NovelToon NovelToon

TIKZ [Berpindah Ke Zaman Keemasan]

001 - MEMERIKSA ATAU MENYIKSA

Tak.. Takk.. Takk..

Suara pertemuan antara jari-jemari dan keyboard yang berjalan dengan cepat memenuhi ruangan yang sepi. Baris perbaris pada layar terus terisi dengan ide yang mencuat keluar bak air bah yang melimpah. TIba-tiba pandangan matanya buram, terasa bau amis keluar dari hidungnya. Darah segar meluncur membasahi leher hingga kerah putih bajunya.

BRAKK.

"Kalo mau pingsan setidaknya jangan di atas keyboard dong!!" marah seorang perempuan yang memakai kemeja putih panjang dan rok hitam rempel dalam hati. Samar ia melihat sang adik membuka pintu tempatnya bekerja seraya memanggil namanya bersamaan dengan dirinya hilang kesadaran.

••••••••••••••••••••

Cuit.. Cuit.. Srakk.. Srak..

Suara burung dan tanaman serta aroma segar terasa pada indranya yang jarang keluar ruangan, terutama pada tiga hari terakhir ia mengurung diri karena tenggat waktu pekerjaan hampir tiba.

Saat membuka mata, sinar mentari menyilaukan matanya. Berkedip-kedip sebentar sembari mengumpulkan kesadaran, matanya melirik ke kanan terlihat sebuah tangan besar menggenggam erat tangan yang lebih kecil.

Ia mencoba menggerakkan jemarinya yang terasa berat dan tangan kecil itu mengikuti gerakannya. "Tunggu.. Tangan kecil???" Ia terbangun mendadak, pandangannya bergoyang, seketika ia melepaskan tangannya untuk memegang kepalanya yang berputar-putar.

Seorang wanita yang tidur di sisi ranjang terbangun dan menegakkan punggungnya. Kepala wanita itu menengok ke arah gadis duduk di ranjang. "Nona sudah bangun...?" tanyanya mengumpulkan nyawa. Di tubuh wanita itu hanya terdapat sehelai kain yang dililit dari dada hingga mata kaki.

"Apa aku berada di pedalaman? Dasar adik biadp!*" kesalnya. Ia merasa aneh dengan dirinya yang memahami bahasa asing yang diucapkan oleh wanita paruh baya tersebut.

Memang sekilas mirip dengan krama inggil yang pernah ia pelajari, namun krama inggil saja tidak ia paham semuanya, wanita di depannya malah menggunakan beberapa kata yang baru ia ketahui.

"Siapa Anda?" lancarnya menggunakan bahasa yang sama.

"Saya Sri, bibi di rumah nona. Sepertinya nona lupa ingatan karena kecelakaan sepekan lalu yang mengakibatkan nona tidak sadarkan diri. Syukurlah sekarang nona sudah bangun," jelas wanita paruh baya sambil mengusap air matanya yang keluar ketika ia tersenyum bahagia.

"Saya keluar sebentar mengambil bubur baru, yang ini sudah dingin." Wanita yang mengenalkan diri bernama Sri itu mengambil mangkuk di atas meja kemudian berlalu keluar.

Ia termenung, perempuan itu tidak habis pikir dengan dirinya yang berakhir di sini, juga tubuhnya berubah menjadi remaja.

Ia adalah perempuan dewasa yang seharusnya sudah menikah. Lulus S1 di usia 21 tahun dan S2 di usia 22 tahun, ia fokus membangun karir selama 5 tahun didampingi komentar-komentar para tante dan budhe agar cepat menikah.

Mata hitam legam persis seperti mata yang fokus pada layar komputer memandangi tangan kecil itu, putih dan mulus seperti salju, berbeda dengan kulitnya yang kasar dan banyak bekas luka. Ukurannya memang tidak jauh berbeda dengan tangannya namun karena kesan mulus membuat tangan itu terlihat jauh lebih kecil.

"Mungkin ini hanya mimpi," gumamnya mencoba memejamkan mata.

Tak lama wanita paruh baya yang memperkenalkan diri dengan nama Sri kembali membawa makanan baru, ia hanya bisa menurut disuapi karena tubuhnya sangat lemas. Tidak ada tenaga untuk memberontak.

"Nama nona adalah Idaline, ibu nona namanya nyonya Agni, kalau ayah nona tuan Daya. Mereka ada di tempat yang luar biasa," jelas Sri menyuapkan bubur ke mulut nonanya.

"Nona adalah orang yang cerdas, sedikit informasi pasti menenangkan hatinya yang bingung," batin Sri.

Usai makan, mata dari tubuh bernama Idaline itu memberat kemudian ia jatuh terlelap, ia terkagum atas dirinya sendiri yang hampir saja memuntahkan makanan saat berada di mulut, namun ternyata lancar ketika sampai di tenggorokan hingga semuanya tersapu bersih tanpa sisa satu tetes pun.

Orang yang memiliki prinsip mematuhi aturan dengan buta itu berharap agar cepat terbangun, ia sangat merindukan kedua orang tuanya dan kedua adiknya yang sudah enam bulan tidak ditemuinya karena sibuk bekerja.

••••••••••••••••••••

Idaline terus memperhatikan tabib dan bawahannya selama beberapa hari karena tidak mampu beranjak dari ranjang. Ia berbicara hanya ketika ditanya karena tubuhnya sangat lemas. Mulutnya lebih sering mengeluarkan gumaman daripada ucapan.

Ia masih terjebak di sana dan masih bertekad kembali setelah tubuhnya pulih.

"Ada jalan masuk pasti ada jalan keluar!" yakinnya.

Menurut bisik-bisik yang ia dengar, Idaline dan keluarganya mengalami kecelakaan kereta kuda ketika berangkat menuju ibukota.

Daya bersama para lelaki melawan bandit yang memasang jebakan, meninggal ditusuk dari belakang.

Pria gagah itu berusaha menyelamatkan istrinya, Agni, yang memeluk erat anak mereka, Idaline, saat akan terinjak kuda yang mengamuk. Ia berusaha meraih tubuh istrinya dan bandit tidak melewatkan kesempatan itu untuk menusuk punggung Daya. Keris bandit menembus hingga ke depan tubuh Daya dan ia langsung ambruk ke tanah.

