Hari semakin gelap dan orang-orang mulai membubarkan diri. Idaline berdiri di sebelah lelaki yang sepanjang hari menatap reruntuhan. Sementara itu Candra menarik Ekata menyingkir dari hadapan orang-orang.
"Aku tidak bertemu dengan beberapa temanku sejak lulus SD, tetapi tetap mengenali mereka dari punggungnya meski berada di tengah keramaian." buka Idaline membuat lelaki itu menatapnya.
"Kamu tidak berpikir kalau tidak akan ada yang mengenalimu kan, Fusena?" tambah Idaline. Detak jantungnya terpacu keras seperti kemarin.
"Apa yang Anda bicarakan?"
"Setelah sepuluh tahun berlalu, kamu lupa sama mbakyu?" Idaline merentangkan tangan menyambut adik kecil manis kesayangannya.
Lelaki yang dipanggil Fusena itu tersenyum, berjalan mendekati Idaline kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. "Sekarang aku lebih besar dari mbak Udel." Fusena menggendong Idaline di lengan kekarnya.
"Apa-apaan kamu!" kepalan kecil memukul otot keras seperti batu. Huuu. Idaline meniup punggung tangannya yang memerah. Wajahnya pun memerah malu. Perlakuan Fusena adalah perlakuan dirinya ketika mereka bertemu. Perlakuan itu dia contoh dari para kakak sepupunya.
"Di sini sudah tiga ratus tahun berlalu, mbak. Ingatanku saling bertumpuk." jelas lelaki dewasa yang memakai jarik, surjan lurik, dan blankon mengecup tangan Idaline.
"Tidak ada jalan kembali?" Idaline menatap sendu iris mata hitam Fusena, iris yang sama seperti milik keluarga besar mereka.
"Begitulah,"
Idaline tersenyum miris, namun hatinya menjadi nyaman mengetahui ada orang yang ia kenal di dekatnya. Kemudian raganya terkulai dan matanya perlahan tertutup.
"Kita pulang bareng ya?" lirih Idaline berusaha berteriak kala suaranya menghilang.
Fusena menelungkupkan kepala Idaline ke bahunya mengelus lembut rambut hitam lebat yang terurai panjang. "Andai itu bisa," gumamnya masih didengar Idaline.
"Kita sudah berjalan jauh dari kerumunan,"
Mendengar itu Candra menghentikan langkahnya dan melepas tangan Ekata yang ditariknya.
"Kak Bayu tidak ingin mewarisi keluarga seperti yang Kakanda inginkan dan aku lebih tidak mungkin. Jadi kak, kumohon kembalilah. Lanjutkan warisan keluarga. Ini tidak bisa dipelajari begitu saja," papar Candra membelakangi Ekata.
"Begitu pula menjadi murid Petapa Agung. Ini jauh lebih sulit dibandingkan mempelajari warisan keluarga selama belasan tahun. Dan aku lihat sepertinya kamu sudah mempelajari dasarnya," Ekata tersenyum menunjukkan lesung pipinya.
"Aku hanya mengantisipasi." Candra mengusap lengan tanda ia merasa canggung. "Kakanda kembalilah," pintanya berbalik menatap penuh mohon.
"Tidak." tolak Ekata. "Kalau lelaki tidak ada yang bisa bukannya masih banyak saudari-saudari kita?" usulnya menepuk bahu Candra.
"Jangan pura-pura bodoh, kak! Wanita tidak bisa menurunkan sihir secara sempurna."
"Aku akan kembali jika sudah selesai berguru," putus Ekata menunjukkan tanda murid Petapa Agung di belakang daun telinga.
"Itu sama saja seumur hidup!" geram Candra akan keras kepala Ekata.
"Lalu adinda sudah menemukan jawabannya," Ekata meletakkan tangannya di kepala Candra menepuk pelan rambut panjang adiknya.
"Ayolah kak," rengek Candra.
Ekata berjalan pergi mengabaikan rengekan adik kandungnya. Ia sedikit terkejut melihat gurunya sedang menimang seorang bocah. Padahal Petapa Agung tidak menyukai anak kecil, meski tidak membenci. Ribet, katanya.
"Murid memberi salam kepada guru." Ekata bersimpuh dan merapatkan kedua tangan di atas kepala memberi hormat.
"Hamba memberi salam kepada Petapa Agung,"
"Bangunlah," perintah Fusena. Candra dan Ekata berdiri tetap menundukkan wajah. "Di mana kalian menginap?"
"Raden Ajeng ingin melihat pertarungan. Mungkin penginapannya di dekat sana," tebak Candra menunjuk rumah dengan seluruh jarinya.
"Tunjukkan jalannya,"
"Guru, saya saja." pinta Ekata menjulurkan tangan.
"Tidak perlu,"
"Tuan-tuan, kami sudah menyimpan barang-barang Anda sekalian di rumah kepala desa Gelut agar lebih mudah akses ke panggung tubruk." papar pemuda mewakili kelompoknya yang ditugaskan menjemput para tamu.
