Rambut acak-acakan dan wajah kusut berminyak menghias siang Idaline, enggan ia beranjak dari ranjang yang dipannya terbuat dari kayu jati. Ia dan Bayu berpisah saat hari menjelang pagi. Para dayang dan pelayan kediaman Ekadanta tidak ada yang berani membangunkan, menjadikannya semakin enggan untuk bangun.
"Air mandi sudah siap, Yang Mulia." kata dayang bersimpuh di depan kamar.
Idaline melirik pintu dengan malas. "Aku mandi sendiri saja. Kalian siapkan yang lain," perintah gadis yang sedang menguncir rambut tidak ingin ditemani. "Memikirkannya sudah bergidik," terbayang banyak tangan menyentuh tubuhnya.
"Baik, Yang Mulia."
Air yang diambil langsung dari sumbernya menyegarkan tubuh Idaline. Aroma lulur dan taburan kelopak bunga pun memanjakan dirinya laksana di tengah taman bunga, menenangkan jiwanya. Kini ia duduk menatap cermin buram selesai dirias para dayang. Jari telunjuk ia ketuk-ketukkan ke meja, kebiasaannya ketika berpikir keras.
"Siapa? Siapa? Siapa?" rancau Idaline kembali penat kepalanya. Dalam buku di perpustakaan pribadi ratu, Ekadanta hanya memiliki 3 putra. Yang satu sedang menimba ilmu di luar dan satu lainnya disembunyikan, Bayu terkenal sebagai penyihir terkuat setelah ayahnya.
Ia tidak bisa meminta tolong pada Aji karena jadwalnya terlalu padat. Bahkan lelaki paruh baya itu pergi ke rumah peket, rumah dinas para mentri, setelah mengantar keluarganya pulang ke rumah besar Ekadanta.
Mereka tidak pindah karena istri dan para selir juga gundik sepakat tidak akan pindah kecuali semuanya pindah. Ruangan di rumah peket tidak cukup bila ditambah anak-anak mereka.
Kaki kecil Idaline membawanya ke bawah pohon yang rindang. "Nyamannya," gumam bibir mungilnya meluruskan kaki menikmati angin yang menerpa. "Siapa namamu?" ia risih pada dayang yang terus mengikutinya sejak keluar dari kamar.
"Saya Jo, Yang Mulia." jawab dayang terus menundukkan kepala.
Suara langkah yang gaduh terdengar dari belakang Jo, Idaline menengokkan kepalanya tampak orang-orang berlarian ke sana dan kemari penuh kebingungan. "Ada apa?" tanyanya.
"Kucing hitam masuk ke kediaman, Yang Mulia." jawab salah satu pelayan di dekat mereka.
Pada zaman kuno seperti tempatnya menjejakkan kaki, kucing hitam dianggap pembawa sial adalah hal lumrah. Suara gemerisik dari balik semak membuat Idaline memutar badan, ia melihat siluet kucing berlari keluar. "Coba kalian lihat di dapur," cetus Idaline masih mengintai si hitam.
"Benar. Kucing biasanya mencuri makanan." setuju para dayang dan pelayan. "Kami mohon pamit Yang Mulia."
Idaline mengangguk singkat. Orang-orang menghilang dalam sekejap.
"Yang Mulia!" panggil Jo ketika Idaline berjalan tergesa ke arah yang lain.
"Kamu ambilkan aku camilan, bawa ke kamar."
Jo terdiam sebentar. "Baik, Yang Mulia." ucapnya sedikit ragu berpikir Idaline belum mengetahui arah di rumah Ekadanta, tetapi ia langsung menyingkirkan pikirannya dan pergi menyusul rekan-rekannya.
Idaline berlari kencang, kucing itu melompat masuk ke dalam bangunan yang terlihat seperti gudang. Di sekelilingnya penuh tumpukan kayu dan karung-karung berisi arang. Telapak tangan Idaline bertumpu pada jendela yang terbuka kemudian mengangkat tubuhnya.
"Berani-beraninya kamu membawa sial ke rumah ini!" seorang anak lelaki dengan kilatbahu berukir bunga kelor mencekik kucing hitam yang dicari orang-orang.
Idaline yang masih bertumpu pada tangannya terbelalak, tubuh kucing itu retak kemudian berubah menjadi butiran pasir. Tanpa sadar ia melepaskan tangannya, kakinya mendarat di tanah kemudian pandangan menggelap, ia merasakan telapak tangan menempel di wajahnya.
