Jari-jari lentik nan mulus menarik tali kekang kuda, menghentikan tunggangannya di samping kereta yang mencolok, yang sisi kanan dan kirinya membentang kain bersulamkan emas. Ia tarik paksa tirai itu hingga tampak seorang gadis yang terlelap.
Kedua alis gadis itu bertaut ketika cahaya tiba-tiba menusuk netranya. Ia membuka mata masih menautkan alis kesal pada pelaku pengganggu kedamaiannya. "Sudewi?" batinnya menangkap sosok yang mengganggu tidurnya.
Kali ini tidak ada satu perhiasan pun menempel di tubuhnya. Kain wulang emas, kain penutup dada hingga pinggang para bangsawan wanita tidak dikenakannya, justru kain coklat polos usang membalut tubuhnya sampai ke kaki. "Sedang menyamar?" duga Idaline memperhatikan orang-orang yang menghentikan keretanya juga berpakaian usang, namun aura tegas dan wibawa ksatria tidak hilang dari diri mereka.
"Raden Ajeng, Anda pergi ke mana? Saya mencari Anda keliling kerajaan sampai ke setiap sudut terpencil, tak kunjung menemukan Anda." kata Sudewi melihat Idaline sudah sadarkan diri.
"Sangat tidak sopan mengganggu orang tidur!" ketus Idaline mengusap wajahnya. Sensitivitas emosinya tinggi, ia tahu Sudewi tidak menyukainya dan ia balik merasa tak suka.
Kesan pertama sangat berdampak dalam hubungan seperti pertemanan, akan sangat sukar menghapus kesan buruk di awal daripada tahu setelah mengenal lebih dalam. Idaline sekali lagi mengusap wajahnya menghilangkan sifat kekanakan yang mulai merasuki.
"Pangeran ingin bertemu dia. Kalian pergilah!" titah Sudewi mengusir Siji dan Loro yang berdiri di sebelah kereta, sigap melindungi penumpang di dalamnya.
"Mohon maaf, Yang Mulia. Tuan Mahapatih memerintahkan kami untuk membawa Yang Mulia Raden Ajeng Paramudita ke kediaman beliau." ucap Siji sedikit ragu. Keringat dingin keluar di dahinya. Ia dan adiknya, Loro, berada di antara dua orang yang tidak bisa dibantah.
"Katakan ini perintah Kanjeng Gusti Pangeran!" balas Sudewi sedikit mengeraskan suara, marah pada rakyat jelata yang berani membalas ucapannya.
"Baik, Raden Ajeng." pasrah Siji siap menerima kekecewaan tuannya.
"Aku tidak punya urusan dengan kalian." Idaline menatap malas orang-orang yang menunggu dirinya keluar. Ia tutup mulutnya menguap lebar-lebar lalu menyandarkan punggung di dinding kereta sebab kantuk belum hilang dari matanya.
"Karena Raden Ajeng Paramudita tidak mau datang sendiri. Pengawal! Tangkap Raden Ajeng!"
Belum sempat Idaline protes, tubuhnya sudah dibekukan dan tangannya diikat tali kasar. Kemudian para pengawal memaksanya turun dari kereta. "BERANI SEKALI KALIAN!" teriaknya berusaha melepaskan diri.
"Ini karena Raden Ajeng tidak mau menurut. Taruh kemari!" Sudewi menepuk punggung kudanya.
"Aw!" Pandangan Idaline mengabur setelah tengkuknya dipukul. Ia menatap nyalang seluruh orang yang terlibat.
••
Sudewi duduk di depan Idaline memperhatikan mata yang bergerak mulai terbuka. Sekilas pandangannya ragu lalu hilang tak berjejak. Ia menatap serius Idaline dan bergumam, "Aku sebenarnya tidak mau melakukan ini. Tapi nyatanya harus kulakukan."
Idaline memandang lemah Sudewi. Pukulan di tengkuk sangat mengejutkan tubuh kecilnya. Ia menunduk merasa kepalanya seperti tertimpa batu besar. "Apa aku telah melakukan kejahatan?" tanyanya lirih.
"Iya. Sangat besar."
"Apa itu?"
"Kamu membakar desa bahkan membunuh satu-satunya pangeran suatu Kerajaan."
