My Psychopaths CEO
Bagian 19 : The Villain
By Ika SR
“Rupanya sekarang kau memiliki seseorang yang berharga yang mau berdiri di sampingmu, Cleo,” ujar seorang pria yang berada di awal usia 50 tahunan.
Ia memakai baju dan celana jeans kumal. Sepasang sepatu boots kotor terpasang di kedua kakinya.
Topi koboi dari anyaman bambu yang dikenakannya terlihat kotor pula, berkat paparan debu jalanan.
Di hadapannya banyak sekali tumpukan sampah yang berbau menyengat.
Ia duduk bersandar pada sebuah dinding beton. Kait besi yang dipegangnya mengaduk-aduk tanah.
Rambut hitamnya telah memutih sebagian. Sebagian menggumpal karena kotor.
Kuku-kuku jarinya menghitam, kulitnya telah keriput dan menggantung. Ia menyeringai kejam. “Hahaha...” lalu tertawa dengan mengerikan.
“Baguslah, sekarang kau memiliki kelemahan. Sesuatu yang kau takutkan. Sehingga aku bisa mengulangi mimpi burukmu dan membuatmu menjadi pembunuh yang lebih kejam dariku. Hahaha...”
***
Sudah pukul 09:00
Lana sedang sibuk membenahi meja kerja barunya yang persis berada di depan ruangan kantor milik Cleo. Jujur ia tidak enak hati pada Magrieta dan staff kantor lainnya yang lebih senior dan tentunya lebih handal darinya.
Tapi, ini kesempatan bagus untuknya dan lagipula Cleo sendirilah yang memintanya. Jadi, Lana tidak mungkin menolaknya.
Triingg!!!
Telepon berdering, Lana segera mengangkatnya. “Ya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?”
Lana mencatat setiap detil informasi yang ia dapatkan. Ia tahu betul, itu suara Cleo dan bosnya itu memintanya untuk menyiapkan beberapa dokumen.
Tentu saja, dengan cepat Lana harus segera menyerahkannya atau pria itu akan memarahinya dengan kata-katanya yang menusuk.
Begitu Lana mendapatkan dokumen yang Cleo minta, ia segera mengetuk pintu masuk.
Tok! Tok! Tok!
“Permisi, Pak?”
“Masuk!”
“Maaf, Pak saya lama. Ini dokumen yang Anda minta,” kata Lana sembari menyodorkan sebuah map yang berisi banyak sekali lembaran kertas di dalamnya.
“Taruh situ!” kata Cleo. Seperti kebiasaannya, ia tidak menoleh sama sekali sewaktu memberi jawaban pada Lana.
“Baik, Pak. Jika sudah tidak ada lagi yang Anda butuhkan. Saya pamit.”
Baru saja Lana ingin membalikkan badannya. Cleo dengan cepat memanggil namanya lagi. “Lana?”
“Ya?”
“Bacakan dokumen itu untukku?” kata Cleo, sembari dirinya fokus membaca beberapa berkas yang ada di hadapannya. “Baik, Pak.”
Dengan patuh Lana melakukannya. Meskipun tidak yakin, ia baru tahu ada orang yang bisa memiliki fokus sebaik itu.
Membaca dan mendengarkan sesuatu yang jelas kedua isinya berbeda. Menyimak, memahami dan menafsirkannya secara bersama-sama.
Lana membaca baris terakhir dokumen yang dibacanya.
“Sudah, Pak.”
“Oke, kamu hubungi lagi klien kita untuk mengatur pertemuan malam ini. Kamu bisa kan? Jika kamu belum paham kamu bisa tanya Reta.”
Lana mengangguk. “Baik, Pak.”
Lana membalikkan badannya dan menutup pintu.
Reta adalah wanita kedua yang mengantarkannya menemui Cleo dan sekarang dia bertugas sebagai partner Lana sekaligus pembimbingnya.
Tapi, ada yang terasa ganjal di hati Lana sekarang. Suasana formal yang tercipta barusan malah membuatnya merasa tidak tenang.
Seolah hal itu menggambarkan dengan jelas perbedaan status antara Lana dan Cleo yang notabene adalah karyawan dan bos.
Hal itu membuat Lana resah. Ia sudah tidur dengan Cleo, tapi nampaknya hal itu membuat semuanya menjadi lebih rumit. Terutama statusnya dengan Cleo.
Bukannya Lana ingin berharap lebih. Tapi, sebagai wanita yang telah mempersembahkan mahkota pertamanya untuk seorang pria ia jelas berharap sebuah titik terang.
Selain itu, Cleo rela berkorban untuknya. Hal itu membuat Lana semakin bingung. Apa yang sebenarnya Cleo rasakan padanya?
Begitu Lana menghilang di balik pintu. Cleo menghentikan aktivitas membacanya.
Ia menyandarkan punggungnya ke kursi. “Kenapa aku tidak bisa menatap matanya?” keluh Cleo dalam hati.
Dia menunduk bukan karena sedang sepenuhnya konsentrasi. Hanya saja, entah mengapa Cleo merasa seperti kepalanya tertindih sesuatu sehingga terasa berat untuk mendongakkan kepalanya dan menatap Lana.
Ia mengusap rambutnya dengan gusar.
“Ada apa ini?” tanyanya dalam hati. “Kenapa aku merasa sedikit gugup dan panik?”
***
“Hei! Kau mengotori bajuku! Kalau jalan pakai mata!” teriak seorang pria yang memakai setelan casual pada seorang pria paruh baya yang sedang mengangkut sampah menggunakan gerobaknya.
