Poniman melangkahkan satu kakinya ke depan lalu berputar-putar di dalam kerumunan orang yang menyerang dari segala sisi menggunakan berbagai senjata dan sihir juga kanuragan. Ia menggerakkan tangannya dengan pelan dan cepat bagai mengikuti irama.
"Dia terlihat seperti sedang menari." kata kepala desa Gulet tidak melepaskan matanya dari pertarungan.
"Ini adalah aliran seni tari." analisis Idaline memperhatikan gerakan Poniman.
"Anda tahu seni tari?" tanya Ponimin memastikan.
"Iya. Meski gerakannya indah atau aneh dan terlihat tidak memiliki kekuatan, sebenarnya ada beberapa gerakan petarung dalam durasi yang singkat dimana mata tidak mampu mengikuti. Aliran ini menggunakan tarian untuk mengelabui lawan juga menenangkan diri sambil melihat titik lemah lawan dan menyerangnya dengan serangan singkat dan tidak terlihat." jelas Idaline.
Tidak butuh waktu lama Poniman mengalahkan semua orang di atas panggung. Buto yang merupakan peringkat dua terjatuh setelah dadanya didorong telapak tangan Poniman dalam satu gerakan. Tak lama Poniman terhuyung hampir terjatuh karena terkejut Buto muncul di belakangnya siap menghunus dengan Wedhung.
"Padahal kamu tidak dilarang menggunakan senjata." Idaline melihat sepatu Poniman yang diikat rumit hingga melingkar ke betis.
"Anda mengetahuinya?"
"Ya. Telapak tangan kananmu terlihat lebih berotot daripada yang kiri. Dan kipas yang bagus." Idaline mengecilkan suaranya pada kalimat terakhir.
Poniman sempat terkejut saat tangan kanannya tidak merasakan Wedhung di betisnya, dengan ketenangan dan ketajaman ia fokuskan energi jiwanya menutup sementara sumber energi jiwa Buto yang berada di jantung.
"Hahaha. Saya benar-benar meremehkan Anda." Ponimin mengibaskan kipasnya sambil tertawa.
"Kamu tidak meremehkanku. Benar, aku belum pernah berlatih." Sebagai Udelia ia pernah berlatih silat dalam satu tahun kemudian berhenti untuk fokus mengikuti olimpiade sains dan matematika juga banyak praktek saat mengikuti kelas khusus di SMK.
Tapi ia selalu mengikuti pertandingan di berbagai kota menemani teman sekelasnya yang putri sendirian. Udelia juga memiliki teman SMP yang masuk SMA belajar karate sampai ke ajang nasional, beberapa kali temannya mengikuti perlombaan campuran dan mengajak Udelia untuk menemaninya.
Secara alami Udelia memperhatikan banyak jenis bela diri dan cabang-cabangnya hingga ia bisa membedakan di antara mereka dengan bentuk tubuh, lebih tepatnya posisi otot yang terbentuk.
Di zaman dengan pertarungan sesungguhnya, bentuk otot tubuh lebih jelas dan berbentuk, mudah bagi Idaline membedakan jenis dan cabang bela diri yang digunakan.
"Karena bela diri biasa akan menyulitkan, kami menggunakan wadah kosong dari aura tubuh untuk menampung ilmu kanuragan berupa ketajaman, kami juga mencampur energi jiwa guna mendeteksi dan menghalau serangan sihir. Meski tidak sebanyak petapa dan penyihir yang asli, kami dapat terus mengisi wadah kosong dalam tiap gerakan." jelas Ponijan pada Idaline dan Candra yang duduk di sebelahnya.
"Kalian dapat mengisi energi beberapa kali dan aura saat bergerak?" tanya Candra.
"Benar. Tapi seperti yang saya katakan, tidak dapat sebesar penyihir ataupun petapa, juga potensi diri yang sebenarnya, karena harus menahan wadah yang telah dibuat. Ini akan menjadi ilmu tingkat tinggi jika dapat mengembangkannya."
Candra baru mendengar hal seperti itu, di kerajaan Maja semuanya fokus pada satu hal, entah sihir maupun kanuragan. Yang dapat menggunakan keduanya dengan leluasa saat ini hanya Petapa Agung.
"Karena saya sudah memberitahukan rahasia, maukah nona memberitahu hubungan Anda dengan Petapa Agung?"
"Seharusnya kamu sudah mengetahui jawabannya."
"A-anda adalah..?"
"Benar. Aku keluarganya."
"Jadi Anda adalah istrinya," gumam Ponijan. Aura seorang petapa hanya bisa diberikan pada pasangannya setelah melalui serangkaian upacara.
