Pak jono seorang pedagang gorengan yang bangkrut akibat pandemi.
menerima tawaran kerja sebagai nelayan dengan gaji besar,Namun nasib buruk menimpanya ketika kapalnya meledak di kawasan ranjau laut.
Mereka Terombang-ambing di lautan, lalu ia dan beberapa awak kapal terdampar di pulau terpencil yang dihuni suku kanibal.
Tanpa skill dan kemampuan bertahan hidup,Pak Jono harus berusaha menghadapi kelaparan, penyakit,dan ancaman suku pemakan manusia....Akankah ia dan kawan-kawannya selamat? atau justru menjadi santapan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ilalangbuana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tak selamanya ketenangan itu ada
Hari-hari berlalu,lambat laun namun pasti.
Di tengah pemukiman yang damai,kini Pak Jono dan kawan-kawan mulai terbiasa dengan kehidupan serba sederhana.
Tanpa suara notifikasi, tanpa layar terang ponsel, tanpa sinyal internet atau Wi-Fi.
Awalnya sulit, tapi seiring waktu, tubuh dan pikiran mereka mulai menyesuaikan diri dengan ritme alam.
Bangun saat ayam hutan berkokok, tidur saat langit gelap total.
Makanan dikumpulkan dengan tangan sendiri, air diambil dari aliran sungai yang jernih.
Baju mereka pun sudah tak lagi menyerupai pakaian kota,kaus robek dan celana lusuh diganti dengan kain dan pakaian tradisional yang dijahitkan oleh penduduk setempat.
Rambut mereka mulai tumbuh tak karuan, jenggot tak dicukur, kulit terbakar matahari. Kini mereka lebih mirip penduduk lokal daripada orang kota. Bahkan cara mereka berjalan dan berbicara mulai pelan dan penuh kehati-hatian.
Suatu sore,saat langit mulai jingga dan suara burung hutan mereda, Kapten Rahmat duduk bersila di dekat tungku yang masih menyala. Di depannya, Alex duduk memeluk lutut, matanya menatap bara api yang sesekali berderak.
“Sudah enam bulan aku hidup sendiri di sini…” ujar Alex, suaranya serak namun tenang.
Kapten Rahmat menatapnya.
“Sendiri? Maksudmu, sebelumnya ada yang menemanimu?”
Alex mengangguk perlahan. “Istriku. Namanya Evelyn. Kami datang ke pulau ini sebagai bagian dari ekspedisi ekologi. Tapi kapal kecil kami hanyut… dan berakhir di pantai utara pulau ini.”
Kapten Rahmat terdiam, memberikan ruang.
“Kami bertahan beberapa minggu dengan peralatan seadanya, sebelum diselamatkan oleh suku ini,” lanjut Alex.
“Mereka dengan ukuran tanga menerima kami dengan baik, memberi tempat tinggal dan kehangatan pada kami.
Sampai waktu itu tiba, evelyn terkena demam tinggi,kemungkinan malaria,kami sudah berupaya sebisa mungkin untuk mengobatinya,tapi malaria terlalu ganas.
Dalam dua minggu… dia pergi.”
Ia menunduk. Kapten Rahmat menepuk pelan bahunya, diam tak berkata apa-apa.
“Setelah itu, aku tak ingin pergi. Rasanya… kalau aku meninggalkan pulau ini, aku seperti meninggalkan Evelyn juga. Kuburnya ada di bawah pohon besar itu, di samping ladang ubi.”
Suasana hening beberapa saat sebelum Alex menarik napas panjang dan melanjutkan.
“Tapi kau harus tahu satu hal, Kapten. Pulau ini… bukan cuma indah dan damai. Ada sisi lain. Sisi yang gelap.”
Kapten Rahmat mengerutkan kening. “Kau bicara soal suku pantai?”
Alex mengangguk. “Mereka memang suku paling brutal. Barbar. Tak beradab. Mereka menyergap, membunuh, memakan. Tapi ada yang lebih… aneh.”
Kapten Rahmat mencondongkan tubuhnya.
“Aku telah menjelajah sebagian pulau ini, dan setidaknya ada tiga suku besar yang aku tahu. Pertama, suku ini yang sekarang menampung kita. Mereka damai, spiritual, hidup seimbang dengan alam.”
“Yang kedua, suku pantai. Tempat kalian pertama kali mendarat. Mereka penuh kebencian. Kata penduduk sini, suku pantai sudah dikutuk leluhur mereka karena memakan sesama manusia saat masa kelaparan besar ratusan tahun lalu. Sejak itu, mereka jadi buas.”
Kapten Rahmat mendengarkan dengan seksama.
“Nah, yang ketiga ini… suku yang paling aneh. Bahkan penduduk sini pun takut menyebutnya.”
Alex menelan ludah.
“Suku perempuan.”
Kapten Rahmat menatapnya tak percaya. “Apa maksudmu?”
Alex menatap matanya. “Suku ini… hanya terdiri dari perempuan. Tidak ada satu pun lelaki di dalamnya. Mereka tinggal di tengah hutan yang lebih dalam dari sini, dan tidak ada yang berani mendekat.”
“Bagaimana bisa mereka hidup tanpa laki-laki?”
“Itu dia yang jadi misteri. Penduduk sini percaya mereka menculik lelaki dari suku-suku lain untuk dijadikan… semacam ‘pejantan’. Diperkosa, lalu dibunuh. Setelah itu mayatnya dikorbankan,kadang untuk kesuburan tanah, kadang untuk ritual.”
Kapten Rahmat tercengang. “Itu… mengerikan.”
“Aku pernah menemukan bekas perkemahan mereka. Ada simbol-simbol aneh di tanah. Dan… tengkorak.”
Ia berhenti sejenak, menatap langit yang mulai gelap.
“Satu hal lagi, Kapten. Setiap bulan purnama, mereka biasanya berburu. Jadi kalau bulan mulai bulat penuh…hindari wilayah tengah pulau. Jangan ada yang berjalan sendirian.”
Kapten Rahmat menunduk dalam, lalu menatap api. Kekhawatiran merambat pelan dalam pikirannya. Ia tahu, meski kini mereka berada di tempat aman, pulau ini masih menyimpan rahasia gelap di sudut-sudutnya.
---
Kembali ke Kehidupan Sederhana
Malam itu,api unggun menyala lebih lama dari biasanya. Para penyintas duduk mengelilinginya, mendengarkan nyanyian tradisional penduduk lokal. Bahasanya asing, tapi melodinya menenangkan.
Pak Jono duduk bersandar di batang kayu besar, ditemani Gilang dan Jefri.
“Kita jadi mirip orang suku juga, ya,” ujar Jefri sambil terkekeh. “Lihat baju kita.”
Gilang memandang dirinya sendiri,sehelai kain dililitkan di pinggang, ikat kepala dari daun kering, dan tas anyaman menggantung di punggung.
“Setidaknya kita masih hidup,” sahut Gilang. “Dan… mulai nyaman”
Pak Jono mengangguk. “Mungkin ini… hukuman, atau justru pelajaran. Di dunia luar, kita kejar uang, jabatan, pengakuan. Di sini? Yang penting cuma air, makanan, dan sesama manusia.”
Jefri menghela napas. “Tapi tetap saja, Pak. Kalau ada kesempatan pulang…”
“Kita pulang,” sambung Gilang. “Kita tidak bisa tinggal di sini selamanya.”
Pak Jono diam sejenak. Lalu mengangguk pelan.
“Ya. Tapi untuk saat ini… kita nikmati hidup sederhana ini. Sambil tetap waspada.”
Hari-hari damai di pemukiman perlahan mulai diwarnai tanda-tanda keresahan.
Langit mulai berubah warna lebih cepat, awan bergulung tebal di siang hari, dan malam terasa lebih dingin dari biasanya.
Para perempuan suku mulai menutup kepala mereka dengan kain hitam, sementara para tetua terlihat berbisik-bisik di sekitar tungku.
Alex yang menyadari perubahan suasana itu pun segera memberi tahu Kapten Rahmat.
“Purnama akan datang dua malam lagi,”
ucapnya tegas.
Kapten Rahmat mengangguk, wajahnya berubah serius.
“Suku itu… yang kau sebut, perempuan semua itu… mereka akan keluar?”
Alex menjawab dengan suara berat.
“Ya. Ini masa berburu mereka. Biasanya mereka tidak datang ke pemukiman ini, karena hubungan antara suku kita dan mereka adalah... permusuhan diam-diam. Tapi kalau mereka tahu ada pria asing di sini, risikonya besar.”
Di malam yang sama, pertemuan darurat digelar. Para tetua suku berkumpul bersama Alex, Kapten Rahmat, Pak Jono, Gilang, dan Jefri. Diterjemahkan oleh Alex, sang pemimpin suku menjelaskan dengan nada tegas namun tenang.
“Saat bulan penuh, suku perempuan akan berkeliaran. Mereka percaya bahwa darah laki-laki asing adalah ‘anugerah langit’ yang bisa menyuburkan bumi dan memperkuat garis keturunan mereka.
Jika mereka mencium aroma kehadiran pria dari luar...mereka akan datang,” kata Alex menerjemahkan.
Pak Jono terdiam menunduk. Gilang dan Jefri saling pandang, sorot mata mereka mulai cemas.
“Mereka tidak akan menyerang dengan frontal. Mereka mengendap, menunggu, memikat. Kadang mereka menari di pinggir hutan, lalu memanggil dengan suara-suara perempuan cantik. Yang mengikuti...tak pernah kembali.”
“Bagaimana kita menghadapi mereka?” tanya Kapten Rahmat.
Alex menjawab cepat.
“intinya jangan keluar atau berpisah dari kelompok,tetap di dalam batas kampung.... Dan dengan menyamar.”
“Menyamar?” tanya Pak Jono heran.
“Ya,” Alex mengangguk. “Selama malam bulan purnama, kalian bertiga...Jono, Gilang, dan Jefri...harus berbaur dengan penduduk. Kenakan pakaian tradisional lengkap, tutupi kepala, bahkan wajah kalian dengan pewarna alami. Mereka mengenali pria dari suku luar lewat bau dan kulit yang berbeda.”
Salah satu tetua mendekat, lalu memberikan sebuah kantong kecil berisi tumbuhan hijau dan akar yang mengeluarkan aroma khas. “Ini ramuan untuk menutupi bau tubuh kalian. Harus digosokkan ke kulit setiap malam.”
Malam itu, mereka mempersiapkan tempat tinggal yang lebih rapat, membuat jebakan sederhana di sekitar batas hutan, dan membentuk kelompok jaga malam.
Pak Jono mengusap lehernya yang kini terasa gatal oleh ramuan yang dioleskan. “Jadi, ini pulau bukan cuma suku kanibal. Tapi juga punya... suku betina haus darah?” gumamnya lirih.
“Bukan darah, Pak,” kata Jefri menyahut dengan suara pelan. “Tapi sperma…”
Pak Jono langsung melotot.
“Setelah itu baru darah,” timpal Gilang.
Ketiganya tertawa kecil, tapi canggung. Di balik tawa itu ada kegelisahan yang nyata.
------
Malam Menjelang Purnama
Keesokan harinya,bulan mulai tampak bulat meski belum sepenuhnya penuh. Angin malam berembus lebih kencang. Hutan di kejauhan terasa senyap, dan kabut turun lebih cepat dari biasanya.
Beberapa penduduk mulai membakar dedaunan kering dan akar pahit untuk menebar aroma yang konon bisa mengusir roh jahat. Tapi semua tahu, itu bukan roh. Itu wanita-wanita pemangsa.
Di sisi lain, Alex melatih ketiganya,cara berjalan diam-diam di malam hari, mengenali suara-suara aneh yang biasanya muncul saat suku perempuan mendekat,derap kaki ringan, bisikan yang terdengar seperti nyanyian, bahkan aroma bunga yang menguar dari tempat tak terduga.
“Kalau kalian mencium bau harum yang tiba-tiba muncul di dalam hutan, jangan dekati,” ucap Alex. “Itu bukan bunga. Itu jebakan. Mereka melumuri tubuh mereka dengan nektar dan akar tertentu agar pria mendekat.”
“Kau pernah lihat mereka langsung?” tanya Gilang penasaran.
Alex terdiam lama. Lalu menjawab pelan.
“Pernah. Dari jauh.Mereka terlihat cantik dan menarik.namun itu hanya ilusi saja, efek dari wewangian itu jika terhirup laki laki.”
Malam itu, langit mulai bersih. Tak ada awan yang menghalangi cahaya bulan.
Purnama akan segera sempurna.