Pria paruh baya itu hanya melirik sang pemuda lalu mengangguk pelan sebagai tanda permintaan maafnya.
Pemuda itu berlalu sambil terus-menerus mengomel dan mengelap bajunya. Seolah takut ikut tertular debu.
“Heh,” decak pria paruh baya itu. Ia tak mau ambil pusing.
Tapi, wajahnya tak menunjukkan hal yang serupa. Urat-urat di wajahnya nampak menonjol, mencoba menahan amarah yang semakin berkobar membakar dadanya.
Entah karena sudah benar-benar akan meledak atau benar-benar merasa terhina. Pria paruh baya itu melempar karung berisi sampah yang sedari tadi di punggutinya.
Sampah plastik, maupun kertas itu bertebaran kembali memenuhi jalan. Lebih berantakan dari sebelumnya.
“Argh!” pria paruh baya itu berteriak keras-keras, membuat dirinya menjadi tontonan orang di sepanjang jalan.
“Menyebalkan! Para manusia bodoh itu semua!” nafasnya terengah-engah karena mencoba menahan amarahnya yang berkobar. Ingin sekali dirinya mengumpat.
Tapi, dengan cepat ia mengendalikan emosinya. Tidak, melainkan menyembunyikannya lagi di balik wajahnya yang datar. Tanpa emosi. Seolah sebuah topeng.
Ia kembali memunguti sampah itu, memasukkannya lagi ke dalam karung seolah tak terjadi apa pun.
Ia tersenyum licik, begitu tangannya yang terbungkus sarung tangan kumal menyentuh sebuah boneka barbie usang.
“Wanitamu cantik, Cleo!”
Ia terkekeh...
***
Cleo sedang membereskan semua dokumennya yang masih berserakan di meja.
Sudah malam.
Tepatnya sudah pukul 21:09. Di luar sedang hujan lebat. Lana sudah pulang semenjak pukul 16:00. Jadi, sekarang hanya Reta yang menemaninya di luar.
Baru saja Cleo ingin mengenakan jasnya kembali. Reta memasuki ruangannya sembari membawa sebuah kotak terbungkus kertas payung di tangannya.
“Maaf, Pak?”
Cleo menoleh dengan tidak acuh. Ia sudah lelah dan ingin segera pulang.
“Ini ada sebuah kiriman paket untuk Anda. Pengantarnya bersikeras untuk memberikan paket ini langsung pada Anda,” ucap Reta.
“Letakkan saja di meja!” perintah Cleo.
Reta menurut. “Baik, Pak. Oh, iya. Pengantarnya tadi juga mengatakan untuk menyampaikan ini pada anda saya rasa hal ini mengenai sesuatu seperti lily putih.”
Mendengar kata itu tubuh Cleo seperti mematung. Ia menghentikan aktivitasnya secara refleks.
“Lily Putih” Cleo tahu betul apa arti nama bunga itu. Bunga kesukaan ibunya dulu, bunga yang dulu menghiasi seluruh pekarangan rumahnya dan juga bunga yang dipetik pembunuh itu dan diletakkannya di tubuh ibunya yang bersimbah darah pada malam tragis itu.
“Dia kembali,” guman Cleo.
Amarah berkobar dalam dirinya. Rasa sesak memenuhi dadanya. Ia merasa tidak bisa bernafas dengan leluasa. Setelah 15 tahun, pembunuh itu baru mau menampakan dirinya.
“Keluar!” perintah Cleo pada Reta yang sontak langsung dituruti wanita itu.
Nada suara Cleo memang tidak tinggi tapi penuh tekanan sehingga membuat semua orang langsung menuruti perintahnya.
Dengan kasar Cleo menyobek kertas pembungkus itu dan menemukan sebuah boneka barbie kumal di dalamnya disertai secarik kertas yang bertuliskan
“Kau merindukanku Cleo? Ah, kurasa kau telah melupakanku karena kau sudah memiliki wanita yang cantik.”
Hujan semakin deras, petir menggelegar mencambuk langit yang kelam. Tapi, hal tersebut tidak seberapa menakutkan dibandingkan pikiran buruk yang tiba-tiba melejit dan menguasai benak Cleo.
“Lana?”
“Bagaimana pria brengsek itu tahu tentang Lana?” tanya Cleo dalam hati.
Kemudian ia tertawa kencang begitu menyadari sesuatu.
“Kau! Ternyata selama ini kau mengawasiku,” ucap Cleo.
Matanya memancarkan aura kemarahan yang luar biasa. Berani-beraninya orang yang telah merusak hidupnya kembali lagi dan mencoba melakukan hal itu untuk yang kedua kalinya.
“Lana dalam bahaya,” pikiran itulah yang menggerakkan Cleo untuk segera bergegas.
Ia berlari keluar ruangan dengan tergesa-gesa dan membuat Reta menjadi terheran-heran. Cleo tidak ingin terluka untuk yang kedua kalinya dan ia juga tidak rela kehilangan Lana karena penyebab dan pelaku yang sama.
Begitu sampai di parkiran. Cleo menghidupkan mobilnya dan menyetir dengan cepat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
fitri yati
bapak bangke sudah bunuh ibu cleo skrg mau bunuh lana..
2020-03-12
3
Fareeza Ramzhan
s bpk tua itu psycopat jgabkyanya.dia yng bunuh ibunya cleo dng sadisss😡
2019-08-29
9
Thutich
penasaran sama bpk tua itu....semangat nulisnya thor 👍👍
2019-08-28
5