"Kami berharap persiapan dari desa-desa kami tidak mengecewakan Anda sekalian," kata kepala desa Gulat berdiri di antara kepala desa Gulet dan Gelut. Mereka sedikit menunduk pada tamu yang datang.
"Salah kami baru memberitahu di tengah perjalanan," sesal pria yang memakai udeng, ikat kepala berwarna hitam dengan corak cokelat muda. Ia dan kedua orang yang bersamanya balas menundukkan kepala.
"Haha tuan bisa saja. Mari..mari.."
Mereka serempak menuju rumah kepala desa Gulat yang paling luas halamannya dan dihias berbagai macam karangan bunga, aromanya tercium dari jauh untuk menyambut kedatangan tamu. Sesekali para kepala desa memperkenalkan prajurit mereka yang berlalu lalang di jalan.
"Silahkan nikmati jamuannya," sambut kepala desa Gulat mengangkat gelas.
"Perkenalkan saya Gugu, saya kepala desa Gelut." ucap Gugu setelah menyesap minumannya.
"Saya Parno, kepala desa Gulat."
"Saya Wagimo, kepala desa Gulet. Senang bertemu dengan Anda sekalian,"
"Saya Ponimin merupakan murid utama dari Pendopo Srengenge, ini dua adik seperguruan saya, Poniman dan Ponijan. Kami tertarik dengan pertandingan yang kalian lakukan," ujar pria yang memiliki tubuh paling tinggi di sana.
"Sayang sekali pertandingannya telah usai sehari sebelum Anda mengirim pesan,"
"Maksud kedatangan kami adalah ingin mengangkat murid pemenang pertandingan tersebut," koreksi Ponimin.
"Ini.." Gugu menatap dua rivalnya yang kini menjadi kawan sejati, bahu membahu membangun bagian-bagian desa yang hancur. Meski wajah Gugu datar, jauh di lubuk hatinya bermekaran bunga kebahagiaan. Begitu pula Parno dan Wagimo, inilah kesempatan yang mereka tunggu!
"..kesempatan yang sangat bagus," sambung Parno.
"Parimin, Buto, dan Mocon beruntung sekali." bisik pemuda yang menguping mereka.
"Bukan hanya bagus tetapi sungguh langka." tambah pemuda di sebelahnya.
"Tentu saja kami akan langsung menyetujuinya," ucap Wagimo mengangguk yakin.
"Jadi di mana peringkat pertamanya?"
"Dia sedang berada di luar. Kami akan panggilkan peringkat dua dan tiga,"
"Tidak. Kami hanya akan mengambil peringkat pertama,"
"Ketiga peringkat kami tidak selisih jauh kekuatannya. Bagaimana kalau Anda mengambil mereka semua?" tawar kepala desa Gelut sedikit memohon dalam nadanya.
"Kami hanya butuh satu orang," tegas Ponimin.
"Kalau begitu mohon maaf," tetua desa Gelut melangkahkan kaki masuk ke halaman. Ketiga kepala desa itu berdiri dan membungkukkan badan memberi hormat.
"Para tetua bukannya sedang berlibur untuk mengakrabkan diri?" bisik penonton yang bersembunyi di dalam rumah kepala desa Gulat.
"Kenapa tetua desa Gelut muncul?"
"Saya tahu akan begini. Maka akan sulit memberikan anak kami, kecuali Anda mau menerima tiga orang," kekeh tetua desa Gelut berdiri di hadapan mereka.
"Tetua, kita bertarung secara adil. Tidak masalah jika mengirim Parimin ke pendopo," ujar kepala desa Gulat. Ia merasa tak perlu memprovokasi orang yang akan jadi panjang tangan mereka. "Jika Parimin keluar dengan gemilang. Bukan hanya tiga orang, sepuluh pun mungkin mereka penuhi." yakinnya.
"Aku punya penawaran yang bagus," tetua desa Gelut duduk di tempat yang disediakan putranya, ia menegakkan tubuh menghadap tiga anak muda yang coba mengintimidasi dirinya dengan aura yang kuat. "Kalian ingin mendengarnya?"
"Silakan," ujar Ponimin menarik kekuatannya. "Trik macam apa yang ingin kalian lakukan?" curiganya dalam hati.
"Kami memiliki orang menarik di desa kami yang mungkin akan sulit kamu minta bantuannya. Jika dia menerima masuk ke pendopomu, apa kamu mau menerima tiga anak kami?"
"Anda berbicara seperti ingin memberikan bangsawan saja," oceh Poniman tersenyum miring.
"Dia adalah tuan muda Ekadanta."
"Apa?! Tuan muda Ekadanta? Keluarga sihir yang terkenal di Kerajaan Maja itu?" ucap Ponijan menutup mulutnya pura-pura terkejut. Sejak awal tidak ada yang dia percaya. Dia menganggap orang-orang di depannya terlalu serakah. Sudah diberi satu kesempatan, malah kurang dan minta tambah. Ponijan jadi ingin mengusulkan untuk mencari desa lain.
"Tetua sepertinya menikmati hari dengan menulis dongeng. Bahkan raja dari kerajaan kecil sulit menemui para bangsawan tingkat tinggi seperti keluarga Ekadanta. Cerita yang dibuat tetua sepertinya menarik hahaha," Poniman tertawa meremehkan.
"Tetua.. ini sulit. Kita sudah berhutang banyak pada beliau," ragu kepala desa Gulet.
"Dia memiliki motivasi yang besar!" tetua desa Gelut tersenyum yakin. "Jadi, kalau kami dapat membujuknya, kalian mau menerima tiga murid dari kami?"
"Kalau ada orang seperti itu, panggil kemari!" ucap Ponimin memberi kesempatan. "Kalau tidak ada, maka jangan harap lagi!" tambahnya dalam hati.
"Beliau merupakan pahlawan kami yang membantu kedamaian tiga desa kami. Dan bangsawan besar sepertinya, mana berani kami menyuruh-nyuruh beliau." ujar kepala desa Gelut.
Ponimin menelisik guratan ekspresi Gugu yang ketakutan. Ia menarik napas merasa telah jatuh dalam permainan mereka, dirinya ikut merasa gugup. "Yang Anda ucapkan benar. Tapi saya masih belum mempercayainya," ujarnya menenggak saliva membayangkan kemurkaan besar keluarga Ekadanta yang merasa diremehkan.
"Bagaimana kalau melihat beliau di tempat latihan?" tawar kepala desa Gulet.
Ponimin mengangguk setuju. "Memang lebih baik seperti itu," katanya.
"Apa urusan tuan muda Ekadanta di desa kecil seperti ini?" tanya Poniman masih tak terpengaruh.
"Sebenarnya Raden Ajeng datang untuk membantu anak-anak yang diculik di dukuh Lege sayangnya azab Tuhan datang lebih cepat,"
"Kami mendengarnya. Semoga mereka tenang dan mendapatkan yang sepantasnya,"
"Aamiin,"
"Tadinya mereka akan beranjak pergi, tapi melihat kekacauan desa kami, mereka memutuskan tinggal lebih lama untuk membantu delapan desa di sini,"
"Lalu di manakah Raden Ajeng ini?" tanya Poniman bersikukuh memegang opini para kepala desa berbohong pada mereka.
"Apakah sudah pulang?" sambung Ponijan.
"Beliau sedang berada di luar desa," jawab kepala desa Gulat.
Poniman tersenyum miring. "Baik. Raden Ajeng bisa kalian buat-buat. Tapi keluarga Ekadanta? Apa kalian tidak paham ada ciri khusus dalam diri mereka?"
"Bukankah itu Raden Ajeng?" kepala desa Gelut menghalau sinar matahari di dahinya, tangannya yang bebas menunjuk ke arah barat, sebuah kereta berhenti di sana.
Idaline meregangkan tubuhnya yang kaku. Mereka terus berjalan tanpa henti hingga sampai di desa. Muntahan seluruhnya telah ia keluarkan di tengah jalan, Noto mengendarai kereta dengan berguncang-guncang, di akhir perjalanan Idaline tergeletak tak berdaya di paha Ami.