"Kapan itu terjadi?"
Sudewi memalingkan wajahnya. Pertanyaan Idaline memukul telak kesadarannya. Kejadian itu sebenarnya sangat jauh di belakang, hatinya jadi bertanya apa benar yang dilakukannya ini?
Kepala berkonde itu menggeleng pelan. "Lebih baik menghilangkan satu nyawa daripada ratusan orang tak bersalah jadi korban," batinnya meyakinkan keputusan yang telah diambilnya.
"Mungkin kemarin. Mungkin juga besok." lontar Sudewi menjawab pertanyaan Idaline.
Raden Ajeng yang baru dilantik itu mendongak dan tergelak hingga orang berpakaian serba hitam di luar gubuk keheranan. Dengan penasaran ia intip suasana di dalam ruangan gelap yang hanya memiliki penerangan dari cahaya yang merangsek masuk dari atap berlubang.
Tubuh lemah Idaline jadi pulih mendengar lelucon yang dilontarkan Sudewi. Fitnahan mereka untuk menjatuhkannya sangat tidak masuk akal. Bagaimana bisa anak remaja tanpa kekuatan dan tanpa kuasa melakukan itu semua? Lalu apa alasannya? Dan apa katanya? Mungkin kemarin mungkin juga besok?
"Sudah cukup main-mainnya! Aku baru saja kembali dari perjalanan panjang." Sekali lagi Idaline memandang lemah Sudewi berharap gadis lucu itu melepaskannya. Kejahatan yang dilakukannya akan Idaline anggap lelucon anak yang takut kehilangan kasih sayang seorang ibu. "Tenang saja aku tidak akan menjejakkan kaki di istana jika tidak ada keperluan."
"Di mana tuan muda ketiga Ekadanta?" tanya Sudewi teringat informasi pengawalnya bahwa Idaline pergi bersama Candra. Ia tidak menemukan keberadaan Candra semenjak Idaline datang, menambah kecemasan dalam relung hatinya.
"Dia sedang belajar."
"Jangan bercanda!" bentak Sudewi bangkit dari duduknya. Ia berdiri di depan Idaline, sorot matanya penuh kemarahan. "Di mana tuan muda ketiga Ekadanta?" ulang Sudewi mengguncang bahu Idaline.
"Carilah di Pendopo Srengenge."
Sudewi melepaskan tangannya mendengar jawaban Idaline. Pendopo Srengenge terkenal dengan kejujuran orang-orangnya meski telah terjatuh, semua orang berasumsi itulah alasan Petapa Agung mempercayakan tulisan tangannya di sana.
"Apa berubah?" batinnya bertambah ragu. Sudewi tidak pernah tahu kehidupan Candra sebelum memasuki akademik. Tidak ada yang membicarakannya kecuali bergosip tentang kutukan dan mengejeknya sebagai anjing yang selalu mengekor pada majikannya.
Tubuh Sudewi kembali mendarat di kursi yang terletak di depan Idaline, mata coklatnya memandang serius Idaline. "Apa kamu tidak ingat?"
"Apa maksudmu?"
"Tentu saja kamu tidak ingat. Aku ceritakan,"
••
"Si-siapa yang melakukan perbuatan keji seperti ini?" tangan Sudewi gemetar melihat darah yang menggenang dan satu desa rata dengan tanah. Abu bekas bakaran rumah juga tumbuhan, hewan, dan manusia berkumpul menjadi satu. Tidak ada tanda-tanda kehidupan maupun bekasnya.
"Idaline, kamu pergilah laporkan suasana di sini ke bupati Kabalan." kata seorang remaja yang berjongkok memeriksa tumpukan abu.
"Iya, ayunda. Yang Mulia Kakanda benar." sahut Sudewi membenarkan. "Ayunda pergilah secepatnya, kami akan periksa lebih dalam." cemasnya pada Idaline yang mematung di tempat.
Saat punggung kucing di asrama mereka terluka akibat berkelahi, Idaline tidak tidur selama tiga hari merawat lukanya sampai menutup sempurna. Kakak angkatnya itu sangat khawatir walau tangannya gemetar ketakutan melihat luka terbuka lebar, namun tetap saja gadis itu melakukan pengobatan dengan tangannya sendiri.
