NovelToon NovelToon
Brautifully Hurt

Brautifully Hurt

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: PrettyDucki

Narendra (35) menikah untuk membersihkan nama. Adinda (21) menikah untuk memenuhi kewajiban. Tidak ada yang berencana jatuh cinta.

Dinda tahu pernikahannya dengan Rendra hanya transaksi. Sebuah kesepakatan untuk menyelamatkan reputasi pria konglomerat yang rusak itu dan melunasi hutang budi keluarganya. Rendra adalah pria problematik dengan citra buruk. Dinda adalah boneka yang dipoles untuk pencitraan.

Tapi di balik pintu tertutup, di antara kemewahan yang membius dan keintiman yang memabukkan, batas antara kepentingan dan kedekatan mulai kabur. Dinda perlahan tersesat dalam permainan kuasa Rendra. Menemukan kelembutan di sela sisi kejamnya, dan merasakan sesuatu yang berbahaya dan mulai tumbuh : 'cinta'.

Ketika rahasia masa lalu yang kelam dan kontrak pernikahan yang menghianati terungkap, Dinda harus memilih. Tetap bertahan dalam pelukan pria yang mencintainya dengan cara yang rusak, atau menyelamatkan diri dari bayang-bayang keluarga yang beracun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PrettyDucki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Velmore

Ponsel Rendra langsung berdering begitu mereka mendarat di Bandara Halim Perdana Kusuma. Panggilan masuk silih berganti tanpa jeda. Ia tetap sibuk bahkan setelah duduk di sedan Bentley-nya.

"Anter saya ke kantor Sudirman dulu, baru anter Dinda ke Velmore." Ucapnya pada Heru sebelum membuat panggilan baru.

"Iya, Pak." Heru mengangguk patuh.

Mobil melaju lambat karena mereka melewati beberapa titik macet, dan Rendra tetap sibuk dengan kegiatannya. Menelpon, mengirim pesan grup, mengecek email, dan sesekali mengumpat.

"Kenapa baru kasih tau saya? Proyek ini udah molor tiga minggu! Kalian ngapain aja di sana?"

Hening sebentar sementara seseorang di telpon menjawab.

"Jangan kasih alasan teknis! Saya nggak peduli siapa yang tolol di antara kalian, yang jelas hari Senin presentasi itu harus jadi. Kalo sampe nggak siap, semua orang di tim kalian keluar!" Dia menutup telepon tanpa menunggu jawaban.

Tiba-tiba panggilan lain masuk. Dari Mila, sekretarisnya.

"Ya?" Bentaknya.

Seseorang di seberang bicara.

"Saya masih di jalan, lima belas menit lagi sampe. Kamu pastiin nggak ada yang telat."

Beberapa menit kemudian mereka sampai. Gedung pencakar langit bertuliskan "Mandhala Tower" membentang tinggi di sana. Rendra dengan cekatan merapikan barang-barangnya.

"Aku pergi dulu, nanti malem kita ketemu di Velmore." Ucapnya cepat pada Dinda sebelum menutup pintu mobil.

BRAKKK!!

Dahi Dinda mengernyit saat pintu terbanting. Pria itu bahkan tidak repot-repot berpamitan dengan cara yang layak padanya.

"Dia sering marah-marah gitu, Pak?" Tanya Dinda pada Heru.

Heru tidak langsung menjawab, untuk beberapa detik ia seperti memikirkan jawaban yang pas, "Sesekali, Bu. Tapi biasanya lebih tenang kalau sudah pulang dari kantor."

Dinda meringis. Ia tau itu mode default suaminya. Apa Rendra yang manis cuma ada waktu honeymoon? Kalau iya, maka ini mengerikan. Ia belum tau orang seperti apa yang akan ia hadapi setiap hari nanti. Dengan status pernikahan mereka dan berbagi ranjang dengannya.

"Jangan panggil Ibu, Pak. Dinda aja."

"Maaf Bu. Pak Rendra biasa dipanggil Pak, jadi saya akan panggil Ibu, Bu Dinda."

Dinda hanya menghembuskan napasnya pelan.

...***...

Begitu mobil berhenti di depan lobi Velmore, Heru menoleh pada Dinda, "Oh iya Bu, HP-nya boleh pinjam sebentar?"

"Untuk apa?" Dinda mengerutkan dahinya.