"Selamat datang, kak."
"Oh Candra, kamu tidak latihan?" Idaline tidak tahu sejak kapan Candra berdiri di sebelahnya. Kemampuannya sangat payah, jika dia berada di medan perang, dia yakin dirinya adalah orang yang pertama mati.
"Aku sudah selesai dari tadi. Ini minumlah, kak." Candra memberikan gelas berisi air segar menyejukkan.
"Aduh tuan, padahal Anda baru selesai berlatih. Saya bawa gelas itu untuk Anda." gumam pemuda yang datang di belakang Candra.
"Tolong beritahu kedatangan kami," Idaline tersenyum pada pemuda yang masih mengambil napas.
"Baik, nona." pemuda itu menarik napas lalu berlari kencang menuju tempat pertemuan.
"Kita harus bergegas sebelum yang lain lihat," ucap Idaline sedikit berbisik pada dua orang yang sibuk menurunkan barang.
"Kami sudah menurunkan seluruh barang," Ami bersimpuh merekatkan kedua tangannya di atas kepala.
"Ada apa, kak?"
Idaline menggerakkan telunjuknya. Candra menengok arah jari Idaline ke kereta kuda, di sana ada buntalan putih terlelap. Ketakjuban Candra pun semakin bertambah.
"Kakak memang luar biasa. Bisa mendapatkan ini," pujinya.
"Hanya titipan," Idaline mengangkat anak harimau yang masih dalam bedongan lalu menggendongnya. "Noto, pastikan hanya kepala desa yang datang ke tempat tinggal kami. Ami cobalah cari ramuan terbaik."
"Kami siap melaksanakan,"
"Kepala desa! Rombongan Raden Ajeng telah tiba,"
Mereka saling bertatapan lalu berjalan mendekat pada Idaline yang berdiri di sebelah kereta bersama orang-orang dan barang bawaan.
"Syukurlah kalian kembali dengan selamat," sambut kepala desa Gulet.
"Terima kasih atas sambutanmu," Idaline tersenyum kecil.
"Ini adalah..." Poniman menjulurkan tangannya berusaha meraih gendongan jarik yang tertutup rapat.
Idaline terbelalak saat tangan Poniman berusaha meraih gendongannya. Candra mencengkram erat tangan Poniman hingga terdengar KRAK, bunyi tulang patah.
"Berani sekali kau!!" pupil mata Candra memerah. Marah dan kekuatan bersatu dalam indera penglihatannya.
Ponimin dan Ponijan tercengang melihat mata merah Candra yang melotot pada Poniman. Tidak ada lagi keraguan dalam hati mereka.
"Candra, tanganmu!" Idaline khawatir pada sarung tangan Candra yang sedikit tergeser.
"Mohon maafkan kelancangannya, tuan muda Ekadanta. Dia belum mengetahui tentang Raden Ajeng," ujar kepala desa Gulat mengusap tangannya sambil tersenyum kaku. "Kalau ingin bergulat. Bergulatlah di tempat kalian. Jangan menyeret kami yang lemah ini,"
Candra menatap sarung tangannya yang hampir terbuka, ia hempaskan tangan Poniman hingga terjatuh ke tanah. "Bersikaplah yang benar!"
"Aww," Poniman memegang tangannya yang retak.
"Maafkan adik seperguruan saya. Dia sangat menyukai anak-anak jadi tidak dapat mengendalikan diri," Ponimin menempelkan telapak tangannya di atas kepala, ia tundukkan wajahnya melihat rumput yang bergoyang. "Anak harimau putih?" pikirnya menyadari, Poniman memang lebih ahli dalam merasakan aura daripada dirinya.
"Hal yang harus dipelajari sebelum ilmu adalah sikap. Perhatikan sikapmu karena yang kamu emban bukan hanya namamu, tapi juga tempat asalmu dan pendopomu." Idaline menatap sabuk yang dikenakan orang-orang yang baru dilihatnya. "Meski kamu memiliki sabuk coklat, hanya kekalahan yang akan terjadi di dunia luar jika kamu tidak bisa menjaga sikapmu!" Idaline meninggalkan mereka.
