Idaline tersenyum lebar melihat barang-barang yang dikirimkan Tok, semuanya persis seperti gambarnya. Lebih tepatnya gambar kekasih Kerto. Perempuan itu sangat baik, hanya terlalu mencintai pasangannya makanya terlihat licik dan sulit didekati.
Idaline merasa puas mencoba semprotan, botol pump, dan beberapa barang yang tidak bisa ia pisahkan dari hidupnya. Idaline beralih memandangi Garong yang masih berjibaku dengan kertas-kertas yang berserakan di atas meja.
"Nona ingin berkeliling kebun?" tawar Garong merasa nonanya ingin sesuatu.
"Paman selesaikan saja dulu." Idaline memakan putu mayang yang disajikan Sri.
"Nona pasti bosan makan sayuran terus.” Sri memberikan kue-kue lain kesukaan nonanya.
"Memang bibi yang paling mengerti." Idaline yang dulu dan dirinya sekarang memiliki selara makan yang mirip. Tidak bisa dikatakan sama karena ia lebih gila dalam hal gula. "Cimol setan pun harus kuberi gula." Ingatan wajah tercengang teman-teman sekolahnya terekam jelas. Idaline menutup mulutnya tertawa kecil.
"Silakan tuan." Sri meletakkan gelas di atas meja panjang di dekat jajanan Idaline.
"Terima kasih," singkat Garong fokus pada kertas-kertas yang semakin menumpuk.
Sri membuka mulutnya namun sejurus kemudian membatalkan niatnya yang ingin mengajak Idaline keluar. "Nona adalah penerus," gumam Sri melangkahkan kaki menjauh dari ruangan kerja tuannya.
"Paman kenapa terlihat pusing sekali?" Idaline sedikit kesal pria itu bolak-balik di hadapannya membawa gunungan kertas dari dalam lemari dekat tempatnya duduk. Tidak sekali Garong menendang kotak barang-barangnya dan meminta maaf, Idaline takut jempol kaki pria itu timbul benjolan. Kotak barang-barang Idaline tidak bisa dibawa pulang karena Garong bersikukuh harus diperiksa terlebih dahulu.
"Pesta pangan sudah dekat, nona."
Idaline mengelap tangannya kemudian mendekat ke meja kerja. "Paman kenapa tidak memisahkan antara tukang kebun dan petani? Orang-orang yang membawa hasil panen ke kota pun ditulis pada kertas yang lain. Lalu dikumpulkan jadi satu untuk bukti pembayaran orang-orang dan satu buku untuk keperluan kebun dan sawah."
Garong memperhatikan Idaline yang memberi contoh.
"Lebih baik kita menuliskannya seperti ini. Kotak pertama untuk tanggal, kedua keterangan, ketiga pemasukan, dan keempat adalah pengeluaran, terakhir untuk tanda orang yang menuliskannya supaya jelas. Ini namanya tabel."
Idaline terdiam, ia terlalu geram melihat data-data tak beraturan hingga melakukan hal yang tidak seharusnya. Namun sudah kepalang basah, sekalian saja ia menjelaskan pada Garong agar lelaki itu mudah menuliskan data-data.
"Memang nona cerdas seperti biasanya," puji Garong mencoba menulis satu baris pengeluaran. "Apakah begini?"
"Benar," ucap Idaline tersadar dari lamunannya. "Kita juga harus beri langsung para pekerja jangan diwakili satu orang saja."
"Tetapi nona, orang-orang tersebut sudah dipilih tuan untuk membagi uang sesuai beban kerja masing-masing orang di lapangan." Meski tidak ada pesan yang melarang perubahan, Garong tahu orang-orang terpilih sudah diuji sifatnya meski yang diuji tidak sadar.
"Maka tidak perlu banyak kelompok seperti ini. Hanya perlu satu orang memperhatikan di kebun dan satu di sawah. Jika berkelompok, orang-orang akan patuh pada mereka dan besar kemungkinan yang terpilih justru tidak bekerja."
"Ucapan nona benar, tapi apa tidak akan jadi masalah jika dua orang ini tidak bekerja dan hanya memperhatikan?"
"Bukankah memperhatikan orang-orang bekerja adalah juga bekerja? Matanya harus seluas itu. Di sisi lain dia akan mempersiapkan makanan dan minuman supaya pekerja kita giat bekerja."
"Yang mengawasi ini akan memesan makanan dan minuman setiap harinya sambil memperhatikan pekerja?"
Idaline mengangguk tanpa ragu. "Pagi dan siang hari. Menu makannya harus sehat," jelasnya.
"Ini.. akan memberatkan biaya," ragu Garong.
