Hik..Hik..
Senyuman lebar terlukis di wajah gadis yang sedang bertumpu di atas meja kecil, sebab kereta kuda yang ditunggunya telah datang. "Bayuaji Ekadanta!" ia berdiri dengan semangat mengangkat tangan kanannya dan meletakkan tangan kiri di samping mulutnya.
"Siapa itu berteriak tidak tahu aturan?" marah wanita di samping Bayu. Wanita yang tampak sedikit kerut di wajahnya itu memakai jarik dengan kemben berwarna biru dan selendang yang senada dengannya. Tusuk konde emas besar berbentuk bunga kelor, tanda status istri sah keluarga Ekadanta, bertengger di rambutnya.
"Apa lagi-lagi kamu berteman dengan rakyat jelata?" bisik wanita di sisi lainnya dengan tusuk konde yang lebih kecil. Wanita dengan sedikit riasan itu merupakan ibu kandung dari Bayu.
"Ibu, apa kalian tidak melihat pakaiannya? Itu kebaya, pakaian terbaru keluarga kerajaan," Bayu turun mengulurkan tangannya membantu mereka berdua.
"Tapi tidak terlihat seperti bangsawan–" bibirnya terkatup melihat orang yang datang. Buru-buru ia bersimpuh diikuti yang lain yang turut menyadari kedatangan orang besar.
"Kami memberi salam kepada Yang Mulia Ratu," ucap semua orang bersamaan, menyatukan dua telapak tangannya di atas kepala.
Makuta yang biasa dilihat Idaline menjadi lebih berkilau di bawah langit pagi yang terang. Terdapat sumping bertengger di kedua telinga ratu juga anting putih berukir bunga Wijayakusuma. Karah, perhiasan yang menempel di leher pun berukiran bunga Wijayakusuma. Sedangkan Upawita, jalinan rantai yang melingkar dari bahu kiri ke pinggang kanan terpasang melewati kemben merahnya, sedikit mengganggu Idaline ketika berada di gendongannya.
Dalam hatinya, Idaline merasa lega ketika itu ratu tidak memakai udarabandha yang menempel di perut maupun katibandha dan uncal yang berguna sebagai ikat pinggang serta kilatbahu yang terpasang di dekat bahu berhiaskan rantai kecil yang melambai. Kalau tidak, semua benda itu pasti membekas di tubuhnya.
Sekali lagi Idaline bersyukur, dia tidak perlu memakai berbagai macam gelang tangan dan kaki juga berlapis-lapis kain karena jarik yang tertutupi renda dari kebaya berekor membuat perias merasa sudah indah. Hanya saja gamparan, sandal yang terbuat dari kayu jati yang tebal, sangat berat untuk tubuhnya yang masih kecil. Langkahnya amat buruk dan menimbulkan suara besar.
"Jadi kamu fokus belajar di perpustakaan untuk bertemu dengan teman spesialmu ini, hm?" kata ratu mengejutkan anak kecil yang tak bisa menyembunyikan ekspresi terpukaunya itu.
Idaline menjulurkan lidahnya sambil menggaruk kepala. "Sepertinya ananda terlalu fokus pada buku hingga lupa belajar tata krama,"
"Tidak apa-apa. Kamu bisa menghafal seluruh keluarga besar di kerajaan hanya dalam waktu sehari saja sudah luar biasa," puji ratu menepuk pelan kepala Idaline, ia tidak ingin merusak konde yang sudah dibuat mati-matian para dayang karena putri mendiang sahabatnya itu terus saja menolak didandani.
Idaline tidak bisa fokus berada di perpustakaan karena di sela-sela waktunya, ratu selalu minta ditemani atau kepala dayang menyuruhnya berjalan-jalan. Ia jadi melewatkan banyak hal.
"Terima kasih, Ibu Ratu." Idaline sedikit menundukkan tubuhnya.
"Oh.. kalian berdirilah," perintah ratu hampir melupakan orang-orang yang masih bersimpuh.
"Terima kasih, Yang Mulia Ratu."
"Ayo," ratu memegang tangan Idaline berjalan beriringan. Orang berkedudukan paling tinggi dalam kerajaan itu memelankan langkahnya menyamai langkah bocah kecil di sampingnya.
Idaline merasakan aura dingin ketika melangkah masuk ke dalam aula. Ia mendongak menatap mata dingin yang mengarah kepadanya.
"Kami memberi salam kepada Yang Mulia Ratu. Semoga kebijaksanaan dan kemuliaan selalu milik Yang Mulia,"
"Itu Hayan, Idaline ingat?" tanya ratu tak mempedulikan orang-orang.
Idaline tersenyum menanggapi ratu. Tentu saja dia tidak ingat.