"Maaf," gumam bocah yang memegang wajah Idaline. Matanya penuh dengan ketakutan.
"Sedang apa kau?" tanya Idaline kesal wajahnya tak kunjung dilepaskan. Ia memegang tangan itu lalu ia jauhkan dari wajahnya.
"Ba-bagimanaa?" anak itu menatap tangannya ragu.
"Kamu..Candra Ekadanta?"
Bukan jawaban yang didapatkannya, Candra justru membanting jendela tepat di depan hidungnya.
"Bagaimana bisa?" gumam Candra masih terdengar Idaline.
Sepasang tangan kecil membuka pintu lebar-lebar lalu melangkah masuk menuju Candra yang duduk masih kebingungan.
Putra bungsu Ekadanta itu terbangun waspada. "Kamu bahkan tidak punya energi sedikitpun, tapi kenapa bisa selamat?" tanyanya menelisik.
"Akan aku beritahukan kalau kamu mau makan bersamaku setiap pagi, siang, dan malam," Idaline paham alasan Candra disembunyikan melihat kematian kucing hitam tadi. Kesempatannya muncul. "Bisa saja anak lelaki ini mempunyai kekuatan yang dahsyat," Idaline tidak melebih-lebihkan karena Candra adalah anak dari istri sah yang mendapat berkat kekuatan Ekadanta.
Meski putra dari selir dapat mewarisi kekuatan Ekadanta secara utuh, tetap saja yang sempurna mewarisi lebih besar peluangnya terlahir dari yang mendapat berkat.
"Hah?" Candra tercengang. Baru kali ini ada orang yang amat berani mendekat padanya. Bahkan sang ibunda harus menahan diri selama ia belum sembuh.
"Yang Mulia!" panggil Jo penuh khawatir. Dia diberitahu rekannya kalau tamu kemuliaan yang dilayaninya pergi ke tempat terlarang. Harapnya si rekan hanya salah lihat.
"Jo, di sini!" sahut Idaline memberikan sarung tangan Candra yang tergeletak di tanah.
"Yang Mulia, mo-mohon keluar dari tempat ini," Jo gemetar hebat ketika masuk ke dalam ruang tamu.
"Bawa makanannya kemari, Jo," perintah Idaline menarik tangannya yang tak kunjung diterima.
"Tapi Yang Mulia.."
"Bawa kemari, Jo," Idaline menatap lurus Jo membuat wanita itu tersentak, biasanya Raden Ajeng baru itu selalu tersenyum pada siapapun.
"Baik, Yang Mulia," Jo pergi dengan tergesa.
"Apa kamu belum mendengar dari para pelayan?"
"Aku ingin mengetahuinya langsung dari yang bersangkutan," kilah Idaline. Pelayan kediaman Ekadanta sangat royal tidak membeberkan sedikit pun. Bahkan menunjukkan seolah tidak pernah ada putra yang lain. Mereka jadi tak perlu berbohong.
"Kamu akan menyesal," Candra tersentak saat tangannya dipegang Idaline. Gadis itu meletakkan sarung tangannya.
Idaline tersenyum hingga matanya menyipit. "Sudah, ayo duduk," ajaknya menuntun Candra kembali duduk.
Candra menatap Idaline yang duduk dengan nyaman, ia menghela napas kemudian memakai sarung tangannya.
"Kamu keluar saja, Jo," Idaline tidak ingin membuat dayangnya pingsan. Suara nafas Jo tersendat-sendat akibat kecemasan berlebih.
"Ti-tidak apa, Yang Mulia,"
"Ada yang ingin kubicarakan dengan tuan Ekadanta,"
Jo menunduk kemudian pergi sambil menutup pintu.
"Ingin bicarakan apa?" todong Candra.
"Tidak ada," Idaline mengendikkan bahunya. "Makan saja dengan tenang,"
Candra tersenyum simpul mengetahui Idaline memikirkan dirinya, sudah sangat lama sejak ia terakhir kali menerima tamu di kediamannya.
Idaline menatap ruangan yang sangat bersih perabotnya, ia pikir bangunan itu benar-benar gudang karena penuh tumpukan kayu dan karung di sisi kanan dan kirinya.
"Nona dari mana?" tanya Bayu yang sedang berlatih panah sepulang dari pekerjaan yang diberikan ayahnya.
