"Arrghhh... Shit!" umpat Mario saat mereka salah pelabuhan untuk menepi. Ini bukan pelabuhan tujuan utama mereka.
"Terus gimana? Bahan bakar perahu udah habis, meskipun ada cuma sedikit. Nggak akan cukup sampai ke Taman Nasional Bunaken." Alvino menendang kaleng minuman soda bekas yang ada di depan kakinya. Alhasil menciptakan suara yang nyaring di tengah keheningan malam sunyi.
"Viara makin menggigil." ujar Gifyka semakin panik.
"Gue nggak apa-apa. Gue sehat kok." sahut Viara dengan suara bergetar.
"Lo harus kuat Vi, kita pasti bakal pulang sama-sama." Alvino mendekap tubuh Viara, memberi ketenangan untuk sang gadis tercinta. Alvino sangat tidak ingin terjadi sesuatu pada Viara.
"Gue kuat, Vin." Viara berusaha tersenyum untuk menenangkan kekasih serta sahabat-sahabatnya.
"Dingin banget sih." Azriela mengusap-usap lengannya menggunakan kedua telapak tangannya sendiri.
"Pakai jaket gue, Zril." Afriel memberikan jaketnya kepada Azriela untuk dipakai kekasih barunya.
"Nih Fy, lo nggak pakai jaket." Mario ikut memberikan jaketnya kepada Gifyka.
"Lo sendiri? Gue nggak apa-apa."
"Gue cowok, gue bisa nahan." Mario memakaikan jaketnya ke tubuh Gifyka tanpa izin.
"Gue minta maaf ya, jaket lo gue pakai." ujar Viara merasa bersalah kepada Gifyka.
"Nggak apa-apa Via, lo nggak usah sungkan. Kita semua sahabat."
"Gue capek." Azriela mendudukkan pantatnya ke atas papan yang mereka pijaki.
"Kita istirahat dulu di sini. Kasihan Zril sama Via." Alvino menuntun Viara untuk duduk mengikuti Azriela yang sudah lebih dulu duduk sambil memeluk erat kakinya sendiri.
Diikuti oleh Gifyka, Mario dan Afriel, akhirnya mereka duduk bersama dengan posisi saling menyandarkan bahu mereka membentuk sebuah lingkaran.
Hening! Keheningan menyelimuti suasana mereka saat ini. Mereka butuh menenangkan fisik, hati dan pikiran. Pandangan mereka ada yang terfokus ke langit dan juga ke air yang ada di hadapan mereka.
"Kita mimpi apa sih bisa kayak gini?" suara Afriel memecah keheningan di antara mereka.
"Gue harap ini mimpi supaya gue bisa cepat sadar dan keluar dari keadaan ini. Tapi apabila bukan mimpi, gue harap ini cepat selesai supaya kita bisa selamat semua." sambung Gifyka sambil mengembuskan napas beratnya.
"Kita harus tetap berdoa dan berusaha keluar dari keadaan ini. Kita pasti bisa kalau kita nggak mengenal kata menyerah dan lelah." sipat bijak Mario akan keluar di saat mereka membicarakan hal serius seperti ini.
Viara hanya diam tanpa niat bergabung, dirinya merasa sangat lemah. Ditambah dingin mendera membuatnya semakin tak karuan. Andaikan ini bukan di tempat orang, Viara ingin menangis sampai lega.
"Apa kita terlalu membangkang kepada orang tua? Sehingga kita merasakan hal seperti ini?" kini giliran suara Alvino yang menggema.
"Gue kangen Mama." sambar Azriela menahan tangis.
"Gue takut kalau gue nggak bisa lagi ketemu sama Mama. Gue takut kemarin itu terakhir kalinya gue merayakan ulang tahun sama Mama dan Papa." Gifyka menghapus titik-titik air matanya yang jatuh tidak diundang.
"Gue berharap masih bisa ketemu hari esok." Mario memilih berdiri, mengakhiri masa duduknya. Rasanya sudah cukup dua jam duduk di tempat ini dengan posisi yang sama.
"Kita harus cari tempat tidur untuk malam ini. Mustahil ada orang yang lewat di jam segini." usul Mario sambil membersihkan celana bagian pantatnya.
"Yakin nggak akan ada Artena-Artena lainnya?" Viara mendongakkan kepalanya menatap Mario.
"Semoga aja nggak ada." Mario mengulurkan tangannya membantu Gifyka dan Afriel untuk berdiri.
"Kita mau ke mana?" Viara menatap Mario dengan tatapan sayu.
"Kita cari tempat yang bisa dipakai buat tidur." Alvino terus mendekap tubuh Viara yang tak berhenti menggigil.
"Jalannya pelan-pelan aja ya." pinta Azriela penuh keprihatinan.
"Kita gandengan satu sama lain." Mario mengulurkan kedua telapak tangannya supaya digenggam oleh Gifyka dan Alvino.
Keenam remaja yang sedang dirundung musibah di pulau orang itu berjalan menyusuri gelapnya malam. Semak-semak belukar mereka terjang dengan penuh kesakitan saat mereka tidak sengaja terkena duri oleh tumbuhan liar.
Tidak ada yang membuka suara atau niat mengajak bicara. Semuanya diam, lebih memilih fokus ke jalanan yang mereka tempuh. Badan mereka sudah letih meminta ingin segera diistirahatkan. Sudah berjam-jam mereka berjalan mencari pemukiman warga namun belum juga terlihat satu rumah pun yang berdiri.