"Anda tahu tentang sabuk coklat?"
"Tentu saja. Itu berarti kalian pelatih utama," jawab Idaline kembali melangkahkan kakinya. "Orang modern? Ternyata banyak juga."
"Lu..luar biasa," Poniman terpukau pada jaringan gadis itu. Ia sekarang percaya gadis itu adalah Raden Ajeng Kerajaan Maja.
"Padahal kita baru mempelajari tingkatan jika sudah masuk ke pendopo," komentar Ponijan.
"Tuan Ekadanta, kami ingin mendiskusikan sesuatu dengan Anda," ujar kepala desa Gelut mendekat ke Candra.
"Kalian kepala desa ikutlah aku. Jangan membawa orang luar," sinis Idaline tidak menyukai sikap tiga lelaki yang baru ditemuinya.
"Mohon permisi sebentar, tuan-tuan." pamit kepala desa Gulat.
"Silakan," kata Ponimin.
"Kak, itu adalah harimau putih?" bisik Ponijan memandang kepergian mereka.
"Benar,"
"Kak, tanganku..ish," ringis Poniman ketika menyentuh sedikit kulit pergelangan tangannya.
"Seharusnya kamu jangan impulsif. Jadikan ini pelajaran. Ijan coba obati dia,"
"Baik, kak."
"Tuan-tuan, kami sudah mempersiapkan kamar untuk Anda. Mari ikuti saya,"
"Kita ke kamar dulu lalu lanjutkan pengobatan dengan nyaman,"
"Kak, kalau saja harimau itu kontrak denganmu. Maka kekuatanmu akan bertambah dan bisa menerobos level selanjutnya dengan cepat," ucap Poniman sesampainya di kamar.
"Hewan kontrak bisa kita cari lain kali. Kalau anak itu benar Raden Ajeng, maka reputasi pendopo kita akan melejit tinggi. Dan keberadaan tuan muda Ekadanta juga sangat mempengaruhi."
"Bagaimana membuktikannya?"
"Seharusnya Raden Ajeng memiliki lencana,"
Mereka sudah tidak memiliki keraguan pada Candra tetapi masih meragukan Idaline, keluarga kerajaan untuk apa peduli pada orang-orang yang bukan warganya? Bahkan turun tangan sendiri??
••••••••••••••••••••
"Mohon maafkan tamu-tamu kami," ucap kepala desa Gulet bergitu merasa suasananya sudah tidak tegang.
"Tidak perlu membahasnya lagi," Idaline menaruh anak harimau di ayunan anak yang disiapkan Dien. "Apa dia pikir aku bawa anak?" pikirnya. Ia tersenyum hangat melihat raut nyaman harimau yang terlelap.
"Mohon maaf Yang Mulia. Kalau boleh tau di manakah Parimin dan Cokro? Saya tidak melihat mereka," tanya kepala desa Gelut.
"Mereka sedang melakukan sesuatu. Aku ingin minta tolong sesuatu,"
"Jangan sungkan, Yang Mulia."
"Aku berharap tidak akan ada tamu dari luar selama tiga hari ini," pinta Idaline membuat ketiga orang itu mengerutkan dahi. Mereka berpikir apa perlu mengusir tamunya?
"Yang sudah datang biarlah. Tapi saya ingin tidak ada yang datang dari luar selain warga desa sini selama tiga hari saja," kata Idaline melihat pertanyaan terlukis jelas di wajah mereka.
"Tentu saja akan kami lakukan," setuju kepala desa Gulet melihat isi ayunan.
"Tapi..kami juga ingin meminta tolong pada tuan muda," kepala desa Gulat melirik Candra yang berdiri di belakang Idaline.
"Apa itu?" tanya Idaline mewakilkan Candra yang hanya diam menatap mereka.
"Mereka adalah perwakilan Pendopo Srengenge yang melatih berbagai macam jenis bela diri termasuk sihir dan kanuragan. Mungkin tidak semaju di Kerajaan Maja, tetapi di sana memiliki banyak varian bela diri untuk tuan muda yang sedang bersemangat belajar. Kami ingin menawarkan tuan muda dan Raden Ajeng untuk menjadi murid di Pendopo Srengenge,"
"Aku tidak bisa. Tapi mungkin Candra bisa, bagaimana?"
"Aku ingin bersama kakak," Candra memikirkannya, meski pondasi tubuh tiga orang itu kuat dan ia tidak mengetahui jenis senjata yang mereka pakai, tetap saja tidak sekuat prajurit istana di Kerajaan Maja. Dengan kata lain, pendopo di kerajaannya jauh lebih baik.
Tapi ia penasaran penggunaan senjata yang mereka pakai karena otot mereka terlihat elastis, tangannya kecil seperti tidak memegang senjata padahal mereka tidak menggunakan sihir.
Ekadanta merupakan penyihir darah murni yang tahu besarnya kekuatan lawan lewat pupil merah mereka, entah sihir maupun kanuragan.
"Kamu tidak akan berkembang jika terus terikat atau jika terus di kota yang sama. Ini tidak akan merugikanmu, tapi pikirkanlah sesuai kata hatimu." Idaline juga mengingat postur ketiga orang tersebut. Jauh berbeda dari petarung yang ada di Kerajaan Maja. "Mungkin kamu akan menemukan sesuatu yang menarik," gumamnya.
Candra yang sedang berpikir serius menatap Idaline yang sedang menatapnya. Seperti ucapan Idaline, Candra berpikir mungkin tidak akan jadi masalah jika menghabiskan waktu beberapa bulan di tempat itu. "Aku lihat dulu," ucapnya mempertimbangkan.
"Baik, tuan. Mari kita bertemu perwakilan mereka saat perjamuan makan siang nanti,"
"Ya,"
"Kalau begitu kami pamit undur diri," para kepala desa menghilang dalam sekejap.
"Bagaimana keadaan kakak?" tanya Candra membantu Idaline menata tas.
"Syukurlah aku selamat. Harimau itu, bagaimana menurutmu?" Idaline duduk di kursi panjang. Ia tarik tangan Candra hingga terduduk di kursi. "Risih liat orang berdiri, kitanya duduk."
"Karena luka bekas tombaknya telah ditutup, racunnya jadi menggumpal di paha. Lebih baik menyayatnya agar darah yang tercampur racun mengalir keluar lalu kita tutup dengan daun binahong,"
"Tingkat kesuksesannya?"
"Aku yakin dengan kemampuanku,"
"Bagus. Lakukanlah,"
"Aku akan mencari daun binahong,"
"Tidak perlu. Kami membawa berbagai macam tanaman obat," kata Idaline membuka salah satu tas.
"Ternyata kakak mengetahui berbagai macam jenis tanaman obat. Bahkan ada yang sulit ditemukan,"
"Aku tidak tahu banyak obat selain yang sudah diekstrak. Semuanya karena pengetahuan Ami dan yang lain. Sebenarnya mereka membuat racun sih,"
"Padahal bahan-bahan ini juga bisa membuat berbagai jenis obat,"
"Yah aku tidak tahu. Lakukan dengan benar,"
"Tidak perlu khawatir, kak!" ucap Candra bersemangat. "Kelemahan kakak adalah di bidang medis," pikirnya mengukir ingatan.
Idaline membantu menyiapkan peralatan dan membalut kaki harimau setelah Candra berhasil mengeluarkan racunnya.
"Semuanya sudah keluar tinggal yang menempel di organ tubuhnya," Candra membersihkan darah di sarung tangannya.
"Mata biru yang indah!" puji Idaline melihat anak harimau membuka mata.
Harimau itu terkejut mendengar suara manusia, ia bangkit, loncat dari meja dan bersembunyi di pojok kamar sambil menggeram.
Secepat kilat Candra mengepalkan tangannya, ketika ia buka muncul cahaya putih yang terang dan bulat. "Aku akan membuatnya tidur,"
"Jangan," Idaline mengangkat tangannya "Tenanglah, sayang. Ayo sini, jangan di pojok, kotor. Ayo sini,"
"Kakak!" Candra menarik tangan Idaline yang menjulur ke arah harimau, tangan Idaline terluka lebar akibat cakaran. "Kita tidurkan saja,"
"Jangan. Dia sudah tidur dua hari, tidak bagus tidur terus." Idaline melepaskan tangan Candra yang memegang tangannya. "Sini, sayang." Idaline mengelus kepala anak harimau yang terdiam setelah mencakarnya. "Apa kamu tidak mau daging? Aku lapar, ayo makan bareng." Idaline menunjuk meja makan yang berada di sebelah.
Anak harimau yang sudah tenang mengendus dengan hidungnya merasakan aroma daging seperti yang disebutkan Idaline. Seketika rasa lapar menghantui. Ia mundur semakin ke pojok takut-takut dipukul setelah mencakar tangan manusia.
Idaline berjongkok, ia menengok sela-sela lemari mencari posisi anak harimau. Ia julurkan tangan kemudian mencapit punggung anak harimau dengan tangannya. Ia peluk harimau berbulu putih itu lalu ia bersihkan debu yang menempel.
"Huhu lihatlah kotornya kamu di pojokan situ,"
Anak harimau itu terbelalak ketika diangkat, namun kemudian menempelkan telapak tangannya ke tubuh Idaline merasa enak dielus-elus dan dibersihkan dari debu. Mata birunya menatap Idaline saat diturunkan di kursi.
"Duduk dengan patuh ya. Ini dagingmu," Idaline menggeser ayam panggang utuh ke depan anak harimau. "Sini makan, Can."
"Can?"
"Candra tidak suka dipanggil begitu?"
"Bu..bukan begitu. Ini pertama kali ada yang memanggilku dengan akrab, kak."
"Baiklah, mulai sekarang akan kupanggil Cacan."
"Cacan?" Candra merasa panggilan itu terlalu imut tapi ia menyukainya.
"Nah, Cacan. Mari sini makan~"
"Aku sudah makan,"
"Ya sudah sini duduk, ngapain berdiri terus. Makan camilan untuk isi energi,"
"Kak, bulu harimau akan terbang jika dia makan di atas meja."
Anak harimau yang sedang lahap terhenti mendengar ucapan Candra. Ia menatap bergantian dua manusia yang juga menatapnya.
"Tidak apa-apa. Bulunya sangat kuat. Sepertinya itu bagian dari kekuatan mereka,"
"Baiklah jika kakak berkata seperti itu,"
"Sini makan," tawar Idaline sekali lagi. Makanan yang disediakan terlalu banyak, perutnya lapar tapi tidak bisa menanggung sebanyak biasanya karena masih merasa mual.
"Ngga, kak. Terlalu banyak makan akan membuat malas," tolak Candra tahu makanan di atas meja seluruhnya kesukaan Idaline. "Kakak sudah tiga hari di luar, pasti tidak makan dengan benar." ucapnya dalam hati.
"Ya sudah aku mau istirahat dulu sebelum siang nanti,"
"Aku jaga hewan ini. Selamat istirahat," Candra pergi menutup pintu. Harimau kecil ingin menangis belum menyelesaikan makannya.
"Ah harimaunya," Idaline melongo di kursi tidak dapat menahan Candra yang menghilang di balik pintu, ia berbalik masuk ke kamar lalu beranjak ke kasur. "Biarin deh," lirihnya memandang lelah langit-langit rumah.
•••BERSAMBUNG•••
© Al-Fa4 | 09 Juli 2021
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
dong ma
pupil or iris mata?
2021-08-07
1
Amarina Wijaya
parno wkwk
2021-08-01
8
durinas atmaja
baru pendopo gmn klo tau isaline dan candra dr kerajan
2021-07-20
2