“Bagaimana jika cinta bukan dimulai dari perasaan, melainkan dari janji terakhir seorang yang sekarat?”
Risa tidak pernah membayangkan dirinya akan menikah dengan kekasih sahabatnya sendiri—terlebih, di kamar rumah sakit, dalam suasana perpisahan yang sunyi dan menyakitkan. Tapi demi Kirana, satu-satunya sosok yang ia anggap kakak sekaligus rumah, Risa menerima takdir yang tak pernah ia rencanakan.
Aditya, pilot yang selalu teguh dan rasional, juga tak bisa menolak permintaan terakhir perempuan yang pernah ia cintai. Maka pernikahan itu terjadi, dibungkus air mata dan janji yang menggantung di antara duka dan masa depan yang tak pasti.
Kini, setelah Kirana pergi, Risa dan Aditya tinggal dalam satu atap. Namun, bukan cinta yang menghangatkan mereka—melainkan luka dan keraguan. Risa berusaha membuka hati, sementara Aditya justru membeku di balik bayang-bayang masa lalunya.
Mampukah dua hati yang dipaksa bersatu karena janji, menemukan makna cinta yang sebenarnya? Atau justr
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Pagi itu, matahari bersinar lembut saat Risa bersiap membuka kedai kecil di depan rumah sakit.
Untuk pertama kalinya Aditya ikut bangun lebih pagi tanpa harus disuruh.
“Mas, yakin mau ikut?” tanya Risa sambil memasukkan ayam ke dalam kotak pendingin.
Adit meraih jaket dan kunci mobil. “Hari pertama kan penting. Masa suaminya nggak mendukung?”
Risa menatapnya sekilas, senyumnya tipis tapi tulus.
“Terima kasih, Mas…”
Sesampainya di depan rumah sakit, beberapa staf dan pengunjung rumah sakit mulai melirik kedai mungil yang mulai dibuka.
Adit membantu membentangkan spanduk bertuliskan.
Ayam Bakar Risa – Hangatkan Harimu
Tulisan yang sangat sederhana tapi cukup menarik perhatian.
“Mas, spanduknya miring,” kata Risa.
“Biar beda dari yang lain. Anti-mainstream,” jawab Adit santai.
Saat pelanggan pertama datang, Adit membantu mencatat pesanan sambil bercanda kecil.
“Kami punya ayam bakar rasa cinta dan sambal rasa rindu,” ucap Adit, membuat pembeli dan Risa tertawa geli.
Hari itu berjalan lancar. Banyak pesanan, dan beberapa suster sampai kembali dua kali karena ketagihan.
Menjelang sore, Risa duduk di bangku kecil, mengelap keringat dari pelipisnya.
“Capek juga ya, ternyata.”
Adit duduk di sebelahnya, menyerahkan air minum.
“Tapi kamu senang?”
Risa mengangguk. “Senang. Terasa hidup lagi.”
Aditya memandangi kedainya, lalu menoleh ke Risa.
“Aku juga mulai merasa hidup… semenjak kamu mengisi hari-hariku.”
Risa terdiam, menatap Adit… mungkin, luka itu perlahan mulai meleleh.
Sore itu, kedai Risa mulai ramai pembeli. Aromanya menggoda, sambalnya pedas menggugah selera, dan ayam bakarnya karamelisasi sempurna.
Saat Risa tengah sibuk membungkus pesanan, datanglah Stefanus bersama tiga orang anggota kepolisian.
“Kedai ini yang viral itu ya? Ayam bakar rasa cinta?” goda Stefanus sambil tersenyum lebar.
Risa menoleh dan terkekeh. “Bukan aku yang bikin slogan itu, lho. Tanyain suamiku.”
Aditya yang tengah mengaduk sambal di belakang langsung melirik, namun hanya membalas dengan senyum tipis.
Stefanus memesan dengan antusias. “Empat porsi, pedas semua. Buat anak-anak buahku, dan tentu saja buat aku sendiri.”
“Oke. Duduk aja dulu, nanti aku antar,” ucap Risa ramah.
Sambil menunggu, Stefanus duduk tak jauh dari tempat Adit berada.
Pandangannya sesekali melirik ke arah Risa yang sibuk melayani pelanggan.
“Ris masih hebat aja masaknya. Nggak berubah dari dulu,” celetuk Stefanus, setengah menggoda.
Aditya diam. Tak ada komentar, tak ada ekspresi. Hanya gerakan tangannya yang sedikit lebih cepat mengaduk sambal.
Ketika Risa menghampiri membawa pesanan, Stefanus menyambut dengan senyum lebar.
“Terima kasih, Ris. Nanti ajak anak-anak panti makan bareng ya, aku traktir.”
“Wah, baik banget kamu, Stef,” jawab Risa sambil menunduk sedikit.
Adit datang sambil mengelap tangannya, menyela datar.
“Kamu duluan aja, Stef. Kita masih banyak pesanan.”
“Santai aja, Dit. Gue juga tahu diri,” sahut Stefanus, berdiri dan menepuk bahu Aditya. “Tapi Risa emang luar biasa, jaga baik-baik.”
Setelah mereka pergi, Risa mendekat pelan ke Aditya.
“Kamu marah?”
Adit hanya menatap sekilas dan menjawab dingin,
“Kenapa harus marah?”
Risa terdiam. Tapi dalam hatinya, ia tahu... ada rasa yang mulai bergolak di balik sikap dingin itu.
Risa tersenyum tipis, menatap punggung Aditya yang kembali sibuk membersihkan peralatan.
Tak ada kata, hanya kesunyian yang menggantung seperti asap ayam bakar yang belum hilang seluruhnya.
Ia tahu, ada sesuatu di balik sikap diam Aditya. Tapi, seperti biasa, Risa memilih diam dan melanjutkan pekerjaannya membereskan meja serta menutup etalase kecil kedainya.
Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam.
“Kita pulang, Mas?” tanya Risa pelan.
“Ayo,” jawab Aditya singkat, tanpa menoleh.
Dalam perjalanan pulang, hanya suara mobil dan angin malam yang menemani.
Risa memeluk kotak kecil berisi sisa ayam bakar yang tak terjual, sementara Aditya fokus menyetir.
Sesampainya di rumah, Aditya langsung masuk tanpa banyak bicara.
Risa menyusul beberapa menit kemudian setelah memastikan peralatan di halaman telah rapi.
Risa duduk di ruang tamu, meletakkan kepalanya di sandaran sofa. Lelah. Tapi lebih dari itu… kosong.
Tak lama, Aditya keluar dari kamar sambil membawa selimut kecil.
“Kamu tidur aja di kamar. Jangan di sini. Nanti masuk angin,” katanya sambil meletakkan selimut di sofa.
“Aku tahu kamu marah,” gumam Risa, nyaris tak terdengar.
Aditya tidak menjawab. Ia hanya memandang Risa beberapa detik… lalu melangkah pergi.
“Terima kasih… sudah membantuku hari ini,” tambah Risa lirih saat Aditya sudah berada di ambang kamar.
Dan untuk pertama kalinya malam itu, Risa berharap… Aditya kembali. Tapi pintu kamar tetap tertutup.
***
Pagi itu, suara koper digeser terdengar di lorong rumah.
Risa bangun lebih cepat dari biasanya, tapi tak menyangka akan melihat Aditya sudah rapi dengan seragam pilotnya, menenteng tas besar.
“Mas? Kok buru-buru?” tanya Risa sambil menyisir rambutnya yang masih kusut.
Aditya menoleh sebentar, lalu melanjutkan menyusun dokumen ke dalam tas kerja.
“Ada perubahan jadwal. Aku harus berangkat lebih awal. Flight ke Dubai, transit, terus lanjut ke London,” jawabnya singkat.
Risa hanya mengangguk, menyembunyikan kecewanya. Mereka bahkan belum sempat sarapan bersama.
Saat Aditya hendak mengenakan sepatu, ia berhenti sejenak, lalu menatap Risa. Mata mereka bertemu.
“Jaga diri kamu baik-baik ya,” ucapnya, nada suaranya lebih lembut dari biasanya.
Risa tertegun. “Mas… kenapa bicara seperti itu?” tanyanya, sedikit gugup.
Aditya tersenyum kecil—senyum yang anehnya lebih terasa seperti pamit daripada sekadar ucapan selamat tinggal biasa.
“Nggak apa-apa. Cuma… jaga diri. Jangan terlalu capek. Dan kalau kamu butuh sesuatu, bilang,” katanya sambil membetulkan kerah jaketnya.
Risa ingin bertanya lebih banyak, tapi kata-katanya tertahan. Ia hanya mengangguk pelan.
Beberapa menit kemudian, mobil jemputan datang. Aditya membuka pintu, lalu sebelum benar-benar melangkah keluar, ia menoleh dan berkata:
“Aku titip rumah ini padamu, Ris.”
Dan pintu tertutup. Meninggalkan Risa yang masih berdiri terpaku di depan tangga, dengan tatapan yang perlahan memudar seperti sinar pagi yang tergantikan awan.
Rumah itu terasa lebih sunyi dari biasanya.
Padahal, ini bukan kali pertama Aditya pergi terbang. Tapi pagi ini... berbeda.
Risa duduk di meja makan yang masih bersih. Tak ada cangkir kopi, tak ada piring sarapan. Hanya secarik catatan kecil yang ditinggalkan Aditya di meja
Jangan lupa makan. Aku tahu kamu suka lupa.
Biasanya kepergian Aditya membuatnya merasa lega karena bisa sendiri tanpa tekanan.
Tapi pagi ini, dadanya terasa sesak. Seperti ada yang tertinggal. Atau... seperti ada yang tidak selesai.
Risa melangkah ke ruang tamu, duduk di sofa, dan menatap kosong ke arah pintu.
“Kenapa ucapan ‘jaga diri’ itu terdengar seperti pamit panjang?” gumamnya pelan.
Tangannya gemetar saat membuka laptop. Ingin menulis lanjutan novelnya, tapi pikirannya kacau.
Kata-kata yang biasanya mengalir, kini buntu. Hatinya terasa berat, tak karuan.
Ia mencoba menyeduh teh hangat, tapi bahkan airnya pun seperti kehilangan rasa.
Risa menatap bayangannya di cermin dekat dapur.
> “Ada apa denganku?” bisiknya, nyaris tak terdengar.
Pagi itu, meski hatinya masih terasa berat, Risa mencoba tegar.
Ia mengganti daster dengan blouse sederhana dan celana panjang hitam.
Rambutnya ia ikat rapi, lalu mengambil tas dan keluar dari rumah.
Di depan pagar, Bu Ratmi tetangganya yang sudah seperti ibu sendiri sudah menunggu dengan senyum hangat.
"Yuk, Ris. Nanti keburu siang. Pasien rumah sakit udah mulai rame jam segini."
Risa mengangguk lemah. Mereka berangkat bersama naik ojek langganan menuju kedai kecil yang ada di depan rumah sakit tempat Risa mulai berjualan ayam bakar.
Di sepanjang jalan, Bu Ratmi bercerita tentang cucunya, tentang harga cabai yang naik, dan tentang sinetron yang akhir-akhir ini bikin dia kesal.
Risa hanya tersenyum tipis, tak seantusias biasanya. Tapi kehadiran Bu Ratmi membuat perjalanan terasa sedikit lebih ringan.
Setibanya di kedai, Risa langsung membuka jendela, menyalakan kompor, dan memeriksa stok bahan.
"Kerja bisa jadi obat, Ris. Biar hati nggak sempat sedih," ucap Bu Ratmi pelan sambil membantu menyusun piring.
Risa menatap ibu itu sejenak, lalu mengangguk.
“Iya, Bu. Saya cuma… kosong aja rasanya.”
Risa merasakan detak jantungnya berdetak kencang sekali.
tata bahasanya bagus, enak dibaca
moga happy ending