"Pak Rendra minta dipasangkan sistem pelacak internal. Standar keamanan."

Dinda tertegun, "Pelacak?"

"Iya, Bu. Untuk keamanan Ibu. Kalau ada situasi darurat, kami bisa langsung tau posisi Ibu."

Dinda bisa mengerti bagian logisnya. Istri dari pria seperti Rendra mungkin memang butuh perlindungan ekstra. Tapi ia tetap merasa terkurung dalam pengawasan.

"Ini sesuai instruksi Pak Rendra, Bu." Heru sudah mengulurkan tangan, seolah menunggu adalah bagian dari formalitas. Dan Dinda tau ia memang tidak diberi pilihan.

Ia sangat ingin membantah sebenarnya, tapi nada Heru yang terlalu profesional akan membuat penolakannya terasa dramatis dan tidak pada tempatnya.

"Okay." Akhirnya Dinda mengeluarkan ponsel dari tas dan menyerahkannya,

Heru menunduk, jari-jarinya lincah di layar, "Ini aplikasi internal. Hanya tim keamanan yang bisa akses." Tambahnya tanpa diminta.

Tidak sampai dua menit, ia mengembalikan ponsel itu kepada Dinda. "Sudah beres. Nanti kalau keluar dari gedung, otomatis aktif juga. Jadi Ibu nggak perlu pencet apa-apa."

Dinda hanya mengangguk. Matanya sudah lebih dulu tertarik pada gedung di depannya.

Velmore. Ia terpaku. Gedung itu menjulang tinggi dan mencolok dengan cara yang "diam". Fasadnya dibalut kaca gelap dan logam hitam. Tidak ada plang besar, hanya satu logo kecil di samping pintu masuk. Seolah tempat ini tau dirinya eksklusif tanpa banyak bicara.

Begitu masuk, dunia seperti berubah. Suara dari luar langsung teredam, digantikan dengan dentingan piano instrumental yang nyaris tak terdengar. Lobi Velmore lebih mirip galeri seni daripada pintu masuk hunian. Lantainya batu alam, dindingnya dihiasi instalasi cahaya dan lukisan abstrak.

Dinda menggenggam tali tasnya lebih erat. Ia merasa seperti tamu di tempat yang seharusnya akan menjadi rumahnya.

Seorang wanita berpakaian serba hitam mendekat. Tanpa banyak bicara Heru menyebut nama Rendra, lalu wanita itu mempersilakan mereka masuk ke lift khusus. Semua serba otomatis. Tidak ada tombol. Tidak ada pilihan.

Saat berada di dalam lift, Dinda menangkap pantulan dirinya di dinding cermin. Ia terlihat kecil. Terlalu biasa untuk tempat seperti ini. Setelahnya lift bergerak nyaris tanpa suara. Tapi tekanan di telinga Dinda mengatakan bahwa mereka memang naik cepat.

Begitu pintu terbuka, aroma khas langsung menyergap. Kombinasi kayu cedar, kopi hitam, dan sesuatu yang tajam dan bersih. Dinding kaca setinggi langit-langit memperlihatkan pemandangan kota dari ketinggian yang nyaris tak masuk akal.

Interiornya maskulin, dingin, dan teratur. Dominasi hitam, abu-abu, dan baja. Rak buku hitam pekat menyimpan ratusan judul yang tersusun presisi dan simetris. Tidak ada barang berantakan, seolah yang tinggal di sini bukan manusia, tapi sistem.

Dinda melangkah lebih dalam, menyentuh sandaran sofa kulit yang dingin. Tidak ada bingkai foto di sini. Tidak ada lukisan sentimental. Hanya ada patung kontemporer di sudut ruangan, terlalu abstrak untuk menyampaikan emosi apa pun.

Kemudian terdengar suara langkah pelan dari dalam. Seorang wanita paruh baya datang menghampirinya. Rendra memang sempat menyinggung soal asisten rumah tangga yang akan menyambutnya di Velmore, tapi wanita ini tampak terlalu rapi untuk ukuran tukang bersih-bersih. Dia memakai celana gabardin hitam dan kemeja dengan warna senada.

"Saya Rahma, Bu. Barang-barangnya mau langsung dibawa ke kamar?" Tanyanya sopan.

Dinda mengangguk canggung, "Iya. Tolong ya, Bu." Jawabnya.

