Sahabat adalah mereka yang mampu bertahan saat kita sedang dalam masa sulit. Bukan mereka yang ada saat kita dipenuhi kebahagiaan. Jika mereka ada saat kita hanya bahagia, itu bukan sahabat. Tapi orang butuh yang menganggap kita hanya sekedar bayangan.
~**~
Setelah berlari bermeter-meter, akhirnya keenam remaja ini menemukan pelabuhan dan mendapatkan satu perahu yang ditali erat-erat ke tiang penyangga papan sebagai alat mereka jalan di atas air.
"Hati-hati." Mario membantu Gifyka, Viara dan Azriela turun ke perahu. Afriel sibuk melepaskan tali dari tiang, sedangkan Alvino berusaha menghidupkan mesin perahu.
"Siap-siap." Alvino memberi aba-aba terlebih dahulu sebelum benar-benar menghidupkan mesin perahu.
"Kita pasti selamat." Azriela mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Deru suara diesel dari perahu sudah mulai terdengar. Ini benar-benar perahu yang sangat sederhana. Mario dan Afriel mulai mendayung-dayung sampan untuk mengatur arah ke mana tujuan mereka. Alvino masih stay dengan mesin dieselnya.
"Viara menggigil." pekik Azriela mendekap erat tubuh Viara yang sudah dingin.
"Pakai jaket gue, Via." Gifyka membuka jaketnya kemudian memakaikan ke tubuh Viara yang menggigil hebat.
"Sabar Vi, sebentar lagi kita sampai." Alvino ikut panik melihat kekasihnya sangat ketakutan dan kedinginan.
"Gue nggak apa-apa kok, gue sehat." terdengar jelas dari suara Viara bahwa gadis berpipi chubby itu menahan rasa sakit.
"Lo harus bertahan, Vi. Kita semua akan tetap bersama." semangat demi semangat dari sahabat terus berdatangan silih berganti.
"Berapa lama lagi kita bisa sampai?" Afriel semakin panik.
"Sekitar dua puluh menit lagi."
Alvino menambah kecepatan diesel yang dia kendalikan. Begitu juga dengan Afriel serta Mario yang berusaha menyeimbangkan laju kecepatan dari perahu yang mereka dayung.
Doa selalu mereka panjatkan kepada sang kuasa agar mereka bisa terbebas dari keadaan mencekam saat ini.
"Kenapa seperti ini?" isak tangis Gifyka kembali menggema di sela-sela keheningan mereka yang fokus dengan pikiran masing-masing.
"Sudah Fy, berhenti menyalahkan diri lo sendiri. Ini musibah, manusia tidak akan pernah tahu bagaimana hari esok."
"Benar kata Mario, Fy. Jangan terus-terusan menyalahkan diri lo sendiri."
"Gue minta maaf sama kalian ya. Gue bukan sahabat yang baik buat kalian."
"Lo sahabat terbaik kami, Fy. Jangan pernah beranggapan lo bukan sahabat terbaik. Karena kalau nggak ada lo, kita semua pasti udah mati ditangan Artena sedari tadi." Viara yang merasa lemah berusaha menguatkan dirinya untuk memeluk tubuh Gifyka.
"Sorry kalau gue suka ngerepotin." Gifyka benar-benar menangis dalam dekapan Viara yang dirangkul oleh Azriela.
"Stop Fy, kita harus kuat. Lo nggak boleh cengeng gini." Mario dan keempat orang lainnya tak tega melihat Gifyka terpuruk seperti sekarang ini.
Bagaimana pun ini pilihan mereka untuk berlibur. Tidak ada unsur paksaan sama sekali. Jadi apa pantas jika mereka menyalahkan Gifyka? Rasanya sangat tidak mungkin.
"Thank ya karena kalian masih ada di sisi gue saat keadaan seperti ini." Gifyka memeluk Viara serta Azriela dalam waktu bersamaan.
"Tenang Fy, kita sahabat. Kami nggak akan ninggalin lo sendirian. Kita akan selalu bersama. Nggak usah nyalahin diri lo sendiri lagi." Viara dan Azriela mengusap-usap bahu Gifyka.
"Thank guys." Gifyka semakin mengeratkan tangannya pada tubuh mereka.
Beruntung sekali apabila kita benar-benar mendapat sahabat seperti itu. Bukan sahabat yang datang hanya ada maunya.
~**~
"Ify!" Nafita terbangun dengan keringat mengucur di seluruh badannya. Napasnya sampai tersengal-sengal tak beraturan. Pikirannya kacau balau, mimpi barusan membuatnya benar-benar takut akan kondisi anak gadisnya di tempat orang.
"Mama kenapa?" Yudha ikut terbangun ketika mendengar teriakan Nafita yang menggema memekakkan telinga.
"Ify, Pa." Nafita mengarahkan pandangannya kepada Yudha yang cemas akan kondisinya.
"Mama mimpi buruk tentang Gifyka?" Yudha mengusap keringat yang mengucur pada pelipis Nafita tanpa ada rasa jijik sama sekali.
"Mama mimpi kalau Gifyka sedang dalam bahaya." tangis Nafita sudah pecah. Tak sanggup rasanya membayangkan mimpinya barusan. Terasa sangat menyeramkan. Mungkin ini yang dinamakan ikatan batin antara ibu dan anak.
"Mimpi itu hanya bunga tidur, Ma. Mungkin Mama kelelahan." Yudha mendekap tubuh Nafita. Yang bisa Yudha lakukan sekarang hanyalah menenangkan Nafita.
"Tapi terasa nyata, Pa. Mama takut."
Kamar utama dari keluarga Adittya berubah menjadi tegang untuk Nafita, tapi berubah menjadi perihatin untuk Yudha.
"Mungkin efek kangen, Ma. Mama paling cuma kangen biasa ke Ify."
"Kita susul mereka ke sana yuk, Pa. Mama khawatir terjadi sesuatu sama mereka, terutama sama Gifyka." Nafita mendongakkan kepalanya mengarah ke Yudha penuh harap. Tatapan yang sangat memilukan bagi Yudha.
"Kita di sini saja, Ma. Mereka baik-baik saja."
"Tapi, Pa...."
"Syut... Mereka akan baik-baik saja. Percaya sama Papa, mereka bisa jaga diri."
Nafita kembali terisak saat mendapat penolakan dari Yudha untuk menyusul ke Manado. Lebih tepatnya ke bungalow yang ada di salah satu pulau sekitar Bunaken.
"Sudah Ma, jangan menangis terus. Mama harusnya istirahat, takutnya nanti Gifyka pulang lihat Mama sakit jadi Papa yang disalahkan." Yudha mengecup ubun-ubun istrinya lumayan lama.
"Mama akan tidur." Nafita mengikuti usul Yudha. Nafita juga tak ingin membuat putri semata wayangnya cemas akan kondisinya.
"Jangan memikirkan yang tidak-tidak, Ma." Yudha menarik selimut sampai batas dada Nafita kemudian kembali mengecup puncak kepala Nafita sekilas.
"Terima kasih ya Pa, sudah selalu ada di sisi Mama selama ini."
"Sudah menjadi kewajiban Papa, Ma."
Nafita akhirnya memejamkan matanya setelah merasa sedikit tenang. Ucapan Yudha membuat hatinya sedikit lega meski masih ada sedikit perasaan mengganjal dalam hatinya. Tapi Nafita tak ingin terus-terusan membuat Yudha cemas.
~**~
Ortofus sedang mengamuk karena Artena sekarat di bumi. Hal ini membuatnya kelimpungan bagai orang mabuk kepayang. Kakinya sudah dia hentak-hentakkan ke lantai sedari tadi. Apabila digambarkan, bisa ditambahkan asap keluar dari hidung dan telinganya. Sungguh menakutkan. Bahkan penghuni Laxymuse sampai tak punya nyali untuk menatap tubuh sang Raja.
"Argghhh...!" Ortofus masih berusaha melampiaskan kekesalannya kepada apa saja yang bisa dia jadikan sasaran. Bahkan beberapa guci pemanis ruangan pun sudah hancur menjadi beberapa belahan.
"Kalian berdua, besok turun ke bumi. Bawa Gifyka ke tanganku sekarang juga!" Ortofus menunjuk satu orang perempuan serta satu orang laki-laki yang diketahui memiliki andil di dalam kerajaan khayangan bernama Laxymuse ini.
"Baik, Raja!" kedua orang ini langsung mengangguk patuh kepada Ortofus yang berdiri di hadapan mereka.
"Akan aku pastikan bahwa Nafita akan kembali ke kerajaan ini." gemelutuk gigi Ortofus terdengar ke semua penghuni Laxymuse yang ada di hadapan sang Raja.
Brak!
Satu kursi kerajaan melayang karena tendangan dari Ortofus. Sang Raja memang sering membanting ini itu sesukanya tanpa melihat kondisi sekitar.
Penghuni Laxymuse merasa terganggu ketenangannya setelah sang Raja melakukan penyerangan secara dadakan untuk putri tunggal dari Nafita.
~**~
To Be Continue...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments