Menjadi sekretarisnya saja sudah sulit, apalagi kini aku jadi istrinya.
Dia bos galak yang tak kenal kompromi.
Dan aku… terjebak di antara cinta, gengsi, dan luka masa lalu yang siap menghancurkan segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nfzx25r, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8
Aruna masuk ke kamar dengan langkah lunglai. Ia meletakkan tasnya di atas meja kecil dekat ranjang, lalu duduk sebentar sambil menatap kosong ke arah dinding. Semua kejadian tadi masih berputar-putar di kepalanya, tatapan tajam Rani, suara lembut Arkan, hingga genggaman hangat mamanya.
Ia mengembuskan napas panjang. “Aku benar-benar capek…” gumamnya pelan.
Dengan malas ia bangkit, mengambil handuk, lalu masuk ke kamar mandi. Air hangat yang mengalir dari pancuran membuat tubuhnya perlahan rileks. Uap tipis memenuhi ruangan, membuatnya sedikit terlena. Beban di hatinya seakan ikut larut bersama derasnya air yang jatuh ke kulitnya.
Tanpa sadar, waktu berjalan begitu cepat. Setelah selesai mandi, ia hanya mengenakan pakaian santai dan mengusap rambutnya dengan handuk, lalu rebahan sebentar di ranjang dengan niat sekadar melepas penat. Namun kantuk yang tiba-tiba menyerang membuat matanya tertutup rapat, dan ia pun tenggelam dalam tidur tanpa sempat mengeringkan rambutnya sepenuhnya.
Ketika ia terbangun, suasana kamar sudah remang. Cahaya jingga senja telah berganti pekatnya malam, hanya lampu kecil di sudut meja yang menemani. Aruna mengerjap, berusaha mengumpulkan kesadarannya. Tubuhnya terasa sedikit berat, tapi setidaknya kepalanya lebih ringan dibanding sebelumnya.
Ia meraih ponsel di meja, hendak melihat jam. Namun alisnya langsung bertaut kaget begitu melihat layar yang penuh notifikasi.
34 pesan masuk — Arkan.
12 panggilan tak terjawab — Arkan.
Aruna sontak duduk tegak, wajahnya memerah panas. Dengan gugup ia membuka pesan pertama.
Arkan: Aruna, sudah sampai rumah?
Arkan: Kau baik-baik saja?
Arkan: Sudah makan?
Arkan: Jangan terlalu dipikirkan ucapan Rani tadi.
Arkan: …
Arkan: Aruna.
Arkan: Kenapa tidak balas?
Pesan itu berlanjut dengan nada yang makin resah.
Arkan: Aku serius.
Arkan: Kalau kau tidak jawab, aku bisa datang sekarang juga.
Arkan: Jangan bikin aku khawatir.
Arkan: Dan besok, jangan ada alasan. Masuk kantor.
Arkan: Aku tunggu kau datang.
Aruna menutup mulutnya dengan tangan, menahan senyum campur gugup. Ia bisa merasakan betapa paniknya Arkan hanya dari deretan pesan itu. Hatinya berdesir hangat, meski di saat yang sama wajahnya terasa panas karena malu.
“Ya ampun… dia nyepam banget,” gumamnya pelan, nyaris tak percaya.
Jemari Aruna sempat berhenti di atas layar, berkali-kali ia mengetik lalu menghapus tulisannya. Ia benar-benar bingung harus membalas apa. Kalau terlalu dingin, nanti Arkan tersinggung. Kalau terlalu hangat… ia sendiri tak yakin siap menghadapi reaksi lelaki itu.
Akhirnya, ia mengetik singkat:
Aruna: Maaf… aku ketiduran habis mandi. Baru bangun sekarang.
Ia menggigit bibir, menatap layar dengan wajah panas. “Aduh, kok kesannya kayak aku ngasih alasan aja…” batinnya panik.
Belum sempat ia berpikir lebih jauh, ponselnya bergetar keras. Nama Arkan terpampang di layar.
“Ya ampun…” Aruna hampir menjatuhkan ponselnya. Jantungnya seolah pindah ke tenggorokan. Ia menatap layar beberapa detik, ragu untuk mengangkatnya. Namun getaran terus berlanjut, membuatnya tak punya pilihan. Dengan tangan gemetar, ia akhirnya menyentuh tombol hijau.
“H-halo?” suaranya lirih, nyaris tak terdengar.
Di seberang, suara berat Arkan langsung terdengar. “Aruna.” Nadanya tegas, tapi jelas ada kelegaan di baliknya. “Kenapa kau tidak bilang dari tadi kalau kau tidur? Aku hampir datang ke rumahmu.”
Aruna terdiam, wajahnya makin merah. “Maaf… aku benar-benar ketiduran. Badanku capek sekali, jadi—”
“Aku tahu kau capek.” Arkan memotong, suaranya sedikit melembut. “Tapi jangan buat aku khawatir seperti itu lagi. Kau bisa kirim satu pesan singkat saja, itu sudah cukup. Mengerti?”
Aruna menggenggam erat selimut di pangkuannya. “I-iya… aku mengerti. Maaf, Arkan.”
Hening sejenak. Hanya terdengar napas Arkan di seberang, berat namun teratur, seakan ia sedang menahan sesuatu.
“Kau sudah makan malam?” tanyanya kemudian.
“Belum…” jawab Aruna jujur, malu.
Arkan mendengus kecil. “Astaga, Aruna.” Ada nada gemas bercampur cemas di suaranya. “Baiklah, aku tidak bisa memaksa. Tapi tolong, turunlah sebentar, makan apa pun yang ada. Aku tidak mau kau besok masuk kantor dalam keadaan lemah.”
Aruna tersenyum tipis, meski wajahnya tetap panas. “Iya… nanti aku makan.”
“Janji?” tekan Arkan.
“J-janji.”
Kali ini hening lagi. Tapi berbeda—hening yang membuat jantung Aruna semakin berdebar kencang.
Lalu suara Arkan terdengar lebih rendah, hampir seperti bisikan, “Syukurlah kau baik-baik saja… aku benar-benar khawatir.”
Aruna masih terdiam, jantungnya berdegup tak terkendali. Suara Arkan di seberang membuatnya seakan kehilangan kata-kata.
“Aruna…” panggil Arkan sekali lagi, nadanya lebih dalam.
“I-iya?” suaranya nyaris bergetar.
“Aku lega kau aman. Jangan pernah buat aku khawatir seperti ini lagi.” Ia berhenti sebentar, lalu menambahkan dengan nada yang membuat wajah Aruna langsung panas, “Karena… aku tidak suka merasa kehilanganmu, meskipun hanya sebentar.”
Aruna sontak membeku. Ucapan itu terus terngiang-ngiang di telinganya, membuat pipinya merona hebat. Ia membuka mulut hendak membalas, tapi tak ada kata yang keluar.
Arkan di seberang hanya mendesah pelan, seolah tahu gadis itu sudah cukup dibuat salah tingkah. “Sudah, makan dulu. Aku tutup teleponnya sekarang. Selamat malam, Aruna.”
“Se…selamat malam, Arkan…” jawabnya pelan.
Sambungan terputus. Aruna menatap layar ponselnya lama sekali, senyum malu-malu muncul di wajahnya. “Astaga… apa tadi dia benar-benar bilang begitu?” gumamnya dengan suara nyaris tak terdengar.
Ia menepuk pipinya sendiri yang panas, berusaha menenangkan debar jantungnya. Setelah beberapa menit mencoba menarik napas panjang, akhirnya ia bangkit dari ranjang.
Ketika membuka pintu kamar, aroma harum sup ayam langsung menyeruak dari dapur. Perutnya yang sejak tadi kosong mendadak ikut protes. Ia melangkah ke ruang makan dengan wajah masih sedikit merah.
Di meja sudah tersaji semangkuk sup ayam hangat buatan mamanya. Uapnya mengepul, menggoda indera penciuman. Aruna duduk, mengambil sendok perlahan, lalu mulai menyendok kuahnya. Hangatnya mengalir sampai ke dadanya, menenangkan hati yang sejak tadi bergejolak.
Sambil makan, ia tak bisa berhenti tersenyum kecil, mengingat lagi kata-kata terakhir Arkan.
“Tidak suka merasa kehilanganmu…” ia mengulang pelan, wajahnya kembali panas sendiri.