Idaline duduk menatap matahari pagi yang meninggi. Semalam pengawal mahapatih mengantar dirinya pulang ke toko obat ketika orang-orang mencarinya hingga memenuhi pasar. Hari ini dia dilarang keluar bahkan untuk pergi ke taman.
"Bosen," keluh Idaline.
Kaki gadis itu melayang di antara kaki kursi yang panjang. Kedua tangannya dilipat di jendela, sesekali ia menebar senyum pada mereka yang diam-diam memandanginya sambil bekerja. "Semoga tangan kalian baik-baik saja," do'anya ngeri melihat pisau tajam di tangan orang-orang yang berkebun.
Suara pintu terbuka mengalihkan dunianya, Idaline mengedipkan mata membiasakan suasana ruangan yang cahayanya jauh berbeda dari cahaya di kebun. Tampak dua orang berdiri di depan pintu. Salah satunya adalah Sri, ia tersenyum sambil mendekat ke arah Idaline.
"Nona, lihatlah siapa yang datang." Wanita itu menggeser tubuhnya memperlihatkan orang di belakangnya.
Di sana tampak seorang pria mengenakan topi caping, ia bersimpuh dan menundukkan kepalanya dalam-dalam membuat wajahnya benar-benar tak terlihat.
Idaline tersenyum canggung. Ia tidak mengenal pria itu, tidak tahu bagaimana memanggilnya, dan tidak tahu harus berbuat apa.
"Beliau adalah tuan Garong. Orang kepercayaan tuan untuk kebun dan wali yang ditunjuk oleh nyonya.” Sri menurunkan Idaline dan diajaknya mendekat pada rekan kerjanya itu.
"Salam kenal, tuan."
Garong membuka capingnya mengintip keadaan takut nona kecilnya terkejut. Dia tersenyum melihat tangan kecil di depannya. "Nona kecil memang berani!" bangganya dalam hati lalu meraih tangan kecil yang menjulur padanya.
"Salam, nona. Hamba senang mendengar nona sudah kembali sehat." Bulu kuduk Garong tiba-tiba berdiri ketika Idaline menempelkan tangannya ke dahi. "Nona.." panggil Garong haru. Idaline melakukan hal yang sangat sopan pada orang tua. "Tidak. Tidak. Nona tidak boleh begitu pada bawahan." Garong menarik halus tangannya dari tangan Idaline.
"Yang kecil harus menghormati yang besar." Idaline menatap polos Garong membuat pria beranak itu merasa gemas.
"Tetap saja bawahan adalah bawahan, nona."
"Tua tetap tua, paman."
"Huhu jadi paman udah tua?" Garong pura-pura mengusap ujung matanya.
"Iya paman udah tua!!" seru Idaline menyembunyikan seringainya. Bagaimana bisa ia mengatakan pria itu tua sedangkan nampak seusia dengannya? Idaline hanya ingin menggoda pria bermimik lucu di depannya.
"Eh?" Pria itu berpikir Idaline akan menenangkannya. Ia jadi ingin menangis sungguhan. "Padahal masih muda begini. Tapi anak kecil selalu benar. Perempuan selalu benar. Majikan selalu benar. Nona adalah anak kecil berjenis kelamin perempuan."
Sri tersenyum kecil melihat perdebatan mereka berdua. "Kita akan kembali sore nanti," lontarnya.
Idaline yang sedang mengangguk-ngangguk menggerakkan kepalanya ke arah Sri. "Bibi kan masih sakit," tegurnya.
"Saya sudah sembuh. Terima kasih atas perhatian nona." Sri tersenyum hangat.
"Baiklah. Karena kita akan kembali. Bagaimana kalau membeli beberapa hadiah untuk teman-teman?" putus Idaline. Sri bercerita pada Idaline tentang teman-temannya.
"Baik, nona," ucap Sri dan Garong bersamaan.
Wajah Idaline tertekuk saat ia memakai pakaian yang sangat ketat di perut. Untuk keamanan, Sri menambahkan beberapa ikatan kain di tubuhnya.
"Bi sepertinya aku tidak bisa bernapas." Idaline memegang ikatan kain di perutnya. Selendang yang terikat di atas punggung menyambung ke gelang di tangan kanan dan kirinya menambah repot Idaline. Sri berinisiatif memasangnya begitu karena Idaline selalu membawa selendang kemana pun ia pergi.
"Bertahanlah, nona. Sebentar lagi Anda akan terbiasa." Sri meraih tangan Idaline dan memijatnya pelan. Titik-titik yang disentuh Sri membuat Idaline merasa rileks.