"Sekarang Idaline duduk bersama Sudewi, Indudewi, dan Netarja," ratu sedikit menundukkan kepalanya takut tak terdengar suara yang sengaja ia kecilkan, tidak ingin membuat anak itu tidak nyaman.
"Baik, Ibu Ratu,"
Ratu memberikan tangan mungil dalam genggamannya kepada dayang yang bertugas membawanya ke sisi kanan bawah kursinya. Sementara ia menaiki tangga menuju kursinya, kursi tertinggi.
"Selamat datang," sapa seorang gadis dengan wajah ceria.
"Terima kasih, Yang Mulia," ucap Idaline melihat perhiasan gadis itu lebih banyak daripada dua yang lain. Dialah Netarja, Tuan Putri Kerajaan Maja yang kecantikan dan keanggunannya sudah tersebar meski masih belia. Sedangkan Sudewi dan Indudewi adalah keponakan ratu yang diangkat menjadi anak untuk menemani Netarja yang terus kesepian, begitu informasi yang didapatkannya.
"Selamat datang, wong deso,"
"Sudewi, apa yang kamu ucapkan?" tegur Indudewi. Gadis yang memakai tusuk konde emas itu menyenggol lengan adiknya, Sudewi.
"Ah maaf, bukankah adik kita ini berasal dari desa?" tangan Sudewi menutup mulutnya tertawa kecil.
"Tolong bicara dengan benar, kita ini seumuran. Jadi aku bukan adikmu, meski sebenarnya aku jauh lebih tua," gumam Idaline di akhir kalimat.
"Kalian memang senang bercanda ya. Mari duduk, acaranya hampir dimulai," tengah Netarja memulai duduk.
"Perkenalkan saya Idaline," ucap Idaline memperkenalkan diri kemudian duduk di sebelah Sudewi yang tak menatapnya.
"Saya Netarja Wijaya. Lalu ini adalah Indudewi putri Rajadewi dan yang bertengkar denganmu adalah Sudewi,"
"Silahkan dinikmati hidangannya," ratu mengangkat tangannya tanda dimulai acara.
"Orang-orang zaman ini memang luar biasa," pikir Idaline menatap penuh ketertarikan orang-orang yang tampil di tengah aula. Dia pura-pura tidak tahu ditatap dingin dari atas dan ditatap kesal oleh orang di sebelahnya.
"Tenang saja nak. Aku tidak akan mengambil ibu kalian. Berhentilah menatap dan lihat tarian-tarian yang akan musnah ini," ucap Idaline dalam hati, menikmati hidangan yang menggoda selera.
"Ananda izin menampilkan tarian," ucap Sudewi berdiri dengan pakaian tarinya.
"Sejak kapan?" kaget Idaline melihat pakaian Sudewi berubah sekejap mata.
"Dia tadi keluar saat kamu fokus ke tengah," celetuk Indudewi melihat wajah bengong Idaline.
"Hahaha gitu," canggung Idaline. Ekspresinya memang tidak dapat disembunyikan, sudah berlatih tahunan pun tetap saja terbaca.
Semua orang yang berada di aula fokus memperhatikan Sudewi yang melenggok-lenggokkan badannya di depan mereka.
"Memang Raden Ajeng Sudewi sangat pandai," puji salah seorang.
"Dan juga cantik," sambung yang lain.
"Tetapi yang masuk bersama Yang Mulia Ratu juga sangat cantik. Siapa dia?"
"Entahlah, Yang Mulia juga tidak memperkenalkan,"
Prok. Prok. Prok. Suara tepuk tangan menggema di ruangan saat Sudewi menyelesaikan tariannya.
"Tarian yang sangat bagus," pujian terdengar dari kerumunan pejabat dan keluarganya.
"Terima kasih semuanya,"
Idaline menaikkan alis melihat Sudewi tersenyum miring padanya.
"Penampilan yang sangat bagus," puji ratu. "Pelayan, berikan hadiah untuk Raden Ajeng Sudewi,"
"Terima kasih banyak, Yang Mulia."
"Kemudian perkenalkanlah, Idaline dari Janapada,"
Idaline mengunyah dengan cepat makanan dalam mulutnya, ia menarik napas setelah berhasil menelan. "Salam kenal semuanya," ucapnya berdiri di tempat.
"Kemari, putriku," ratu menunjuk tangannya ke tengah aula.