"Ya..?" sahut Idaline tidak mendengar ucapannya. Idaline jadi mempertanyakan ke mana perginya telinga jernihnya yang bisa mendengar dari kejauhan.
"Maafkan ketidaksopanan kami yang mempertanyakan identitas Anda."
"Tidak perlu begitu. Semua manusia harus waspada pada orang yang baru ditemui. Tapi kita harus membuka hati jika dia ingin berteman."
"Ah saya tidak layak menjadi teman Anda. Mohon terima saya sebagai ajudan jika Anda bersedia."
"Uh, aku tidak perlu yang seperti itu." Idaline tidak ingin kebebasannya dihalangi. Ia tidak akan bisa makan, tidur, dan mandi dengan tenang jika tahu ada yang mengawasinya.
"Jika Anda perlu bantuan, saya akan melakukannya. Harap hubungi saya dengan cepat." Ponijan memberikan bulu burung pada Idaline.
"Akan kuingat."
"Tuan muda Ekadanta sangat fokus sekali. Bagaimana keputusan Anda?" Ponijan melongok melihat Candra yang duduk di sebelah Idaline.
"Jika dalam satu bulan tidak ada kemajuan, aku akan kembali."
"Baik, Yang Mulia."
"Dan aku harus kembali pada tahun selanjutnya."
"Bukankah tahun baru beberapa bulan lagi?" Ponijan ingin mempertahankan Candra lebih lama. Akan ada pertarungan antar pendopo pada bulan Karo, bulan kedua. Ia berniat memamerkan Candra di sana dan mendapat murid berkualitas lebih banyak.
"Kami senang hati menyambut Anda kapan pun Anda ingin belajar di padepokan kami," sela Ponimin. Mau satu tahun atau satu bulan bahkan jika hanya sehari, sekali jadi murid selamanya adalah murid. Candra akan tercatat sebagai orang yang pernah berlatih di pendopo mereka.
"Tuan Ponimin sangat bijak." puji Candra.
"Terima kasih," Ponimin tersenyum simpul. "Lalu kita akan kembali sore ini," katanya berwajah serius. Para guru sudah berkumpul setelah ia mengirim pesan akan membawa anggota keluarga Ekadanta. Sampai di Pendopo mereka akan mulai latihan tanpa perlu menunggu.
"Aku akan mengantar Raden Ajeng dahulu."
"Tidak perlu. Banyak pengawal terbaik di sini. Aku juga harus menunggu induk si putih dua hari mendatang. Kamu pergilah saja." tolak Idaline menjelaskan. Waktu sangat berharga baginya, jika bisa ia bahkan ingin selalu mengerjakan dua pekerjaan dalam satu waktu.
"Aku akan bersiap,"
Idaline mencium dalam pipi Candra. Ia usap pipi itu lalu berpesan, "Hati-hati. Jaga kesehatan selalu. Dengarkan kata guru selama itu baik."
Candra membeku menerima perlakuan Idaline. Beberapa saat hanya ada keheningan di antara mereka. Setelah mendapat kesadaran, Candra menjawab. "Iya kak."
Parimin yang kembali sore itu memasang wajah masam, baru ia duduk menikmati teh hangat, orang-orang menariknya masuk ke dalam kereta kuda.
"Jika segini aja kamu capek, kamu akan membuat malu desa kita." kepala desa Gulat berkacak pinggang menatap Parimin yang diikat tali di kereta kuda. Ia jentikkan jari dan kusir mulai memacu kudanya.
"Ahh ini sebabnya orang-orang tidak ingin peringkat pertama." suara Parimin menghilang bersama langkah kuda yang menjauh.
••••••••••••••••••••
Idaline mengawasi anak harimau yang sedang bermain dengan beberapa remaja. Ia bersyukur trauma hewan itu telah hilang tapi akibatnya anak harimau menjadi tidak betah di kamar.
"Sudah waktunya kembali." kata Idaline berjalan mendekat.
"Jangan bersedih. Jika sudah takdir maka kita akan bertemu lagi." Para pemuda memeluk anak harimau bergantian lalu pergi meninggalkan mereka berdua.
"Kamu jangan menurunkan kewaspadaan jika sudah sampai gunung. Karena bagaimanapun, manusia yang menaiki puncak kampungmu semuanya ingin menjadikan kalian budak kekuatannya." Idaline menggendongnya dan mengusap air matanya.
Idaline membawa anak harimau bersama Ami dan Cokro ke bukit Tang karena induk harimau tidak ingin melihat manusia yang lain. Noto kembali berkutat di dapur.
Begitu melihat induknya, anak harimau melupakan kesedihannya berpisah dengan para manusia. Ia berlari ke induknya lalu sang induk menjilatinya. Induk harimau menaruh dedaunan menyuruh anaknya memakan semuanya lalu ia mendekati Idaline dan menjulurkan tangannya. "Terima kasih." ucapnya setelah Idaline menempelkan telapak tangannya.