Agni tidak selamat dari amukan kuda. Idaline sendiri sudah dilempar jauh oleh Agni yang merasa kakinya lemas seperti agar-agar.

Sedangkan perut Sri terbuka dan tubuhnya tersayat banyak keris selama menghalangi para bandit yang mencoba mengejar Agni kala nyonya dan nonanya berlari menyelamatkan diri.

Pembantu-pembantu lain pun tergeletak di sekitar kereta kuda utama melindungi segenap jiwa mereka.

Pada sore harinya tabib dan murid-muridnya juga para pembantu yang akan mencari tanaman obat, melewati tempat kejadian.

Mereka memutuskan membatalkan rencana mencari tanaman obat dan lebih memilih membantu Sri dan Idaline yang masih bernapas lalu merawat kedua perempuan beda usia itu di toko obat dengan serius meski tidak tahu apakah mereka akan dibayar atau tidak.

"Keadaan nona sudah lebih baik. Sekarang kita berlatih jalan ya?" Tabib menjulurkan tangannya ingin membantu Idaline belajar berjalan.

Idaline menatap lurus tangan tabib lalu berganti menatap Sri. Keengganan nampak jelas di wajahnya.

"Mohon maaf. Biar saya saja." Sri tersenyum hangat, nonanya pasti masih takut pada orang lain.

"Ah baiklah," ucap canggung tabib. "Kalau begitu jangan lupa obatnya diminum. Saya akan pulang. Nona bisa berjalan-jalan dengan santai."

"Terima kasih banyak tabib," ucap Sri tiap kali bertemu pria paruh baya itu. Entah bagaimana nasib dirinya dan nonanya jika tabib enggan menolong mereka, sekedar dibantu warga pun belum tentu selamat. Sri dan Idaline memiliki luka yang dalam.

Sri mengantar tabib sampai depan pintu kamar. Lalu membantu Idaline belajar berjalan.

"Wah nona kecil hebat sekali."

"Memang deh nona terbaik."

"Ayo yo ayo. Pasti nona akan jadi tukang lari terbaik."

Pujian terus terdengar saat Idaline beranjak keluar mencari udara sambil memegangi Sri. Ia tersenyum canggung pada setiap orang yang melemparkan pujian.

"Aku ingin berjalan sendiri." Idaline melepaskan tangan Sri tanpa menunggu persetujuannya.

"Hati-hati nona," ucap Sri mengawasi dari belakang.

Baru lima langkah tubuh Idaline terhuyung ke depan. Semua orang sontak berusaha meraih tubuh kecil itu. Sri menghela napas lega saat salah satu murid tabib menangkap Idaline.

"Nona hati-hati!" teriak orang-orang mendekat dan mengerumuni mereka. Para wanita di sana memeriksa setiap inchi tubuh Idaline.

"Tolong jangan lebay." Ingin sekali Idaline menyingkirkan orang-orang itu namun ia urungkan melihat ketulusan terpancar dari wajah mereka.

"Sungguh terbebani." Pipi Idaline memerah, ia alihkan pandangannya ke arah lain berusaha menghilangkan beban di dalam hatinya. Menerima kebaikan dari orang lain membuat perempuan itu selalu merasa harus membalasnya.

"Terima kasih, den Wala," tutur Sri sembari terkekeh, Wala yaitu salah satu dari empat murid tabib tersingkir dari sisi Idaline karena keberingasan para wanita.

"Tidak apa-apa, bi." Wala membersihkan tubuhnya yang terkena tanah. "Untung sayangku selamat," batin Wala mengintip isi keranjang di tangannya baik-baik saja.

"Kalian berniat memeriksa atau menyiksa?" kesal Idaline pipinya dicubit-cubit. Sedetik kemudian wajah merenggut itu berubah terbelalak mencium aroma familiar dari tangan kanan Wala.

"Nona mau ini?" tanya Wala menyadari Idaline menatap keranjangnya. Ia buka lebar-lebar kain penutup keranjang.

Idaline mendorong para gadis yang mengelilinginya. Ia memegangi lutut-lutut mereka yang berjongkok di sekelilingnya hingga sampai pada Wala yang tersingkir jauh. "Da-dari mana?" tanyanya melihat isi keranjang.

"Ini masakan ayam terbaru loh. Ayo makan di dalam." Wala menggenggam tangan Idaline.

"Kutanya, dari mana?!" Idaline menarik tangannya.

"Nanti kita ke sana setelah nona sehat ya?" tawar Wala tersenyum.

Idaline menatap kesal Wala kemudian berbalik berjalan dengan marah. Wala tertawa kecil kemudian menggendongnya takut gadis itu terjatuh lagi. Buru-buru ia masuk ke dalam toko obat merasakan aura membunuh dari belakang punggungnya.

"Tempatnya di dekat pintu masuk pasar. Setelah nona lancar berjalan kita langsung ke sana," terang Wala melihat Idaline menyantap ayam tepungnya dengan lahap. "Oh sayangku. Semuanya masuk ke perut mungil itu."

Setelah hari itu Idaline semakin giat belajar berjalan dengan memegang tembok meski sesekali ia terjatuh. Para wanita di sana gemas ingin membantu namun Idaline menatapnya tajam, alhasil mereka hanya membantu mengobati luka Idaline dan memberinya makan ayam tepung hingga menggunung.

"(Kalian benar-benar suka membuat orang merasa terbebani)"

••• BERSAMBUNG •••

© Al-Fa4 | 23 Mei 2021

Tinggalkan jejak like dan komen yaaa

Kesimpulan**Bab 1 :**

1. Pemeran utama wanita merasuki tubuh Idaline.

2. Pemeran utama wanita mengira itu hanya mimpi namun ternyata ia masih berada di sana\, berbaring di atas ranjang karena sakit\, ia mendengar banyak cerita di atas ranjang.

3. Pemeran utama wanita kondisinya membaik dan mulai belajar jalan\, saat itu ia mendapati ayam goreng crispy\, di mana di dunia kuno seharusnya belum ada.

002 - PUPIL BERWARNA MERAH

"Maaf dik kedainya tidak buka hari ini," kata penjaga kedai memunculkan setengah tubuhnya di pintu.

Idaline pergi sendirian ke kedai setelah lancar berjalan karena orang-orang di toko obat mendadak pergi di hari yang dijanjikan. Sri yang terus memperhatikan Idaline jatuh sakit karena kurang istirahat dan makan, akhirnya wanita paruh baya itu terbaring lemah di kamar.

"Saya ingin bertemu pemilik kedai," ucap gadis kecil yang memakai jarik dan kemben ditambah kain tipis berwarna hijau bertabur sulaman bunga melati disampirkan ke depan menutupi dada dan perutnya.

"Wah dik, kami yang sudah dua bulan di sini saja tidak pernah bertemu dengan beliau," ujar penjaga.

"Tidak pernah bertemu?" heran Idaline.

"Mereka hanya menjaga dan membersihkan toko. Para koki tidak tinggal di sana dan toko pun buka dua hari saja dalam sepuluh hari."

Seorang pemuda berkulit sawo matang yang membalut bagian bawah tubuhnya dengan sehelai kain jarik dan bertelanjang dada tanpa hiasan, sama seperti pria-pria lain yang Idaline lihat, muncul membawa gerobak.

Pertama kali melihat tabib masuk dengan bertelanjang dada, Idaline berteriak kencang. Menurutnya kurang pantas bila seseorang bertelanjang dada. Dan Idaline masih belum terbiasa dengan pria-pria bertelanjang dada, kali ini saja ia terpaksa untuk memastikan kecurigaannya.

"Benar, benar. Ini adalah salah satu koki di sini, namanya tuan Hasta." Penjaga mengenalkan pemuda itu pada Idaline. Penjaga telah membuka pintu lebar-lebar dan mendekat pada sang koki. "Saya saja, tuan." Penjaga mengambil gerobak lalu mendorongnya masuk ke dalam kedai.

"Lalu tuan koki, mohon sampaikan ini pada pemilik kedai." Idaline memberikan kertas lusuh yang tergenggam kencang di tangannya pada Hasta.

"Ohooo, apakah surat cinta dari nona kecil untuk pemilik toko yang sudah menyelamatkan dari penjahat?" Hasta mengerutkan keningnya membaca kertas di tangannya.

"Mungkin." Idaline tersenyum miring. Belum ada yang mengenal tulisan latin dan bahasa di dalamnya kecuali orang di masa mendatang. Idaline menyimpulkan tempatnya kini tinggal adalah masa lampau karena Idaline memiliki sedikit pengetahuan tentang hal itu.

"(Kalau ingin beef burger aku harus menyembelih sapi. French fries ada. Kalo orange juice kita petik dulu di kebun belakang)," jelas Hasta menggunakan bahasa modern.

Idaline tertawa renyah mendengar perkataan Hasta. Gerakan bibir yang tidak disadari pria itu ketika membaca kertas lusuh yang dibawa Idaline sudah meyakinkan hati Idaline. Hasta adalah orang yang sama dengannya.

"Silakan." Hasta menunjuk dengan jempolnya sembari masuk ke halaman restoran.

Air bening mengisi penuh ember berwarna hitam, tangan yang kotor oleh tanah dicelupkan ke sana lalu digosok-gosok sampai kotoran-kotoran yang menyelinap di ujung kuku berjatuhan. Membuang air pelan-pelan, Hasta timba kembali ember ke dalam sumur untuk mengisi ulang air bersih.

Idaline diam memperhatikan di belakangnya.

"Ingin ke ruanganku? Kebetulan ada tamu lain," tawar Hasta membasahi wajah lengketnya.

"Dengan senang hati," sahut Idaline.

Idaline mengikuti Hasta menapaki anak-anak tangga hingga mencapai lantai ketiga. "Perasaan hanya dua lantai," bingungnya menelisik sekitar.

Dari luar toko hanya terlihat memiliki dua lantai dan bangunannya pun terlihat kecil. Namun begitu masuk ke dalam, ruangan kedai sangat luas.

Mendengar bunyi benda bergerak, Idaline kembali fokus ke depannya, Hasta mendorong tembok kayu yang ternyata sebuah pintu! Jika tidak diperhatikan dengan teliti, pintu tidak akan terlihat. Warna dan potongannya sangat pas, berkamuflase di antara tembok-tembok merah yang kokoh.

"Kamu sangat mempercayaiku? Padahal baru pertama bertemu," ucap Hasta memecah keheningan.

Idaline menatap punggung lebar yang mendadak terasa dingin. Ia tersenyum mengobati hatinya yang ragu. "Yang dibutuhkan oleh orang seperti kita adalah teman dan ketenangan. Pasti ngeri kan datang ke dunia seperti ini sendirian?"

"Kamu membawa siapa, Hasta? Bukankah hanya kita berdua yang akan bertemu?" cecar seseorang dari dalam ruangan yang baru saja terbuka.

"Jangan seperti itu, nona Atem. Lihatlah nona kecil yang tidak berdaya ini." Hasta menggeser badannya dan masuk ke dalam ruangan sehingga nampak Idaline yang tidak kelihatan dari dalam ruangan.

"(Halo)" sapa Idaline.

"Di..Dila?" Gadis yang setinggi dengan Idaline meloncat ke arahnya dan menangkup wajahnya.

"Mohon maaf tapi nama saya Udelia bukan Dila." Idaline berkedip menatap Atem yang bekaca-kaca.

Hasta mengelus pundak Atem lalu menggelengkan kepalanya. "Silakan duduk, nona," ucap Hasta pada Idaline sambil membantu Atem duduk kembali di kursi. Kemudian lelaki itu melangkah ke mejanya dan menuangkan teh di sana.

"Maafkan saya. Aduh malu sekali menangis di depan anak-anak." Atem mengusap matanya dengan sapu tangan.

"Nona Atem sebenarnya adalah seorang ibu dari anak perempuan berusia enam tahun, namanya nona Lili," jelas Hasta memberikan teh pada Idaline dan Atem.

Idaline menghentikan gelas yang akan menempel di mulutnya. Ia menatap lekat-lekat Atem yang masih terlihat sangat muda dan segar.

"Tubuh nona Atem memang berusia sepuluh tahun dan saya tujuh belas tahun, tapi saya lebih muda loh." Hasta terkekeh pada wajah terkejut Idaline. "(Saya Roni, seorang pekerja di perusahaan F. Datang ke sini mungkin setelah kecapean bekerja.)"

"(Apakah Anda anak angkat pemilik perusahaan?)"

