"Maaf dik kedainya tidak buka hari ini," kata penjaga kedai memunculkan setengah tubuhnya di pintu.
Idaline pergi sendirian ke kedai setelah lancar berjalan karena orang-orang di toko obat mendadak pergi di hari yang dijanjikan. Sri yang terus memperhatikan Idaline jatuh sakit karena kurang istirahat dan makan, akhirnya wanita paruh baya itu terbaring lemah di kamar.
"Saya ingin bertemu pemilik kedai," ucap gadis kecil yang memakai jarik dan kemben ditambah kain tipis berwarna hijau bertabur sulaman bunga melati disampirkan ke depan menutupi dada dan perutnya.
"Wah dik, kami yang sudah dua bulan di sini saja tidak pernah bertemu dengan beliau," ujar penjaga.
"Tidak pernah bertemu?" heran Idaline.
"Mereka hanya menjaga dan membersihkan toko. Para koki tidak tinggal di sana dan toko pun buka dua hari saja dalam sepuluh hari."
Seorang pemuda berkulit sawo matang yang membalut bagian bawah tubuhnya dengan sehelai kain jarik dan bertelanjang dada tanpa hiasan, sama seperti pria-pria lain yang Idaline lihat, muncul membawa gerobak.
Pertama kali melihat tabib masuk dengan bertelanjang dada, Idaline berteriak kencang. Menurutnya kurang pantas bila seseorang bertelanjang dada. Dan Idaline masih belum terbiasa dengan pria-pria bertelanjang dada, kali ini saja ia terpaksa untuk memastikan kecurigaannya.
"Benar, benar. Ini adalah salah satu koki di sini, namanya tuan Hasta." Penjaga mengenalkan pemuda itu pada Idaline. Penjaga telah membuka pintu lebar-lebar dan mendekat pada sang koki. "Saya saja, tuan." Penjaga mengambil gerobak lalu mendorongnya masuk ke dalam kedai.
"Lalu tuan koki, mohon sampaikan ini pada pemilik kedai." Idaline memberikan kertas lusuh yang tergenggam kencang di tangannya pada Hasta.
"Ohooo, apakah surat cinta dari nona kecil untuk pemilik toko yang sudah menyelamatkan dari penjahat?" Hasta mengerutkan keningnya membaca kertas di tangannya.
"Mungkin." Idaline tersenyum miring. Belum ada yang mengenal tulisan latin dan bahasa di dalamnya kecuali orang di masa mendatang. Idaline menyimpulkan tempatnya kini tinggal adalah masa lampau karena Idaline memiliki sedikit pengetahuan tentang hal itu.
"(Kalau ingin beef burger aku harus menyembelih sapi. French fries ada. Kalo orange juice kita petik dulu di kebun belakang)," jelas Hasta menggunakan bahasa modern.
Idaline tertawa renyah mendengar perkataan Hasta. Gerakan bibir yang tidak disadari pria itu ketika membaca kertas lusuh yang dibawa Idaline sudah meyakinkan hati Idaline. Hasta adalah orang yang sama dengannya.
"Silakan." Hasta menunjuk dengan jempolnya sembari masuk ke halaman restoran.
Air bening mengisi penuh ember berwarna hitam, tangan yang kotor oleh tanah dicelupkan ke sana lalu digosok-gosok sampai kotoran-kotoran yang menyelinap di ujung kuku berjatuhan. Membuang air pelan-pelan, Hasta timba kembali ember ke dalam sumur untuk mengisi ulang air bersih.
Idaline diam memperhatikan di belakangnya.
"Ingin ke ruanganku? Kebetulan ada tamu lain," tawar Hasta membasahi wajah lengketnya.
"Dengan senang hati," sahut Idaline.
Idaline mengikuti Hasta menapaki anak-anak tangga hingga mencapai lantai ketiga. "Perasaan hanya dua lantai," bingungnya menelisik sekitar.
Dari luar toko hanya terlihat memiliki dua lantai dan bangunannya pun terlihat kecil. Namun begitu masuk ke dalam, ruangan kedai sangat luas.
