Arthur'S Desire

Taksi yang ditumpangi Chloe, dan Shannon berhenti di depan rumah mewah yang tertutup pagar hitam menjulang tinggi. Setelah membayar, Chloe turun di ikuti Shannon.

"Paman Branson, tolong bukakan pagar." Tidak lama kemudian, pagar itu terbuka. Chloe menuntun Shannon untuk masuk, dan menyapa Paman Branson sebelum keduanya melanjutkan langkah mereka.

"Kau merasa gugup, Shannon?"

"Sedikit, Chloe."

"Semua para pekerja disini sangat baik. Hanya satu saja yang agak menyebalkan dan kau tidak perlu merasa khawatir. Jika, dia mengganggumu, aku akan menyelamatkanmu." Cicit Chloe bertindak layaknya pahlawan untuk Shannon membuat Shannon tertawa.

Sekitar 20 meter, keduanya berjalan dari pagar menuju rumah utama. Kini keduanya telah sampai. Shannon memandang rumah mewah yang berada di depannya kini. Bangunan kokoh berdindingkan hitam itu, bergaya modern memiliki disain yang inovatif. Sangat mengagumkan.

"Sepertinya, Tuan Arthur ada di rumah."

Shannon yang mendengar gumaman Chloe hanya terdiam. Gadis itu masih memanjakan matanya. Kini manik hijaunya melihat ke arah taman yang berada di depan rumah. Hamparan rumput yang hijau yang terdapat pohon-pohon yang rindang, dan juga terdapat berbagai jenis bunga. Tidak terlalu banyak seperti di panti, namun tetap terlihat indah.

"Kita temui Bibi Gabriella. Sepertinya, dia masih berada di dapur."

Chloe mempercepat langkahnya, begitu juga dengan Shannon. "Sudah sampai," Chloe mendorong pintu, dan benar saja wanita yang di carinya berada di dapur.

"Bibi Gabriela."

Gabriela yang sedang membuat selai roseberry membalikkan tubuhnya. "Kau sudah datang rupanya, Chloe." Gabriela melengkungkan bibirnya membentuk senyuman menyambut kedatangan Chloe, dan juga Shannon.

"Sudah Bibi, dan aku membawakan sesuatu untukmu," Chloe mengeluarkan lipstik dari tas selempangnya yang dibelinya tadi. "Tarang!! lipstik warna maroon untukmu."

"Aku tidak percaya diri memakai lipstik berwarna merah." Keluh Gabriella.

"Kau pakailah untuk suamimu, Bibi. Aku pastikan Paman Rolando akan tergiur, ingin mencium lalu melumat bibirmu."

"Ya Tuhan, anak ini." Gabriela menggelengkan kepalanya seraya tersenyum mendengar ucapan Chloe yang tak mempunyai filter. "Baiklah, aku akan terima, dan memakainya. Terimakasih." Gabriella mengambil lipstik tersebut dari tangan Chloe, kemudian dimasukkan di saku apronnya. Kini tatapannya beralih ke Shannon. "Apakah gadis ini, bernama Shannon? "

"Ya, Bibi. Siapa lagi?"

"Kau sangat cantik, Shannon." Gabriela mengusap lengan Shannon. "Perkenalkan aku adalah Gabriella, juru masak disini."

"Sekaligus istri dari kepala pelayan disini." Tambah Chloe.

"Salam kenal, Bibi. Senang bisa berkenalan denganmu."

"Oh, selain cantik, kau juga sangat manis."

Kemudian, ketiganya duduk di kursi yang melingkari meja lalu berbincang. Gabriella memberikan arahan, dan juga aturan selama bekerja disini kepada Shannon. Mengenai pakaian, jam kerja, dan tugas apa yang harus di lakukan Shannon.

"Apakah kau sudah mengerti, Shannon?" tanya wanita berusia 52 tahun itu.

"Ya, aku mengerti Bibi."

"Good."

"Dimana Rosella? aku tidak melihatnya." Rosella, adalah pelayan pecicilan yang membuat Chloe muak. Selain pencicilan, Rosella suka berpenampilan menor, dan kebiasaan buruk wanita itu selalu membuat masalah dengannya.

"Dia sedang keluar, Chloe. Kau seperti tidak tau kebiasaannya."

Chloe tersenyum jahat. "Aku berharap dia tidak kembali, Bibi."

Gabriella tertawa rendah. "Aku berharap juga demikian. Sekali lagi dia membuat kekacauan, dia akan diberhentikan. Begitulah yang dikatakan Rolando."

"Semoga hal itu lekas terjadi."

"Haruskah, aku mengaminkan doamu?"

"Tentu saja."

Gabriela tertawa lagi. "Baiklah, sekarang kau ajaklah Shannon berkeliling, dan setelahnya kalian beristirahat. Jam 8 datanglah ke dapur, kita makan malam bersama."

Shannon, dan Chloe meninggalkan dapur. Sebelum berkeliling, keduanya singgah di sebuah rumah yang di khususkan untuk para pekerja.

"Rumah ini benar-benar menakjubkan." Shannon bersama Chloe melintasi lorong, yang sepanjang jalannya terdapat kolam di bagian sisi. Begitu keluar terdapat taman kecil, dan ada sebuah ruangan yang berdindingkan kayu.

"Ya kau benar. Pemiliknya juga tidak kalah menakjubkan."

"Benarkah? pantas saja kau betah bekerja disini."

"Sayangnya, aku tidak pernah melihatnya langsung. Hanya bisa melihat dari kejauhan. Yang aku dengar, Tuan Arthur seseorang yang introvert. Lebih banyak diam, dan kerap menyendiri di dalam kamar. Dia akan keluar kamar disaat para pelayan sedang beristirahat."

"Dimana keluarga yang lainnya?"

"Tuan Arthur tinggal disini sendiri, Shannon. Sedangkan Ayahnya, berada di Marseille."

Shannon mengangguk, paham. "Ini ruangan apa, Chloe? "

"Ruang perpustakaan. Lalu, kalau disana," Chloe menunjukkan sebuah gerbang yang tertutup. "Area tembak."

"Area tembak?"

"Ya, Tuan Arthur memiliki hobi menembak Shannon. Sebaiknya, sekarang kita ke kebun sebelum gelap."

"Disini juga ada kebun?"

"Hmm, ya.. Kebun hidroponik. Tapi kau harus berhati-hati jika kesana."

"Kenapa?" tanya Shannon.

"Karena ada hantunya."

"Ha- hantu." Ulang Shannon membuat Chloe tertawa. Terlebih, ekspresi yang di tunjukkan Shannon. Sangat, sangat menghiburnya.

"Kau menipuku, Chloe!" Chloe ingin meredakan tawanya tapi tidak berhasil. Shannon berdecak kesal, kemudian ia melanjutkan langkahnya. Chloe mengikuti Shannon sampai keduanya berada di depan kebun.

"Di kebun terdapat tanaman roseberry, strawberry, kiwi, anggur, dan berbagai jenis buah lainnya. Sayur-sayuran juga ada. Kau boleh memetiknya. Tapi, kau harus waspada."

"Jangan katakan jika ada hantunya."

Chloe tertawa lagi. "Bukan. Tapi ada Harley. Si anjing galak milik Tuan Arthur. Jadi, kau harus berhati-hati jika kau ingin kesini."

Waktu berlalu dengan cepat di gantikan fajar. Sesuai dengan perintah Gabriela, Shannon dan Chloe membersihkan lantai satu rumah utama sampai benar-benar selesai.

"Aku ingin berbelanja, ke pasar."

"Bolehkah aku ikut?"

"Kau disini saja, barangkali Bibi Gabriella membutuhkan seseorang untuk membantunya."

"Baiklah.. Kau Berhati-hatilah, Chloe."

Setelah kepergian Chloe. Shannon ke dapur berniat membantu Bibi Gabriela. "Tidak ada orang. Dimana Bibi?" dilihatnya dapur bersih, tidak ada seseorang disana.

Shannon pun keluar. Kali ini, ia melangkah menuju taman di depan rumah. Ada Paman Rudolf yang sedang memberikan makanan untuk kelinci.

"Selamat pagi, Paman Rudolf." Sapa Shannon dengan hangat.

"Pagi juga Nona." Balas Rudolf tidak kalah hangatnya dengan sapaan Shannon.

"Panggil namaku saja, Paman."

"Baiklah, Shannon. Kau memerlukan sesuatu, Nak?"

"Tidak... Aku sedang mencari Bibi Gabriella. Apa Paman melihatnya?"

"Sepertinya, masih berada di kamar Tuan Arthur. Apakah pekerjaanmu sudah selesai, Shannon?

"Sudah Paman." Shannon berjongkok, memerhatikan kelinci, dan mengambil salah satunya. "Kelinci ini sangat kecil, dan menggemaskan."

"Ya kau benar Shannon. Yang kau gendong jenis kelinci Netherland Dwarf. Kelinci termungil namun hiperaktif, dan sedikit nakal." Shannon tersenyum lebar mendengar penjelasan Paman Rudolf.

"Kau ingin membantuku, memberinya makan?"

"Tentu Paman."

Di waktu yang bersamaan. Sesudah mandi, dan sarapan Arthur membuka pintu kaca menuju balkon dengan secangkir kopi di tangannya.

Arthur mendekati pembatas, kemudian meluruskan tatapannya. Menikmati pemandangan seraya menyesap kopinya. Maniknya tanpa sengaja melihat seorang gadis dibawah sana. "Gadis itu lagi. Mengapa, dia bisa ada disini?"

Arthur tidak beranjak. Ia terpaku, melihat interaksi Shannon dengan kelinci-kelinci miliknya. Gadis itu bahkan tertawa. Terlihat bahagia.

Merasa ada yang memerhatikan. Shannon menoleh, kemudian mendongakkan kepalanya ke arah balkon. Tidak ada orang. Mungkin hanya perasaanku saja.