"(Begitu ya. Berita kematianku sudah tersebar.)" Sinar mata Hasta meredup, tampak air menggenang di matanya. "Ironi sekali mendengar kematian sendiri haha." Hasta tertawa canggung sambil mengelap ujung matanya dengan jari.

"(Mati? Anda? Anda tidak mati kok! Anda hanya pingsan karena kelelahan. Saya seorang teknisi yang ayah Anda sewa setelah lima hari Anda tidak sadarkan diri. Komputer Anda bocor. Untung sir Rino langsung menanganinya setelah pulang dari luar negeri. Btw Anda tidak sadarkan diri pada dua puluh tujuh di bulan Mei, sedangkan saya kemari tanggal empat Agustus di tahun yang sama)"

"Apa? Padahal saya sudah tinggal di sini lebih dari enam tahun." Tangan Hasta gemetar, ia berharap pikirannya bukanlah fatamorgana belaka.

"Benar. Saya juga terbangun bersama dengan Roni di saat yang sama," sahut Atem membenarkan.

Otak Idaline berputar, jarinya bergerak menghitung dengan cepat. "Berarti kita tinggal di sini satu bulan sama dengan satu hari di dunia modern," paparnya.

"Sepertinya begitu," ucap Hasta menyetujui. Atem mengangguk setuju.

"Perkenalkan saya Lili, ibu rumah tangga. Saya berpikir sudah mati karena hari itu terjadi gempa dan punggung saya terkena langit-langit rumah."

"Oh saya baca berita aksi heroik seperti itu pada Mei lalu. Syukurlah putri Anda selamat."

"Ah, terima kasih sudah memberitahu." Atem mengusap air matanya yang kembali keluar.

"Tidak masalah. Senang sekali bisa berbagi info membahagiakan.” Deretan gigi putih Idaline tampak berseri ketika ia tersenyum lebar. Tak lama senyumnya perlahan menghilang, wajahnya jadi semerah kepiting.

"Saya akan bawakan makanan." Hasta tertawa kecil mendengar bunyi perut Idaline. Atem tersenyum pada Idaline yang menunduk.

"Saya membuka butik di sini. Ingin memakai yang lebih nyaman? Pasti tidak nyaman memakai baju zaman ini."

"Benar sekali." Idaline mengangguk. Pakaiannya terasa tidak nyaman meski ia bisa memakai jarik dengan benar. "Bicara senyamannya saja tante."

"Kamu juga. Akan aneh kalau kita bicara terlalu formal."

"Oke, tante!" Semangat Idaline membara. Secercah cahaya muncul membawa harapan besar.

••••••••••••••••••••

Idaline menengok ke kanan dan ke kiri. Setelah berbincang-bincang, tidak terasa waktu sudah sore. Dengan yakin ia pulang sendiri karena sampai kedai dengan cepat. Hasta dan Atem hanya bisa menyetujuinya sebab ada tugas penting menanti mereka.

"Aduh," keluh Idaline melihat semua pohon sama besarnya, padahal ketika berangkat ia yakin hanya ada satu pohon besar di persimpangan jalan.

"Adik kecil apa yang kamu lakukan di sini? Sudah mau malam." Seorang pria paruh baya dengan seorang rekannya berdiri di bawah pohon besar.

"Ah, paman. Saya lupa jalan." Idaline menatap pepohonan yang berusaha ditutupi oleh keduanya. Daripada takut Idaline lebih penasaran dengan pohon yang ditutupi keduanya. Zaman itu budi luhur masih agung dilaksanakan, sangat jarang orang melakukan kejahatan.

"Adik ingin kemana?"

"Ke toko obat. Paman juga kenapa tidak pulang? Nanti banyak setan loh." Idaline terbelalak saat seorang pemuda terlempar ke pohon hingga bunyi tulangnya terdengar menyakitkan. Ia menengok pohon lain yang tidak ditutupi dua paruh baya yang barusan menyapanya.

"Kamu urus anak ini," suruh pria lain yang sedari tadi terdiam. Kedua orang itu terkejut saat mendapati Idaline hilang dari pandangan mereka.

"Apa yang kalian lakukan??" Idaline tidak ingin terlibat hal ini, tetapi begitu sadar ia sudah berdiri di depan sang anak bukannya lari ke arah yang lain.

"Anak kecil mengganggu saja," kesal salah satu orang yang terlihat seusia dengan Wala.

"Jangan kasar pada anak kecil, Baja Sapta."

"Ini akan jadi masalah karena dia sudah melihat wajah kita, Rapu Catra." Baja mengeluarkan keris dari sarungnya.

"Apa kamu tidak melihat warna aura di jantungnya sama seperti milik beliau?" pemuda lain menahan tangan Baja.

"Mohon maafkan kami." Kedua pria paruh baya menarik lengan Idaline dan membekuknya.

"Kalian tidak mendengarkanku?"

"Bayu!" teriak Baja dan Rapu, rekan mereka yang bernama Bayu mendekat ke arah Idaline dengan aura yang besar. Anak itu bisa mati dalam sekejap.

"Tuan muda..?" lirih pria paruh baya. Lengannya terluka saat bayu memegangnya lalu menghempas jauh lengannya dari lengan anak kecil yang mereka tangkap.

Idaline tidak memperhatikan sekitar, penglihatannya terkunci, ia menatap takjub pupil berwarna merah milik Bayu.

Lelaki tinggi itu menunduk mensejajarkan dirinya dengan tubuh Idaline. "Bagaimana pendapat Anda tentang anak kecil ini menjadi mahapatih untuk kerajaan kita?" tanya Bayu tersenyum.

"Bayu sadarlah sedikit. Pertanyaan ini akan membuat kepalanya sakit," tegur Baja.

"Anda sedang mempertanyakan keputusan pemimpin kerajaan ini?" tanya balik Idaline sambil berkedip membuat Bayu merasa gemas kemudian mengacak rambut gadis itu. Idaline merenggut rambut rapihnya jadi berantakan.

"Pemimpin terkadang bisa membuat kesalahan."

Idaline memukul tangan Bayu yang ingin memegang kepalanya lagi. "Lalu katakan langsung pada beliau!"

Bayu tertawa mendengar ucapan Idaline. "Pintar sekali, pintar sekali," pujinya.

Idaline mengalihkan pandangannya kepada seorang remaja yang bernapas kesusahan namun berusaha tetap sadarkan diri.

"Lihatlah dirinya yang tidak bisa menjaga diri sendiri. Bagaimana bisa ia menjaga keluarga kerajaan?"

Kaki Idaline melangkah pelan mendekat ke genangan darah segar yang tampak mengerikan. Ia menatap marah pemuda berselendang biru yang juga menekuk wajahnya kesal.

"Jika merasa mampu kenapa tidak berlomba dengannya? Kenapa kalian malah main keroyokan seperti ini?" Satu persatu Idaline ukir wajah para pemuda di ingatannya. Ia merentangkan tangannya berusaha melindungi pemuda tak berdaya di sana.

Pemuda itu tersenyum geli. Ia tak menyangka ada gadis kecil yang terlihat lemah dengan berani membelanya. Sebuah keputusan bodoh dalam pandangannya ikut terlibat dalam perseteruan orang asing. Tapi keberanian buntalan mungil itu masuk ke relung hatinya yang belum pernah terisi.

“Gadis kecil! Kamu satu-satunya..” Diam-diam pemuda itu batuk dan mengeluarkan darah. Ia menggelengkan kepalanya ke arah pohon tempat anak keluarga Sapta dan anak keluarga Catra bernaung.

Pemuda itu kembali fokus pada adegan di depannya. “Gadis kecil, kamu satu-satunya yang begitu bodoh namun berani,” batinnya terkekeh memandang wajah garang Idaline.

“Jika suatu saat berbuat begini lagi. Aku akan menghukum kalian! Saat itu aku pasti sudah lebih kuat dari kalian!!” janji Idaline dalam hatinya. Jika ia ucapkan, pasti remaja-remaja labil itu akan membunuhnya.

"Hei, anak kecil. Kamu tidak tau kalau kami sedang menghalau bencana yang akan terjadi pada kerajaan ini?"

"Tidak!" Idaline menatap tajam Baja yang berjalan ke arah mereka. "Kalian sama sekali tidak membantu jika membunuh mahapatih kerajaan ini. Apa kalian tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencari yang lain? Atau kalau dia mati, siapa yang kalian pikir pantas? Tetap saja kalian akan berdebat."

"Yang dikatakannya benar," kata Rapu dari tempatnya. "Meski tiga keluarga kita mendukung satu orang yang sama, bagaimana dengan keluarga lain? Nanti akan terjadi bunuh-membunuh secara berulang jika kita memulainya. Di samping itu, Yang Mulia Ratu tidak akan membiarkan kita begitu saja."

"Rapu apa kecerdasanmu jadi berkurang karena mendengar rengekan anak ini?" Baja semakin marah pada gadis perusak suasana. Rasanya ia ingin membunuhnya saat itu juga.

"HEI! Terus saja memanggil anak kecil, anak ini, anak itu. Aku punya nama!" Idaline mengerutkan dahinya. Ia sadar tidak berguna menjelaskan isi hatinya.

Sedangkan Baja merasa gadis itu sangat imut ketika merengek. Ia dan teman-temannya adalah spesies yang tidak tahan terhadap makhluk-makhluk imut. Baja berdehem menghilangkan kegemasannya.

"Sudahlah lupakan," gumam Idaline. "Kalau kalian tidak puas. Minta banding saja. Orang yang kalian pilih beradu kecerdasan dengan anak ini," usulnya.

"Meski aku kurang mengerti. Tapi sebenarnya bagus idenya untuk adu kecerdasan, lalu akhirnya keraguan kita dan Yang Mulia Ratu akan sama-sama hilang. Siapapun itu yang menang." Baja menyetujui usulan Idaline.

Namun Idaline tidak berpikir itu ide yang bagus jika orang-orang berhati sempit bertanding. Mereka akan merasa malu dan benci pada anak remaja yang bahkan menurut dunia modern belum berhak memiliki KTP. Idaline menghela napas saat orang-orang itu pergi.

"Padahal kamu tidak perlu membantu, dik."

Idaline menatap terkejut pada remaja yang berdiri memegangi pohon dengan kesusahan. Ia yakin tulang punggung anak itu telah patah dari kerasnya suara tulang terbelah.

Tetapi Idaline memilih diam memandangi dari tempatnya, tidak ingin terlibat terlalu jauh. Jika Idaline membantu berarti Idaline harus masuk ke rumah bangsawan dan tidak akan ada yang tahu apa yang akan terjadi di sana. Mungkin menghilangkan jejak saksi mata.

Mahapatih seharusnya orang terkuat setelah raja.

"Tapi aku ucapkan terima kasih."

"Maaf sekali bukannya tidak ingin membantu tapi aku tidak–" kuat membawamu.

Ucapan Idaline terpotong hembusan angin kuat yang muncul dari pendaratan dua orang dewasa yang turun dari pepohonan membantu sang pemuda.

Idaline mengibaskan tangannya di wajah dan berpaling pergi. "Karena sudah ada yang membantu. Aku pamit pulang," katanya melambaikan tangan lalu berlari cepat berusaha hilang dari pandangan mereka.

Langkah Idaline memelan mendengar suara aliran sungai. Ia duduk di pinggir sungai tidak tahu seberapa jauh jaraknya dengan toko obat.

Idaline melipat kakinya ke perut dan menaruh dagunya di lutut. "Haah, sudah berapa hari?" Meski ia tahu perbedaan waktu 1 hari berbanding 1 bulan, tetap saja ia sudah berhari-hari pergi dari dunia modern.

Rasa rindu pada ibunya, ayahnya, dua adiknya..

Juga seluruh sepupu dan saudara yang telah memberi arti keluarga hangat dalam hidupnya semakin memuncak.

Tangis gadis itu pecah bersamaan dengan semeriwing angin sore yang semakin gelap.

••• BERSAMBUNG •••

© Al-Fa4 | 28 Mei 2021

Jangan lupa tinggalkan jejak dengan like dan komen ya man teman

Kesimpulan Bab 2 :

1. Pemeran utama wanita atau yang kini disebut Idaline\, menemui orang dari dunia modern.

2. Pemeran utama wanita menceritakan jati dirinya sebagai Udelia pada orang modern tersebut. Dia percaya sesama orang modern pasti saling bantu membantu.