Begitu mereka melangkah melewati ruang tamu yang luas, Rahma sempat menoleh ke arah dapur terbuka di sisi ruangan.

"Oh iya, Bu. Saya kenalkan dulu dengan Chef Deka ya."

'Dia bahkan punya chef pribadi di sini?'

Seorang pria berusia sekitar 40-an muncul dari balik pintu kaca dapur. Tubuhnya tegap, memakai kemeja hitam dengan celemek abu-abu tua yang baru dilepas. Wajahnya ramah tapi tetap terkesan formal.

"Selamat sore, Bu Dinda." sapanya sopan.

"Sore." Dinda menjawab cepat sambil tersenyum.

"Saya yang biasa masak makan siang dan malam untuk Pak Rendra. Ibu ada preferensi menu tertentu atau pantangan makan?"

"Nggak ada sih.." Dinda menggeleng.

"Pak Rendra biasanya minta makanan tinggi protein, karbohidrat rendah glikemik, dan sayur hijau." Deka menjelaskan, "Tapi kalau Ibu mau menu sendiri, saya akan siapkan."

Dinda diam sebentar. Ia membayangkan piring-piring sempurna tanpa bumbu yang ia kenal. Tapi ia tidak ingin merepotkan. Ia juga tidak tahu harus minta apa.

"Saya ikut menu Mas Rendra aja, Chef." Jawabnya akhirnya.

"Baik. Tapi kalau sewaktu-waktu Ibu mau menu lain, Ibu bisa bilang saya. Saya bisa masak apa aja kok."

"Oke." Dinda mengangguk.

Kenapa semua hal di sini membuatnya canggung? Semua elemen terasa asing, semua orang memperlakukannya dengan sangat hati-hati.

Deka mengangguk sekali lagi sebelum pamit pulang, diikuti oleh Heru yang juga ikut pergi. Pintu tertutup, dan penthouse itu semakin sunyi.

"Mari Bu, saya antar ke kamar." Rahma kembali mengambil alih.

Lagi-lagi Dinda hanya mengangguk.

Pintu kamar itu terbuka, menampilkan kamar yang luas. Lampu di langit-langitnya menyala otomatis. Tempat tidur king size berdiri di tengah ruangan, rapi, bersprei putih tanpa lipatan.

Kemudian Rahma membawanya ke walk-in closet. Deretan lemari berdiri sejajar.

"Lemari Bu Dinda di sebelah sini ya, Bu." Rahma menunjuk sisi kanan ruangan.

"Yang mana?" Tanyanya ragu.

"Di bagian ini semua punya Ibu." Jelas Rahma.

Dinda membuka salah satu pintu, napasnya tertahan. Di dalamnya, pakaian wanita tertata rapi. Ia buka pintu lain, sama. Penuh semuanya.

"Kok udah ada isinya semua, Bu?" Tanya Dinda bingung.

Rahma mengangguk, "Iya, kata Bapak ini semua baju Ibu. Saya sendiri yang susun setelah di laundry."

Rahma membungkuk untuk membuka laci bawah, "Sepatu dan tas Ibu ada di sini. Sepanjang laci ini isinya sepatu dan tas."

Dinda terdiam. Masih berusaha mencerna. Jadi pakaian-pakaian yang Rendra beli untuk honeymoon di Italia itu belum semuanya?

Ia menatap lama pada deretan pakaian itu. Semuanya tampak pas di tubuhnya, warna, ukuran, semua seolah dipilih setelah seseorang mempelajari dirinya dengan detail.

Alat pelacak, pakaian, sepatu, dan tas, itu semua tampaknya bukan hanya perhatian, tapi pengendalian. Ia seperti elemen baru yang diintegrasikan ke dalam sistem hidup Rendra yang sempurna. Ia sedang disesuaikan.

Dinda masih melamun saat Rahma berkata, "Pintu di sebelah kanan tempat tidur itu, kamar mandi ya Bu."

Dinda mengangguk.

"Dan kalau Ibu mau makan, sudah disiapkan di meja. Saya pamit pulang setelah ini."

"Makasih, Bu Rahma. Tapi jangan panggil 'Ibu' ya. Dinda aja."

Rahma meringis, "Maaf, canggung Bu rasanya. Saya izin tetap panggil Ibu aja ya." Balasnya.

Lagi-lagi hierarki. Ia jadi merasa asing dan sendirian di sini.

Setelah Rahma pergi, Dinda kembali ke tempat tidur dan duduk di sana. Kamar ini sangat dingin, padahal ia belum menyalakan pendingin ruangan. Perlahan-lahan rasa kosong menjalar di hatinya.

Tapi kemudian ponselnya bergetar. Email baru dari Kirana.

Dari : Kirana Ayu Praba

Kepada : Adinda Arunika

Dinda, naskah Memoir Pak Harjo gimana? Klien nanya terus. Tolong konfirmasi kapan selesai ya.'

Dinda menatap layar ponselnya. Deadline naskah itu Jumat ini. Tinggal tiga hari. Ia belum menyentuhnya sama sekali sejak seminggu lalu. Terlalu sibuk dengan pernikahan, resepsi, lalu honeymoon.

Ia mengetik balasan cepat.

Dari : Adinda Arunika

Kepada : Kirana Ayu Praba

Jumat pasti selesai, Kak. Maaf telat update.

Setelah mengirim pesan, Dinda bangkit dari tempat tidur dan berjalan mengambil laptopnya, kemudian duduk bersila di atas tempat tidur. Ia membuka laptop, layar menyala, menampilkan dokumen Word yang terakhir ia buka. Draft memoir Harjo Djumadi, halaman 87 dari 312.

Dinda menarik napas panjang. Fokus. Ia harus fokus.

Tapi matanya malah melayang ke sekeliling kamar. Terlalu besar. Terlalu rapi. Terlalu... bukan miliknya.

Ia menggelengkan kepala, memaksa diri kembali menatap layar. Jari-jarinya mulai mengetik, mengoreksi typo, merapikan struktur kalimat, menandai inkonsistensi gaya penulisan.

Tiga tahun ia bekerja sebagai copy editor freelance. Dimulai dari proyek kecil. Artikel blog, konten website, press release startup. Lalu naik ke naskah buku. Sekarang ia punya tujuh klien tetap, kebanyakan dari penerbit indie dan self-published author.

Penghasilannya tidak besar. Rata-rata lima sampai tujuh juta per bulan, tergantung volume pekerjaan. Tapi cukup untuk uang saku, beli buku, dan sesekali mentraktir Tania makan.

Dan yang paling penting, itu uangnya sendiri. Hasil kerja kerasnya.

Tapi sekarang, duduk di kamar mewah ini dengan lemari penuh pakaian mahal yang bukan ia beli sendiri, entah kenapa pencapaian itu terasa kecil. Seperti tidak berarti apa-apa.

Dinda menggelengkan kepala lagi. Tidak. Jangan pikir begitu.

Ia kembali mengetik. Satu paragraf. Dua paragraf. Sepuluh halaman.

Ponselnya bergetar lagi. Kali ini bukan email, tapi pesan WhatsApp dari Tito Gunawan, dosen pembimbing utamanya.

From : Pak Tito

Dinda, draft Bab 2 kapan kirim? Maaf nih ganggu bulan madunya, tapi saya mau review sebelum berangkat ke singapur bulan depan.

Dinda mendesah pelan. Skripsinya. Ia hampir lupa. Bab 2 baru 40% selesai. Pak Tito sudah dua kali minta revisi.

Ia mengetik balasan.

To : Pak Tito

Siang Pak Tito. Mohon maaf, minggu ini pasti saya kirim revisinya. Masih finalisasi referensi, Pak 🙏

Setelah mengirim pesan, Dinda menutup laptop. Kepalanya mulai pusing. Terlalu banyak yang harus dikerjakan. Tapi entah kenapa, ia tidak bisa fokus.

Mungkin karena tempat ini terlalu sunyi.

Atau mungkin karena ia merasa... terisolasi.

...***...

1
Ecci Syafirairwan
🥰
Roxy-chan gacha club uwu
Ceritanya asik banget, aku jadi nggak tahan ingin tahu kelanjutannya. Update cepat ya thor!
PrettyDuck: Ditunggu ya kakk. Aku biasanya update jam 2 siang 🥰🥰
total 1 replies
Tsubasa Oozora
Sudah nggak sabar untuk membaca kelanjutan kisah ini!
PrettyDuck: Aa thank you kakak udah jadi semangatku untuk update 🤍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!