"Bertemu adik Anda,"
Anak panah yang belum pas posisinya melesat dari tangan Bayu, menancap di pohon yang lain, ia berbalik memegang bahu Idaline. "Nona tidak kenapa kenapa kan?" raut wajahnya penuh dengan kecemasan.
"Tidak," pendek Idaline.
"****, panggil tabib! Tidak, panggil tuan Wiro,"
"Baik, tuan,"
Idaline mengingat obrolannya dengan Jo, Wiro adalah salah satu dari sedikit penyihir yang menguasai sihir penyembuhan secara mendalam. "Saya sudah bilang tidak ada masalah," ujarnya.
"Maaf saya tidak sadar," Bayu melepaskan tangannya dari bahu Idaline merasa gadis itu tidak nyaman.
"Saya baik-baik saja, jangan repotkan orang yang sibuk," Idaline sangat tidak enak, kereta yang menjemput Wiro adalah kereta khusus yang sangat cepat. Biasanya digunakan hanya dalam keadaan darurat.
"Tidak, nona. Anda harus diperiksa,"
"Baiklah," Idaline tidak bisa menyia-nyiakan waktu orang yang sudah datang. "Sungguh sangat cepat," pujinya melihat kereta sudah kembali.
Sedangkan Wiro sedikit cemas, istrinya ia tinggalkan di toko dekat kediaman Ekadanta. Cemas ia pulang akan mendapatkan bogem mentah. Padahal dirinya berjanji, di hari libur akan membawa istrinya jalan-jalan dan belanja.
Idaline merasa rumah obat yang terletak di sebelah rumah Candra suasanya sedikit suram. Perasaannya tidak enak karena perjalanan dari istana dengan kecepatan seperti itu pasti membuat mual.
"Apa dia menahan lukanya?" gumam Candra memperhatikan wajah pucat Idaline masuk ke dalam rumah obat.
"Lebih baik kamu jangan membuat masalah," Bayu menyenderkan punggungnya di tembok sebelah jendela Candra yang sedang menatap keluar.
"Kamu punya banyak urusan, kak. Lebih baik tidak usah memikirkan aku,"
Idaline meletakkan tangan di atas meja, Wiro memeriksa denyut nadinya dengan tenang kemudian menempelkan jari manis dan telunjuk ke dahi Idaline.
"Yang Mulia tidak memiliki keluhan apapun kecuali hanya kurang tidur dalam beberapa waktu,"
"Anda langsung mengetahuinya?" takjub Idaline.
"Sudah menjadi tugas saya," jawab Wiro menuliskan resep.
"Terima kasih," Idaline menerima resep. Tidak seperti dokter modern, tulisannya sangat jelas. Tapi ia tidak mengerti satupun maksudnya. "Aku harus belajar lebih giat," tekadnya penuh semangat.
"Kalau begitu saya izin pamit," ucap Wiro bersimpuh di depan Idaline.
Idaline berdehem membenarkan ekspresi wajahnya. Ia letakkan resep di meja dan menumpuk kedua tangannya di tengah lutut. "Jo, antarkan tuan Wiro ke pintu keluar,"
"Baik, Yang Mulia,"
••••••••••••••••••••
"Kamu seharusnya tidak usah kemari kalau sudah makan," makanan di sisi Candra penuh sesak sedangkan hanya semangkuk sup di sisi meja Idaline.
"Aku belum makan kok, tapi camilan sore bersama ibu dan selir-selir ayahmu benar-benar tidak bisa dihindari,"
"Maafkan aku," gumam Candra hampir tidak terdengar.
"Hm?" Idaline melihat Candra diam menunduk hingga wajahnya tidak terlihat.
"Maaf..maaf..ma...afkan aku," Candra mendongak berderai air mata.
"Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Aku tidak sakit," Idaline tersenyum canggung.
"Maaf, maaf, maaf," ulang Candra. Matanya seolah menatap orang dari kejauhan.
Idaline duduk di sebelah Candra, mengusap punggungnya lalu memeluknya. Ia teringat ucapan para pelayan yang berkata Candra membunuh ibu asuhnya ketika kutukan terjadi pertama kali. Para pelayan menjadi heboh begitu mengetahui Idaline kembali dari rumah Candra, semua orang berusaha menjauhkannya dari tempat itu.
Punggung Candra tidak lagi bergetar, ia tertidur setelah membasahi selendang Idaline yang senada dengan kembennya. Ia tidak bisa terus memakai kebaya yang merupakan pakaian terbaru.
