Pergunakanlah waktu dengan sebaik mungkin. Karena kita tak pernah tahu sampai kapan waktu kita untuk bernapas. Dan waktu tidak pernah berputar ke belakang.
~**~
Suasana meja makan kediaman Angkasa sangat hening tanpa suara dari bibir ketiga penghuni meja makan. Hanya terdengar dentingan sendok serta garpu yang beradu dengan piring keramik.
"Mau nambah sayang?" suara Nafita memecah keheningan pagi hari ini.
"Enggak, Ma." Gifyka menggelengkan kepalanya dua kali lalu menyuapkan sisa makanan yang ada di piring.
"Papa mau nambah?" Nafita berganti menawarkan kepada Yudha.
"Cukup." Yudha mengangguk-anggukkan kepalanya kemudian mengelap bibirnya menggunakan tisue yang tersedia.
"Langsung dipakai nih." goda Nafita melihat Gifyka.
"Apaan, Ma?" Yudha menaikkan sebelah alisnya tak mengerti.
"Itu Pa," Nafita menunjuk pergelangan tangan Gifyka bagian kiri.
"Kado ulang tahun dari Mario." lanjut Nafita membuat Gifyka langsung mendongakkan kepalanya. Yudha hanya bisa tersenyum melihat putrinya memang sudah besar.
"Kamu ada hubungan spesial dengan putra Om Mark?" Yudha menatap Gifyka penuh selidik namun tersirat senyuman menggoda di wajahnya.
"Enggak, kita cuma sahabatan kok Pa." jawab Gifyka tak berbohong. Karena memang mereka hanya bersahabat. Meski di dalam hati Gifyka menginginkan ada yang lebih dari sekedar sahabat. Tapi apalah daya seorang wanita yang hanya bisa memendam rasa tanpa bisa mengungkapkannya.
"Mama kira semalam Mario meminta kamu menjadi pacarnya." kikik Nafita membuat Gifyka kembali kesal.
"Apaan sih Ma, enggak juga." Gifyka meminum air mineral dalam gelas yang memang disediakan kemudian meminum susu putih sampai habis.
"Sudah selesai? Ayo kita berangkat." ajak Yudha berdiri mendahului Gifyka dan Nafita menuju mobil yang sudah dipanaskan oleh sopir terlebih dahulu.
"Cie... Anak Mama lagi kasmaran." Nafita masih saja menggoda Gifyka sepanjang perjalanan menuju mobil.
"Mama apaan sih, aku sama Mario itu gak ada apa-apa." Gifyka mempercepat langkahnya tak ingin Nafita tahu bahwa dirinya salah tingkah.
"Ayo masuk!" Yudha melongokkan kepalanya keluar jendela.
Brak!
Gifyka memasuki mobil pada bagian tengah mendahului Nafita.
"Kita mau ke mana, Pa?" tanya Gifyka kepada Yudha tanpa menatap sang papa. Pandangannya masih fokus kepada benda pipih berwarna peach dalam genggan tangannya.
Brak!
Pintu penumpang bagian depan ditutup oleh Nafita. Wanita kepala tiga itu duduk di samping Yudha yang mengemudi.
"Sudah bawa minum kan ya?" tanya Nafita memastikan.
"Sudah, Ma." sahut Yudha sambil mulai menjalankan mobilnya meninggalkan istana tercinta.
"Kita ke Floating Market, Fy." jawab Yudha untuk pertanyaan Gifyka yang tadi belum sempat Yudha jawab.
"Oh... Gak ke Farmhouse Susu aja, Pa?" Gifyka mencoba bernegosiasi.
"Kamu maunya ke sana?" mobil berwarna merah menyala itu sudah meninggalkan kompleks elite tempat mereka tinggal selama kurang lebih delapan belas tahun.
"Ya aku sih terserah aja mau ke mana. Yang penting kan liburan." Gifyka mengedikkan bahunya acuh. Pandangannya tak bisa lepas dari ponsel kesayangannya.
"Kamu berapa hari liburan nanti, Fy?" Nafita sengaja mengalihkan pembicaraan.
"Seminggu Ma, gak akan lama."
