Di kejauhan, sebuah bambu runcing dalam kegelapan mengarah pada mereka. Ketika bidikannya pas, senjata itu melesat dari sarangnya menuju target.
Idaline terbelalak melihat sasaran tembak bambu yang basah dengan cairan hitam. "HEI HENTIKAN!" teriaknya melihat peluru itu melaju ke arah anak harimau yang terbaring tak sadarkan diri.
Ia menghela napas lega saat induk harimau menghempaskan anak thulup dengan ekornya.
"Beraninya mereka!" geram harimau.
"Kulakukan!" ucap Idaline cepat menghentikan harimau yang akan meloncat. Ia duduk lalu menengadahkan tangan kanannya, sang harimau pun memberikan bantalan kakinya. "Uh empuk sekali, jadi kangen kucing-kucingku." Idaline memijat pelan telapak kaki berwarna merah muda sambil tertawa kecil.
"Apakah nona sedang berdiskusi dengan harimau itu?" bisik Noto di balik semak-semak.
"Sepertinya begitu. Ami turunkan senjatamu, kita lihat dulu dari sini." Cokro memegang pelatuk crossbow dengan siaga.
"Saya akan mengantar Anda ke goa yang aman. Anda tidak boleh membawa teman-teman Anda,"
"Aku datang ke gunung ini untuk mengambil bunga abadi, bisakah kamu sekalian bawakan? Aku dan anakmu akan menunggu di desa dekat bukit Tang. Di sana lebih dekat jika kamu pergi ke lereng Buto." usul Idaline menolak tinggal lebih lama. Ia mengkhawatirkan Candra yang berada di desa.
"Apa maksud Anda? Membiarkan tiga manusia itu saja saya tidak akan pernah melakukannya! Dan Anda ingin membawa anak saya ke desa manusia?"
"Dengarlah, nyonya harimau. Melihat pola anakmu belum sepenuhnya berwarna ungu, ini pasti belum lama terjadi dan mungkin para pemburunya masih di sekitar sini. Tiga hari sangat cukup untuk manusia memikirkan cara menembus perlindunganmu."
Idaline tidak mengarangnya, dalam hidup Udelia ia sempat ikut bergabung dalam divisi jungle menyelamatkan sekelompok anak yang masuk sarang harimau. Mereka berada di tempat yang lumayan aman karena masuk jauh ke dalam. Namun untuk tim penyelamat masuk, harus melewati tempat tinggal harimau yang baru melahirkan. Dan dalam tiga hari semua anak telah selamat.
Ukuran harimau di sini mungkin berbeda, namun manusianya pun berbeda. Dunia yang memandang kekuatan sebagai puncak tertinggi pasti memiliki banyak taktik. Dunia yang mungkin terlihat lebih kejam, namun benarkah lebih kejam dari dunia yang memandang kekayaan? Dunia yang harus seragam tanpa memikirkan pendapat yang lain. Dunia yang katanya menerima kebebasan namun menatap penuh curiga mereka yang fokus pada kampung halaman, tempat seharusnya manusia kembali.
"Semua manusia itu sama! Kamu pikir aku akan mempercayaimu?" berang harimau menatap lurus mata Idaline. "Semua manusia sama saja!! Menganggap keputusannya adalah yang terbaik! Tidak mau mendengarkan pendapat orang lain! Tidak mau diskusi! Apalagi berkepala dingin jika keputusan orang lain yang diambil!!"
"Lah? Terus kenapa kamu meminta tolong pada manusia?"
"Karena kamu memiliki hubungan dengan pak tua itu. Aura seorang manusia tidak bisa diberikan begitu saja pada orang lain. Si pak tua bahkan tidak mengontrak dengan hewan spiritual," kesal harimau menarik tangannya sedetik kemudian menempelkannya lagi.