••••••••••••••••••••
Wajah Idaline bersinar menatap pasar yang ramai orang berlalu-lalang. Kemarin dia tidak memperhatikan karena fokus pergi ke kedai. Mata Idaline bergerak ke kedai milik Hasta, kedai itu tutup karena hanya buka dua hari dalam sepuluh hari.
"Ah, bi. Aku ingin ke butik bunga." Wajah Atem yang begitu membekas muncul di ingatannya. Desa tempat tinggal Idaline jauh, ia harus mengucapkan salam perpisahan.
"Berpencar lebih cepat," ucap Idaline dalam hati. Dengan begini ia harap mereka dapat menemukan jalan keluar lebih cepat.
"Baiklah."
"Selamat datang," sambut pelayan di meja depan.
"Oh ini meja informasi ya?" takjub Idaline. Atem menata butiknya dengan pelayanan modern. Rasanya ia masuk ke butik di kota dengan nuansa tradisional.
"Nona kecil, ada yang bisa kami bantu?" Muncul pelayan lain yang pakaiannya sama dengan resepsionis. Jarik dipakai dari dada hingga mata kaki, kain putih polos membalut dari belakang menyilang ke depan tubuh membuatnya seperti jubah.
Sedangkan laki-laki memakai jarik hingga menutupi perut dengan tambahan kain putih yang disampirkan di salah satu bahu mereka.
"Saya ingin bertemu nona Atem," ujar Idaline tanpa basa-basi. Bukannya sombong, ia hanya tidak bisa melakukannya. Basa-basi muncul biasanya ketika gugup melandanya.
"Ini.."
"Saya Idaline."
"Oh nona Idaline. Baiklah. Silakan ikuti saya." Para pelayan sudah diberikan pesan tentang tamu spesial nona kecil ini. Ada beberapa orang yang diperbolehkan bertemu tanpa janji dengan majikan mereka.
"Nona kenal dengan pemilik butik ini? Padahal karya beliau sangat luar biasa sampai dipanggil oleh istana," bisik Garong berjalan di belakang Idaline..
"Kemarin kami tidak sengaja bertemu di kedai," jelas singkat Idaline terus melangkah.
"Mohon pendamping nona beristirahat di ruang tunggu." Penjaga di depan tangga mengulurkan tangannya menghalangi Sri dan Garong, memisahkan mereka dari Idaline.
Kedua orang itu saling memandang bak bertelepati lalu Sri mengangguk perlahan. "Saya akan menunggu di sini."
"Baiklah." Penjaga lain membawakan kursi agar tamu-tamu majikannya duduk nyaman di sebelah tangga.
Idaline terkesima dengan kumpulan alat musik di lantai kedua yang berbaris rapih juga berbagai macam wayang dan kain-kain dengan beragam motif dipajang di sana.
"Nona Idaline ingin bertemu," ucap penjaga setelah mengetuk pintu.
"Silakan masuk," sahut dari dalam.
Penjaga membukakan pintu tembok putih polos menyambut mereka. "Monggo." Penjaga menunjuk pintu dengan jempol.
"Terima kasih, kakak cantik."
Penjaga tersenyum malu sembari menutup rapat pintu. Sejauh ini Idaline hanya melihat dua pekerja pria yang menjaga tangga dan menghalangi Sri dan Garong. Secara keseluruhan hampir semua pekerja Butik Bunga adalah perempuan.
"Kebetulan sekali Ida datang ke sini. Aku sudah rapihkan baju-baju yang nyaman untukmu."
"Terima kasih banyak, tante." Idaline menerima bungkusan dari Atem. "Aku ingin pesan pakaian yang nyaman untuk perawat."
"Sangat mudah membuat pakaian itu. Tetapi kita hidup di jaman ini, sayang." Atem mengelus rambut Idaline. Di mata Atem ia melihat Idaline sebagai anak kesayangannya dan Idaline tidak keberatan, ia menghormati seorang ibu yang sedang merasakan rindu yang mendalam pada anaknya.
"Aku sudah memikirkannya semalam, tante. Seharusnya tidak jadi masalah karena pengembangan kebaya akan terjadi dalam waktu dekat. Modelnya seperti ini."
"Ini tetap terlalu modern." Atem tersenyum melihat gambar jas dokter tanpa penjelasan bahan dan warnanya. Jika tidak teliti, gambar itu akan terlihat sebagai sebuah coretan-coretan tak bermakna.
"Ah iya gambarnya sama kaya pakaian dokter, tapi kalo pakai kain jarik ngga papa kan?" Idaline memohon dengan pupil mata membesar.
Idaline ingin memudahkan orang-orang untuk menyimpan barang seperti obat darurat di kantong pada pakaian dokter buatannya. Sebab tak jarang ia melihat murid-murid tabib terkena racun dari tanaman. Dengan menyimpannya di kantong, mereka bisa langsung menenggaknya tidak perlu mencari-cari di tas yang bercampur dengan barang-barang lainnya.
Atem tertawa kecil. "Baiklah baiklah. Akan aku buatkan untuk 4 orang saja." Atem menaruh desain Idaline ke tumpukan desain miliknya sendiri. "Nah lalu ini sarung tangan untuk berkebun yang kamu pesan."
Idaline memesan sarung tangan karena melihat tangan orang-orang yang berkebun di taman obat tergores akibat terlalu hati-hati dalam memotong dedaunan. Mereka bilang lebih baik tangannya menjadi papan daripada bagian-bagian penting terpotong dari dedaunan dan bunga-bunga obat. Untung saja yang satu itu Atem tidak mendebatnya sama sekali.
"Terima kasih tante."
"Jangan sungkan, Da."
"Kalau begitu jasnya nanti diantar ke toko obat ya. Aku akan pulang ke Janapada hari ini."
"Baiklah. Hati-hati dan jangan lupa kirim pesan buat tante."
"Tidak akan lupa," jawab optimis Idaline. "Aku permisi, tante. Masih harus membeli hal lain."
"Hati-hati di jalan. Maaf tante tidak bisa mengantar." Atem masih harus menemui pelanggan VIP nya.
"Tidak masalah, tante. Salam untuk Hasta ya!"
Begitu Idaline menuruni tangga Sri menghampiri Idaline dan mengambil bungkusan di tangan kanan dan kiri gadis itu. "Saya saja, nona."
Idaline menyerahkan sebagian pada Sri dan Garong karena sejujurnya tubuhnya tidak kuat memegang banyak barang pemberian Atem. "Selanjutnya kita akan ke toko tanaman."
••••••••••••••••••••
Sri dan Garong duduk di kedai teh setelah berkeliling bersama Idaline. Pemberhentian terakhir adalah tempat seorang pengrajin. Mereka tidak mengerti kenapa nonanya pergi ke tempat pengrajin yang tidak terkenal dan sepi tokonya.
"Tidak lihat tokonya sepi? Berharap apa?" ketus penjaga toko membuat Idaline tersenyum di balik capingnya.
"Saya membawa desain alat yang bagus." Idaline berucap dengan ramah.
"Sudah kudengar ribuan kaliii." Penjaga toko menggerakkan kedua tangannya seperti deburan ombak berharap tamu tak diundangnya memandang dirinya tak waras.
"Tuan Tok, saya ingin Anda membuat ini satu saja dan tidak boleh menyalin desain yang saya punya atau Anda akan terkena masalah." Idaline merubah nadanya menjadi tegas.
Tok menatap kertas yang terlipat di atas mejanya. Ia menatap bergantian kertas itu dan siluet kecil yang menutup kepalanya dengan caping yang dikelilingi kain hitam. "Memangnya apa bagusnya?" tanyanya dengan malas.
"Anda harus bersumpah dahulu." Idaline menarik kertasnya.
"Ahaha menarik, sangat menarik. Aku jadi penasaran." Tok duduk dengan tegak meletakkan dua tangannya dan menautkan satu sama lain di atas meja.
"Bersumpahlah bahwa Anda tidak akan menyalin desain ini ataupun membuatnya tanpa sepengetahuan saya. Hanya saya yang boleh menentukan pembuatan hal ini." Idaline mengetahui tentang sumpah dari Wala yang terus bercerita ketika ia tidak dapat turun dari ranjang.
Sumpah tidak bisa diucapkan sembarangan. Ada konsekuensi yang akan terjadi jika melanggarnya. Ini tidak pernah berubah meski dunia telah berubah. Hanya saja di dunia yang telah berganti ilmu, hasil sumpahnya ditangguhkan. Zaman yang sebenarnya lebih sulit karena hanya bisa menduga-duga. Hingga akhirnya banyak orang tak lagi percaya akan akibat dari banyak bersumpah.
Tok diam menatap kepalan tangannya selama 3 menit kemudian ia buka kepalannya dan muncul cahaya putih terang. "Aku bersumpah atas nama Tuhan tidak akan melanggar janjiku kepada nona ini. Aku akan membuat benda yang ia desain sesuai dengan permintaannya saja. Jika aku melanggar, mohon kirimkan petir untuk menyambar diri yang tidak memegang janji."
"Lalu ini tanda kepunyaan saya." Idaline menggambarkan tanda tangannya di atas kertas. "Mohon buatkan setiap gambarnya satu saja."
"Sudah kuduga." Tok tersenyum semringah melihat desain-desain unik yang belum pernah dilihatnya.
"Senang bekerja sama dengan Anda."
"Saya juga sangat senang. Mohon maafkan kekasaran saya, tuan. Hanya sedikit orang yang menarik di dunia ini."
Mata bulat Idaline menatap lurus Tok. Padahal suaranya tidak dibuat-buat tapi Tok menganggapnya seorang pria. Memang dari kalangan pria maupun wanita sedikit sekali yang berpikir ide cemerlang dapat muncul dari benak wanita.
Wanita diciptakan dengan berbagai peraturan ketat karena begitu berharga bagai mutiara dalam cangkang kerang. Banyak yang memandang sebelah mata peraturan-peraturan itu, padahal mereka yang patuh pada peraturan, sebagiannya tertulis dalam tinta emas sejarah dan sebagiannya menorehkan nama anak-anak mereka di dalam buku emas sejarah.
"Anda harus melihat semua orang dengan lapang baru akan terlihat sisi menarik dari masing-masing mereka," kata Idaline menerawang jauh ke dalam dirinya. Ia hanyalah seseorang yang merasa harus mematuhi peraturan, namun orang-orang enggan berteman dengannya.
Berbagai cibiran dilontarkan di belakangnya dan ia sangat peka. Ingin ia berteman atau sekedar menerima ajakan bermain tapi mata mereka menyiratkan kebencian.
"Semua orang hanya ingin membuat kerajinan yang sama, kerajinan yang dapat semua orang buat. Saya berharap Anda akan terus berlangganan di sini."
"Setelah semuanya selesai dibuat." Idaline melangkah keluar meninggalkan Tok.
Sri dan Garong berdiri melihat kedatangan Idaline. "Bagaimana nona? Apakah semuanya sudah selesai?" tanya Sri memeriksa tubuh Idaline.
"Ya. Mari kita berpamitan ke toko obat."
Garong memacu kudanya di depan kereta membawa Idaline dan Sri kembali ke toko obat.
"Wah lucu sekali nona," ucap pelayan yang bekerja di dapur. Idaline memberikan hairband untuk mereka.
"Ini untuk paman-paman kebun." Idaline tersenyum lebar memberikan sarung tangan pada mereka.
Baginya berteman dengan orang dewasa sangat menyenangkan, mereka tidak akan bersikap kekanak-kanakan dan terlebih ia akan diperhatikan sebagai anak yang lebih muda, ketidaksempurnaan dirinya akan dimaklumi dan tidak ada yang memandang remeh nasihat atau peringatan yang keluar dari mulutnya.
Orang-orang dewasa akan berpikir bijaksana. Mereka menelaah dan mencerna setiap ucapan tanpa memandang dari siapa mereka terima, bahkan bila itu sekedar tulisan tak berpemilik di atas tembok.
"Nona kecil baik sekali!"
Idaline sedikit mendengus mendengarnya. Tubuhnya tidak terlalu kecil hanya orang-orang itu yang terlalu besar! Tidak terbayangkan dalam benaknya manusia terdahulu di negerinya ternyata memiliki tubuh yang tinggi. Padahal negerinya dinobatkan sebagai negeri orang-orang pendek.
"Untuk aku? Untuk aku?" Wala menatap Idaline lekat-lekat.
"Ini." Idaline memberikan gelang pada Wala.
"Waaah." Wala membuka mata dan mulutnya lebar-lebar secara dramatis. Dia memasang gelang itu ke tangan kirinya. "Indah sekali seperti nona kecil."
"Wala jangan menggodanya terus. Lihatlah nona Idaline jadi malu," tegur teman Wala.
"Ini untuk kak Kerto." Idaline memberikan gelang yang sama.
"Terima kasih, nona Idaline."
"Kak Westo dan tabib ngga ada ya?" Idaline melihat sekeliling tidak menemukan mereka berdua.
"Iya. Sedang mengunjungi pasien," jawab Kerto memasukkan gelang ke sabuknya. Sang kekasih cemburuan, ia tidak bisa memakainya.
"Oke aku titip ke kak Kerto aja ya gelangnya." Idaline memberikan kantong ke Kerto. Sembunyi-sembunyi ia tertawa melihat pasangan Kerto menatap marah di balik tembok.
"Kami akan berangkat sekarang," ucap Sri melihat matahari semakin turun.
"Sampai jumpa lagi kakak-kakak." Idaline melambaikan tangannya di dalam kereta.
"Hati-hati!"
•••BERSAMBUNG•••
© Al-Fa4 | 30 Mei 2021
Tinggalkan jejak like dan komen yaaa kalian yang lewat sini
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
MOM Jeska
anak anak pasti jujur donk
2022-05-22
1
senja
hanya buka setiap 10hari-sekali, dlm dua hari?
2022-02-14
0
m24
sabr
2021-12-26
0