Idaline berjalan kemudian berlutut sambil merapatkan tangannya di atas kepala. "Ananda menghadap Yang Mulia Ratu,"
"Idaline dari Janapada telah memberikan kontribusi besar pada bagian pembukuan istana juga hasil panen yang melimpah berkat ide-idenya yang luar biasa. Mulai sekarang Idaline akan menjadi Raden Ajeng Paramudita, berharap selalu dapat memberikan hasil panen yang memuaskan,"
"Te-terima kasih, Yang Mulia," Idaline tidak tahu apa yang telah dilakukannya.
"Mahapatih, berikan lencananya,"
"Pekenalkan, saya Djahan Mada,"
Idaline mendongak penasaran, tampak mahapatih yang ia temui di jalan berdiri memegang nampan.
"Kemarin saya datang ke Janapada mencari nona Idaline malah menemukan tumpukan buku yang menarik. Mohon maaf tidak izin terlebih dahulu karena sepertinya Anda tidak ingin memberitahu," Djahan menciprati air bunga ke kepala Idaline.
"Seharusnya Anda menemui paman Garong," kilah Idaline memejamkan mata.
"Beliau sudah mengatakan semuanya," Djahan memberikan lencana pada Idaline.
"Oh paman.." desah gadis yang kakinya mulai kesemutan, wajahnya penuh kekesalan.
"Pergunakanlah identitas ini dengan bijak, putriku,"
"Terima kasih, Ibu Ratu. Ananda akan berusaha sebaik mungkin melakukan tugas sebagai Raden Ajeng Paramudita,"
"Kembalilah ke tempatmu,"
"Baik, Ibu Ratu,"
"Kenapa Yang Mulia memberinya gelar sedangkan pangeran dan para putri belum?" bisik orang-orang.
Alunan musik dan tarian terus dilakukan hingga langit mulai berwarna jingga. Idaline terus menelan kuap dan menahan kantuk. Ia mengapresiasi orang-orang yang kuat matanya. Tiga gadis kecil di sebelahnya bahkan duduk dengan tegak, tidak bergerak selain tangan yang sesekali mengambil makanan.
"Terima kasih atas kehadiran kalian. Semoga di tahun-tahun berikutnya panen raya terus melimpah," tutup ratu berdiri diiringi seluruh orang.
"Pfft," tawa Sudewi pada Idaline yang telat berdiri akibat kesusahan pakaian juga kesemutan.
"Semua karena kebijaksaan Yang Mulia Ratu,"
"Hidup Yang Mulia Ratu,"
"Hidup Yang Mulia Ratu,"
Ratu berjalan keluar diiringi para mahamentri.
"Yang Mulia Ratu, bukankah terlalu berlebihan memberikan gelar pada orang baru?" ujar Catra Yuswanto, mahamentri i sirikan yang bertugas mengawasi para pejabat.
Ratu menghentikan langkahnya, semua orang segera bersimpuh. Ratu menggerakkan kepalanya melihat Yuswanto. "Yang pantas akan mendapatkannya. Kalian kembali saja,"
"Baik, Yang Mulia,"
Idaline menggerakkan bola matanya ke arah pintu, ia tersenyum pada orang-orang di mengelilinginya. "Saya permisi,"
"Silahkan,"
"Idaline!"
Idaline menengok ke belakang tampak Hayan berdiri di depan pintu memanggilnya.
"Nanti ya, Pangeran. Saya buru-buru," Idaline berjalan cepat mengejar rombongan Ekadanta yang sudah sampai kereta kuda.
"Nyonya, apa saya boleh berkunjung ke kediaman Ekadanta?" Idaline tersenyum lebar dan matanya bersinar penuh harap.
"Silahkan, Yang Mulia." sambut istri sah kepala keluarga Ekadanta.
"Terima kasih," Idaline berdiri di sisi kereta.
Bayu menghela napas kemudian mengulurkan tangannya. "Hati-hati," ia membantu Idaline dan para ibunya menaiki kereta yang sama.
"Apa Raden Ajeng sangat menyukai anak saya?"
"Sangat amat," Idaline menyipitkan matanya menggoda Bayu.
"Raden Ajeng sangat senang bercanda," cibir Bayu.
"Saya sedih loh. Padahal saya selalu serius," Idaline menautkan kedua alisnya, wajahnya berkabut.
"Hoho beruntung sekali Bayu bisa disukai oleh Raden Ajeng,"
Idaline tertawa kecil, orang-orang di depannya sama sekali tidak suka bersandiwara. Angin malam yang dingin menyelimuti perjalanan mereka. Mata Idaline memberat perlahan terlelap di bahu satu-satunya pria di sana.
"Ibu nanti capek. Ananda saja," kata Bayu menatap lantai, malu dilihat dua ibunya dengan tatapan penuh godaan.
"Nyonya, tuan muda, kita sudah sampai," celetuk kusir setelah perjalanan berlalu beberapa jam.