••••••••••••••••••••
Idaline membuka mata segarnya dan mengulet panjang. Sudah lama ia tidak tidur lelap. Setiap malam terbangun merindukan ayah, ibu, dan adik-adik juga saudara-saudarinya di sepertiga malam.
"Kak, aku membawakan bubur panas." Candra menaruh mangkuk di atas meja.
"Di mana yang lain?" Idaline bangkit mencuci wajahnya dengan air di baskom dekat jendela.
"Mereka kembali ke gubuk," jawab Candra duduk setelah menata meja.
"Aku ingin bertemu mereka." ujar Idaline menuju meja makan, duduk di samping Candra.
"Kakak istirahatlah dulu. Wajah kakak terlihat letih sejak di desa terakhir. Karena kakak selalu menahannya jadi aku membiarkan kakak. Namun akhirnya kakak pingsan kemarin. Pokoknya sekarang istirahat."
"Aku harus bertemu mereka." tegas Idaline berusaha menghabiskan bubur putih tanpa lauk. Batinnya menangis menelan tiap tetes kehambaran.
"Pelan-pelan kak," tegur Candra mengelap bubur yang menempel di bibir Idaline. "Petapa Agung tidak pernah lama menginap di satu desa. Mungkin sudah pergi," terangnya kembali menelan bubur putih sama seperti milik Idaline.
Idaline mengangkat sendoknya menatap lelaki yang belum berganti pakaian sejak kemarin. "Bukannya kamu ingin bertemu kakakmu?"
Candra diam sebentar sebelum menjawab. Ia berharap kakandanya merubah keputusan ketika berjumpa lagi namun kebulatan tekad kakandanya tidak bisa ia hancurkan. "Kakanda sudah menetapkan hatinya. Bagaimana kakak tau?"
"Bagaimana tidak menjadi topik panas? Keluarga kalian sangat harmonis tapi tidak memiliki pewaris. Satunya pergi, satunya malas, sedang satu terakhir sakit. Wanita tidak bisa menjadi kepala keluarga kalian meskipun lebih kuat."
"Benar begitu kak. Tetapi aku juga ikut karena ingin jalan-jalan bersama kakak,"
"Kita cari mereka," Idaline melap tangannya bangkit dari kursi.
"Baiklah,"
Idaline dan Candra berjalan ke bukit. Ketika gubuk telah terlihat, tampak Ekata sedang mengangkat kapak membelah kayu bakar.
"Adinda kenapa kemari? Oh, nona sudah sehat?" tanya Ekata menyadari Idaline ikut di belakang Candra.
Idaline tersadar dari kekagumannya akan tubuh indah Ekata, perutnya bagai batu-batu yang tersusun dan tetesan keringat menambah kesan seksi pria berkulit kuning langsat itu. "Dimana Fu..erm Petapa Agung?"
"Beliau ada di dalam. Sedang bersemedi."
Idaline menerobos masuk tidak mendengar kata terakhir Ekata. Dua pria itu menatap cemas pintu yang tertutup. Semedi atau tapaan Petapa Agung menghabiskan sedikitnya waktu satu bulan. Jika diganggu, pelindung di sekitar tubuh Petapa Agung akan bereaksi. Setiap yang mendekat akan hangus terbakar.
"Kak..! Emmp?" mulut Candra dibekap Ekata, debu halus kayu memasuki indera pernapasannya. Ia mencengkram tangan Ekata mencoba melepasnya.
"Guru tidak pernah sedekat itu pada anak kecil. Tenangkan hatimu. Mungkin tak masalah bila nona itu yang mengganggu, tapi kalau kamu..." gantung Ekata. Adiknya mengangguk paham. Ekata pun melepaskan tangannya.
"Mbak ga usah buru-buru gitu." ucap Fusena membuka mata. Ia duduk bersila di pojok ruangan.
"Aku kira kamu pergi." Idaline menghapus titik air yang muncul di ujung mata.
"Ini," Fusena memberikan bunga pada Idaline.
"Rafflesia?" bingung Idaline menaikkan alisnya.
"Sejenis itu. Tetapi di sini menyebutnya Rakta karena berwarna merah dan penuh nafsu. Dia akan memakan apapun yang masuk ke lubangnya, termasuk jari manusia."
Idaline menatap ngeri rafflesia berukuran kecil yang mekar di tangannya. Spontan ia melempar bunga bernama rakta itu ke tanah.
"Kalau sudah dicabut tidak akan bisa melahap lagi," tambah Fusena menangkap rakta dan memberikannya lagi ke Idaline.
"Kukira jariku akan dimakan," ucap Idaline menerima rakta yang memiliki tujuh kelopak, berbeda dari rafflesia yang biasanya jumlah kelopaknya lima buah dan berukuran raksasa.
"Kalau edelweis mbak sudah tau bentuknya 'kan?" tanya Fusena sambil menggeledah tas.
"Sama seperti yang Om Delvin berikan?" tanya balik Idaline.
Fusena tersenyum kecil. Kebiasaan sepupunya bertanya balik tidak berubah. Dalam pandangannya, itu adalah hal menggemaskan. "Iya. Nanti carilah lalu masukkan ke dalam sini supaya tahan lama. Aku akan mencari bahan-bahan lainnya." kata Fusena memberikan kantung jerami.
"Ini semua untuk apa?" Idaline mengambil duduk di sebelah Fusena.
"Aku akan membuat ramuan untuk mengembalikan jiwa mbakyu ke tubuh asli mbakyu,"
"Lalu bagaimana denganmu? Semuanya pasti senang mengetahui kamu masih hidup,"
Fusena memalingkan wajahnya ke jendela yang terbuka menghindari tatapan Idaline. "Mau Fusena yang merupakan adik sepupu mbak atau Fusena yang hidup di sini. Semuanya sama,"
"Aku tidak mengerti maksudmu," ucap Idaline masih menatap Fusena.
"Mbak tau 'kan ketika bayi aku terlalu tenang bahkan terus tidur sampai ayah dan ibu membawaku ke beberapa dokter? Saat berumur tiga tahun aku mengingat kehidupan ini dan bisa masuk ke sini secara sadar ketika tertidur. Oleh sebab itu aku selalu lama jika tidur,"
"Pantas saja kamu sangat cerdas ketika mulai sekolah,"
"Iya. Karena itu juga ayah jarang membawaku keluar, takut ada masalah yang menimpa kami," tatapan Fusena sedikit berubah. "Ah aku tidak secerdas itu, bahkan ibu tidak dapat aku selamatkan," Fusena mengenang ibunya yang sakit keras.
"Kematian tidak akan bisa dihindari sebanyak apapun usaha yang kita lakukan. Meski di waktu kita sehat,"
"Benar, mbak. Oleh karena itu, Fusena sepupumu telah mati diseret buaya putih. Aku tidak akan bisa kembali lagi,"
"Lalu aku? Bagaimana kamu bisa yakin tubuh Udelia masih hidup? Dan aku masih bisa kembali?" meski Idaline mengetahui tubuh Roni masih hidup, ia ragu akan tubuhnya sendiri. Siapa yang bisa memastikan? Haruskah dia menunggu orang yang datang membawa berita seperti dirinya datang pada Roni dan Lili?
"Masalahnya tidak seperti itu, mbak. Buaya putih ini adalah siluman dan tidak suka keberadaan yang lebih kuat dari dirinya. Entah kenapa kekuatanku saat itu tiba-tiba muncul dan mengeluarkan aura besar. Aku tidak bisa menggunakannya dengan benar karena tubuhku masih kecil,"
"Seharusnya masih ada harapan," Idaline bangun memegang bahu Fusena, ia menunduk menatap serius lelaki yang masih duduk bersila itu. Fusena menatap wajah Idaline yang menghalangi pandangannya.
"Semoga," singkat Fusena melepas tangan Idaline.
Idaline mengerutkan dahinya melihat sepupunya tidak berekspresi. Matanya meneliti tubuh Fusena, tatapan curiganya menjurus ke bahu kanan Fusena ia coba meraihnya namun lelaki itu menangkap tangannya.
"Dengar, mbak. Jangan pernah biarkan siapapun tahu mbak bukan berasal dari dunia ini," alih Fusena mendudukkan Idaline ke pangkuannya.
"Aku sudah memberitahukannya pada dua orang,"
Ekspresi cerah Idaline membuat Fusena menghela napas. Mbakyunya tidak paham telah melakukan kesalahan fatal. Tidak boleh serampangan membeberkan jati diri pada orang lain termasuk dirinya. "Apa mereka sama?"
Idaline mengangguk mendongak menatap Fusena. "Iya. Mereka dari tempat kita." jawabnya mengedipkan mata.
"Selanjutnya jangan beritahu meskipun pada orang yang mbak sangat percaya,"
"Aku sangat percaya Fusena dengan segenap hati, dengan segenap jiwa dan raga."
"Guru, sarapan sudah siap." potong Ekata dari luar ruangan. Ekata yang tak merasakan dinding pelindung gurunya sejak Idaline memasuki ruangan, memutuskan membuat makanan dibantu Candra yang terus merengek minta ia kembali.
"Fusena?" panggil Idaline pada pria yang menatap kosong dirinya.
Fusena menegakkan kepalanya yang tanpa ia sadari mendekat ke wajah Idaline. Ia memindahkan Idaline lalu bangkit dari duduknya. "Ayo kita makan dulu, mbak." Fusena menggenggam tangan Idaline lalu mereka melangkah keluar bersama.
•••BERSAMBUNG•••
© Al-Fa4 | 27 Juni 2021
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
KESAYAMGAM TUAN LI
BOOOOM buat author
2022-10-23
0
titi dan hilda
bakunya di mana
2021-08-03
13
Nur
bagaimana kalau mati belum ada amal😢
Ya Allah berilah kami ilmu yang bermanfaat, amalan yang tidak tertolak, dan rezeki yang thoyib.
Ya Rabb terimalah taubat kami.
2021-07-20
4