"Yakin gak mau dikawal sama bodyguard? Papa takut terjadi apa-apa sama kamu dan sahabat-sahabat kamu." Yudha masih fokus ke jalan raya yang lumayan macet.
"Yakin Papa, kan sekarang aku sudah tujuh belas tahun. Sudah besar, bukan lagi anak-anak." Gifyka masih mencoba meyakinkan Yudha serta Nafita.
"Ya kan kamu putri Papa sama Mama satu-satunya. Kami cuma tidak mau terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan." Yudha berusaha memberi pengertian kepada putri gadisnya.
"Kalau terjadi sesuatu dan aku kenapa-napa, ya tinggal bikin adik aja Pa. Gampang kan." canda Gifyka membuat Nafita sedikit emosi.
"Kamu kalau bicara dijaga ya Fy, apa-apaan kamu bicara seperti itu." sembur Nafita membuat Gifyka kaget karena mamanya itu marah.
"Ya maaf Ma, aku kan bercanda." sesal Gifyka tak bermaksud membuat Nafita sedih.
"Sudah-sudah, jangan berantem. Kita kan mau liburan." Yudha berusaha melerai perang mulut antara ibu dan anak di sampingnya.
"Ify tu yang ngomongnya ngelantur ke mana saja. Mama gak suka."
"Ya kan aku udah minta maaf, Ma." Gifyka tak mengerti kenapa Nafita begitu marah kepadanya. Padahal kan niatnya hanya bercanda. Sama sekali tidak ada keseriusan dalam ucapannya.
"Mama maafkan, tapi jangan diulangi lagi." sahut Nafita membuat Gifyka melega. Setidaknya Nafita tidak marah terlalu lama kepadanya.
"Nanti kalau sudah sampai sana, jangan lupa kasih kabar. Kalau ada yang bermasalah atau keanehan langsung hubungi Papa ya." mobil yang dikendarai Yudha sudah berhasil lolos dari kemacetan. Tinggal melanjutkan perjalanan menuju tempat tujuan, Bandung.
"Iya Papa, gak akan lupa." Gifyka tersenyum kepada Yudha sekilas.
Gifyka tahu kalau kedua orang tuanya itu pasti sangat cemas dan khawatir mengingat anak gadisnya pergi ke seberang bersama sahabat-sahabatnya dan menginap di sana selama satu minggu. Tapi Gifyka juga butuh kepercayaan dari kedua orang tuanya.
"Hati-hati di sana nanti ya Fy, jangan jajan sembarangan dan jangan mudah percaya kepada orang yang tidak kamu kenal." Nafita lagi-lagi memberi nasehat untuk gadis kecilnya yang sudah menjelma menjadi remaja.
"Iya Mama, Papaku sayang. Aku bakalan hati-hati dan akan gabung sama yang lainnya." putus Gifyka.
"Obat-obatan, jaket, kaos kaki, pakaian panjang, syal, dan ciput sudah dimasukkan ke dalam koper kan?" Nafita menengokkan kepalanya sebentar untuk menatap Gifyka.
"Sudah Mamaku tercinta, sudah aku masukin semuanya." Gifyka menatap Nafita gemas.
"Bagus." Nafita mengacungkan kedua jempolnya ke atas sampai melebihi jog mobil.
Mobil mereka sudah berhasil keluar dari kota Jakarta. Keempat ban itu terus melaju menuju kota yang akan mereka kunjungi, Bandung.
~**~
Mario menatap jalan raya di depan rumahnya dari balkon kamar lantai dua. Kamar siapa lagi jika bukan kamar lelaki pemilik gingsul serta senyum menggoda ini. Pandangannya terus saja menatap lurus ke bawah. Entah apa yang dia perhatikan, tapi yang pasti itu adalah sesuatu hal yang mengasikkan bagi dirinya sendiri.
"Woy! Ngapain lo kayak orang kesurupan gitu? Diem aja, berubah jadi patung hidup lo." suara bariton mengagetkan Mario yang masih menatap ke jalanan.
Plak!
"Sompret lo, gue kaget ****!" sembur Mario saat mengetahui siapa gerangan yang berani mengagetkannya.
"Bisa kaget juga? Gue kirain lo udah lupa bagaimana caranya kaget." cengir Afriel sembari mengangkat jari telunjuk serta jari tengahnya membentuk huruf V.
"Lo gila! Otak lo made in Allah gak sih? Kok bermasalah gitu." dengus Mario kesal.
"Ya iyalah made in Allah, bukan made in China. Emang manusia bisa bikin otak sendiri." sengit Afriel tak terima.
"Lo... Tanggung jawab atas semua ini." telunjuk Mario menunjuk wajah Afriel mengintimidasi.
"Ya elah... Sudah kayak cewek minta tanggung jawab ke pacarnya aja."
"Gue jadi lupa kan, lo sih gara-garanya." dengus Mario bertambah kesal.
"Emang lo lagi ngafalin apaan pakai lupa? Sekolah udah kelar woy." Afriel menatap penasaran ke arah Mario yang berada di sebelah kanannya.
"Ini gak ada hubungannya sama pelajaran. Tapi ini sama aja kayak ujian."
"Lo ngomong berbelit-belit mulu, ribet tahu gak."
"Gue bener, ini sama kayak ujian. Sama-sama menentukan masa depan gue." wajah Mario berubah menjadi murung. Afriel yang mendengarnya semakin penasaran.
Apa yang sedang dipikirkan Mario? Tanya Afriel dalam hati. Kedua matanya masih mengamati gerak-gerik Mario.
"Ngomong coba Yo, gue puyeng tahu gak dengar lo mempermainkan kalimat gitu." batas kesabaran Afriel sudah berada di ujung.
"Gue lupa berapa banyak motor yang gue hitung dari tadi gara-gara lo ngagetin gue." ujar Mario tanpa beban.
Mulut Afriel menganga tak percaya akan jawaban dari Mario. Lelucon apa lagi ini? Apa sahabatnya itu sedang latihan seni drama atau lawak?
"Lo gak waras, mendingan sekarang gue saranin lo ke psikiater."
"Gue beneran gak bohong Iyel, gue tadi lagi ngitung motor lewat."
"Lo mau jadi maling? Atau mau belajar jadi leasing?" Afriel menaikkan sebelah halisnya ke atas.
"Bukanlah."
"Terus?"
"Kalau motor yang lewat kebanyakan matic, gue bakalan nyatain perasaan gue ke Gifyka. Tapi kalau yang lewat kebanyakan pakai gigi plus kopling, gue bakal pendam perasaan gue buat Gifyka." jelas Mario dengan polosnya.
"Buahaha..." tawa dari mulut Afriel meledak seketika mendengar pengakuan Mario. Polos sekali lelaki itu.
Afriel masih saja tertawa terbahak sambil memegangi perutnya yang sudah bisa dipastikan rasanya sakit. Mario sendiri berdecak kesal melihat ekspresi Afriel.
"Terusin aja ketawanya, sampai kecoak berubah jadi singa." Mario meninggalkan Afriel masuk ke dalam kamarnya.
"Hei... Hei... Lo lucu tahu gak, Yo. Lucu banget sumpah, kalau yang lainnya ada di sini, gue pastikan mereka juga akan tertawa massal bareng gue." Afriel sudah sedikit bisa mengendalikan tawanya. Kakinya mengekor di belakang tubuh Mario.
"Lo gak ngerti sih rasanya jatuh cinta ke sahabat sendiri. Gue takut kalau gue ngungkapin perasaan gue, terus gue ditolak. Kebayang gak lo gimana nasib persahabatan kita? Bakalan bubar."
"Gue ngerasaan apa yang lo rasain kok, Yo. Gue tahu banget gimana rasanya." Afriel berubah serius menatap Mario.
Mario mengerutkan keningnya tak paham akan hal yang diucapkan Afriel.
"Lo juga suka sama Gifyka?" pertanyaan bodoh itu akhirnya meluncur bebas dari Mario.
"Enggak, gue suka sama Zril." Afriel pun mengakui perasaannya.
"Dari kapan?"
"Dari dua tahun lalu pas dia ngerawat gue sakit."
"Waktu lo kecelakaan dan gak bisa jalan sampai berbulan-bulan itu?" Mario mengingat kejadian dua tahun lalu saat Afriel kecelakaan tunggal bersama mobil kesayangannya.
"Ya, lo ingat kan waktu itu orang tua gue gak bisa stay di rumah. Mereka hanya memanggil satu suster untuk ngerawat gue. Gue rasa Zril baik banget dan selalu ada buat gue."
"Kenapa gak lo ungkapin? Gue lihat Zril juga punya perasaan ke lo."
"Jawabannya lo tahu sendiri Yo, kenapa gue gak ngungkapin."
"Gue ngerti, karena itu yang gue rasakan." Mario menepuk bahu Afriel berulang kali.
"Ya, takut merusak persahabatan."
Kedua lelaki itu termenung di atas ranjang sambil meratapi kisah cinta mereka yang hampir sama.
~**~
Udara sejuk sudah mulai dirasakan oleh Gifyka saat mereka melewati kebun teh. Hamparan kebun teh terpajang luas membentang di pinggir jalan. Gifyka tersenyum bahagia karena dirinya bisa kembali berlibur bersama keluarga seperti hari ini. Sudah lama sekali Gifyka tidak merasakan libur bareng Yudha dan Nafita.
"Nanti jangan malam-malam pulangnya ya, Pa. Kan aku harus istirahat buat berangkat besok."
"Jam berapa berangkatnya, Fy?" Nafita menolehkan kepalanya ke belakang sejenak untuk melihat putri gadisnya.
"Jam sembilan pagi, Ma."
"Langsung kumpul di bandara?" sahut Yudha memastikan.
"Iya Pa, jangan lupa transfer bekal sebanyak-banyaknya ya Pa." kikik Gifyka membuat Yudha menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kamu, kalau masalah uang saja cepat." decak Yudha masih tetap fokus pada jalan raya.
"Ya kan takut kekurangan, Pa. Emang mau anak gadis satu-satunya luntang-lantung di kota orang. Luar pulau Jawa lagi." jurus andalan Gifyka beraksi. Pura-pura memasang wajah melas di depan Yudha serta nada manja.
"Iya, Papa akan transfer uangnya nanti. Kamu tenang saja, mana mungkin Papa tega melihat kamu terlantar."
Gifyka hanya bisa nyengir kuda mendengar jawaban Yudha. Papanya itu memang sangat memanjakan dirinya sejak kecil.
"Mama sama Papa mau oleh-oleh apa nanti?"
"Apa saja, asal jangan **** guling. Ya gak Ma?" Yudha menolehkan wajahnya mengarah ke Nafita, meminta persetujuan.
"Mama gak pengen oleh-oleh apa pun. Mama cuma pengen kamu selamat sampai rumah. Itu saja sudah cukup untuk Mama."
"Iya Ma, aku pasti selamat kok sampai rumah."
"Mama kenapa sih? Kok takut banget ngelepas Ify liburan sama teman-temannya?" heran Yudha tak mengerti.
"Mereka kan sudah bersahabat sejak dulu, Ma. Bukan setahun atau dua tahun. Tapi sudah lama."
"Iya deh, Papa aja woles kok." sambar Gifyka masih dengan pandangan lurus ke jendela mobil.
"Mama cuma takut terjadi sesuatu sama kamu Fy, tidak lebih."
"Makasih ya selama ini sudah sayang dan selalu menjaga aku, Ma." Gifyka memeluk Nafita dari belakang. Memberi tahu bahwa dirinya sangat menyayangi sang mama.
"Iya sayang. Udah ah, gak usah mellow gini." Nafita mengusap-usap lengan Gifyka.
"Aku sayang kalian semua." ujar Nafita tulus dari dalam hati.
~**~
Langkah kaki kedua gadis itu terus menyusuri setiap store penjualan barang-barang berkelas dunia. Keduanya ke sana ke mari mengikuti isi hati. Dari lantai satu sampai lantai delapan mereka jajahi satu persatu. Tidak ada yang terlewat satu pun. Sambil ketawa-ketiwi dan menikmati es krim, mereka kembali turun ke lantai enam hanya untuk membeli makanan.
"Heuh... Antrinya panjang." dengus remaja berambut hitam panjang sebahu.
"Iya nih, bikin males ngantrinya."
"Hai... Lagi jalan-jalan nih ceritanya?" sapa seorang lelaki berkulit putih sambil menggandeng seorang wanita di sebelahnya.
"Eh... Hai, Sakka. Bagaimana kabar lo? Sehat?" gadis berambut hitam sebahu tadi nampak mengenal lelaki yang menyapanya terlebih dahulu.
"Gue sehat Zril, lo sendiri?"
"Seperti yang lo lihat, gue baik-baik aja." Azriela merentangkan tangannya sebentar sebagai tanda bahwa dirinya baik-baik saja.
"Eh... Iya, kenalin. Ini Agnee, pacar gue." Sakka memperkenalkan gadis di sampingnya kepada Azriela.
"Hai gue Azriela, lo bisa panggil gue Zril." Azriela menyodorkan tangannya yang kemudian dijabat oleh Agnee.
"Gue Agnee, senang bisa kenal sama lo." Agnee melepaskan tautan tangan mereka.
"Kenalin ini Viara, sahabat gue dari dulu." gantian Azriela yang memperkenalkan Viara.
Mereka saling berkenalan dan saling menyapa satu sama lain.
"Kalau gitu, gue duluan ya Zril. Masih ada perlu nih." pamit Sakka sambil menarik pergelangan tangan Agnee.
"Ok, hati-hati ya!" seru Azriela mengiringi langkah Sakka dan Agnee.
"Siapa Zril? Kok bisa kenal? Perasaan dia bukan teman sekolah kita atau adik kelas bahkan kakak kelas." heran Viara tak mengerti.
"Dia mantan gue dulu." Azriela menundukkan kepalanya sejenak.
"Kapan lo pacaran sama dia?" kaget Viara tak menyangka. Pasalnya, mereka bersahabat sudah sejak TK.
"Dulu gue sama Sakka backstreet, kita berdua sengaja gak mau ngasih tahu siapa pun. Karena berhubung sekarang udah putus, jadi boleh."
"Ngomongin backstreet, siapa yang pacaran sembunyi-sembunyi?" Afriel mengagetkan mereka berdua. Dari mana datangnya lelaki tinggi itu?
"Itu tadi, Zril ketemu sama mantan pacaranya dulu. Dan mereka pacarannya backstreet." sahut Viara.
"Widih... Pernah pacaran, Buk." goda Alvino membuat Azriela kesal.
"Ya pernahlah, gue juga manusia kali." decak Azriela.
"Oh, gue kirain apaan yang backstreet." sambung Afriel lesu. Lelaki tinggi itu memilih maju ke antrean makanan.
"Ngomong-ngomong kok kalian bisa ada di sini sih? Lagi pada ngapain?" Azriela mencoba mengalihkan pembicaraan yang pas.
"Oh ini, kita berdua lagi mau nyari makan. Eh malah ketemu kalian di sini." sahut Alvino.
"Kalian mau pesan apa?" seru Afriel membuat ketiga orang ini menoleh.
"Samain ajalah." sahut Viara tak ingin mempersulit.
"Kalian berdua?"
"Gue sama aja Iyel, gak tahu tuh kalau Zril mau apa." Alvino memilih menarik tangan Viara mendekat ke Afriel untuk mengambil pesanan mereka yang sudah jadi.
"Gue samain juga ah, males mikir menu." Azriela mendekat ke Afriel yang mengangguk serta memesankan pesanannya.
"Lo ke sini sama siapa, Iyel?" Azriela sudah berdiri di samping Afriel.
"Alvino, kenapa?"
"Lo nanti pulang sama gue aja ya, kebetulan gue bawa mobil tadi. Biar Viara sama Alvino aja."
"Boleh, tapi gue gak bisa anter lo sampai rumah ya."
"Sip, gue anter lo ke rumah."
Afriel hanya bisa tersenyum kikuk kepada Azriela. Entah kenapa mendengar Azriela tak sengaja bertemu dengan mantan kekasihnya membuat relung hati Afriel sedikit nyeri.
~**~
Gifyka sedang menunggu chocolate hangat yang sedang disiapkan oleh penjaga stand minuman saat masuk ke Floating Market.
"Papa mau apa?" tanya Gifyka sambil mengambil tiket untuk ditukarkan dengan minuman.
"Mocachino aja."
Gifyka menerima chocolate bagiannya kemudian menerima mocachino pesanan Yudha.
"Ini, Pa."
Yudha menerima mocachino dari tangan Gifyka kemudian menyusul Nafita yang sudah menunggu di tempat duduk pinggir kolam.
"Duduk dulu ah... Aku capek." Gifyka memilih duduk di bangku dekat rumah-rumahan adat Jawa Tengah.
"Mau ke atas?" tawar Yudha membuat wajah Gifyka berbinar.
"Mau Pa, mau banget."
"Mau ke mana dulu? Ke kanan atau kiri?" tanya Nafita memastikan.
"Terserha putri kita, Ma." Yudha menarik bahu Gifyka, mengusapnya pelan. Terlihat keluarga bahagia penuh dengan canda tawa.
Ketiganya menikmati minuman serta pemandangan yang terpampang luas. Hawa dingin menerpa kulit mereka. Sejuknya kota Bandung terasa, sangat menenangkan dan pas untuk liburan bersama keluarga, sahabat atau kekasih.
"Kenapa gak liburan ke sini aja, Fy?" suara Nafita memecah keheningan.
"Kan sudah sekarang sama Mama sama Papa."
"Ya kan bisa ke tempat yang lainnya, Farmhouse Susu, atau sekalian nginep di Cikole kan juga bagus."
"Kan sekalian pengen lihat bungalow yang di sana, Ma."
"Papa mau nukerin koin dulu, kalian mau ke mana?" Yudha berdiri lalu membuang cup bekas minumannya.
"Ikut Papa, mau makan sosis bakar." Gifyka berdiri antusias ingin ikut bersama Yudha.
"Ayo," Yudha merangkul bahu Gifyka. "Mama mau ke mana?" Yudha mengalihkan pandangannya kepada Nafita.
"Ikut Papalah, mau ke mana lagi." Nafita ikut berdiri dan berjalan menyusul Yudha serta Gifyka sesudah membuang cup bekas chocolate miliknya.
Satu keluarga itu memilih ke kiri dan berjalan menyusuri jalanan yang ada. Mengikuti arah sampai pada mereka melihat banyak sekali pedagang makanan serta minuman di sisi-sisi danau buatan untuk menikmati bebek air dan perahu.
"Tunggu sebentar di sini, Papa mau menukarkan uang terlebih dahulu." Yudha meminta Gifyka dan Nafita duduk di tempat duduk yang disediakan.
"Mau naik perahu?" tawar Nafita sembari membelai lembut rambut putri gadisnya.
"Terserah Mama sama Papa aja." Gifyka mencoba tersenyum.
Gifyka merasa risih karena banyak pasang mata yang menatapnya tak bersahabat. Bahkan beberapa menit yang lalu ada seorang wanita menggendong bayi kecilnya dan duduk di samping Gifyka. Bayi itu menangis meronta. Saat Gifyka berusaha menggoda bayi itu, yang ada bayi itu semakin mengencangkan suaranya dan membuat sang ibu harus pergi.
"Papa sudah tukar koinnya, siapa tadi yang mau makan sosis bakar?" Yudha yang mengetahui kejadian tadi berusaha mengembalikan keceriaan Gifyka.
"Yuk, Mama juga mau sosis bakar." Nafita berdiri menyusul Yudha.
"Ayo sayang, kamu mau apa?"
"Aku mau di sini aja ah Ma, males jalan capek." Gifyka menyandarkan bahunya ke bangku.
"Ya sudah kalau begitu, Mama belikan sosis bakarnya ya." Nafita mengusap pelan pipi Gifyka.
"Hem..."
"Ayo, Pa." Nafita menarik tangan suaminya menuju stand makanan yang berjajar dari ujung ke ujung di pinggir danau buatan itu.
Setelah kepergian Nafita dan Yudha, Gifyka lebih memilih memainkan ponselnya. Membuka salah satu akun media sosial miliknya.
"Mereka pada makan bareng. Tapi kok cuma berempat, Mario mana?" Gifyka melihat sebuah foto yang di-upload oleh akun sahabatnya, Viara.
"Apa dia gak ikut ya?" pikir Gifyka. Tangannya bermain lincah di atas keyboard ponselnya.
"Hahaha... Biar mereka envy." Gifyka mengeluarkan akun media sosialnya kemudian memencet satu-satunya tombol untuk mematikan layar ponsel.
"Kecebur."
Byur!
"Aaa.... Tolong! Tol... Ong!" teriak seorang gadis sekitar usia empat belas tahun bersama beberapa temannya yang ikut jatuh saat perahu mereka terguling.
Beberapa petugas langsung berenang untuk menyelamatkan pengunjung yang jatuh ke dalam air. Gifyka terpaku atas kejadian barusan. Matanya tak bisa berkedip serta tak teralihkan dari beberapa remaja perempuan yang sudah berhasil diselamatkan.
"Kenapa habis gue bilang kecebur mereka jadi terguling perahunya?" tanya Gifyka kepada dirinya sendiri. Gifyka merasa heran dan aneh. Padahal dia bilang kecebur karena ada satu stand penjual soto ayam, pengaduk kuahnya masuk ke kolam secara tidak sengaja.
"Sayang, ini sosis bakarnya." Nafita memberikan dua tusuk sosis bakar untuk Gifyka.
"Makasih, Ma." Gifyka tersenyum manis kepada Nafita. Kedua orang tuanya juga ikut bergabung dan duduk di sisi kanannya.
"Kenapa sayang?" Yudha melihat gerak-gerik Gifyka tidak seperti biasa.
"Enggak Pa, cuma kasihan aja sama yang tadi jatuh ke kolam." Gifyka mencoba tersenyum sambil memaka sosis bakarnya.
"Oh iya, kasihan banget." sambung Nafita membenarkan.
"Lanjut jalan-jalan yuk." ajak Yudha.
"Ayo." Nafita semangat mengikuti Yudha. Gifyka hanya ikut berjalan di belakang tanpa niat. Pikirannya masih kacau karena masalah barusan.
Yudha mengajak mereka berkeliling sampai ke garden flower. Sepanjang perjalanan, Gifyka hanya diam dengan pikiran tak karuan.
Apa itu karena ucapan gue? Tapi kenapa bisa? Apa mungkin hanya kebetulan?
Pikiran-pikiran aneh Gifyka terus berputar bagaikan kaset rusak. Terngiang-ngiang dalam otak tanpa mau berhenti.
"Apa gue coba sekali lagi aja? Tapi apa ya?" gumam Gifyka lirih selirih-lirihnya.
Gifyka menatap seorang anak kecil sedang bermain bersama ibunya, sedangkan sang ayah sibuk melihat-lihat foto mereka bertiga. Terdengar dari percakapan mereka yang membicarakan tentang objek tempat mereka mengambil gambar.
"Minumannya jatuh."
Brak!
"Mama, esnya jatuh." tangis gadis kecil yang tadi bermain dengan ibunya.
Gifyka berjalan menjauh dari mereka, sampai suara tangisan gadis kecil tadi tidak lagi terdengar.
"Gak! Gak mungkin ini karena ucapan gue. Pasti cuma kebetulan doang. Gak mungkin, Fy!" sentak Gifyka sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Gak mungkin, Fy!" lagi-lagi Gifyka menyentak dirinya sendiri. Meyakinkan bahwa itu bukan karenanya.
Gifyka termenung, duduk di salah satu ayunan rotan berwarna biru untuk menikmati indahnya pemandangan di bawah.
"Apa itu karena ucapan gue?" pertanyaan itu kembali terlontar dari bibir Gifyka, tapi kali ini lebih tenang.
~**~
Lidah memang tidak bertulang. Tapi setiap kata yang terlontar darinya, pasti membekas dalam jiwa.
~**~
To Be Continue...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments