Dia terjerat dalam sebatas ingatan dimana sebuah rantai membelenggunya, perlakuan manis yang perlahan menjeratnya semakin dalam dan menyiksa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nenah adja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebenaran
Mario mengulurkan tangannya pada Valeri agar dia segera turun dari mobil.
Saat turun, Valeri segera melihat pemakanan berjejer dengan berbagai bentuk batu nisan bertuliskan nama- nama mereka yang telah meninggal, dan tentu saja terkubur di bawah gundukan tanah yang kini terbalut tembok- tembok kokoh.
Valeri terus menggenggam tangan Mario saat pria itu menariknya masuk semakin dalam ke area pemakaman. Wajah murung begitu nampak, hingga Mario menghentikan langkahnya di depan salah satu makam.
Valeri mengeryit. Tidak itu bukan satu, tapi dua, dua makam yang menyatu karena banyaknya rumput yang menumpuk. Bukan hanya itu terlihat nisan yang terbelah, dan benar-benar nampak tak terawat.
Valeri melihat sekitarnya. Semua makam disana rapi dan nampak kokoh, namun kenapa dia melihat, makam yang ada di sudut itu tidak layak.
"Makam siapa ini?" Valeri mendongak ke arah Mario yang menatap datar kedua makam tersebut. "Mario?"
Mario menarik sudut bibirnya saat menyadari jika dia sedang melamun. "Ini makam orang tuamu," ucapnya.
Valeri tertegun. "Kenapa makam mereka berbeda? Apa karena mereka tak memiliki uang untuk makam yang mewah?" Valeri menyentuh permukaan makam yang penuh dengan rumput tersebut, beberapa sampah bahkan ada di atasnya.
Mario berjongkok, lalu mengusap bahu Valeri. "Maaf, aku akan segera memperbaikinya." Valeri menangis sedih.
Mario bangkit. "Aku akan ambil air minum." Mario pergi meninggalkan Valeri, sementara Valeri masih disana dan menangis sedih.
Valeri mengusap air matanya lalu mencabuti rumput disana dengan tangan, dan sebisanya. Hingga dia melihat sebuah benda jatuh di makam kedua orang tuanya.
Valeri membelalakan matanya saat melihat itu adalah telur busuk yang memiliki aroma yang menyengat.
Valeri menoleh saat lagi-lagi seseorang dengan sengaja melemparkan telur busuk tersebut hingga berkali-kali.
Valeri bangkit dengan marah. "Apa yang kau lakukan! Kenapa kau membuang telur itu ke makam orang tuaku!"
Seorang wanita berwajah marah menatap Valeri. "Orang tuamu?"
Valeri mengangguk. "Haruskah aku juga melemparmu dengan telur ini?" Valeri melihat satu keranjang telur yang pastinya sudah busuk. Wanita ini sengaja membawa telur busuk sebanyak itu? Tapi kenapa?
"Apa maksudmu? Kenapa kau-" Satu orang pria muncul dan menendang batu nisan yang hanya tersisa setengah itu membuat Valeri menjerit terkejut. "Apa yang kau lakukan!"
"Mereka pantas mendapatkannya!"
"Berhenti! Apa yang kalian lakukan?" keduanya tak berhenti menghancurkan makam orang tuanya.
"Tanyakan pada mereka apa yang mereka lakukan!" seru si wanita.
"Apa yang kami lakukan bahkan tak sebanding dengan apa yang mereka lakukan!"
"Apa maksud kalian? Kejahatan apa yang orang tuaku lakukan."
"Mereka adalah pembunuh! Pembunuh paling kejam di dunia. bukan hanya satu, tapi ratusan yang jadi korban."
Valeri menggeleng tak mengerti, tubuhnya nyaris ambruk mendengar perkataan kedua orang itu. "Mereka adalah pelaku bom bunuh diri yang menewaskan keluarga kami! Bukan hanya kami banyak yang keluarganya mati karena ulah mereka."
"Tidak mungkin?" Valeri jatuh terduduk. Wajah Valeri pucat pasi. "Orang tuaku tidak seperti itu," lirihnya.
"Cih, atau kau sama saja dengan mereka?'
"Ya kita harus melaporkannya juga. Keluarga terorism sepertinya mungkin memiliki keterlibatan?"
Valeri menggeleng, saat ini dadanya terasa sakit dengan kepala yang tiba-tiba pusing luar biasa.
Saat akan kehilangan kesadarannya Mario segera datang memeluknya. "Kamu baik- baik saja?"
"Mario, orang tuaku tidak seperti itu, kan?" Valeri mendongak.
Mario hanya diam, dan seolah membenarkan kenyataan apa yang baru saja dia ketahui.
"Kita pulang." Mario bahkan tak menanggapi, dan membawa Valeri ke dalam gendongannya.
Saat ini Valeri masih melihat beberapa pengunjung yang datang merusak makam kedua orang tuanya entah itu menendang bahkan melempar sampah. Itukah kenapa makam mereka berbeda dari yang lain. Mereka yang dendam pada orang tuanya, terus melampiaskan kemarahan pada kedua orang tuanya. Bahkan meski sudah berbentuk benda mati.
Valeri menenggelamkan dirinya di pelukan Mario lalu menangis dengan sedih.
"Kenapa kau tidak bilang sebelumnya," lirih Valeri saat mereka di perjalanan pulang.
"Aku tahu kamu akan sedih." Veleri menoleh. "Aku bahkan menghapus semua unggahan di internet tentang mereka."
"Aku tidak percaya mereka melakukan itu. Mario, mereka tidak akan melakukan bunuh diri ..."
"Itu kenyataannya." Mario berucap dengan tegas dan dingin membuat Valeri terdiam. Mario tidak percaya apa yang dia katakan.
Valeri tak boleh menyangkal tanpa bukti. Dia harus mencari tahu dulu apa yang sebenarnya terjadi. Valeri percaya orang tuanya tidak akan melakukan itu. Hal sekeji itu?
Meski miskin, mereka tidak akan putus asa lalu melakukan hal bodoh. Apalagi sampai mengorbankan banyak nyawa.
Tiba di rumah Valeri masih terdiam dengan murung. Dalam kepalanya dia berpikir, bagaimana caranya dia mencari tahu tentang yang terjadi tiga tahun lalu, sedangkan dia sendiri tidak mengingat sejak lima tahun lalu.
"Istirahatlah. Ada yang harus aku kerjakan." Valeri merasakan Mario mengecup dahinya lalu pria itu pergi.
Tatapan Valeri mengikuti pria itu tertelan pintu ruangan kerjanya. Apa yang harus dia katakan pada Mario agar pria itu percaya pada perkataannya.
"Nona, makan siang anda." Hilda menunjuk ruang makan.
"Mario akan bekerja dulu."
"Tuan, meminta anda untuk makan lebih dulu lalu istirahat," ucap Hilda.
Valeri mengerutkan keningnya. Kapan Mario mengatakan itu? Seingatnya, dia tak mengatakan apapun saat pergi tadi.
Valeri mengikuti Hilda ke ruang makan, lalu melihat menu yang tersaji.
Kenapa dia tak suka saat Mario justru tak menemaninya makan. Apa karena dia kesal padanya?
Valeri menghela nafasnya. "Aku nanti saja." Valeri berbalik dan memilih menaiki tangga menuju kamarnya.
"Tapi, Nona-" Hilda hanya bisa menghela nafasnya saat Valeri tak mendengarnya.
Hilda mengetuk pintu ruang kerja Mario dan masuk setelah mendengar seruan 'masuk' dari pria itu.
Hilda melihat Mario duduk bersandar di kursinya dengan memejamkan matanya. "Tuan, Nona Valeri tidak mau makan." Mario membuka matanya.
"Biar aku yang urus. Kau boleh pergi." Hilda mengangguk, lalu pergi.
...
Valeri duduk di tepi ranjang dengan pikiran yang terus berkelana, harus dari mana dia mulai mencari tahu tentang ledakan hotel Starlight. Sementara di semua artikel tidak ada informasi tentang si pelaku lalu kronologi yang terjadi.
Mario menghapus semuanya?
"Hilda bilang kamu tidak ingin makan?" Valeri mendongak dan menemukan Mario.
"Aku tidak lapar."
"Mau makan diluar?"
Valeri menggeleng. "Aku tahu restoran yang enak." Mario mengulurkan tangannya, hingga mau tak mau dia menyambutnya.
Mario mengendarai mobil dengan Valeri di sebelahnya, hingga saat dia melihat Valeri yang hanya diam Mario menggenggam tangannya.
"Jangan berpikir tentang hal yang membuatmu sedih."
"Kamu benar-benar tidak percaya kalau mereka tidak mungkin melakukan itu?"
Mario melepas genggamannya. "Aku lebih percaya fakta yang ada. Jangan bicarakan ini lagi."
Valeri meremas tangannya saat Mario melepaskannya.
Tiba di sebuah restoran Valeri berjalan mengikuti Mario. Mereka duduk di salah satu meja dengan beberapa pengawal yang berdiri waspada di belakang mereka.
Valeri melirik dengan tidak nyaman saat Mario hanya diam, dan acuh dengan ponselnya.
Nampak sekali pria itu masih kesal padanya.
Tak berapa lama makanan tersaji, Valeri bahkan tak tahu kapan Mario memesan, hingga baru beberapa detik mereka duduk, makanan sudah tersaji di meja.
"Masih tidak mau makan?"
Tak ingin membuat Mario semakin marah, Valeri menggeleng lalu mulai mengambil makanan.
Mario mengusak rambut Valeri saat dia menyuapkan makanannya dan mulai makan.
"Kamu sendiri tidak makan?" tanya Valeri saat melihat Mario hanya diam.
"Aku sudah kenyang melihatmu."
Valeri mengerutkan keningnya. "Bisa begitu?" lalu dia menyendok makanan untuk dia berikan pada Mario.
Baru saja dia menyodorkannya di depan mulut Mario, Pria itu menepis dengan kasar.
Trang!
Valeri tertegun saat melihat sendoknya jatuh. Namun baru saja akan melakukan protes, Mario memeluknya dan menjatuhkan tubuh mereka.
Tepat saat itu terdengar dua kali suara tembakan.
Dor!
Dor!
....
Like...
Komen...
Vote...