"Setiap panen Ayahanda selalu memberi bonus apalagi di pesta pangan seperti ini. Selanjutnya pakai menggunakan dana berlebih dari pesta pangan untuk makanan dan bonus akan diberikan setelah hasil panen habis terjual." Idaline mendapat banyak cerita singkat dari Sri yang menyuapkan makanan padanya di toko obat.
"Baik, nona."
"Aku berkeliling dulu ya paman." Idaline melambaikan tangannya.
"Roro antarlah nona."
Gadis berkulit sawo matang yang digelung rambutnya menarik kakinya yang hendak melangkah masuk. Setiap hari ia datang membantu ayahnya membereskan dokumen. "Baik ayah." Roro mengikuti Idaline dengan tenang
"Selamat datang, nona."
"Syukurlah nona baik-baik saja."
"Terima kasih semua," jawab Idaline pada sapaan orang-orang.
Daya adalah anak juragan sawah yang berhasil mengembangkan perkebunan teh dan buah di bukit Jana, desa Janapada. Sedangkan Agni seorang cendikiawan dari ibu kota. Orang-orang menghormati mereka layaknya keluarga bangsawan dan dekat dengan mereka karena dermawan.
"Kalian sedang apa?" tanya Idaline pada orang-orang yang melempar buah dengan sembarang.
"Salam nona," hormat mereka.
"Ini adalah buah pahit yang akan dibuang," sahut salah seorang di antara mereka.
"Tuan mendapatkan pohon ini dari pedagang asing saat masih kecil. Beliau mengira itu adalah pohon mangga karena mirip daunnya, ternyata buahnya berbeda dan rasanya pahit. Tetapi karena ini pohon pertama yang beliau tanam hingga besar, pohon ini dibiarkan untuk orang berteduh dan akan dibuang buahnya supaya tidak jatuh ke atas kepala orang," jelas yang lain.
Sinar mentari menyilaukan mata Idaline kala mendongak mencoba memperhatikan pohon yang tak asing, ia menyipitkan mata memperhatikan pohon tersebut.
Mengikuti hembusan angin, sebuah daun terjatuh ke wajah Idaline, ia ambil lalu ia perhatikan dengan saksama.
"Jangan dibuang!" Idaline tersenyum semringah menatap daun di tangannya. "Buka gerobaknya," tunjuk Idaline pada gerobak reot di depan para pekerja.
Ketika daun pisang yang menutupi isi gerobak dibuka, tampak buah kakao saling menumpuk tak beraturan di dalam gerobak.
"Mohon nona jangan menghalangi pekerjaan kami," ucap tiba-tiba seseorang dari samping gerobak. Terlihat remaja perempuan dengan capingnya menatap Idaline dengan tajam.
"Kamu sangat mencintai pekerjaanmu ya?" Idaline tersenyum tenang sambil membelah kakao membuat perempuan itu terkejut. Perempuan itu keheranan karena biasanya nona manja mereka merengek pada rekan di sebelahnya ketika ia mendebatnya.
"Bawa gerobak ini ke gudang penyimpanan."
"Sa-saya saja nona," sela ragu remaja lain. Ia juga heran nona mereka tidak seperti biasanya.
"Baiklah kalian berdua ikut aku." Idaline berjalan dengan gembira diikuti ketiga orang yang bertanya-tanya.
"Nona, arahnya ke barat."
"Ah iya." Idaline merapat ke rombongan. Ia buta arah. "Oh iya nama kalian siapa?"
"Saya Sirang," kata remaja laki-laki yang mendorong gerobak.
"Saya Geko," kata remaja perempuan yang sering mendebat Idaline.
"Nah Sirang dan Geko, belah semua buah ini lalu masukkan biji-bijinya ke kotak ini. Roro minta kotak kosong lain." Idaline memberi perintah ketika mereka telah sampai di dalam gudang.
"Baik, nona."
"Seperti ini caranya." Idaline duduk membelah buah kakao. "Lalu kulitnya kita kumpulkan dan jadikan pupuk."
Sirang dan Geko mengikuti intruksi Idaline tanpa banyak bertanya.
"Taruh di pojok," perintah Idaline saat Roro masuk membawa kotak kayu.
Mereka sibuk dengan pekerjaannya hingga matahari tergelincir. Suara langkah kaki yang sangat Idaline kenal membuatnya tanpa sadar tersenyum.
"Nona, waktunya makan siang." Sri muncul di pintu gudang.
"Sebentar lagi," sahut Idaline menunjukkan tangannya.
"Buah itu sangat pahit. Getah yang menempel juga nanti bikin tangan jadi pahit." Sri pernah coba mengolahnya, namun tetap saja pahit.
"Tanggung," ucap Idaline melihat kakao tinggal 5 buah lagi.
Sri tidak dapat membantah nonanya yang sangat serius. Ia keluar mengambil air lalu menunggu di depan pintu.
"Besok di waktu yang sama pindahkan biji-biji ini ke kotak yang lain. Lusa pindahkan lagi ke kotak ini. Ulangi hingga 5 kali," terang Idaline.
"Baik, nona," jawab Sirang.
"Lalu cuci dan jemur pada hari ke-6 hingga kering. Setelahnya simpan di tempat yang tidak panas dan tidak lembab."
"Baik, nona."
Idaline meninggalkan Sirang dan Geko yang sedang menggotong kotak ke pojokan, Roro berjalan mengikuti Idaline.
"Cuci dulu tangan nona," tutur Sri yang menunggu di depan pintu membuat kedua orang yang baru membuka pintu terkejut.
Setelah itu mereka mengikuti Sri dengan patuh.
••••••••••••••••••••
"Silakan diperiksa, nona." Garong mendatangi Idaline pada malam hari membawa kertas laporan.
"Kenapa paman sangat mempercayaiku?" tanya Idaline sambil menerima kertas.
"Benar, tuan Garong. Nona Idaline masih kecil, lebih baik tuan saja yang mengurus."
Idaline menatap Sri yang menyela pembicaraan, wanita itu hanya tersenyum hangat membalas tatapan dingin Idaline.
"Mendiang tuan dan nyonya pasti sudah mengajari nona banyak hal. Lagipula semuanya milik nona."
"Baiklah. Terima kasih sudah mengantarkan." Idaline menaruh laporan di atas meja kemudian berdiri. Garong yang duduk di seberang Idaline sontak ikut berdiri.
"Besok rombongan kita akan berangkat ke istana. Seperti tahun-tahun sebelumnya, kita mengirim 2 hari sebelum perayaan," kata Garong memberi tahu.
"Aku akan ikut."
"Tapi nona baru saja kembali," timpal Sri.
"Tidak apa, bi. Sekalian aku belajar," tutup Idaline masuk ke kamarnya.
Ketika pagi telah datang dan mentari bersinar terang. Orang-orang sibuk menaruh kotak-kotak hasil panen pada kereta yang berbaris rapih.
"Nona yakin akan pergi sendiri?" tanya Sri dipenuhi kekhawatiran.
"Bibi bilang apa? Lihatlah banyak orang yang pergi." Idaline menunjuk dengan lima jarinya seluruh orang yang bersiap.
"Tapi di jalan banyak bandit," imbuh Sri.
"Tenanglah bi banyak paman-paman yang akan menjagaku."
"Benar bibi Sri. Ada kami di sini," ucap salah satu petani yang ikut ke ibu kota.
"Kalian hanya berlima." Sri merasa gelisah. Kemarin mereka berangkat dengan rombongan besar saja berakhir mengenaskan, apalagi ini hanya lima orang?!
"Sri, apa kamu ingin membuat nona menjadi trauma? Membiasakan diri akan membuat nona jadi kuat," bisik Garong di depan Sri.
Wanita yang penuh kerutan di wajah itu menghela napas. "Tuan benar. Kalau begitu, jagalah nona dengan benar."
"Pasti."
"Saya akan membuat nona nyaman," ucap Roro meyakinkan.
"Hati-hati di jalan," pesan Sri melambaikan tangan ke arah rombongan yang mulai tak terlihat.
Garong menatap Idaline yang terlelap dengan kepala tergeletak di paha Roro. Sepanjang perjalanan Idaline memilih tidur sebab guncangan kereta sangat terasa. Daripada dirinya harus merasakan mual dan muntah, Idaline menjadikan paha Roro sebagai bantalnya.
"Aku di sini aja, Yah. Anda bisa istirahat bersama paman Didi dan paman Kemo."
"Ayah hanya khawatir apakah ini benar atau tidak?" Garong khawatir. Nonanya masih kecil, haruskah ia menyampaikan kebenarannya sekarang ataukah perlu ditunda terlebih dahulu hingga nonanya sedikit lebih besar? Tapi nonanya tidak terlihat seperti anak-anak.
"Nona sangat antusias ke ibu kota, beliau pasti ingin berjalan-jalan karena sudah dua pekan selalu berada di toko obat. Kita juga harus menunjukkan makam tuan dan nyonya."
"Semoga nona berlapang hati." Garong turun dari kereta bergabung bersama Didi dan Kemo menurunkan barang-barang.
••••••••••••••••••••
Idaline merenggangkan badannya ketika turun dari kereta. Ia tidak percaya sepanjang perjalanan dirinya tertidur pulas.
"Nona dan Roro silakan beristirahat," ucap Didi lewat memanggul barang.
"Roro," panggil Idaline.
"Ya, nona," sahut Roro.
"Apa di sini tempat para bangsawan turun?"
"Bukan, nona. Kita berada di dekat gudang penyimpanan makanan dan akan menginap di bangunan di sebelah sana sambil menjaga kualitas makanan dan kemanannya," jawab Roro sambil menunjuk bangunan dengan jempolnya.
Idaline menaikkan satu alisnya. "Bukannya sudah ada pegawai istana yang menjaga?"
"Benar, nona. Tetapi untuk berjaga-jaga, karena para bangsawan bisa berlepas tangan dan menunjuk kitalah yang melakukan kesalahan."
"Pemikiran yang bagus," puji Idaline.
"Tuanlah yang memikirkannya. Lagipula kita tidak bisa memasuki aula pesta para bangsawan."
"Mohon maaf mengganggu. Yang Mulia Ratu memanggil nona Idaline untuk menghadap," interupsi seorang dayang paruh baya. Ia datang diapit dua dayang muda di sisi kanan dan kirinya.
Meski berpakaian mirip, Idaline tahu kualitas kain mereka lebih tinggi daripada warga desa sepertinya, terlebih sabuk perak yang mengelilingi perut para dayang belum pernah ia lihat di desa. Jadi Idaline menyimpulkan ketiga orang di depannya tidaklah berbohong.
"Ratu..?" gumam Idaline mengikuti ketiga dayang. Jantungnya hampir copot saat diangkat untuk menaiki tandu.
"Silakan," ucap dayang begitu mereka sampai di depan pintu kediaman yang berukir indah. Tamannya ditata dengan rapih. Dan halamannya begitu luas, kaki pendeknya tidak akan sampai dengan cepat.
"Mungkin setengah jam baru sampai." Idaline mengira-ngira jarak pintu dan bangunan. Ia terhuyung ke belakang saat pintu baru saja tertutup. "Padahal pelan," batinnya mendengar suara pintu begitu kecil. "Lemah sekali tubuh ini," kesalnya.
"Oh putriku yang cantik, bagaimana kabarmu?"
Idaline terlonjak mendengar bisikan lembut di telinganya, ia berbalik melihat seorang wanita anggun berpakaian amat megah, lebih megah dari bangsawan-bangsawan yang ia lihat sepanjang perjalanan. Dan makutanya begitu besar, terukir keagungan di sana. Dialah sang ratu.
Idaline tidak dapat menutupi keterjutannya saat ratu menunduk lalu memeluknya. Ia terdiam tidak sempat menjawab pertanyaan ratu.
"Pasti berat sekali," imbuh ratu.
Idaline menatap punggung ratu yang bergetar, ia menepuk-nepuk punggung itu yang malah makin menjadi. "Uh ratu. Perhiasanmu ngecap semua ke tubuhku."
"Loh kenapa malah jadi Ibu Ratu yang menangis?" gumam ratu menegakkan tubuh lalu menggendong Idaline.
"Kenapa Ibu Ratu menangis?"
Ratu menatap Idaline yang mengedip-ngedipkan matanya tidak mengerti, ratu mengusap air yang kembali menitik di ujung matanya.
"Apa Idaline mau tinggal di sini?" tanya ratu sambil menurunkan Idaline ke atas kursi.
"Tapi istana tempat yang mengerikan." Idaline mengingat berbagai drama saling bunuh-membunuh di balik tembok istana yang kokoh, saling bertengkar di dalam bangunan-bangunan indah nan mewah, dan saling memfitnah di antara orang-orang yang dilukiskan amat bijaksana.
"Haha. Kamu benar sekali." Ratu tertawa sambil menutup mulutnya. Ratu tidak ingin membawa putri sahabatnya ke neraka, namun sayang tempat tinggalnya di neraka dan tidak mungkin memantau gadis kecil itu dari jauh. "Katakan saja jika ada yang kamu inginkan."
"Boleh apa saja?" tanya Idaline memastikan.
Ratu mencubit gemas pipi Idaline. Senyumannya begitu lembut. "Selagi tidak menentang istana," jawabnya mengizinkan.
"Baik Ibu Ratu, terima kasih banyak!" seru Idaline penuh semangat.
••• BERSAMBUNG •••
© Al-Fa4 | 04 Juni 2021
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
ab¥¢£n
🤗🤗🤗
2022-07-23
0
MOM Jeska
wkwkkwk
2022-05-22
1
Titi
👿💨 😲😱😂
👗👉 👕👕👕
👠🚧 🚧🚧🚧
Back to school!
2021-07-31
6