gifyka.
Alvino dan Viara menengok ke arah Afriel dan Gifyka. Mereka seperti sedang bermesraan. Gifyka berada di dekapan Afriel, sedangkan Afriel sedang menenangkan Gifyka yang sedang menangis tersedu-sedu.
Gifyka melepaskan dirinya dari pelukan Afriel, menghapus air mata dan mencoba menatap ketiga sahabatnya secara bergantian. Mario, Alvino dan Viara berdiri tanpa diminta. Mereka menangkap gelagat aneh dari kedua sahabatnya yang mengantar Azriela kencing beberapa menit lalu. Ditambah ketidakadaan Azriela membuat mereka semakin bertanya-tanya ada apa dengan semua ini.
"Fy, Iel jawab. Di mana Zril?" Viara berjalan mendekat ke arah Gifyka yang tak jauh dari jarak mereka. Gadis berdagu tirus itu kembali terisak dan air matanya terus mengalir tiada henti.
"Zril... Hiks... Zril... Via... Zril..." Gifyka semakin menangis tersedu-sedu melihat Viara ikut menitikkan air matanya.
Mario dan Alvino menatap Afriel mencoba meminta penjelasan atas semua ini. Tapi Afriel masih saja diam tanpa menjawab.
"Zril kenapa, Fy? Dia di mana sekarang?" Viara mendaratkan kedua telapak tangannya ke bahu Gifyka yang bergetar.
"Zril hilang." dua kata yang mampu menjelaskan semua pertanyaan. Singkat, padat dan sangat jelas bahwa ketiadaan Azriela di antara mereka karena gadis itu hilang.
Viara, Mario dan Alvino mematung mendengar jawaban dari Afriel. Terlalu terpukul mendengar kabar dadakan seperti sekarang. Apa ini kabar nyata atau hanya mimpi? Mereka merasa sedang berada di atas kapal, terombang-ambing oleh ombak.
"Iel bohong kan, Fy?" Alvino mendekat dan berdiri di sisi Viara. Meminta kepastian dari Gifyka.
Gifyka tak sanggup untuk menjawab. Air matanya terus deras mengalir di pipinya yang semakin kurus. Perlahan-lahan kepalanya menggeleng menandakan bahwa apa yang dikatakan oleh Afriel itu benar. Tidak ada kebohongan dari bibir Afriel.
"Kalian berdua bercanda kan? Semua ini nggak beneran kan?" Mario menggeram, bagaimana bisa Azriela hilang sedangkan ada Gifyka dan Afriel yang menjaganya.
"Gue sama Iel nggak bercanda, Yo." sahut Gifyka lirih. Kepala gadis itu masih menunduk, terlalu takut apabila ketiga sahabatnya tidak bisa menerima kenyataan dan menyalahkannya karena tidak bisa menjaga Azriela.
"Syut... Kita cari Zril bareng-bareng, Fy." Viara mendekap tubuh Gifyka, menenangkan sahabatnya.
Alvino dan Mario mendekat ke arah Afriel. Lelaki hitam manis yang tadi mengantar Gifyka dan Azriela menjelaskan kejadian sebenarnya kepada Alvino dan Mario. Viara masih saja mendekap tubuh mungil Gifyka yang bergetar karena tangisan.
"Gue pengen Zril cepet ketemu terus kita pulang dari sini." ujar Gifyka lirih.
Viara terus menenangkan Gifyka, memeluk gadis dan mengusap-usap punggung gadis itu maka bisa membuat Gifyka sedikit tenang.
"Kita cari Zril sekarang juga, gue nggak mau terjadi apa-apa sama Zril." Mario memandu keempat sahabatnya.
Gifyka dan Viara melepaskan pelukan mereka. Gifyka melihat api unggun yang masih menyala. Afriel dan Alvino pun ikut bersiap-siap.
"Padam." seketika api unggun itu padam setelah Gifyka mengucapkan satu kata yang sangat berarti bagi semuanya.
Mario memandu di depan, berlanjut Gifyka, Viara, Afriel dan terakhir adalah Alvino. Mereka meninggalkan gubuk tempat mereka beristirahat tadi siang. Untung saja kekuatan yang Gifyka miliki masih berfungsi. Jadi mereka tidak akan meninggalkan tempat ini dengan api yang menyala dan bisa menyebabkan kebakaran.
~**~
To Be Continue...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments