Momen bersama sahabat memang hal yang paling menyenangkan! Sahabat, tiada kata putus. Mereka akan selalu bersama dalam hal apa pun. Ya, itulah sahabat.
~**~
Kelima remaja berpenampilan modis nan trendi itu masih menunggu satu sahabatnya. Padahal pesawat akan take-off sekitar setengah jam lagi.
"Kenapa nggak lo jemput aja sih tadi si Zriel, Iyel." decak Gifyka sudah setengah kehilangan kesabarannya.
"Dia yang nolak, pengen bawa mobil sendiri Fy." Afriel mencoba membela dirinya sendiri.
Memang kenyataannya seperti itu, Azriela menolak untuk dia jemput. Gadis itu bilang bahwa dirinya akan berangkat bersama sopir pribadi keluarganya. Tapi Azriela memilih untuk menyetir ketimbang duduk di belakang.
"Heuh... Ke mana sih tu anak. Ponselnya nggak aktif lagi." Gifyka semakin berdecak kesal.
"Sorry, gue telat," Azriela datang layaknya orang habis lari-larian. Peluh membanjiri pelipis sampai ke lehernya. Napasnya pun ikut tersengal beberapa kali.
"Mobil gue tadi mogok di jalan, ini gue naik taksi." sambung Azriela masih mengatur napasnya.
"Ya udah nggak apa-apa kok." Viara merangkul bahu Azriela.
"Yang penting nggak ketinggalan aja, Zril." Gifyka tersenyum kepada Azriela.
"Yuk langsung." ajak Mario memandu sambil membawa satu tas gunung yang sangat besar. Tidak ada yang membawa koper di antara mereka, semuanya sepakat membawa tas gunung.
Keenam remaja itu berjalan menuju tempat pengecekan tiket dan identitas secara beriringan. Hari ini mereka akan terbang ke tempat tujuan mereka, yaitu bandar udara Sam Ratulangi, Sulawesi Utara.
~**~
"Mama khawatir sama Ify, Pa." ujar siapa lagi jika bukan Nafita.
Yudha mendekat, duduk di samping istrinya. Tangannya mengusap perlahan ke punggung Nafita.
"Kenapa sih, Ma? Papa lihat belakangan ini Mama itu gelisah banget." Yudha menggenggam tangan Nafita. Dingin, rasa tangan istrinya itu.
"Gifyka sudah tujuh belas tahun, Pa." tatapan Nafita berkaca-kaca.
"Mama tenang. Tidak akan terjadi sesuatu dengan Gifyka, Ma. Jangan khawatir, Papa akan berusaha semampu Papa untuk melindungi Gifyka." Yudha meraih tubuh Nafita agar bisa bersandar pada dada bidangnya.
"Janji ya Pa, selamatkan Gifyka." pinta Nafita penuh harapan.
"Papa janji, Ma. Papa akan berusaha semampu Papa." lelaki paruh baya itu masih berusaha menenangkan sang istri tercinta. Sangat terlihat jelas Nafita lemah dan bersedih.
"Mending Mama istirahat saja. Mama harus merelakskan hati, pikiran dan raga. Papa nggak mau Mama jatuh sakit." Yudha membantu Nafita untuk berbaring kemudian menyelimuti tubuh Nafita sampai batas pinggang.
"Mama nggak tenang, Pa." lagi-lagi Nafita memikirkan Gifyka bersama teman-temannya.
"Mereka diawasi sama penjaga bungalow, Ma. Udah ah, nggak usah mikir yang aneh-aneh."
"Apa Papa lupa Mama itu siapa?" Nafita menggenggam jemari Yudha.
Yudha mengembuskan napasnya pelan. Menundukkan kepalanya ke bawah.
"Kita berdoa saja Ma, semoga tidak terjadi apa-apa sama Gifyka dan semuanya." Yudha tersenyum menenangkan untuk Nafita.
~**~
Keenam remaja itu baru saja sampai di bandar udara Sam Ratulangi setelah menempuh perjalanan selama tiga jam lebih dua puluh menit.
"Wah... Gini ya rasanya udara Manado." Afriel merentangkan tangannya sambil memejamkan kedua mata dan menghirup udara sebanyak-banyaknya.
Manado, tempat yang memiliki suhu dingin. Apalagi kalau sudah sampai ke Tomohon, berasa di Kota Malang. Sama-sama dingin dan memanjakan mata untuk menikmati setiap panorama alam. Dari berbagai macam tumbuhan berbunga atau hanya sekedar daun berwarna hijau.
"Sama aja kali, sama-sama udara." Alvino berdiri di samping Afriel.
"Ya biar gaya dikit elah..." Afriel langsung menurunkan tangannya sambil melirik tajam ke Alvino.
"Makan yuk, gue lapar nih." Azriela mengusap-usap perutnya sendiri.
"Lo belum sarapan tadi?" Gifyka menatap Azriela kasihan. Wajah gadis itu sedikit pucat karena menahan lapar.
"Padahal gue rencana mau makan di bungalow aja tadi. Tapi kalau lo lapar, kita makan di luar aja deh." Gifyka merangkul bahu Azriela.
"Ya udah deh, makan di bungalow aja. Gue beli makanan ringan aja dulu." putus Azriela menghargai Gifyka sebagai pemilik bungalow, pasti penjaga bungalow sudah masak banyak untuk mereka. Sayang sekali kalau tidak dimakan dan hanya menjadi sampah.
"Beneran kuat? Gue takut terjadi apa-apa sama lo, Zril." Gifyka menatap cemas ke Azriela.
"Iya Zril, kalau lo nggak kuat mending kita makan di luar aja. Dari pada nanti lo sakit kan nggak enak. Kita berlima jalan-jalan, lo malah diem di kamar." sahut Viara sambil mengusap bahu Azriela.
"Nggak papa Via, gue kuat kok."
"Ya sudah, kami nggak akan maksa. Kalau mau makan di bungalow ya ayo." Afriel menepuk bahu Azriela beberapa kali untuk sekedar menguatkan.
"Kita ke bungalow naik apa, Fy?" Mario terlihat celingak-celinguk mencari angkutan umum.
"Gue udah pesan go-car yang bakal nganter kita sampai pelabuhan. Habis itu kita naik perahu buat sampai ke bungalow. Yuk udah ditunggu di parkiran." gadis berdagu tirus itu memandu kelima sahabatnya untuk menuju parkiran dan mencari mobil yang sudah dikirimkan nomor plat mobilnya oleh sang driver.
"Berapa lama sih perjalanan ke bungalownya?" sambil berjalan sambil bertanya.
"Sekitar empat puluh lima menitlah ke pelabuhan, dan setengah jam ke bungalow," Gifyka menjelaskan masih dalam posisi berjalan. Mereka berjalan beriringan satu sama lain.
"Kenapa?" Gifyka mengedarkan pandangannya kepada semua sahabat yang berjalan di sisi kanan dan kirinya.
"Nggak papa. Eh beli itu bentar yuk, gue haus juga." Azriela mengusap-usap kerongkongannya yang terasa kering ingin segera rasanya menerima asupan air.
"Es jeruk kayaknya enak nih." wajah Mario berbinar membayangkan minum es jeruk.
"Lo nggak di Jakarta, nggak di sini minumnya es jeruk terus. Jangan-jangan lo jeruk makan jeruk ya, Yo."
Mario menatap sinis ke arah Alvino yang sering dan sangat hobi meledeknya. Alhasil semua sahabatnya tertawa tiada henti.
"Muka kayak Mario jeruk makan jeruk? Mana ada yang mau." Afriel menyambar menambah ketiga gadis di antara mereka semakin mengencangkan tawanya.
"Gue masih doyan cewek kali." gerutu Mario tak terima. Wajahnya terlihat sangat kesal, bahkan bibirnya sudah maju beberapa senti.
"Udah ah, kasihan tuh Mario jadi bete gitu." Gifyka terlebih dahulu bisa mengontrol tawanya. Rasanya tidak tega jika harus menertawakan lelaki yang dia cintai secara diam-diam lebih lama lagi.