Mendengar bunyi benda bergerak, Idaline kembali fokus ke depannya, Hasta mendorong tembok kayu yang ternyata sebuah pintu! Jika tidak diperhatikan dengan teliti, pintu tidak akan terlihat. Warna dan potongannya sangat pas, berkamuflase di antara tembok-tembok merah yang kokoh.
"Kamu sangat mempercayaiku? Padahal baru pertama bertemu," ucap Hasta memecah keheningan.
Idaline menatap punggung lebar yang mendadak terasa dingin. Ia tersenyum mengobati hatinya yang ragu. "Yang dibutuhkan oleh orang seperti kita adalah teman dan ketenangan. Pasti ngeri kan datang ke dunia seperti ini sendirian?"
"Kamu membawa siapa, Hasta? Bukankah hanya kita berdua yang akan bertemu?" cecar seseorang dari dalam ruangan yang baru saja terbuka.
"Jangan seperti itu, nona Atem. Lihatlah nona kecil yang tidak berdaya ini." Hasta menggeser badannya dan masuk ke dalam ruangan sehingga nampak Idaline yang tidak kelihatan dari dalam ruangan.
"(Halo)" sapa Idaline.
"Di..Dila?" Gadis yang setinggi dengan Idaline meloncat ke arahnya dan menangkup wajahnya.
"Mohon maaf tapi nama saya Udelia bukan Dila." Idaline berkedip menatap Atem yang bekaca-kaca.
Hasta mengelus pundak Atem lalu menggelengkan kepalanya. "Silakan duduk, nona," ucap Hasta pada Idaline sambil membantu Atem duduk kembali di kursi. Kemudian lelaki itu melangkah ke mejanya dan menuangkan teh di sana.
"Maafkan saya. Aduh malu sekali menangis di depan anak-anak." Atem mengusap matanya dengan sapu tangan.
"Nona Atem sebenarnya adalah seorang ibu dari anak perempuan berusia enam tahun, namanya nona Lili," jelas Hasta memberikan teh pada Idaline dan Atem.
Idaline menghentikan gelas yang akan menempel di mulutnya. Ia menatap lekat-lekat Atem yang masih terlihat sangat muda dan segar.
"Tubuh nona Atem memang berusia sepuluh tahun dan saya tujuh belas tahun, tapi saya lebih muda loh." Hasta terkekeh pada wajah terkejut Idaline. "(Saya Roni, seorang pekerja di perusahaan F. Datang ke sini mungkin setelah kecapean bekerja.)"
"(Apakah Anda anak angkat pemilik perusahaan?)"
"(Begitu ya. Berita kematianku sudah tersebar.)" Sinar mata Hasta meredup, tampak air menggenang di matanya. "Ironi sekali mendengar kematian sendiri haha." Hasta tertawa canggung sambil mengelap ujung matanya dengan jari.
"(Mati? Anda? Anda tidak mati kok! Anda hanya pingsan karena kelelahan. Saya seorang teknisi yang ayah Anda sewa setelah lima hari Anda tidak sadarkan diri. Komputer Anda bocor. Untung sir Rino langsung menanganinya setelah pulang dari luar negeri. Btw Anda tidak sadarkan diri pada dua puluh tujuh di bulan Mei, sedangkan saya kemari tanggal empat Agustus di tahun yang sama)"
"Apa? Padahal saya sudah tinggal di sini lebih dari enam tahun." Tangan Hasta gemetar, ia berharap pikirannya bukanlah fatamorgana belaka.
"Benar. Saya juga terbangun bersama dengan Roni di saat yang sama," sahut Atem membenarkan.
Otak Idaline berputar, jarinya bergerak menghitung dengan cepat. "Berarti kita tinggal di sini satu bulan sama dengan satu hari di dunia modern," paparnya.
"Sepertinya begitu," ucap Hasta menyetujui. Atem mengangguk setuju.
"Perkenalkan saya Lili, ibu rumah tangga. Saya berpikir sudah mati karena hari itu terjadi gempa dan punggung saya terkena langit-langit rumah."
"Oh saya baca berita aksi heroik seperti itu pada Mei lalu. Syukurlah putri Anda selamat."
"Ah, terima kasih sudah memberitahu." Atem mengusap air matanya yang kembali keluar.
"Tidak masalah. Senang sekali bisa berbagi info membahagiakan.” Deretan gigi putih Idaline tampak berseri ketika ia tersenyum lebar. Tak lama senyumnya perlahan menghilang, wajahnya jadi semerah kepiting.
"Saya akan bawakan makanan." Hasta tertawa kecil mendengar bunyi perut Idaline. Atem tersenyum pada Idaline yang menunduk.
"Saya membuka butik di sini. Ingin memakai yang lebih nyaman? Pasti tidak nyaman memakai baju zaman ini."
"Benar sekali." Idaline mengangguk. Pakaiannya terasa tidak nyaman meski ia bisa memakai jarik dengan benar. "Bicara senyamannya saja tante."
"Kamu juga. Akan aneh kalau kita bicara terlalu formal."
"Oke, tante!" Semangat Idaline membara. Secercah cahaya muncul membawa harapan besar.
••••••••••••••••••••
Idaline menengok ke kanan dan ke kiri. Setelah berbincang-bincang, tidak terasa waktu sudah sore. Dengan yakin ia pulang sendiri karena sampai kedai dengan cepat. Hasta dan Atem hanya bisa menyetujuinya sebab ada tugas penting menanti mereka.
"Aduh," keluh Idaline melihat semua pohon sama besarnya, padahal ketika berangkat ia yakin hanya ada satu pohon besar di persimpangan jalan.
"Adik kecil apa yang kamu lakukan di sini? Sudah mau malam." Seorang pria paruh baya dengan seorang rekannya berdiri di bawah pohon besar.
"Ah, paman. Saya lupa jalan." Idaline menatap pepohonan yang berusaha ditutupi oleh keduanya. Daripada takut Idaline lebih penasaran dengan pohon yang ditutupi keduanya. Zaman itu budi luhur masih agung dilaksanakan, sangat jarang orang melakukan kejahatan.
"Adik ingin kemana?"
"Ke toko obat. Paman juga kenapa tidak pulang? Nanti banyak setan loh." Idaline terbelalak saat seorang pemuda terlempar ke pohon hingga bunyi tulangnya terdengar menyakitkan. Ia menengok pohon lain yang tidak ditutupi dua paruh baya yang barusan menyapanya.
"Kamu urus anak ini," suruh pria lain yang sedari tadi terdiam. Kedua orang itu terkejut saat mendapati Idaline hilang dari pandangan mereka.
"Apa yang kalian lakukan??" Idaline tidak ingin terlibat hal ini, tetapi begitu sadar ia sudah berdiri di depan sang anak bukannya lari ke arah yang lain.
"Anak kecil mengganggu saja," kesal salah satu orang yang terlihat seusia dengan Wala.
"Jangan kasar pada anak kecil, Baja Sapta."
"Ini akan jadi masalah karena dia sudah melihat wajah kita, Rapu Catra." Baja mengeluarkan keris dari sarungnya.
"Apa kamu tidak melihat warna aura di jantungnya sama seperti milik beliau?" pemuda lain menahan tangan Baja.
"Mohon maafkan kami." Kedua pria paruh baya menarik lengan Idaline dan membekuknya.
"Kalian tidak mendengarkanku?"
"Bayu!" teriak Baja dan Rapu, rekan mereka yang bernama Bayu mendekat ke arah Idaline dengan aura yang besar. Anak itu bisa mati dalam sekejap.
"Tuan muda..?" lirih pria paruh baya. Lengannya terluka saat bayu memegangnya lalu menghempas jauh lengannya dari lengan anak kecil yang mereka tangkap.
Idaline tidak memperhatikan sekitar, penglihatannya terkunci, ia menatap takjub pupil berwarna merah milik Bayu.
Lelaki tinggi itu menunduk mensejajarkan dirinya dengan tubuh Idaline. "Bagaimana pendapat Anda tentang anak kecil ini menjadi mahapatih untuk kerajaan kita?" tanya Bayu tersenyum.
"Bayu sadarlah sedikit. Pertanyaan ini akan membuat kepalanya sakit," tegur Baja.
"Anda sedang mempertanyakan keputusan pemimpin kerajaan ini?" tanya balik Idaline sambil berkedip membuat Bayu merasa gemas kemudian mengacak rambut gadis itu. Idaline merenggut rambut rapihnya jadi berantakan.
"Pemimpin terkadang bisa membuat kesalahan."
Idaline memukul tangan Bayu yang ingin memegang kepalanya lagi. "Lalu katakan langsung pada beliau!"
Bayu tertawa mendengar ucapan Idaline. "Pintar sekali, pintar sekali," pujinya.
Idaline mengalihkan pandangannya kepada seorang remaja yang bernapas kesusahan namun berusaha tetap sadarkan diri.
"Lihatlah dirinya yang tidak bisa menjaga diri sendiri. Bagaimana bisa ia menjaga keluarga kerajaan?"
Kaki Idaline melangkah pelan mendekat ke genangan darah segar yang tampak mengerikan. Ia menatap marah pemuda berselendang biru yang juga menekuk wajahnya kesal.
"Jika merasa mampu kenapa tidak berlomba dengannya? Kenapa kalian malah main keroyokan seperti ini?" Satu persatu Idaline ukir wajah para pemuda di ingatannya. Ia merentangkan tangannya berusaha melindungi pemuda tak berdaya di sana.
Pemuda itu tersenyum geli. Ia tak menyangka ada gadis kecil yang terlihat lemah dengan berani membelanya. Sebuah keputusan bodoh dalam pandangannya ikut terlibat dalam perseteruan orang asing. Tapi keberanian buntalan mungil itu masuk ke relung hatinya yang belum pernah terisi.
“Gadis kecil! Kamu satu-satunya..” Diam-diam pemuda itu batuk dan mengeluarkan darah. Ia menggelengkan kepalanya ke arah pohon tempat anak keluarga Sapta dan anak keluarga Catra bernaung.
Pemuda itu kembali fokus pada adegan di depannya. “Gadis kecil, kamu satu-satunya yang begitu bodoh namun berani,” batinnya terkekeh memandang wajah garang Idaline.
“Jika suatu saat berbuat begini lagi. Aku akan menghukum kalian! Saat itu aku pasti sudah lebih kuat dari kalian!!” janji Idaline dalam hatinya. Jika ia ucapkan, pasti remaja-remaja labil itu akan membunuhnya.
"Hei, anak kecil. Kamu tidak tau kalau kami sedang menghalau bencana yang akan terjadi pada kerajaan ini?"
"Tidak!" Idaline menatap tajam Baja yang berjalan ke arah mereka. "Kalian sama sekali tidak membantu jika membunuh mahapatih kerajaan ini. Apa kalian tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencari yang lain? Atau kalau dia mati, siapa yang kalian pikir pantas? Tetap saja kalian akan berdebat."
"Yang dikatakannya benar," kata Rapu dari tempatnya. "Meski tiga keluarga kita mendukung satu orang yang sama, bagaimana dengan keluarga lain? Nanti akan terjadi bunuh-membunuh secara berulang jika kita memulainya. Di samping itu, Yang Mulia Ratu tidak akan membiarkan kita begitu saja."
"Rapu apa kecerdasanmu jadi berkurang karena mendengar rengekan anak ini?" Baja semakin marah pada gadis perusak suasana. Rasanya ia ingin membunuhnya saat itu juga.
"HEI! Terus saja memanggil anak kecil, anak ini, anak itu. Aku punya nama!" Idaline mengerutkan dahinya. Ia sadar tidak berguna menjelaskan isi hatinya.
Sedangkan Baja merasa gadis itu sangat imut ketika merengek. Ia dan teman-temannya adalah spesies yang tidak tahan terhadap makhluk-makhluk imut. Baja berdehem menghilangkan kegemasannya.
"Sudahlah lupakan," gumam Idaline. "Kalau kalian tidak puas. Minta banding saja. Orang yang kalian pilih beradu kecerdasan dengan anak ini," usulnya.
"Meski aku kurang mengerti. Tapi sebenarnya bagus idenya untuk adu kecerdasan, lalu akhirnya keraguan kita dan Yang Mulia Ratu akan sama-sama hilang. Siapapun itu yang menang." Baja menyetujui usulan Idaline.
Namun Idaline tidak berpikir itu ide yang bagus jika orang-orang berhati sempit bertanding. Mereka akan merasa malu dan benci pada anak remaja yang bahkan menurut dunia modern belum berhak memiliki KTP. Idaline menghela napas saat orang-orang itu pergi.
"Padahal kamu tidak perlu membantu, dik."
Idaline menatap terkejut pada remaja yang berdiri memegangi pohon dengan kesusahan. Ia yakin tulang punggung anak itu telah patah dari kerasnya suara tulang terbelah.
Tetapi Idaline memilih diam memandangi dari tempatnya, tidak ingin terlibat terlalu jauh. Jika Idaline membantu berarti Idaline harus masuk ke rumah bangsawan dan tidak akan ada yang tahu apa yang akan terjadi di sana. Mungkin menghilangkan jejak saksi mata.
Mahapatih seharusnya orang terkuat setelah raja.
"Tapi aku ucapkan terima kasih."
"Maaf sekali bukannya tidak ingin membantu tapi aku tidak–" kuat membawamu.
Ucapan Idaline terpotong hembusan angin kuat yang muncul dari pendaratan dua orang dewasa yang turun dari pepohonan membantu sang pemuda.
Idaline mengibaskan tangannya di wajah dan berpaling pergi. "Karena sudah ada yang membantu. Aku pamit pulang," katanya melambaikan tangan lalu berlari cepat berusaha hilang dari pandangan mereka.
Langkah Idaline memelan mendengar suara aliran sungai. Ia duduk di pinggir sungai tidak tahu seberapa jauh jaraknya dengan toko obat.
Idaline melipat kakinya ke perut dan menaruh dagunya di lutut. "Haah, sudah berapa hari?" Meski ia tahu perbedaan waktu 1 hari berbanding 1 bulan, tetap saja ia sudah berhari-hari pergi dari dunia modern.
Rasa rindu pada ibunya, ayahnya, dua adiknya..
Juga seluruh sepupu dan saudara yang telah memberi arti keluarga hangat dalam hidupnya semakin memuncak.
Tangis gadis itu pecah bersamaan dengan semeriwing angin sore yang semakin gelap.
••• BERSAMBUNG •••
© Al-Fa4 | 28 Mei 2021
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan like dan komen ya man teman
Kesimpulan Bab 2 :
1. Pemeran utama wanita atau yang kini disebut Idaline\, menemui orang dari dunia modern.
2. Pemeran utama wanita menceritakan jati dirinya sebagai Udelia pada orang modern tersebut. Dia percaya sesama orang modern pasti saling bantu membantu.
3. Pemeran utama wanita hilang arah saat pulang\, padahal saat berangkat dia mudah sampai ke kedai.
4. Pemeran utama wanita bertemu dengan seorang anak remaja yang dipanggil Mahapatih atau setingkat perdana menteri di kerajaan Jawa Kuno.
5. Pemeran utama wanita pergi ke hilir sungai karena tidak tahu arah ketika kabur dari Mahapatih. Dia tidak mau terlibat lebih daalam pada pertikaian orang-orang besar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
MOM Jeska
like n komen buat author
2022-05-22
1
fanfan
aku kok bingung.. 😞
2021-12-15
0
Rosita Rosita
aku harus gjmana? kenapa aku bingung? aku bisa terdampar disini karna apa ya?🙄🙄🙄
kalo gak salah karna lihat like yang banyak🤭🤭
tapi kenapa otak aku gak nyampe baca ini🤣
2021-10-27
0