Bayu menangkap kepala Idaline yang hampir terkatuk kereta yang berhenti mendadak, ia bergegas turun ketika Idaline sudah tersadar, membantu para ibunya kemudian menuntun Idaline turun.
"Terima kasih," bisik Idaline berjinjit.
"Selamat datang tuan, nyonya, dan nyonya selir," sapa para selir dan gundik milik Candraaji, kepala keluarga Ekadanta.
"Momo antarlah Raden Ajeng ke rumah tamu," perintah Tuti, istri sah Aji.
"Raden Ajeng, mari saya antar."
"Ah, saya ingin berbicara dengan Bayu." sosor Idaline merapatkan diri ke arah Bayu.
"Jangan terlalu larut," pesan Tuti mengizinkan.
"Tinggallah dengan nyaman," cetus Aji yang sedari tadi diam memperhatikan Idaline. Ia adalah mahamentri i halu, orang yang selalu diperintahkan ratu di luar tugas kepemerintahan. Bisa dibilang adalah tangan kanan ratu yang terdekat, tahu semua hadiah dan gelar yang diberikan ratu secara pribadi, tapi tak pernah dia dengar ratu akan mengangkat Raden Ajeng baru.
Secara fisik dan latar keluarga, Aji tidak masalah gadis kecil di depannya sebagai keluarga kerajaan. "Tapi memberikan gelar?" Aji memejamkan matanya mengusir keraguan dalam diri. Bagaimanapun, ragu terhadap keputusan ratu adalah dosa besar.
"Terima kasih tuan Ekadanta,"
"Mari, Raden Ajeng." ajak Bayu berjalan di depan.
Idaline dan Bayu hilang dari pandangan Aji, ia pegang tali kekang kudanya lantas para wanita kembali ke kediaman masing-masing.
"Jadi nona manis, ada apa sampai mengikutiku ke rumah?" Bayu menundukkan badannya mensejajarkan mulutnya dengan teling gadis pendek di depannya.
Idaline terlonjak, menjauh beberapa langkah dari Bayu. "Wow, perlakuanmu sangat berbeda sekali ya," ujarnya memperhatikan senyum mengerikan Bayu.
"Ehm. Ehm," Bayu menyesuaikan raut wajahnya. "Tentu saja harus hormat kepada yang lebih tua,"
"Tuan Bayu adalah penyihir terbaik saat ini. Saya ingin melihat sihir terbaikmu, boleh?" Idaline menatap penuh harap, ia sudah memperhatikan Bayu yang tidak tahan terhadap hal-hal yang menggemaskan.
Bayu diam dengan bibir dan tangannya bergetar, ia sisir rambutnya ke belakang dengan tangan kanannya dan menaruh tangan kirinya di pinggang sambil berdecak. "Tidak. Kenapa saya harus melakukannya?" tolaknya.
"Ayolah, tuan." mohon Idaline, tentu saja tidak mungkin orang lain akan begitu saja menunjukkan rahasia dirinya.
"Kalau begitu, izinkan saya mencubit pipi nona sekali," senyum mengerikan kembali bertengger di bibir Bayu.
"Apa?!" sahut Idaline terkejut. "Nih," Idaline memajukan wajahnya dengan telinga memerah. Pipinya memerah dicubit dari sisi kanan dan kiri. "Pantas saja anak kecil menangis," pikirnya. Tak lama sensasi dingin menyapu kedua pipinya saat tangan Bayu menangkup wajahnya.
"Dalam sihir maupun kanuragan, yang paling sulit adalah menyembuhkan luka dan memanggil hewan kontrak. Aku hanya bisa menghilangkan rasa sakit dan memanggil harimau dalam beberapa kali dalam sebulan. Baru setelah mengucapkan janji setia pada keluarga kerajaan, kekuatan akan meningkat," jelas Bayu menjentikkan tangannya.
"Apa ini ngga bahaya?" Idaline mundur melihat harimau muncul di kanan Bayu.
"Tidak. Selama nona Ida tidak berbahaya bagi saya," jelas Bayu mengusap kepala harimau. Buntalan oren itu memutari tubuh Bayu seperti anjing kecil yang kegirangan.
"Oh begitu,"
Lalu malam itu Bayu memperlihatkan sihir api dan air miliknya membuat Idaline menjadi takjub.
••• BERSAMBUNG •••
© Al-Fa4 | 06 Juni 2021
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
senja
itu maksud gelar apa ya? diangkat anak+dpt gelar?
btw ada maksud apa dia milih Bayu? apa sebelumnya sdh tertarik atau gimana? kan tubuhnya orang dewasa jd dia pasti mikir dewasa kan, ada "alasan"
2022-02-14
4