"Sama-sama. Kepercayaan yang telah diberikan harus dijaga."
"Itu bunga yang kau minta."
"Hampir aku melupakannya," Idaline menerima kantong yang terbang di sampingnya. Harimau putih dapat menerbangkan benda sampai setengah berat badannya dengan kekuatan. Dan Idaline tidak lagi terkejut pada hal-hal di luar nalar.
"Kemarin aku tidak menyadari. Ternyata ada lubang hitam yang lain," harimau itu meneliti tubuh Cokro.
"Tentang lubang hitam, kenapa kuda yang aku naiki tidak takut padaku?"
"Lubang ini seperti pelindung kalian, hanya hewan yang menyerang yang merasakan bahkan melihat kegelapan tak berdasar itu."
"Oh seperti itu.. berarti kau menyerangku saat itu??" Idaline menatapnya penuh curiga.
Harimau menghindari mata Idaline, ia menatap sekeliling dan berpura-pura menikmati pemandangan. "Bukit ini tidak ada penjaganya," ucapnya canggung.
"Karena di sini banyak batu sedimen, batu kapur, hutan tidak terlalu lebat." singkat Idaline masih kesal raksasa di depannya pernah berniat menyerangnya.
"Kalau begitu aku akan berjaga di sini,"
"Ya sudah,"
"Aku akan tinggal di sini,"
"Tidak ada yang melarang,"
"Aku akan melindungi desamu,"
Idaline tersenyum tipis. "Lakukan yang terbaik!" ucapnya melepaskan tangan. Ia berlari kecil ke arah Ami dan Cokro yang menunggu agak jauh. "Kami kembali," pamitnya berbalik pergi.
Ami melambaikan tangan berpamitan pada harimau putih. Ia meringis tidak dibalas oleh keduanya.
Idaline merasakan dejavu saat orang-orang berkumpul di pintu masuk desa Gelut. Dua orang yang jadi fokus kerumunan menyeruak keluar dan bersimpuh di depan Idaline.
"Kami memberi salam kepada Yang Mulia Raden Ajeng Paramudita. Semoga Anda selalu diberkahi kebijaksanaan dan keanggunan." salam mereka bersamaan.
"Berdirilah. Ada apa kalian kemari?" Idaline mengenali mereka sebagai pengawal Mahapatih yang membantu dirinya kembali ke toko obat. Idaline jadi teringat Atem dan Hasta. Setelah ada kepastian dari Fusena, dia akan memberitahu dengan jelas.
"Mahapatih mencari Anda,"
"Apa perihal itu lagi?" gumam Idaline terbayang buku catatan yang masih berantakan. Ia sudah menjelaskan harus berlatih berulang kali baru terbiasa. Tapi sepertinya remaja itu tidak sabaran. Idaline mendengus kesal memikirkan kemungkinan itu. Padahal semuanya tidak bisa instan.
Atau dia ingin menjadikan Idaline sebagai juru tulis? Idaline menghembuskan napas panjang menghilangkan asumsi-asumsi dalam pikirannya. "Baik, mari kembali." ujarnya pada dua orang yang menunggu jawaban.
"Yang Mulia, mohon bawa kereta kuda yang telah kami siapkan."
"Terima kasih," Idaline ingin sekali menolak tapi semua orang menatapnya dengan mata berbinar. Ia memasuki kereta mewah itu dan melongok di jendelanya. "Terima kasih semuanya." Idaline melambaikan tangan. Perlahan kereta mulai jalan dikendarai dua pria yang Idaline tebak sebagai saudara kembar.
"Kami yang sangat berterima kasih!"
"Hati-hati di jalan!"
"Saya akan mengendarai kuda ini. Biarkan dua kuda kami yang dipasang pada kereta kuda." ucap salah seorang ketika sampai di perbatasan delapan desa dengan dunia luar. Kuda mereka lebih terlatih dan lebih cepat, ini akan menyingkat waktu tiga kali lipat.
"Terserah kalian um?"
"Nama kami Siji dan Loro."
"Baiklah tuan Siji dan tuan Loro. Silakan lakukan seperti itu."
•••BERSAMBUNG•••
© Al-Fa4 | 11 Juli 2021
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
senja
tumbas siji, eh loro, wkwk
kirain Candra denger pas dibilang Ida itu istrinya, wkwk
mmg gak masalah nikah sm usia10thn?
2022-02-14
0
Darih Sinohan
aku keluarganya wkwk
2021-08-06
1
Gerlies Nwng
kenapa dejavu?
2021-08-06
3