"Wah bicaramu lebih santuy ya sekarang,"
"Kami bahkan menawarkan diri karena berkontrak dengannya mampu memperkuat aura kami berkali-kali lipat. Orang seperti itu tidak tamak, maka tidak mungkin dia sembrono memberikan aura dirinya pada orang jahat," tambah harimau mengabaikan ucapan Idaline.
"Wah terdengar luar biasa sekali. Padahal bocah itu tidak pernah melakukan apapun padaku,"
"Tidak mungkin. Aura pak tua itu sangat jelas di tubuhmu," harimau itu memperhatikan tubuh Idaline. "Bocah? Hubungan mereka sedekat itu? Yah..aura tubuh pak tua memang melimpah,"
"Huh? Apa pada saat itu?" gumam Idaline terbayang saat dirinya pingsan usai upacara do'a bersama. "Kukira karena lelah jadi tertidur,"
"Pokoknya aku tidak akan memberikan izin!" tegas harimau mengembalikan fokus Idaline pada dirinya.
"Aku bisa memberikan aura itu untuk menolong anakmu. Tapi tidak dengan menjaganya, ada hal lain yang harus kulakukan."
"Dua hari. Kumohon luangkan waktumu dua hari saja." pinta harimau, tampak air di sudut matanya. Dia sangat tahu keadaan anaknya.
Seperti kata manusia di depannya, belumlah terlalu lama sang anak terkena racun. Banyak waktu baginya mengambil obat, tapi dia tidak bisa bertaruh akan keselamatan buah hatinya. Sebuah keberuntungan besar ada yang memiliki aura Petapa Agung di gunung Dieng, tempat tinggal mereka. Dengan aura Petapa Agung, proses pemulihan akan lebih cepat, tentu dia tidak akan melepaskan kesempatan ini.
"Sepertinya waktumu sudah habis," ujar Idaline ketika sekelompok orang muncul dari arah matahari mulai tenggelam.
"Ck. Mereka membawa lebih banyak orang,"
Induk harimau telah membunuh dua dari empat manusia yang mengerubungi anaknya. Dua manusia yang selamat kini datang membawa belasan orang. Ia ceroboh membiarkan mereka mengetahui tempat tinggalnya. Dan ia ceroboh membiarkan manusia-manusia itu tetap hidup. Mata harimau berkilat penuh amarah.
"Mereka pasti percaya diri untuk menangkapmu dan anakmu karena fokusmu terbagi,"
"Tenanglah adik-adik, kami akan menyelamatkan kalian dari hewan buas ini!" teriak salah satu orang.
Orang-orang dewasa dengan berbagai macam senjata berlari semakin mendekat ke arah Idaline yang menunggu jawaban harimau.
"Baik. Aku akan mempercayakan anakku padamu. Pergilah dan jaga dia atau desamu akan aku luluhlantakkan! AUUUM," induk harimau meninggalkan Idaline di sebelah anaknya.
"Aku membutuhkan bunga abadi!" teriak Idaline takut ibu tunggal lupa permintaannya.
Harimau itu berhenti sebentar, menatap Idaline lalu mengangguk meyakinkannya. Tiga orang yang bersembunyi pelan-pelan keluar mendekat ke Idaline.
"Nona, Anda tidak apa-apa?" tanya Ami hendak membantu Idaline berdiri dan membersihkan pakaiannya. Ia tersentak ketika Idaline menghempaskan tangannya dan berdiri sendiri. Hawa dingin berhembus di sekitar mereka dan tatapan membunuh terasa sangat dekat.
"Seperti ini kualitas prajurit 3G?" darah mendesir naik ke wajahnya, memang Idaline yang menyuruh mereka berhenti, namun ia tidak menyangka ketiga orang itu bergeming tanpa melakukan apapun. Bagaimana jika sebenarnya dia sedang diancam dan tidak ada yang berinisiatif menolong? Dan bukankah tugas prajurit adalah melindungi? Idaline benar-benar marah.