Sudewi mundur ke belakang mendapati tatapan dingin Idaline yang tidak pernah dilihatnya. Di sampingnya Hayan jatuh ke tanah memegangi tenggorokan.
"Kakanda?" panggil Sudewi mendekat dan membalik tubuh Hayan, nampak otot-otot di leher lelaki itu mencuat keluar.
"A-ayunda, ayunda. Tolonglah kakanda." Sudewi menatap Idaline dan Hayan bergantian. Ia ngeri melihat leher Hayan yang membengkak seperti akan pecah. Ia berharap Idaline membawa Hayan secepatnya pulang ke kediaman bupati.
Idaline berjalan menuju Sudewi. Berjongkok di hadapannya, Idaline jepit rahang Sudewi dengan jempol dan jari telunjuk. "Sepertinya kamu tidak makan kue buatanku." Idaline mengeluarkan aura hitam pekat di sekelilingnya, aura hitam itu sedikit demi sedikit memasuki raga Sudewi.
"Ayunda.ke..na.pa?"
"Apa kamu ini orang bodoh? Melihat aura ini seharusnya kamu paham."
"Ilmu hitam?" gumam Sudewi hampir tidak bersuara. "Ba-bagaimana mungkin guru di akademik tidak tahu?" teriak Sudewi dengan sekuat tenaga.
Ia tidak percaya dengan penglihatannya, Idaline tinggal bersamanya di akademik selama empat tahun penuh, patuh terhadap peraturan dan berbakat dalam banyak cabang kesenian.
Tidak mungkin selama itu ilmu hitam lolos dari keamanan akademik kerajaan.
Idaline duduk di atas batu menatap Sudewi yang sedang memegang dadanya tidak nyaman. Ia menumpuk kaki kanannya ke atas kaki kiri dan berkata, "Mereka tahu dan sudah mengobatiku. Nyatanya aku ditanami bibitnya bukan hanya dimasukkan aura hitam pada tubuhku."
Matanya melirik Hayan yang terkapar tak berdaya, di sudut mata yang kosong itu terdapat bekas air mata yang keluar dari hati terdalam, tidak menyangka pemilik hatinya setega itu pada dirinya.
"Ckck." decak Idaline melihat lemahnya pewaris kerajaan besar. Seharusnya orang seperti itu memiliki hati yang dingin dan kekuatan yang besar.
"Ah pangeranku, kamu pasti tidak tahan tanpa kehadiran kedua orang tuamu. Dan Sudewi, ayah yang sangat kamu sayangi..aku dengan senang hati akan mempertemukan kalian agar tidak merasakan sakit akibat berpisah."
"Ayunda, apa yang kamu bicarakan? Semuanya palsu kan? Semuanya bohong kan? Ini hanya alam mimpi?!"
"Benar. Selanjutnya kalian akan berkumpul di Surga." Idaline mengangkat tangannya menyusun kayu-kayu di sekeliling Hayan dan Sudewi menggunakan sihir.
"Surga ya?" Sudewi merasakan tubuhnya tidak lagi sakit tetapi tidak dapat digerakkan.
"Karena kamu sudah menyerap seluruh aura itu. Kita mulai pemberangkatan kalian." Idaline menjetikkan tangannya, seketika api muncul membakar kayu di sekeliling Hayan dan Sudewi.
"Apa ayunda tidak bahagia bersama kami? Apa kami pernah memiliki kesalahan pada ayunda?" tanya Sudewi tidak percaya orang sebaik Idaline melakukan hal kejam. Pikirannya justru terisi dugaan kesalahan yang pernah mereka lakukan sampai Idaline memupuk dendam kesumat.
"Aku bahagia saat menghabiskan waktu bersama kalian." Idaline memandang nanar dua raga yang hampir terkena api.
"Lalu kembalilah, ayunda. Jangan kamu korbankan dirimu. Selamatkan dirimu kemudian balaslah dendam kami." ucap Sudewi masih tidak percaya Idaline melakukan semua yang terjadi.
"Kenapa kamu berpikir seperti itu?"