"Cie... Ada yang belain nih ye." Azriela mencolek-colek bahu Gifyka berulang kali.
"Iya nih, ada yang ngebelain." sambung Viara.
"Zril, lo jadi mau beli klappertaart nggak? Yuk gue temenin, dari pada lo makin lapar dan nanti maag lo kambuh." Mario lebih memilih menarik pergelangan tangan Azriela menuju pedagang penjual klappertaart di pinggir jalan.
Melihat hal tersebut, membuat senyum Gifyka pudar. Bahkan bukan hanya Gifyka yang terdiam, Afriel pun juga langsung diam. Kedua remaja ini sama-sama merasakan nyeri dalam hati saat melihat pemandangan barusan.
"Woy... Kalian berdua kenapa yak? Ngelamun aja kerjaannya." Viara dan Alvino sepakat mengagetkan Gifyka dan Afriel. Namun keduanya tidak ada yang kaget sama sekali.
"Fy, lo butuh es teh manis nggak? Gue mau beli nih." tawar Afriel tanpa mengindahkan gebrakan dari Alvino pada bahunya.
"Iya nih, gue butuh yang adem-adem. Kalau perlu cemilan hati Iyel, buat persediaan hati gue." sambung Gifyka membuat Viara dan Alvino saling tatap menatap tak mengerti.
"Ok deh, gue beli es teh manis dulu ya." Afriel pergi menuju sebuah pedagang minuman.
"Bocah ngapa yak?" Alvino mengedikkan bahunya tak mengerti akan pertanyaan Viara. Dirinya sendiri saja tidak tahu kenapa suasana menjadi seperti ini.
"Eh... Iyel mana?" Mario baru saja datang bersama Azriela sambil membawa banyak klappertaart dan air mineral.
"Lagi beli es teh manis buat Ify." Viara yang menjawab, bukan Gifyka.
"Loh, kan udah gue beliin air mineral." Mario menatap bingung ke Gifyka.
"Gue gerah, butuh yang adem-adem." Gifyka mengipaskan tangannya ke udara berusaha meyakinkan bahwa dirinya sedang kegerahan.
"Panas? Gue aja dingin loh, Fy." Sambung Azriela sambil terus menikmati klappertaart-nya.
"Nih Fy, es teh manisnya." Afriel memberikan satu cup es teh manis untuk Gifyka.
"Thank Iyel, lo baik banget." Gifyka langsung meminum es teh manis pemberian dari Afriel.
Kali ini Azriela yang terdiam akan tindakan serta perhatian Afriel untuk Gifyka. Begitu pula dengan Gifyka yang sangat senang diperlakukan baik oleh Afriel. Entah kenapa hati Azriela terasa panas. Bahkan dinginnya klappertaart pun tak mampu mendinginkan hatinya.
"Nih, gue juga beli klappertaart buat kalian." Mario membagikan klappertaart-nya untuk semua sahabatnya. Tak lupa dengan air mineral yang tadi dia beli.
Keenam orang itu melanjutkan jalannya menuju mobil online yang sudah Gifyka pesan sedari tadi.
"Gue pengen bawa ini nanti pulang buat oleh-oleh." ujar Viara sambil menikmati klappertaart miliknya.
"Gue juga ah, bawa lima karung buat persediaan di rumah. Enak banget sumpah." sahut Afriel tak kalah antusiasnya.
"Lo sekalian dikarungin, tenggelamin aja di pulau Bunaken, biar jadi penghuni Bunaken."
"Udah-udah, nggak usah pada ribut. Tuh udah ketemu mobilnya." Gifyka menunjuk sebuah mobil berwarna hitam mengkilat terparkir tak jauh dari tempatnya berjalan.
"Huu... Liburan dimulai!" seru Azriela sambil menaikkan kedua tangannya ke atas.
Keenam remaja ini langsung menuju mobil yang sudah dipesan oleh Gifyka. Mereka akan menuju bungalow milik keluarga Angkasa.
~**~
To Be Continue...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments