Idaline mengintip wajah serius Candra, lagi-lagi dirinya digendong Candra. "Aku berat loh,"
"Kakak terlalu ringan, makanlah lebih banyak,"
"Lalu pipi ini akan lebih mengembang," Idaline mencubit pipi gembilnya. Ia coba raih pipi Candra yang juga gembil.
"Lihatlah kak! Itu desanya," Candra menengok ke kanan, pipinya menjauh dari tangan Idaline.
"Karena desanya sudah terlihat, lebih baik kita beristirahat dulu," kata Idaline menarik tangannya.
"Lebih cepat lebih baik. Kita lanjut saja,"
"Aku ga kuat, Candra. Kakiku kesemutan," mohon Idaline.
"Ah maaf aku ngga sadar," Candra menurunkan Idaline dengan hati-hati.
"Kamu pasti lebih capek," Idaline memberikan persediaan air pada Candra.
"Kakak saja,"
Idaline menempelkan punggungnya di batang pohon, angin sepoi-sepoi membuatnya mengantuk. Mereka melakukan perjalanan lebih dari 8 jam tanpa beristirahat. Ia lipat kakinya lalu menaruh kepala di atas lutut.
"Kepala kakak akan sakit kalau tidur seperti itu. Berbaringlah di sini, kak," Candra duduk bersila menepuk pahanya.
Idaline yang setengah sadar mengikuti perkataan Candra tanpa menolak. "Hah?" matanya terbuka paksa menyadari dirinya tertidur.
"Kakak jangan memaksakan diri, istirahat saja dulu,"
"Aku sudah segar kok. Kamu gimana?" tanya Idaline bangun mengulet.
"Aku baik-baik saja,"
"Baik. Ayo berangkat,"
"Kemari kak," Candra menundukkan tubuhnya.
"Tidak, aku capek digendong,"
"Digendong bikin capek?" bingung Candra. "Bukannya hanya mengaitkan tangan?" tanyanya dalam hati.
"Semua hal yang dilakukan terus menerus akan bikin capek,"
"Seperti itu.." Candra merekam penjelasan Idaline di otaknya.
Langkah mereka santai namun cepat menyusuri sungai. Ketika sungai berbelok, mereka berbelok ke arah berlawanan.
"Seharusnya ini desanya," Idaline mendongak melihat gapura dengan papan besar bertuliskan Lege dalam aksara Jawa. Berada di tubuh Idaline, semua ingatannya terekam jelas seolah memutar video berkualitas bluray.
"Adik-adik, kalian jangan masuk ke sana," saran seorang kakek tua berambut putih membawa gerobak kosong keluar dari desa.
"Aku ingin mencari orang, kek."
"Tapi di dalam benar-benar tidak baik buatmu,"
"Terima kasih atas peringatannya, kek." Idaline tersenyum kecil. "Kami permisi," mereka berjalan memasuki desa meninggalkan kakek berdecak kasihan.
Harum semerbak yang terlalu menyengat mengganggu hidung Idaline. Ia usap batang hidungnya beberapa kali.
"Adik manis, ingin bermain bersama kakak?" baru beberapa langkah mereka masuk, gerombolan pemuda membawa gelas bambu beraroma pekat ciu mendatangi mereka.
"Semabuk apapun, kalian pasti tahu lambang ini," Idaline menunjukkan lencananya.
"Wah anak kecil ini ingin melawan kita," ucap absurd salah satunya.
"Jangan bodoh. Dik, kalian pergi saja ke rumah besar di ujung sana, kalian mungkin mendapatkan yang diinginkan,"
"Kalian kembali, jangan buat masalah di jalan." titah Idaline melangkah masuk. Gerombolan para pemuda langsung lenyap dari tempatnya.
"Kak apa kau yakin akan ke sana? Itu bagian terdalam desa," tanya Candra menyamakan langkah cepat Idaline.
"Candra takut?" tanya balik Idaline fokus ke depan.
"Aku mengkhawatirkan kakak,"
"Kalau begitu tidak ada masalah lain,"
Sore hari adalah waktu mulainya aktivitas warga dukuh Lege. Toko-toko ciu mulai buka dan puncaknya adalah pentas sinden di tengah dukuh. Jika sinden bisa dinikmati banyak orang, maka untuk bersama bunga rumah Wangi dalam satu malam, akan ada pelelangan.
Idaline berhenti di depan rumah yang obor-obornya mulai dinyalakan. Bunga-bunga ditabur menyambut tiap orang tak peduli wanita maupun pria juga tua ataupun muda.
"Saya ingin bertemu bunga,"
"Kalian harus mengikuti peraturannya," tegas penjaga, matanya lurus tidak bergerak.
"Oh? Aku? Harus mengikuti peraturan kalian?" Idaline tidak tahu sudah berapa kali ia menunjukkan lencananya sepanjang perjalanan, inginnya tidak menggunakan tetapi beberapa hal akan sulit dilakukan misal keluar kerajaan tanpa alasan yang kuat bagi warga biasa juga bangsawan rendah dan menengah.
Seorang ibu-ibu gendut dengan tahi lalat di hidung menggerakkan ilir emas di atas kursi, matanya nyalang ke setiap tamu yang datang. Mendadak ia berdiri lalu berjalan cepat ke arah mereka.
"Saya tidak tahu hari ini akan kedatangan tamu sangat penting. Perkenalkan saya Lege Dats, salah satu keturunan pendiri desa," Dats tidak tahu kenapa putri kerajaan Maja yang besar datang ke dukuh kecilnya dan sangat jauh. Meski beberapa kali mengirimkan ciu tapi tidak pernah datang seorang bangsawan menengah maupun atas karena perilaku kotor di dukuh Lege. Bangsawan rendah pun hanya hitungan jari yang berkunjung.
Tetapi tetap ia harus menyambutnya dan mencari tahu alasan kedatangannya.
"Bunga rumah Wangi harumnya sangat tercium. Kudengar dia memiliki banyak keahlian indah bak julukannya. Jadi aku datang sejak ada urusan di gunung Tang,"
"Bagaimana Anda membandingkan diri dengan rakyat jelata seperti kami. Mari. Mari. Silahkan masuk," tidak ada anak kecil dalam keluarga kerajaan sekalipun usianya muda, Dats tidak berani mengangkat wajah.
Idaline dan Candra mengikuti Dats. Aroma di dalam ruangan lebih ringan, hidung merah Idaline jadi membaik namun kelakuan orang-orang di dalam lebih parah daripada di luar. Candra membentangkan selendangnya menutupi tubuh Idaline dari mata-mata jelalatan.
"Ini adalah bunga rumah Wangi sekaligus bunga dukuh Lege, Kembang." papar Dats membuka pintu ruangan lebar-lebar.
"Eh??" Idaline mengerutkan dahinya tersenyum bingung. Seorang wanita duduk di tengah kursi tampak seperti porselen. Kulitnya seputih salju, matanya kosong tak ada kehidupan, dan pemerah di bibir tebalnya seperti cat basah.
"Kak?" tegur Candra.
"Ehm, saya ingin berbicara dengan nona Kembang,"
"Silahkan nikmati jamuannya," Dats menunduk hormat lalu pergi keluar. "Hari ini Kembang libur," pesannya pada para pelayan.
"Baik, nyonya."
"Winarti datang ke kerajaan Maja," buka Idaline.
Wanita yang memakai jarik maron dan renda yang disampirkan di bahu tersentak merasakan sentuhan tangan Idaline di tangannya yang diletakkan di atas paha.
"Maafkan saya tidak menyadari kedatangan Anda,"
"Sepertinya situasi desa makin memburuk,"
"Begitu.. Winarti sudah menceritakan segalanya," Kembang menuangkan air ke gelas Idaline. "Silahkan diminum tehnya. Ini adalah teh hijau segar, sangat baik untuk kesehatan,"
"Terima kasih,"
"Tuan muda silahkan duduk," Kembang mengambil duduk yang lebih rendah. "Awalnya saya hanya ingin membebaskan Winarti, tetapi saya mendengar warga desa akan membeli anak-anak baru karena hampir seluruhnya telah rusak dipakai setiap malam dua bulan ini," merupakan ide Kembang agar Winarti pergi mencari bantuan. Ia berikan peta jalan tercepat untuk lepas dari jangkauan Lege. Taruhannya sangat besar karena ia sangat menyayangi Winarti seperti anaknya yang digugurkan Dats.
"Jadi, kapan anak-anak ini datang?"
"Malam ini mereka akan dilelang. Kupikir itu akan terjadi 2 pekan ke depan, untunglah Anda sudah datang," Kembang bangkit lalu bersimpuh di samping Idaline. "Saya mohon bebaskanlah mereka,"
"Semoga kita bisa,"
Perasaan ragu menghantui Kembang, bagaimanapun Idaline hanyalah anak kecil yang tidak akan kuat menerobos lapisan keamanan rumah Wangi maupun dukuh Lege dan jikalau anak itu menggunakan kekuasaannya pun, takutnya tidak akan menyaingi kecerdikan orang-orang Lege yang bahkan membuat warga desa tetangga yang hanya berjarak 5 km tidak menemukan bukti aktivitas-aktivitas keji di dalam dukuh Lege. Namun Kembang tidak terpikir jalan keluar yang lain.
"Melihat nyonya yang langsung menyambut Anda, saya jadi lebih yakin,"
Idaline tersenyum. "Aku ingin memesan ciu terbaik yang fermentasinya sangat lama," ucapnya pada pelayan yang masuk membawa makanan.
"Baik, nona. Akan kami siapkan,"
"Tidak. Aku ingin lihat langsung ke gudang,"
"Ini.."
"Silahkan nona," timpal pelayan lain mengingat perkataan nyonya mereka untuk memberikan apapun pada Idaline.
"Bukankah pelayan kecil dilarang masuk ke dalam gudang?" tanya Idaline menghentikan langkah ketiga pelayan yang mengantarnya.
"Kami akan memanggil kepala pelayan,"
"Tinggalkan obornya, aku ingin melihat-lihat," gadis itu menerima obor yang disodorkan. Para pelayan buru-buru mencari senior mereka.
Idaline manaruh obor di tembok. Ia memperhatikan sekitar memastikan tidak ada orang lalu menarik jariknya ke atas, ia ambil bungkusan yang diikat di paha kanan dan kirinya lalu memasukkannya ke gentong besar berisi ciu.
"Nona sudah menemukan yang Anda cari?" Dats masuk setelah mendengar laporan.
Idaline yang sedang mengaduk ciu mendekatkan irus ke hidungnya. "Aroma ciu di sini sangat kuat, tetapi aku belum menemukan asalnya," kilahnya menatap Dats.
"Tentu saja Anda tidak akan tahu karena kami menyimpannya di sini," Dats membuka lantai kayu lalu mengambil kendil di dalamnya.
"Aroma yang sangat manis," Idaline menerima kendil yang telah dibuka atasnya. Ia dekati ke wajah menutupi sisi lain dengan telapak kanannya.
"Aku ingin membagikan ini kepada para tamu yang bersemangat untuk bersama Kembang sebagai permintaan maaf. Juga gentong lainnya," Idaline mengembalikan kendil pada Dats. "Bagikan dengan rata," ia memberikan sekantong emas.
"Baik, nona," mata Dats menghijau memegang kantong yang berat.
"Aku ingin berkeliling. Bantu Kembang siapkan alat musik,"
"Baik, nona. Surti akan mengantar Anda berkeliling,"
Surti mengikuti di belakang Idaline sejauh beberapa meter.
"Katakan," Idaline menghentikan langkahnya mendekat ke Surti. "Di mana anak-anak baru?"
"Ana..k.. anak ba.ru.." ragu Surti.
"Aku tidak akan menyulitkanmu," Idaline memberikan perak pada Surti.
"Mereka berada di bagian utara,"
"Kamu pergilah bawakan dua topeng. Aku akan melihat sinden,"
"Baik, nona,"
Idaline menatap ke arah utara, ada 3 bangunan besar berdiri dengan kokoh. Lalu matanya mengerling ke arah panggung yang berada di tengah desa. "Utara yang mana?" gumamnya bingung.
"Kak, aku sudah mengganti lilin pertunjukan mereka," Candra datang dengan wajah ditutup rapat.
"Kamu melihat anak-anak?"
"Tidak kak," jawab Candra membuka wajahnya, menyimpan selembar kain itu di pinggang.
"Hmm," Idaline mengerutkan dahinya dan bersedekap sambil mengetuk-ngetukkan kakinya.
"Dahimu akan mengerut," Candra mengusap dahi Idaline. "Kita tunggu di belakang panggung. Terburu-buru akan membuat tidak baik. Hm?"
"Nona, ini topengnya,"
"Kamu boleh pergi. Tunggulah di tempat Kembang. Aku ingin belajar nyanyian setelah ini,"
"Baik, nona."
Idaline memandang lautan manusia yang berpusat di tengahnya tumpukan kayu bak panggung, di atasnya ada empat sinden sedang menyanyi. Semuanya tampak normal, nyatanya para penonton melayangkan tangannya tak peduli pada sesama lelaki maupun perempuan penghibur yang mereka pesan.
"Kita kedatangan tamu spesial. Beliau membeli ciu got untuk dibagikan ke kita semua sebagai ganti telah memesan bunga Wangi malam ini,"
"Wah ciu got kan ciu buatan pendiri desa yang sudah difermentasikan selama 20 tahun,"
"Padahal tidak perlu begini. Sangat dermawan orang ini,"
Candra merasakan rintik hujan jatuh ke kepalanya. "Hujan," ucapnya membuka kain pinggang lalu menaruhnya ke kepala Idaline.
"Oh tidak," Idaline menjulurkan tangannya mencoba merasakan rintik hujan. "Kita harus keluar sekarang,"
Candra memandangnya bingung. Gadis itu selalu senang dan menikmati tiap rintik hujan di kediaman Ekadanta.
"Ini pertanda tidak baik meski hujannya terlihat tenang," jelas Idaline. Matanya diselimuti ketakutan. "Kita berteduh dulu di sana," tunjuknya ke pohon besar jauh dari kerumunan. Ia menarik Candra yang hendak membuka mulut.
"Bagaimana dengan anak-anak?" tanya Candra berteduh di bawah pohon.
"Ah, benar. Kita harus menyelamatkan mereka," Idaline menggenggam erat lengan kirinya menyembunyikan telapak tangannya yang gemetar.
Idaline pernah membaca literatur kuno bahwa ada satu desa yang terkena azab karena dosa yang dilakukan penduduknya. Sebelum terjadi, hujan turun sebagai bentuk peringatan agar manusia membubarkan diri , tetapi mereka tetap berpesta layaknya yang terjadi di depan mata Idaline.
"Kamu pergilah dulu," gusar Idaline.
"Aku tidak akan meninggalkan kakak,"
Gadis yang gemetar bibirnya itu menatap mata Candra yang tegas. "Baik. Kita pergi," putusnya cepat.
"Bagaimana dengan anak-anak?" ulang Candra.
"Gendong aku," Idaline menjulurkan tangannya.
Candra menggendong Idaline di depan. Satu lagi orang yang Candra temui hanya memikirkan diri sendiri. Ia berpikir Idaline berbeda karena mau datang sejauh ini demi menyelamatkan orang yang tidak dikenalnya.
"Apa ada yang kamu inginkan bukannya menolong? Tapi," Candra menatap punggung Idaline. "..tidak ikut campur juga pilihan yang bagus,"
Hujan yang semakin deras tidak menghalangi Candra berlari menjauhi desa.
Idaline meraba punggung Candra lalu menekan titik-titik akupuntur. "Terima kasih ayah," gumamnya. Ayahnya selalu mengajak Udelia saat senggang untuk belajar titik akupuntur pada temannya yang ahli guna membantu para korban di tempat pengungsian.
"Kakak!!" jerit Candra memecah suara jangkrik dan kodok yang saling bersahut.
"Tunggulah dengan patuh,"
Idaline kembali masuk ke desa meninggalkan Candra yang terpatung sejauh setengah kilometer dari desa. Candra mengernyit menatap Idaline yang hilang di balik gelapnya malam. Pupil matanya bergerak ke kiri mendengar suara gemersik rerumputan semakin mendekat.
"Adinda?"
•••BERSAMBUNG•••
© Al-Fa4 | 20 Juni 2021
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
hitamanis
kayakaum sodom ya
2022-07-24
0
Yuyu Ijo
😍🥰😍🥰😍
2022-04-22
0
Priya Atna
duduk juga bikin capek
2021-07-20
3