"Mohon ampuni kami!" bergegas ketiga orang itu bersujud di kaki Idaline. Punggung mereka gemetar tahu konsekuensi yang akan terjadi telah menyinggung orang besar dari kerajaan yang besar.
Idaline menutup wajahnya, ia sembunyikan alisnya yang mengerut teringat 3G yang lain. "Semoga para pahlawan dari kekejian itu semuanya ditempatkan di tempat yang sepantasnya." Idaline usap wajahnya kembali berekspresi normal. "Bangunlah. Ambilkan kain di tasku."
"Silahkan," secepat kilat Ami memberikan kain pada Idaline.
Dengan hati-hati Idaline bungkus anak harimau sebesar kucing dewasa dengan kain mori katun berwarna putih sama seperti bulu makhluk imut itu. Ketiga orang yang ikut berjongkok di belakang Idaline saling menatap penuh tanya dan khawatir. Tidak lagi sabar, Ami mendorong Noto mendekat ke tamu kehormatan mereka yang kembali berdiri membuat gendongan. Ami tidak ingin lepas dari kungkungan kerajaan, masuk ke mulut harimau.
"Nona, harimau itu akan mengejar kita kalau membawa anaknya seperti ini," pelan Noto bersuara, takut terdengar harimau dan takut menyinggung Idaline.
"Dia ingin aku membawa anak ini. Ayo kita kembali ke desa,"
"Nona benar-benar berdiskusi dengan harimau itu?" ucap Noto tak percaya. "Maafkan saya nona," resah Noto bersimpuh di samping Idaline.
"Bagaimana dengan bunganya?" tanya Cokro ingin memastikan suasana hati Idaline. Suara dan ekspresi Idaline sudah membaik tapi kemarahan belum tentu hilang. Orang marah tidak akan menjawab pertanyaan dan jika sudah hilang amarahnya, dia akan menjawab. Itu yang Cokro ketahui selama mempelajari tentang wanita.
"Dia akan membawanya ke desa," jawab Idaline membuat pria dengan gendongan terbesar menghela napas.
"Tapi desa kita jauh, perjalanannya selama satu setengah hari untuk jalan curam yang paling dekat," timpal Ami memikirkan jauhnya tempat mereka. "Anak harimau ini terkena racun?" tanyanya menyadari.
Noto bergidik ngeri melihat tingkah Ami. "Apa tidak takut?" batinnya. Ami yang dilihat, mengerlingkan matanya ke Noto. Ia mengangguk pelan pada teman satu timnya. Idaline di matanya adalah orang yang cepat berubah suasana hati, memandang alam beberapa detik tersenyum senang, detik selanjutnya tahu-tahu menangis.
"Benar. Induknya sedang mencari obat, dia akan membawanya dua atau tiga hari lagi. Di sini tidak aman karena sepertinya warga sekitar mulai memburu hewan-hewan untuk dijadikan hewan kontrak,"
"Sepertinya begitu, kami melihat banyak darah selama perjalanan. Kukira itu hanya pemburu biasa," ujar Noto masih bersimpuh.
"Padahal kamu berpikir itu adalah darah nona," bisik Ami membantunya bangun.
"Bagaimana cara mentransfer aura?" tanya Idaline pada Cokro.
"Apa? Tasfe? Apaan itu?" Noto memegang dagunya berpikir keras.
"Anda hanya perlu fokus pada satu titik di telapak tangan lalu bayangkan energi besar di sana dan doronglah sekuat tenaga," jawab Cokro, tampak ketenangan di suaranya.
Idaline duduk bersila, meletakkan telapak tangannya di perut harimau putih kecil itu dan memejamkan mata berusaha fokus di tengah keributan suara bertarung. Cokro mengintruksikan dengan tangannya untuk mengelilingi Idaline, menjaganya dari ancaman.
"Wow, Anda cepat sekali mempelajarinya," takjub Noto melihat aura besar keluar dari telapak tangan Idaline, warna ungu yang seharusnya hitam sedikit memudar.
"Ayo," ajak Idaline pergi dari sana.
"Saudara-saudara, mereka membawa anak harimau ini," ucap seseorang di tengah pertarungan.
"Sial. Padahal lebih bagus menjinakkannya sedari kecil,"
"Hei harimau, lihatlah anakmu dibawa mereka,"
"Harimau ini terus menyerang kita dan tidak mempedulikan anaknya?" pria yang menahan serangan harimau tercengang.
"Bukan seperti itu. Sepertinya harimau ini percaya pada anak-anak tadi,"
"Atau jangan-jangan dia sudah melakukan kontrak dengan salah satunya,"
"Jangan berbincang-bincang terus. Lihatlah harimau itu telah mengumpulkan aura yang sangat kuat. Kita harus lari,"
"Kalian berani sekali menyerang anakku!!!" teriak harimau yang terdengar sebagai auman. Ia menghabisi mereka dalam sekali serang.
••••••••••••••••••••
"Saya mengenali beberapa jenis racun. Jika nona mengizinkan, saya akan meramu obat." tawar Ami ketika mereka sampai di penginapan. Mereka menuruni gunung tanpa beristirahat.
"Aku percayakan padamu. Panggillah Cokro kalau kamu keluar," Idaline menempatkan para pria di satu kamar dan Ami di kamarnya. Gadis itu bersikeras menolak, akhirnya Idaline perintahkan barulah mau.
"Baik, nona."
Tangan Idaline yang menyisir rambut terhenti mendengar suara langkah kaki. Ia gelung rambutnya dan duduk dengan tegak. Selama hidupnya baru kali ini dia berhadapan dengan seorang pria di dalam kamar. Ia sedikit gugup.
"Saya Cokro meminta izin menghadap nona,"
Idaline menenggak air tiga kali teguk menetralkan detak jantungnya. "Masuklah," sahutnya setelah beberapa saat.
Cokro memasuki kamar Idaline. Detak jantungnya pun tak karuan. Bukan. Bukan dia jatuh cinta pada pandangan pertama atau semisalnya. Ia tidak percaya ada orang yang bernasib sama sepertinya.
"Berbicaralah yang santai." Idaline menepuk sisi kanan amben.
"Saya mana berani." Cokro memilih duduk di lantai. Dia menyadari mereka sama namun suasana hati perempuan itu cepat berubah. Jika di pandangannya dia bertindak tidak sopan, hidupnya belum tentu selamat.
"Nah Cokro. Siapa namamu? Dari mana kamu berasal? Bagaimana kamu bisa ada di sini?"
Cokro tersenyum. "Saya Cakra, saya dari kota bawang, saya yakin saya sedang tertidur di angkot tapi ketika mendengar suara ibu-ibu yang membangunkan saya, saya malah terbangun di sini sedang berada di kekacauan perang antar desa. Padahal saya hanyalah seorang anak SMA yang baru pulang ekskul,"
"Pasti sulit berada di sini,"
"Awalnya seperti itu, tapi karena saya memikirkan ini sebagai perjalanan wisata, saya menikmatinya. Apalagi semuanya sangat ramah, penuh sopan santun dan ikatan yang begitu kuat. Dan tidak ada yang kelaparan meskipun kita tidak tinggal di rumah yang nyaman,"
"Kamu sangat optimis untuk kembali ya," Idaline menangkap kata wisata, seindah apapun tempat itu, rumah adalah tempat kembali. Behari-hari sampai berbulan-bulan orang bisa menghabiskan waktu di tempat wisata, namun dia tetap akan kembali ke rumahnya.
"Tentu saja. Karena di sini bukan tempatku..saya," koreksi Cokro di akhir kalimat.
Idaline tersenyum senang. Pemikiran adik SMA ini sama dengan pemikirannya. "Baiklah. Aku akan mengabari kalau pintunya telah terbuka,"
"Saya juga akan mengabari Anda jika melihat jalan,"
"Kalau ada yang dapat kubantu, jangan sungkan." Idaline memberikan kertas pada Cokro. Dari pengetahuan barunya tadi, Idaline sedikit mampu menggunakan aura dalam tubuhnya.
"Terima kasih. Kalau begitu, saya undur diri."
Cokro meninggalkan Idaline di kamar bersama anak harimau yang sedang tidur di ranjang. Tak berselang lama, Ami datang mengetuk pintu. "Nona.."
"Masuk," Idaline mulai bosan memberikan izin.
"Saya membawakan obatnya,"
Idaline bangkit dari amben membiarkan Ami leluasa mengobati harimau kecil.
"Kenapa Anda sangat mempercayai saya?" tanya Ami membereskan peralatannya. Suasana mengobati pasien terlalu canggung, biasanya orang akan bertanya ini dan itu. Atau memberontak tidak mempercayai dirinya. Suasana sangat hidup, tidak mencekam seperti sekarang.
"Aku tidak perlu mempercayaimu. Induknya telah melihat wajah kita." Idaline tersenyum kecil.
"Anda memang luar biasa. Di umur Anda, saya baru bisa mengerti beberapa hal tentang ramuan."
"Kehidupan diri sendiri adalah yang terbaik untuk kita jalani. Yang terlihat indah tidak selamanya indah. Untuk menjadi bahagia, kita hanya perlu bersyukur dalam segala keadaan. Dan untuk menjadi luar biasa.." Idaline memberikan cangkir air pada Ami. "..kita harus melampaui diri kita kemarin," sambungnya kembali duduk.
"Apakah Anda menerima murid?" tanya Ami bersimpuh menodongkan cangkirnya pada Idaline.
"Aku masih harus belajar dan melakukan beberapa hal," jawab Idaline menepuk bahu Ami. "Minumlah dengan tenang."
"Jadi Anda tidak menerima murid ya?" Ami menegaskan sekali lagi.
"Tidak perlu menjadi murid untuk belajar. Jika ada orang yang ingin belajar, maka wajib untuk yang bisa mengajarinya. Ada beberapa ilmu yang tidak mutlak, harus dipelajari dari berbagai orang, maka jangan sungkan untuk mendengar nasihat bahkan dari musuh yang sangat kita benci."
"Bagaimana jika dia adalah orang sesat?"
"Asalnya manusia itu suci, maka sesedikit apapun pasti ada kebaikan padanya. Jangan engkau lelah memberi nasihat padanya untuk kembali pada jalan yang benar,"
"Apakah benar-benar mungkin mengembalikan orang yang sudah tersesat jauh?"
"Teruslah berbincang santai dengannya, dari hati ke hati. Kita tidak tahu perkataan mana yang akan masuk membawanya kembali,"
"Berbincang dari hati ke hati?" Ami tidak pernah membayangkan dua pribadi yang saling bermusuhan duduk bersama. Yang ada tiap bertemu pasti keduanya menodongkan senjata. Teman yang dekat pun tidak akan ragu bila saling bertentangan.
"Aku mengantuk," ujar Idaline menggelar klasa, tikar dari daun pandan.
"Nona, Anda yakin ingin tidur di lantai??" Ami bergerak membantu Idaline menggelar klasa dan kain untuk mempertebal alas tidur.
"Harimau itu sedang terluka, biarkan saja tidur di ranjang." kata Idaline menumpuk kain di bagian kepala.
"Kalau begitu saya akan pamit keluar,"
"Kamu tidur saja di sebelahku,"
"Saya mana berani,"
"Tidurlah di sini,"
"Tapi nona.." ragu Ami. Pikirannya jadi melayang, bagaimana kalau ini adalah waktunya hukuman untuk kemarahan tadi sore?
Tiba-tiba Ami ingin menangis. Dia belum menulis surat wasiat.
"Ini perintah,"
"Ka-kalau begitu permisi," Ami berbaring kaku sambil menutup mulutnya meredakan tangis yang keluar.
"Apa dia terharu?" pikir Idaline sebelum terlelap.
••••••••••••••••••••
"Aku lupa kalau tidurku bangga," Idaline tersenyum canggung. Istirahat mereka selama 3 jam telah berakhir dan sedang bersiap untuk melanjutkan perjalanan.
"Tidak apa-apa, nona."
"Semuanya sudah siap," ucap Noto dari balik pintu.
"Kami juga sudah selesai," Ami keluar membawa barang-barang tersisa dan Idaline menggendong anak harimau yang telah dibedong.
"Apakah harimau belum membaik?" tanya Noto melihat harimau itu belum membuka mata sepanjang perjalanan.
"Masa kritisnya sudah lewat. Tapi untuk membuka mata harus menghilangkan seluruh racunnya. Ini jenis baru yang bisa menyerang aura tubuh. Untuk obatnya aku belum paham," jelas Ami mewakili.
"Kamu mengobatinya!?" Noto bukannya tidak percaya Ami bisa melakukannya, tapi ini mempertaruhkan seluruh desa, ada banyak orang yang lebih mampu.
"Kamu sudah bekerja keras, Ami. Kamu bisa menahan penyebaran racun baru saja sudah luar biasa. Kalau kamu belajar obat-obatan dari racun mungkin kamu dapat menyelesaikannya,"
"Terima kasih atas saran Anda,"
"Benar, Ami. Kamu selama ini terlalu fokus pada berbagai jenis racun, membuat obatnya tidak akan mengurangi kekuatanmu. Daripada kamu hanya bertahan atas racun yang kamu buat sendiri." Cokro mengangguk setuju.
"Kalian.." Noto terguncang melihat kedekatan dua rekannya dengan Idaline. "Kalian tidak takut lagi?"
"Bertahan?" Kali ini Idaline menebaknya bahwa Ami–.
"Saya meminum semua racun yang saya buat sendiri,"
Idaline mangut-mangut atas kecerdasannya sendiri. "Apa kalian benar-benar akan tinggal?" alihnya bertanya pada dua orang yang izin pergi belakangan.
"Kami akan memastikan mereka tidak mengejar. Tidak tahu apakah harimau itu berhasil menundukkan semua orang."
"Baiklah. Kalian langsung saja kembali siang nanti jika tidak ada tanda-tandanya." pesan Idaline tidak meragukan harimau. "Yang memiliki cinta yang besar pasti memiliki kekuatan besar. Jika tidak, rasa cintanyalah yang memberi kekuatan."
"Iya,"
Idaline menaiki kereta kuda. Ia, Ami, dan Noto berangkat terlebih dahulu meninggalkan Cokro dan kusir, Parimin.
"Saya tidak menyangka kusir yang membawa kami adalah sang peringkat nomor 1," ucap Cokro melihat Parimin membuka capingnya.
"Saya ingin melihat hal menarik. Malah ditinggalkan di sini," Parimin yang semula tersenyum merubah ekspresinya jadi sedih.
"Padahal situasi desa kita mungkin sudah sampai pada mereka,"
Raut wajah Parimin berubah serius, ia pandang langit luas dan membalas, "Tidak ada untungnya pergi ke sana saat desa kita baru berdamai."
•••BERSAMBUNG•••
© Al-Fa4 | 04 Juli 2021
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
senja
banyak quotes di bab ini. ..
apalagi kl cinta harusnya punya kekuatan besar kl bukan berarti cintanya itu yg sumber kekuatannya
2022-02-14
0
dong ma
mengerlingkan or menggerakkan?
2021-08-07
2
Aluna Achmed
ckckckck masa prajurit gitu
2021-07-20
1