"Sudah jam setengah lima subuh." suara Afriel menggema di sela-sela keheningan.
"Gue laper." ujar Alvino tiba-tiba.
"Kita cari makanan dulu aja gimana?" usul Gifyka dengan nada ceria. Gifyka tak ingin membuat sahabat-sahabatnya merasa sedih atau putus asa. Gifyka ingin meyakinkan sahabatnya kalau mereka pasti bisa keluar dari keadaan ini.
"Kita mau cari makan di mana, Fy? Ini masih subuh." Azriela menatap Gifyka penuh kecemasan. Azriela paham sebenarnya Gifyka sedang ketakutan dan tertekan, tapi demi dirinya dan yang lain Gifyka berusaha untuk tegar.
"Di mana aja Zril, asal makanan," Gifyka tersenyum manis kepada Azriela.
"Yuk, kita jalan lagi. Kita pasti bisa nemuin makanan sama tempat untuk istirahat." Gifyka berusaha tersenyum semanis yang dia bisa.
Keempat sahabat Gifyka mengangguk tersenyum mencoba saling menenangkan. Mario juga tak bisa menahan senyumnya saat melihat Gifyka kembali semangat dan tidak menangis seperti di perahu tadi.
~**~
Mario menghabiskan buburnya yang masih tersisa satu suap. Sedangkan Alvino memilih tambah satu mangkuk lagi karena memang semalam dia hanya makan sedikit. Azriel dan Gifyka sudah selesai dari tadi. Afriel masih berusaha keras menghabiskan buburnya yang tersisa setengah, Afriel tidak suka bubur sedari kecil. Tapi apa boleh dibuat, tidak ada penjual makanan selain pedagang bubur khas Manado, atau yang sering disebut bubur tinutuan. Viara sendiri sudah menyelesaikan makannya dari tadi meski tidak habis. Keadaan sakit yang membuat Viara tidak selera makan.
"Kalian ini dari mana?" tanya sang pedagang bubur karena merasa aneh akan kehadiran mereka di pagi buta serta dengan pakaian yang kumuh dan lecek.
"Kami dari Jakarta, Bu." sahut Gifyka ramah mewakili kelima sahabatnya.
"Berlibur ke sini?" sang pedagang tadi langsung menundukkan kepalanya. Mengalihkan pandangannya dari Gifyka. Entah kenapa melihat Gifyka seperti melihat setan. Padahal Gifyka sudah berusaha seramah mungkin.
"Iya, Bu." lagi-lagi Gifyka hanya menjawab sambil tersenyum semanis yang dia bisa meski hatinya merasa sakit.
Kenapa semua orang takut sama gue? Tanya Gifyka dalam hati.
"Udah ah gue." Afriel menyerah juga untuk menghabiskan semangkuk bubur penuh akan sayuran.
"Ya udah kalau nggak habis." Azriela menepuk-nepuk bahu Afriel.
"Via, lo udah mendingan?" Gifyka menempelkan punggung tangannya ke kening Viara.
"Astaga, panas banget." kaget Gifyka semakin perihatin akan kondisi Viara.
"Gue nggak kenapa-napa Fy, gue masih kuat kok." lagi-lagi Viara mencoba tersenyum kepada Gifyka dan sahabatnya supaya tidak ada yang cemas.
"Nggak apa-apa gimana, Via? Lo panas banget." Azriela ikut panik akan kondisi Viara yang semakin drop.
"Bu, sudah. Ini uangnya, ambil saja semua." Alvino memberikan tiga lembar uang seratus ribuan kepada sang penjual bubur tinutuan.
"Oh iya... Terima kasih ya."
"Eum... Apa Ibu tahu penginapan sekitar sini?"
"Kalau penginapan biasanya harus konfirmasi dengan kepala keluarga di salah satu rumah di sini. Tapi ada yang di ujung sana, memang jauh. Coba saja ke setiap rumah, siapa tahu ada yang mau membantu." jelas sang pedagang bubur sambil tersenyum ramah kepada Mario.
"Oh... Seperti itu." Mario hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja.
"Hati-hati di jalan ya, jaga barang bawaan kalian. Terima kasih sudah mampir ke warung saya."
"Sama-sama Bu, kalau begitu kami permisi." pamit Alvino mengajak semua sahabatnya untuk segera pergi dari tempat itu dan kembali mencari tempat peristirahatan supaya Viara bisa istirahat.
"Biar gue gendong." Alvino mengambil alih menuntun Viara.
"Gue masih kuat kok, Vin."
"Lo lemah Via, gue nggak tega lihat lo kayak gini." Alvino menggendong Viara tanpa mendegar ocehan gadis berpipi chubby alias kekasihnya itu.
"Gue berat, Vin." Viara menyandarkan kepalanya pada punggung Alvino, begitu juga kedua tangannya mengalung pada leher sang kekasih dari belakang.
"Via, lo harus bertahan ya. Kita pasti bisa nyelamatin lo." Gifyka merasa semakin bersalah kepada Viara.
Keenam remaja itu masih berjalan membelah semak belukar yang bisa dibilang cukup tinggi. Ada rasa takut dalam benak mereka terhadap hewan liar, terutama hewan melata.
~**~
To Be Continue...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments