Aruna terjebak ONS dengan seorang CEO bernama Julian. mereka tidak saling mengenal, tapi memiliki rasa nyaman yang tidak bisa di jelaskan. setelah lima tahun mereka secara tidak sengaja dipertemukan kembali oleh takdir. ternyata wanita itu sudah memiliki anak. Namun pria itu justru penasaran dan mengira anak tersebut adalah anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fatzra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Julian berlari kembali ke kamar. Ia sangat terkejut kenapa Aruna berteriak memanggil namanya. "Ada apa?" tanyanya.
Aruna meringkuk ketakutan, lalu menunjuk jendela. Ia sempat melihat sesuatu dari arah jendela seperti kelebatan bayangan hitam entah itu orang atau apa. Saat Julian memeriksanya sudah tidak ada apa-apa di sana.
Julian mendekati Aruna, lalu memeluk wanita itu. "Jangan takut, tidak ada apa-apa di sana."
"Aku hanya takut kalau seseorang meneror aku lagi," ucap Aruna dengan nada gemetar.
Julian memutuskan untuk menghubungi anak buahnya yang waktu itu sempat menyelidiki CCTV yang ada di restoran Aruna. siapa tahu anak buahnya sudah memiliki informasi yang lengkap. Saat ia membuka ponselnya ternyata banyak panggilan tak terjawab dari salah satu anak buahnya kemudian ia menelpon balik nomor itu.
"Ada apa?"
"Aku sudah menangkap orang yang dicurigai telah meneror di restoran. Sepertinya orang itu disuruh, tapi sampai saat ini dia tidak mau menjawab siapa yang menyuruhnya," jawab salah satu anak buahnya itu
Julian mengepalkan tangannya lalu menatap tajam ke arah depan. "Begitu, ya. Harusnya kau tahu tugasmu seperti apa. Jika orang itu tidak mau mengaku jangan segan-segan menyiksa sampai dia mengaku!" ucapnya kesal, lalu memutuskan teleponnya sepihak. ia berpamitan kepada Aruna untuk pergi, karena sudah tidak sabar lagi ingin mengetahui siapa dalang dari pelaku teror itu. Kali ini ia tidak main-main siapapun yang mengusiknya harus dituntaskan.
Julian meminta Vincent untuk mengantarnya ke sebuah rumah tua, tempat anak buahnya mengurung orang yang melakukan teror beberapa waktu lalu. Setelah sampai di sana ia langsung turun, melangkah tegas ke dalam.
"Di mana dia?" tanyanya dengan nada tegas.
"Di sini, Tuan." Salah satu anak buahnya membuka tirai penyekat ruangan, seorang pria duduk dengan tangan terikat dan mulut di lakban.
Julian berjalan mendekat, menatap tajam ke arahnya. Ia melipat tangan ke dada. "Bangun!" sentaknya.
Pria itu membuka matanya perlahan menatap kosong ke arah depan. salah satu anak buah Julian mendongakkan kepala pria itu sehingga menghadap ke arah Tuannya itu.
"Siapa yang menyuruhmu?" tanya Julian dengan wajah tegas.
"Apakah itu penting bagimu?" Pria itu balik bertanya.
"Kalau tidak penting kau tidak di sini sekarang!" jawab Julian mempertegas kalimat terakhir.
Pria itu justru terkekeh entah apanya yang lucu. Jelas-jelas wajah Julian saat ini terlihat sangat marah. Bahkan bukan marah seperti biasa. kali ini benar-benar terlihat seperti singa lapar yang siap menerkam mangsanya.
"Alex, berikan dia pelajaran. Jika masih tidak mau mengakui, habis saja, lalu buang dia ke laut supaya dia makan ikan!" ucapkan dengan wajah kesal.
Anak buahnya mengangguk, lalu mengambil senjata tajam yang sudah tersedia di sana. Ia mengacungkan senjata ke leher pria itu. "Ayo mengaku sekarang! kalau tidak kau tahu sendiri akibatnya!" bentaknya.
pria itu marah dadanya bergerak naik turun menahan amarahnya matanya melotot ke arah Julian. "Aku lebih baik mati, daripada harus menghianati seseorang yang sudah memberikan kepercayaannya kepada saya."
Julian terkekeh. "Berapa bayaranmu? kau sampai rela mempertaruhkan nyawamu,"
kerjakan kecil meluncur dari mulut pria itu. "bayaran? apakah hidup ini selalu mementingkan tentang uang?"
"Aku tidak peduli dengan semua itu apapun yang kau ucapkan. Tapi coba lihat ini apakah kau tidak berpikir dua kali untuk mengakuinya." Julian memberi isyarat kepada anak buahnya.
Salah satu anak buah Julian memutarkan sebuah video. Di mana video itu adalah potret keluarga bahagia pria itu dan juga seseorang yang memanggil pria itu Ayah, sedang mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya.
Pri itu menatapnya dengan wajah penuh amarah. Namun, ia tak bisa memberontak. "Jangan sentuh mereka."
Julian mencekal rahang pria itu dengan erat. "Sekarang kau tahu rasanya keluargamu terancam, itulah yang aku rasakan beberapa hari belakangan ini dan semuanya adalah ulahmu!" desisnya di akhir kalimat. Tatapannya penuh intimidasi ke arah pria itu.
"B—baiklah, saya akan mengakui perbuatanku. Saya hanya disuruh oleh seorang wanita," ucap pria itu dengan susah payah. karena cengkraman tangan Julian semakin erat, membuatnya susah untuk berbicara .
"Bicara yang jelas siapa wanita itu?" Julian melepaskan tangannya.
"Saya tidak tahu siapa wanita itu, yang jelas dia memberiku banyak sekali uang. Namun, kelihatannya dia bukan berasal dari kota ini."
Julian membuka layar ponselnya, lalu menunjukkan layar ponselnya ke arah pria itu. "Apakah wanita ini yang kau maksud?"
Pria itu mengangguk dengan cepat ia wanita itu yang menyuruhku. Selama ini wanita itu selalu menyuruhku untuk memata-matai anda, karena dia curiga anda selalu mengabaikannya. Setelah saya menceritakan kepadanya kalau anda dekat dengan seorang wanita, ia menyuruhku untuk meneror wanita itu sampai tidak berani lagi mendekatimu,"
Julian menggenggam erat tangannya, ia tidak habis pikir ternyata semua itu ulah Celine. Wanita itu sangat nekat, ia tidak menjamin setelah ini bakal banyak kejadian yang mungkin membahayakan Aruna ataupun Raven. Apalagi setelah pernikahannya kemarin batal. Ia memerintahkan anak buahnya untuk stand by berjaga di rumah Aruna dan mengawal kemanapun wanita itu pergi.
"Karena kau sudah mengakui semuanya, aku akan membayarmu 5 kali lipat dari yang diberikan wanita itu kepadamu. Tapi kau pastikan untuk segera pindah dari kota ini kalau kau tidak segera pindah, kau tahu sendiri akibatnya!" desis Julian di akhir kalimat.
"Baik, Tuan aku menuruti perintahmu."
Julian memberi isyarat kepada anak buahnya untuk melepaskan pria itu dan memastikannya pergi dari kota hari itu juga. Ia tidak ingin mengambil resiko.
setelah membereskan hal itu Julian kembali lagi ke rumah Aruna namun Hans mengirim pesan agar putranya itu menemuinya segera. Pria setengah baya itu sudah menunggu di halaman belakang rumah bibinya. Ia dibuat penasaran oleh ayahnya itu, segera saja ia menyuruh Vincent untuk membelokkan mobilnya ke rumah bibinya itu.
Dengan penasaran Julian berjalan ke halaman belakang. Hans sedang duduk di pinggir kolam renang seraya menyeruput secangkir teh hangat. ia tampak menikmati aktivitasnya itu.
"Papa," siapa Julian kepadanya.
Hans menoleh ke sumber suara. iya lalu tersenyum memberi isyarat agar Julian duduk di sampingnya. "Papa mau bicara denganmu dan ini sangat penting "
Julian mengeringkan keningnya tidak biasanya ayahnya mengajak bicara sampai seserius ini. ia semakin penasaran hal apa yang akan dibicarakan oleh ayahnya itu. "Sebenarnya Papa mau membicarakan soal apa?"
"kenapa terburu-buru begitu kalau sudah penasaran?" tanya pria setengah baya itu dengan santai. sepertinya ia sengaja membuat putranya itu bertanya-tanya.
Julian menatap Hans. "Papa pekerjaanku masih banyak,"
Pria setengah baya itu hanya terkekeh. "Papa hanya minta waktumu sebentar tidak banyak,"
Julian memutar bola matanya malas. "Ayolah, Papa jangan bertele-tele."
"Papa ingin kau segera menikahi wanita pilihanmu itu besok,"
Terima kasih.