"Yang Mulia, biar saya baringkan tuan," ucap dayang yang membawa makanan kembali ke dapur.
"Tidak. Kamu bawa semua ini ke kediaman para dayang dan berikan untuk mereka,"
"Ini.."
"Bilang saja aku yang memberi perintah. Ingat untuk dibagikan dengan rata,"
"Baik, Yang Mulia."
"Jo, bawa satu setel pakaianku kemari,"
"Baik, Yang Mulia,"
"Terima kasih Yang Mulia mau datang berteman dengan tuan Candra bahkan tidak bertanya apa-apa meski sikap tuan membingungkan," ucap dayang yang tinggal setelah dua lainnya keluar.
"Kamu?"
"Perkenalkan hamba Ijen, anak pengasuh tuan Candra, bibi Ijah,"
"Oh kamu satu-satunya dayang di kediaman ini yang berani berurusan langsung dengan Candra ya?"
"Benar, Yang Mulia,"
"Kamu luar biasa sekali,"
"Terima kasih, Yang Mulia. Ini sudah menjadi tugas hamba,"
"Baiklah. Bantu aku bawa Candra ke ranjang,"
"Baik, Yang Mulia," Ijen yang seumuran dengan dirinya di dunia modern menggendong Candra seorang diri. Idaline merenggang badannya yang terasa pegal. "Hamba akan mempersiapkan ranjang yang lain,"
"Tidak usah. Tidak usah. Kamu beristirahat saja. Sofa ini sudah cukup,"
Ijen menatap ragu sofa yang hanya seukuran badan Idaline. "Hamba bawakan selimut dan bantal," ucapnya sambil melarikan diri.
"Ah tidak usah," tangan Idaline mengambang di atas udara. "Bantal kalian sangat keras loh," keluhnya. Ia melihat buku-buku di ruang lain dan memutuskan membaca beberapa yang berhubungan dengan sihir.
••••••••••••••••••••
Idaline mengerjap-ngerjapkan matanya terbangun. Entah sudah berapa naskah ia baca dan sama sekali tidak mengerti isinya. Di kursi seberangnya tampak Candra sudah rapih dengan tangannya yang bersarung memegang gelas teh, menyeruput penuh nikmat.
"Anda sudah bangun?"
"Berbicaralah senyamannya saja,"
"Apa boleh kupanggil Kakak?"
"Boleh,"
"Yang Mulia, tuan Candra lebih tua dari Anda," bisik Ijen sambil menaruh teh.
"Tidak. Lihatlah aku jauh lebih tinggi," bangga Idaline pada pertumbuhannya yang cepat. Wanita selalu lebih cepat tumbuh pada usia anak-anak.
"Yang Mulia, air mandi sudah siap," ucap Jo dari luar memotong percakapan mereka.
"Baiklah, Jo." Idaline menggulung kembali kertas yang masih terbuka dan menaruh pada tempatnya kemudian pergi menuju Jo.
"Jadi, apa yang dia cari?"
"Sejauh yang saya pantau, beliau hanya mencari hal-hal tentang sihir tapi tidak benar-benar dapat membacanya,"
"Kamu yakin?"
"Iya, tuan. Mungkin Anda dapat menanyakan langsung apalagi beliau tidak terpengaruh oleh kutukan Anda. Bisa saja beliau adalah tabib yang dibawakan tuan sebagai hadiah dari Yang Mulia Ratu,"
"Kamu benar. Dia berkata dengan yakin tau sebab kekebalan dirinya terhadap kutukan ini,"
"Apakah saya perlu memakai sihir pembaca hati?"
Candra mengingat dengan jelas usapan lembut saat dirinya baru telelap, ia memejamkan mata lalu menarik napas. "Tidak perlu. Aku akan menanganinya sendiri, lalu bagaimana dengan kakanda Ekata?"
"Saya berhasil bertemu dengan beliau. Tuan Ekata sudah menjadi murid petapa Agung dan belum diketahui kapan akan kembali,"
"Apakah kakanda akhirnya memilih jalan yang lain?" Candra menatap pepohonan yang bergoyang karena ditiup angin. "Bagaimana dengan kak Bayu?"
"Masih seperti biasanya. Tidak mau mempelajari sihir inti dan rahasia keluarga,"
•••BERSAMBUNG•••
© Al-Fa4 | 11 Juni 2021
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
MOM Jeska
smakin seruu
2022-05-22
1
Ada
telelap
2021-08-11
1
Ada
merenggang badan
2021-08-11
1