3. Pemeran utama wanita hilang arah saat pulang\, padahal saat berangkat dia mudah sampai ke kedai.

4. Pemeran utama wanita bertemu dengan seorang anak remaja yang dipanggil Mahapatih atau setingkat perdana menteri di kerajaan Jawa Kuno.

5. Pemeran utama wanita pergi ke hilir sungai karena tidak tahu arah ketika kabur dari Mahapatih. Dia tidak mau terlibat lebih daalam pada pertikaian orang-orang besar.

003 - BERTAHANLAH NONA

Idaline duduk menatap matahari pagi yang meninggi. Semalam pengawal mahapatih mengantar dirinya pulang ke toko obat ketika orang-orang mencarinya hingga memenuhi pasar. Hari ini dia dilarang keluar bahkan untuk pergi ke taman.

"Bosen," keluh Idaline.

Kaki gadis itu melayang di antara kaki kursi yang panjang. Kedua tangannya dilipat di jendela, sesekali ia menebar senyum pada mereka yang diam-diam memandanginya sambil bekerja. "Semoga tangan kalian baik-baik saja," do'anya ngeri melihat pisau tajam di tangan orang-orang yang berkebun.

Suara pintu terbuka mengalihkan dunianya, Idaline mengedipkan mata membiasakan suasana ruangan yang cahayanya jauh berbeda dari cahaya di kebun. Tampak dua orang berdiri di depan pintu. Salah satunya adalah Sri, ia tersenyum sambil mendekat ke arah Idaline.

"Nona, lihatlah siapa yang datang." Wanita itu menggeser tubuhnya memperlihatkan orang di belakangnya.

Di sana tampak seorang pria mengenakan topi caping, ia bersimpuh dan menundukkan kepalanya dalam-dalam membuat wajahnya benar-benar tak terlihat.

Idaline tersenyum canggung. Ia tidak mengenal pria itu, tidak tahu bagaimana memanggilnya, dan tidak tahu harus berbuat apa.

"Beliau adalah tuan Garong. Orang kepercayaan tuan untuk kebun dan wali yang ditunjuk oleh nyonya.” Sri menurunkan Idaline dan diajaknya mendekat pada rekan kerjanya itu.

"Salam kenal, tuan."

Garong membuka capingnya mengintip keadaan takut nona kecilnya terkejut. Dia tersenyum melihat tangan kecil di depannya. "Nona kecil memang berani!" bangganya dalam hati lalu meraih tangan kecil yang menjulur padanya.

"Salam, nona. Hamba senang mendengar nona sudah kembali sehat." Bulu kuduk Garong tiba-tiba berdiri ketika Idaline menempelkan tangannya ke dahi. "Nona.." panggil Garong haru. Idaline melakukan hal yang sangat sopan pada orang tua. "Tidak. Tidak. Nona tidak boleh begitu pada bawahan." Garong menarik halus tangannya dari tangan Idaline.

"Yang kecil harus menghormati yang besar." Idaline menatap polos Garong membuat pria beranak itu merasa gemas.

"Tetap saja bawahan adalah bawahan, nona."

"Tua tetap tua, paman."

"Huhu jadi paman udah tua?" Garong pura-pura mengusap ujung matanya.

"Iya paman udah tua!!" seru Idaline menyembunyikan seringainya. Bagaimana bisa ia mengatakan pria itu tua sedangkan nampak seusia dengannya? Idaline hanya ingin menggoda pria bermimik lucu di depannya.

"Eh?" Pria itu berpikir Idaline akan menenangkannya. Ia jadi ingin menangis sungguhan. "Padahal masih muda begini. Tapi anak kecil selalu benar. Perempuan selalu benar. Majikan selalu benar. Nona adalah anak kecil berjenis kelamin perempuan."

Sri tersenyum kecil melihat perdebatan mereka berdua. "Kita akan kembali sore nanti," lontarnya.

Idaline yang sedang mengangguk-ngangguk menggerakkan kepalanya ke arah Sri. "Bibi kan masih sakit," tegurnya.

"Saya sudah sembuh. Terima kasih atas perhatian nona." Sri tersenyum hangat.

"Baiklah. Karena kita akan kembali. Bagaimana kalau membeli beberapa hadiah untuk teman-teman?" putus Idaline. Sri bercerita pada Idaline tentang teman-temannya.

"Baik, nona," ucap Sri dan Garong bersamaan.

Wajah Idaline tertekuk saat ia memakai pakaian yang sangat ketat di perut. Untuk keamanan, Sri menambahkan beberapa ikatan kain di tubuhnya.

"Bi sepertinya aku tidak bisa bernapas." Idaline memegang ikatan kain di perutnya. Selendang yang terikat di atas punggung menyambung ke gelang di tangan kanan dan kirinya menambah repot Idaline. Sri berinisiatif memasangnya begitu karena Idaline selalu membawa selendang kemana pun ia pergi.

"Bertahanlah, nona. Sebentar lagi Anda akan terbiasa." Sri meraih tangan Idaline dan memijatnya pelan. Titik-titik yang disentuh Sri membuat Idaline merasa rileks.

••••••••••••••••••••

Wajah Idaline bersinar menatap pasar yang ramai orang berlalu-lalang. Kemarin dia tidak memperhatikan karena fokus pergi ke kedai. Mata Idaline bergerak ke kedai milik Hasta, kedai itu tutup karena hanya buka dua hari dalam sepuluh hari.

"Ah, bi. Aku ingin ke butik bunga." Wajah Atem yang begitu membekas muncul di ingatannya. Desa tempat tinggal Idaline jauh, ia harus mengucapkan salam perpisahan.

"Berpencar lebih cepat," ucap Idaline dalam hati. Dengan begini ia harap mereka dapat menemukan jalan keluar lebih cepat.

"Baiklah."

"Selamat datang," sambut pelayan di meja depan.

"Oh ini meja informasi ya?" takjub Idaline. Atem menata butiknya dengan pelayanan modern. Rasanya ia masuk ke butik di kota dengan nuansa tradisional.

"Nona kecil, ada yang bisa kami bantu?" Muncul pelayan lain yang pakaiannya sama dengan resepsionis. Jarik dipakai dari dada hingga mata kaki, kain putih polos membalut dari belakang menyilang ke depan tubuh membuatnya seperti jubah.

Sedangkan laki-laki memakai jarik hingga menutupi perut dengan tambahan kain putih yang disampirkan di salah satu bahu mereka.

"Saya ingin bertemu nona Atem," ujar Idaline tanpa basa-basi. Bukannya sombong, ia hanya tidak bisa melakukannya. Basa-basi muncul biasanya ketika gugup melandanya.

"Ini.."

"Saya Idaline."

"Oh nona Idaline. Baiklah. Silakan ikuti saya." Para pelayan sudah diberikan pesan tentang tamu spesial nona kecil ini. Ada beberapa orang yang diperbolehkan bertemu tanpa janji dengan majikan mereka.

"Nona kenal dengan pemilik butik ini? Padahal karya beliau sangat luar biasa sampai dipanggil oleh istana," bisik Garong berjalan di belakang Idaline..

"Kemarin kami tidak sengaja bertemu di kedai," jelas singkat Idaline terus melangkah.

"Mohon pendamping nona beristirahat di ruang tunggu." Penjaga di depan tangga mengulurkan tangannya menghalangi Sri dan Garong, memisahkan mereka dari Idaline.

Kedua orang itu saling memandang bak bertelepati lalu Sri mengangguk perlahan. "Saya akan menunggu di sini."

"Baiklah." Penjaga lain membawakan kursi agar tamu-tamu majikannya duduk nyaman di sebelah tangga.

Idaline terkesima dengan kumpulan alat musik di lantai kedua yang berbaris rapih juga berbagai macam wayang dan kain-kain dengan beragam motif dipajang di sana.

"Nona Idaline ingin bertemu," ucap penjaga setelah mengetuk pintu.

"Silakan masuk," sahut dari dalam.

Penjaga membukakan pintu tembok putih polos menyambut mereka. "Monggo." Penjaga menunjuk pintu dengan jempol.

"Terima kasih, kakak cantik."

Penjaga tersenyum malu sembari menutup rapat pintu. Sejauh ini Idaline hanya melihat dua pekerja pria yang menjaga tangga dan menghalangi Sri dan Garong. Secara keseluruhan hampir semua pekerja Butik Bunga adalah perempuan.

"Kebetulan sekali Ida datang ke sini. Aku sudah rapihkan baju-baju yang nyaman untukmu."

"Terima kasih banyak, tante." Idaline menerima bungkusan dari Atem. "Aku ingin pesan pakaian yang nyaman untuk perawat."

"Sangat mudah membuat pakaian itu. Tetapi kita hidup di jaman ini, sayang." Atem mengelus rambut Idaline. Di mata Atem ia melihat Idaline sebagai anak kesayangannya dan Idaline tidak keberatan, ia menghormati seorang ibu yang sedang merasakan rindu yang mendalam pada anaknya.

"Aku sudah memikirkannya semalam, tante. Seharusnya tidak jadi masalah karena pengembangan kebaya akan terjadi dalam waktu dekat. Modelnya seperti ini."

"Ini tetap terlalu modern." Atem tersenyum melihat gambar jas dokter tanpa penjelasan bahan dan warnanya. Jika tidak teliti, gambar itu akan terlihat sebagai sebuah coretan-coretan tak bermakna.

"Ah iya gambarnya sama kaya pakaian dokter, tapi kalo pakai kain jarik ngga papa kan?" Idaline memohon dengan pupil mata membesar.

Idaline ingin memudahkan orang-orang untuk menyimpan barang seperti obat darurat di kantong pada pakaian dokter buatannya. Sebab tak jarang ia melihat murid-murid tabib terkena racun dari tanaman. Dengan menyimpannya di kantong, mereka bisa langsung menenggaknya tidak perlu mencari-cari di tas yang bercampur dengan barang-barang lainnya.

Atem tertawa kecil. "Baiklah baiklah. Akan aku buatkan untuk 4 orang saja." Atem menaruh desain Idaline ke tumpukan desain miliknya sendiri. "Nah lalu ini sarung tangan untuk berkebun yang kamu pesan."

Idaline memesan sarung tangan karena melihat tangan orang-orang yang berkebun di taman obat tergores akibat terlalu hati-hati dalam memotong dedaunan. Mereka bilang lebih baik tangannya menjadi papan daripada bagian-bagian penting terpotong dari dedaunan dan bunga-bunga obat. Untung saja yang satu itu Atem tidak mendebatnya sama sekali.

"Terima kasih tante."

"Jangan sungkan, Da."

"Kalau begitu jasnya nanti diantar ke toko obat ya. Aku akan pulang ke Janapada hari ini."

"Baiklah. Hati-hati dan jangan lupa kirim pesan buat tante."

"Tidak akan lupa," jawab optimis Idaline. "Aku permisi, tante. Masih harus membeli hal lain."

"Hati-hati di jalan. Maaf tante tidak bisa mengantar." Atem masih harus menemui pelanggan VIP nya.

"Tidak masalah, tante. Salam untuk Hasta ya!"

Begitu Idaline menuruni tangga Sri menghampiri Idaline dan mengambil bungkusan di tangan kanan dan kiri gadis itu. "Saya saja, nona."

Idaline menyerahkan sebagian pada Sri dan Garong karena sejujurnya tubuhnya tidak kuat memegang banyak barang pemberian Atem. "Selanjutnya kita akan ke toko tanaman."

••••••••••••••••••••

Sri dan Garong duduk di kedai teh setelah berkeliling bersama Idaline. Pemberhentian terakhir adalah tempat seorang pengrajin. Mereka tidak mengerti kenapa nonanya pergi ke tempat pengrajin yang tidak terkenal dan sepi tokonya.

"Tidak lihat tokonya sepi? Berharap apa?" ketus penjaga toko membuat Idaline tersenyum di balik capingnya.

"Saya membawa desain alat yang bagus." Idaline berucap dengan ramah.

"Sudah kudengar ribuan kaliii." Penjaga toko menggerakkan kedua tangannya seperti deburan ombak berharap tamu tak diundangnya memandang dirinya tak waras.

"Tuan Tok, saya ingin Anda membuat ini satu saja dan tidak boleh menyalin desain yang saya punya atau Anda akan terkena masalah." Idaline merubah nadanya menjadi tegas.

Tok menatap kertas yang terlipat di atas mejanya. Ia menatap bergantian kertas itu dan siluet kecil yang menutup kepalanya dengan caping yang dikelilingi kain hitam. "Memangnya apa bagusnya?" tanyanya dengan malas.

"Anda harus bersumpah dahulu." Idaline menarik kertasnya.

"Ahaha menarik, sangat menarik. Aku jadi penasaran." Tok duduk dengan tegak meletakkan dua tangannya dan menautkan satu sama lain di atas meja.

"Bersumpahlah bahwa Anda tidak akan menyalin desain ini ataupun membuatnya tanpa sepengetahuan saya. Hanya saya yang boleh menentukan pembuatan hal ini." Idaline mengetahui tentang sumpah dari Wala yang terus bercerita ketika ia tidak dapat turun dari ranjang.

Sumpah tidak bisa diucapkan sembarangan. Ada konsekuensi yang akan terjadi jika melanggarnya. Ini tidak pernah berubah meski dunia telah berubah. Hanya saja di dunia yang telah berganti ilmu, hasil sumpahnya ditangguhkan. Zaman yang sebenarnya lebih sulit karena hanya bisa menduga-duga. Hingga akhirnya banyak orang tak lagi percaya akan akibat dari banyak bersumpah.

Tok diam menatap kepalan tangannya selama 3 menit kemudian ia buka kepalannya dan muncul cahaya putih terang. "Aku bersumpah atas nama Tuhan tidak akan melanggar janjiku kepada nona ini. Aku akan membuat benda yang ia desain sesuai dengan permintaannya saja. Jika aku melanggar, mohon kirimkan petir untuk menyambar diri yang tidak memegang janji."

"Lalu ini tanda kepunyaan saya." Idaline menggambarkan tanda tangannya di atas kertas. "Mohon buatkan setiap gambarnya satu saja."

"Sudah kuduga." Tok tersenyum semringah melihat desain-desain unik yang belum pernah dilihatnya.

"Senang bekerja sama dengan Anda."

"Saya juga sangat senang. Mohon maafkan kekasaran saya, tuan. Hanya sedikit orang yang menarik di dunia ini."

Mata bulat Idaline menatap lurus Tok. Padahal suaranya tidak dibuat-buat tapi Tok menganggapnya seorang pria. Memang dari kalangan pria maupun wanita sedikit sekali yang berpikir ide cemerlang dapat muncul dari benak wanita.

Wanita diciptakan dengan berbagai peraturan ketat karena begitu berharga bagai mutiara dalam cangkang kerang. Banyak yang memandang sebelah mata peraturan-peraturan itu, padahal mereka yang patuh pada peraturan, sebagiannya tertulis dalam tinta emas sejarah dan sebagiannya menorehkan nama anak-anak mereka di dalam buku emas sejarah.

"Anda harus melihat semua orang dengan lapang baru akan terlihat sisi menarik dari masing-masing mereka," kata Idaline menerawang jauh ke dalam dirinya. Ia hanyalah seseorang yang merasa harus mematuhi peraturan, namun orang-orang enggan berteman dengannya.

Berbagai cibiran dilontarkan di belakangnya dan ia sangat peka. Ingin ia berteman atau sekedar menerima ajakan bermain tapi mata mereka menyiratkan kebencian.

"Semua orang hanya ingin membuat kerajinan yang sama, kerajinan yang dapat semua orang buat. Saya berharap Anda akan terus berlangganan di sini."

"Setelah semuanya selesai dibuat." Idaline melangkah keluar meninggalkan Tok.

Sri dan Garong berdiri melihat kedatangan Idaline. "Bagaimana nona? Apakah semuanya sudah selesai?" tanya Sri memeriksa tubuh Idaline.

"Ya. Mari kita berpamitan ke toko obat."

Garong memacu kudanya di depan kereta membawa Idaline dan Sri kembali ke toko obat.

"Wah lucu sekali nona," ucap pelayan yang bekerja di dapur. Idaline memberikan hairband untuk mereka.

"Ini untuk paman-paman kebun." Idaline tersenyum lebar memberikan sarung tangan pada mereka.

Baginya berteman dengan orang dewasa sangat menyenangkan, mereka tidak akan bersikap kekanak-kanakan dan terlebih ia akan diperhatikan sebagai anak yang lebih muda, ketidaksempurnaan dirinya akan dimaklumi dan tidak ada yang memandang remeh nasihat atau peringatan yang keluar dari mulutnya.

Orang-orang dewasa akan berpikir bijaksana. Mereka menelaah dan mencerna setiap ucapan tanpa memandang dari siapa mereka terima, bahkan bila itu sekedar tulisan tak berpemilik di atas tembok.

"Nona kecil baik sekali!"

Idaline sedikit mendengus mendengarnya. Tubuhnya tidak terlalu kecil hanya orang-orang itu yang terlalu besar! Tidak terbayangkan dalam benaknya manusia terdahulu di negerinya ternyata memiliki tubuh yang tinggi. Padahal negerinya dinobatkan sebagai negeri orang-orang pendek.

"Untuk aku? Untuk aku?" Wala menatap Idaline lekat-lekat.

"Ini." Idaline memberikan gelang pada Wala.

"Waaah." Wala membuka mata dan mulutnya lebar-lebar secara dramatis. Dia memasang gelang itu ke tangan kirinya. "Indah sekali seperti nona kecil."

"Wala jangan menggodanya terus. Lihatlah nona Idaline jadi malu," tegur teman Wala.

"Ini untuk kak Kerto." Idaline memberikan gelang yang sama.

"Terima kasih, nona Idaline."

"Kak Westo dan tabib ngga ada ya?" Idaline melihat sekeliling tidak menemukan mereka berdua.

"Iya. Sedang mengunjungi pasien," jawab Kerto memasukkan gelang ke sabuknya. Sang kekasih cemburuan, ia tidak bisa memakainya.

"Oke aku titip ke kak Kerto aja ya gelangnya." Idaline memberikan kantong ke Kerto. Sembunyi-sembunyi ia tertawa melihat pasangan Kerto menatap marah di balik tembok.

"Kami akan berangkat sekarang," ucap Sri melihat matahari semakin turun.

"Sampai jumpa lagi kakak-kakak." Idaline melambaikan tangannya di dalam kereta.

"Hati-hati!"

•••BERSAMBUNG•••

© Al-Fa4 | 30 Mei 2021

Tinggalkan jejak like dan komen yaaa kalian yang lewat sini

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!