TIKZ [Berpindah Ke Zaman Keemasan]
Tak.. Takk.. Takk..
Suara pertemuan antara jari-jemari dan keyboard yang berjalan dengan cepat memenuhi ruangan yang sepi. Baris perbaris pada layar terus terisi dengan ide yang mencuat keluar bak air bah yang melimpah. TIba-tiba pandangan matanya buram, terasa bau amis keluar dari hidungnya. Darah segar meluncur membasahi leher hingga kerah putih bajunya.
BRAKK.
"Kalo mau pingsan setidaknya jangan di atas keyboard dong!!" marah seorang perempuan yang memakai kemeja putih panjang dan rok hitam rempel dalam hati. Samar ia melihat sang adik membuka pintu tempatnya bekerja seraya memanggil namanya bersamaan dengan dirinya hilang kesadaran.
••••••••••••••••••••
Cuit.. Cuit.. Srakk.. Srak..
Suara burung dan tanaman serta aroma segar terasa pada indranya yang jarang keluar ruangan, terutama pada tiga hari terakhir ia mengurung diri karena tenggat waktu pekerjaan hampir tiba.
Saat membuka mata, sinar mentari menyilaukan matanya. Berkedip-kedip sebentar sembari mengumpulkan kesadaran, matanya melirik ke kanan terlihat sebuah tangan besar menggenggam erat tangan yang lebih kecil.
Ia mencoba menggerakkan jemarinya yang terasa berat dan tangan kecil itu mengikuti gerakannya. "Tunggu.. Tangan kecil???" Ia terbangun mendadak, pandangannya bergoyang, seketika ia melepaskan tangannya untuk memegang kepalanya yang berputar-putar.
Seorang wanita yang tidur di sisi ranjang terbangun dan menegakkan punggungnya. Kepala wanita itu menengok ke arah gadis duduk di ranjang. "Nona sudah bangun...?" tanyanya mengumpulkan nyawa. Di tubuh wanita itu hanya terdapat sehelai kain yang dililit dari dada hingga mata kaki.
"Apa aku berada di pedalaman? Dasar adik biadp!*" kesalnya. Ia merasa aneh dengan dirinya yang memahami bahasa asing yang diucapkan oleh wanita paruh baya tersebut.
Memang sekilas mirip dengan krama inggil yang pernah ia pelajari, namun krama inggil saja tidak ia paham semuanya, wanita di depannya malah menggunakan beberapa kata yang baru ia ketahui.
"Siapa Anda?" lancarnya menggunakan bahasa yang sama.
"Saya Sri, bibi di rumah nona. Sepertinya nona lupa ingatan karena kecelakaan sepekan lalu yang mengakibatkan nona tidak sadarkan diri. Syukurlah sekarang nona sudah bangun," jelas wanita paruh baya sambil mengusap air matanya yang keluar ketika ia tersenyum bahagia.
"Saya keluar sebentar mengambil bubur baru, yang ini sudah dingin." Wanita yang mengenalkan diri bernama Sri itu mengambil mangkuk di atas meja kemudian berlalu keluar.
Ia termenung, perempuan itu tidak habis pikir dengan dirinya yang berakhir di sini, juga tubuhnya berubah menjadi remaja.
Ia adalah perempuan dewasa yang seharusnya sudah menikah. Lulus S1 di usia 21 tahun dan S2 di usia 22 tahun, ia fokus membangun karir selama 5 tahun didampingi komentar-komentar para tante dan budhe agar cepat menikah.
Mata hitam legam persis seperti mata yang fokus pada layar komputer memandangi tangan kecil itu, putih dan mulus seperti salju, berbeda dengan kulitnya yang kasar dan banyak bekas luka. Ukurannya memang tidak jauh berbeda dengan tangannya namun karena kesan mulus membuat tangan itu terlihat jauh lebih kecil.
"Mungkin ini hanya mimpi," gumamnya mencoba memejamkan mata.
Tak lama wanita paruh baya yang memperkenalkan diri dengan nama Sri kembali membawa makanan baru, ia hanya bisa menurut disuapi karena tubuhnya sangat lemas. Tidak ada tenaga untuk memberontak.
"Nama nona adalah Idaline, ibu nona namanya nyonya Agni, kalau ayah nona tuan Daya. Mereka ada di tempat yang luar biasa," jelas Sri menyuapkan bubur ke mulut nonanya.
"Nona adalah orang yang cerdas, sedikit informasi pasti menenangkan hatinya yang bingung," batin Sri.
Usai makan, mata dari tubuh bernama Idaline itu memberat kemudian ia jatuh terlelap, ia terkagum atas dirinya sendiri yang hampir saja memuntahkan makanan saat berada di mulut, namun ternyata lancar ketika sampai di tenggorokan hingga semuanya tersapu bersih tanpa sisa satu tetes pun.
Orang yang memiliki prinsip mematuhi aturan dengan buta itu berharap agar cepat terbangun, ia sangat merindukan kedua orang tuanya dan kedua adiknya yang sudah enam bulan tidak ditemuinya karena sibuk bekerja.
••••••••••••••••••••
Idaline terus memperhatikan tabib dan bawahannya selama beberapa hari karena tidak mampu beranjak dari ranjang. Ia berbicara hanya ketika ditanya karena tubuhnya sangat lemas. Mulutnya lebih sering mengeluarkan gumaman daripada ucapan.
Ia masih terjebak di sana dan masih bertekad kembali setelah tubuhnya pulih.
"Ada jalan masuk pasti ada jalan keluar!" yakinnya.
Menurut bisik-bisik yang ia dengar, Idaline dan keluarganya mengalami kecelakaan kereta kuda ketika berangkat menuju ibukota.
Daya bersama para lelaki melawan bandit yang memasang jebakan, meninggal ditusuk dari belakang.
Pria gagah itu berusaha menyelamatkan istrinya, Agni, yang memeluk erat anak mereka, Idaline, saat akan terinjak kuda yang mengamuk. Ia berusaha meraih tubuh istrinya dan bandit tidak melewatkan kesempatan itu untuk menusuk punggung Daya. Keris bandit menembus hingga ke depan tubuh Daya dan ia langsung ambruk ke tanah.
Agni tidak selamat dari amukan kuda. Idaline sendiri sudah dilempar jauh oleh Agni yang merasa kakinya lemas seperti agar-agar.
Sedangkan perut Sri terbuka dan tubuhnya tersayat banyak keris selama menghalangi para bandit yang mencoba mengejar Agni kala nyonya dan nonanya berlari menyelamatkan diri.
Pembantu-pembantu lain pun tergeletak di sekitar kereta kuda utama melindungi segenap jiwa mereka.
Pada sore harinya tabib dan murid-muridnya juga para pembantu yang akan mencari tanaman obat, melewati tempat kejadian.
Mereka memutuskan membatalkan rencana mencari tanaman obat dan lebih memilih membantu Sri dan Idaline yang masih bernapas lalu merawat kedua perempuan beda usia itu di toko obat dengan serius meski tidak tahu apakah mereka akan dibayar atau tidak.
"Keadaan nona sudah lebih baik. Sekarang kita berlatih jalan ya?" Tabib menjulurkan tangannya ingin membantu Idaline belajar berjalan.
Idaline menatap lurus tangan tabib lalu berganti menatap Sri. Keengganan nampak jelas di wajahnya.
"Mohon maaf. Biar saya saja." Sri tersenyum hangat, nonanya pasti masih takut pada orang lain.
"Ah baiklah," ucap canggung tabib. "Kalau begitu jangan lupa obatnya diminum. Saya akan pulang. Nona bisa berjalan-jalan dengan santai."
"Terima kasih banyak tabib," ucap Sri tiap kali bertemu pria paruh baya itu. Entah bagaimana nasib dirinya dan nonanya jika tabib enggan menolong mereka, sekedar dibantu warga pun belum tentu selamat. Sri dan Idaline memiliki luka yang dalam.
Sri mengantar tabib sampai depan pintu kamar. Lalu membantu Idaline belajar berjalan.
"Wah nona kecil hebat sekali."
"Memang deh nona terbaik."
"Ayo yo ayo. Pasti nona akan jadi tukang lari terbaik."
Pujian terus terdengar saat Idaline beranjak keluar mencari udara sambil memegangi Sri. Ia tersenyum canggung pada setiap orang yang melemparkan pujian.
"Aku ingin berjalan sendiri." Idaline melepaskan tangan Sri tanpa menunggu persetujuannya.
"Hati-hati nona," ucap Sri mengawasi dari belakang.
Baru lima langkah tubuh Idaline terhuyung ke depan. Semua orang sontak berusaha meraih tubuh kecil itu. Sri menghela napas lega saat salah satu murid tabib menangkap Idaline.
"Nona hati-hati!" teriak orang-orang mendekat dan mengerumuni mereka. Para wanita di sana memeriksa setiap inchi tubuh Idaline.
"Tolong jangan lebay." Ingin sekali Idaline menyingkirkan orang-orang itu namun ia urungkan melihat ketulusan terpancar dari wajah mereka.
"Sungguh terbebani." Pipi Idaline memerah, ia alihkan pandangannya ke arah lain berusaha menghilangkan beban di dalam hatinya. Menerima kebaikan dari orang lain membuat perempuan itu selalu merasa harus membalasnya.
"Terima kasih, den Wala," tutur Sri sembari terkekeh, Wala yaitu salah satu dari empat murid tabib tersingkir dari sisi Idaline karena keberingasan para wanita.
"Tidak apa-apa, bi." Wala membersihkan tubuhnya yang terkena tanah. "Untung sayangku selamat," batin Wala mengintip isi keranjang di tangannya baik-baik saja.
"Kalian berniat memeriksa atau menyiksa?" kesal Idaline pipinya dicubit-cubit. Sedetik kemudian wajah merenggut itu berubah terbelalak mencium aroma familiar dari tangan kanan Wala.
"Nona mau ini?" tanya Wala menyadari Idaline menatap keranjangnya. Ia buka lebar-lebar kain penutup keranjang.
Idaline mendorong para gadis yang mengelilinginya. Ia memegangi lutut-lutut mereka yang berjongkok di sekelilingnya hingga sampai pada Wala yang tersingkir jauh. "Da-dari mana?" tanyanya melihat isi keranjang.
"Ini masakan ayam terbaru loh. Ayo makan di dalam." Wala menggenggam tangan Idaline.
"Kutanya, dari mana?!" Idaline menarik tangannya.
"Nanti kita ke sana setelah nona sehat ya?" tawar Wala tersenyum.
Idaline menatap kesal Wala kemudian berbalik berjalan dengan marah. Wala tertawa kecil kemudian menggendongnya takut gadis itu terjatuh lagi. Buru-buru ia masuk ke dalam toko obat merasakan aura membunuh dari belakang punggungnya.
"Tempatnya di dekat pintu masuk pasar. Setelah nona lancar berjalan kita langsung ke sana," terang Wala melihat Idaline menyantap ayam tepungnya dengan lahap. "Oh sayangku. Semuanya masuk ke perut mungil itu."
Setelah hari itu Idaline semakin giat belajar berjalan dengan memegang tembok meski sesekali ia terjatuh. Para wanita di sana gemas ingin membantu namun Idaline menatapnya tajam, alhasil mereka hanya membantu mengobati luka Idaline dan memberinya makan ayam tepung hingga menggunung.
"(Kalian benar-benar suka membuat orang merasa terbebani)"
••• BERSAMBUNG •••
© Al-Fa4 | 23 Mei 2021
Tinggalkan jejak like dan komen yaaa
Kesimpulan**Bab 1 :**
1. Pemeran utama wanita merasuki tubuh Idaline.
2. Pemeran utama wanita mengira itu hanya mimpi namun ternyata ia masih berada di sana\, berbaring di atas ranjang karena sakit\, ia mendengar banyak cerita di atas ranjang.
3. Pemeran utama wanita kondisinya membaik dan mulai belajar jalan\, saat itu ia mendapati ayam goreng crispy\, di mana di dunia kuno seharusnya belum ada.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
Fitri Caem
baru baca udah bagus
2023-02-08
1
Bzaa
hadirrrr....
2022-07-18
0
derwtan gigi
semangat thor
2022-06-18
0