"Ayunda pasti terpaksa melakukan ini. Benih yang ayunda bicarakan itu pasti telah mengendalikan ayunda. Hiduplah dan balaskan dendam kami pada mereka setelah ayunda terbebas." jawab Sudewi penuh harapan.
Idaline tertawa terbahak-bahak. Ia seka air yang muncul di ujung matanya lalu berkata, "Yang mereka tanamkan adalah benih ilmu hitam bukan benih perbudakan. Aku sangat sadar dengan yang kulakukan."
"Lantas mengapa ayunda terlihat sedih–" Sudewi memandang sendu Idaline.
"Sudahi pembicaraannya. Kita pergi bersama menuju keluarga kita." potong Idaline. Ia bangkit melangkahkan kaki ke arah jerami yang terbakar api hitam. "Pemimpin, jika kamu bohongi aku. Jangan salahkan aku datang menagih hutang padamu." katanya memasuki api.
Belum sempat kakinya masuk, cahaya putih muncul dari arah Sudewi dan Hayan yang tergeletak, memadamkan api merah di sekitar mereka. Nampak Candra menempelkan telapaknya ke tanah dan mengucapkan beberapa mantra lalu cahaya putih yang jauh lebih besar mencuat keluar.
Rahang Idaline mengeras, matanya menusuk Candra yang memandangnya dengan ekspresi sedih bercampur kecewa.
"Begini rasanya digigit anjing sendiri." tutur Idaline sebelum cahaya itu memakan tubuhnya.
"Kupikir para pria mendekatimu karena kagum atas bakatmu, ternyata kamu merayu mereka!" Sudewi menunjuk wajah Idaline. "Saat kita kembali ke titik ini lagi, aku tidak akan membiarkanmu begitu saja."
Sudewi mendapatkan kabar ada orang-orang ilmu hitam yang bersembunyi di tengah hutan saat Idaline kembali dari toko obat, maka alurnya sudah benar dan ia hanya perlu melenyapkan orang yang akan menyebabkan bencana.
"Mimpi buruk sudah berakhir, Wiwi."
Sudewi tersentak mendengar ucapan Idaline. Ketika mimpi buruk datang tanpa permisi, Idaline yang serumah dengannya di akademik menenangkan dirinya dengan kalimat yang sama.
"Mimpinya sudah pergi dan keburukannya sudah hilang." Idaline menatap langit-langit gubug tempatnya disekap, menghitung sisa waktu untuknya kembali.
Bagaimanapun keadaannya, ia harus bertahan. Ia tidak mau mati tanpa nama dan tanpa didampingi orang-orang terkasih.
"Sudah hilang ya?"
"Tinggalkanlah mimpi ketika terbangun. Buatlah kebahagiaan dalam kenyataan dan hindarilah keburukan yang coba menerpa." tambah Idaline.
"Kenyataan.."
"Pangeran tidak usah bersembunyi di luar sana, datanglah katakan dengan jelas kesalahanku. Jika itu benar kulakukan, aku tidak akan lari." Idaline menatap jendela tempat seseorang mengintip. Pakaian hitam sangat mencolok di balik suasana terang di luar ruangan.
Hayan masuk ke dalam gubug, pakaiannya serba hitam dengan caping, topi jerami yang dibalut kain hitam hingga tidak terlihat wajahnya. "Kamu belum melakukan, tapi mungkin akan melakukan. Jika benih yang diucapkan Sudewi benar, maka kamu tidak akan bisa lari."
Suatu hari Hayan terbangun dengan perasaan benci yang sangat kuat, lalu ia semakin merasa benci ketika orang-orang berbicara tentang Idaline.
Awalnya ia mengira karena telah dimarahi ratu setelah ia menjadikan Idaline tameng saat pembunuh bayaran mencoba membunuhnya.
Padahal jauh sebelumnya, Indudewi dan ibu asuhnya pernah menggantikan posisinya dan ratu tidak marah.
Kemudian Sudewi datang menceritakan hal-hal yang sudah dialaminya, Hayan berpikir mungkin kebencian yang ia rasakan berasal dari sana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
Dunya Barrack
sudewi? sudewi bukannya istri hayam wuruk?
2021-07-21
7
Anah Aini
esmosi
2021-07-20
16
Amina
cantik jangan kejam dong
2021-07-19
0