Kirana Azzahra, dokter yang baru saja lulus program internship, menerima penempatan program Nusantara Bakti di pelosok Sumatera Barat. Ia ditugaskan di Puskesmas Talago Kapur, sebuah wilayah yang sulit dijangkau dengan kendaraan biasa, dikelilingi hutan, perbukitan kapur, dan masyarakat adat yang masih sangat kuat mempertahankan tradisinya.
Kirana datang dengan semangat tinggi, ingin mengabdikan ilmu dan idealismenya. Tapi semuanya tidak semudah yang dibayangkan. Ia harus menghadapi fasilitas kesehatan yang minim, pasien yang lebih percaya dukun, hingga rekan kerja pria yang sinis dan menganggap Kirana hanya "anak kota yang sok tahu".
Sampai suatu waktu, ia merasa penasaran dengan gedung tua peninggalan Belanda di belakang Puskesmas. Bersama dr. Raka Ardiansyah, Kepala Puskesmas yang dingin dan tegas, Kirana memulai petualangan mencari jejak seorang bidan Belanda; Anna Elisabeth Van Wijk yang menghilang puluhan tahun lalu.
Dapatkah Kirana dan Raka memecahkan misteri ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichi Gusti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MEMBUKTIKAN DENGAN TINDAKAN
Keesokan harinya, suasana Puskesmas tampak ramai. Beberapa pasien datang lebih pagi karena jadwal imunisasi balita. Kirana menyibukkan diri membantu bidan Dina menyusun vaksin dan mengatur alur antrean.
Tapi di balik semangatnya, ada sesuatu yang terasa tidak enak.
Dan itu terkonfirmasi saat ia mendengar suara percakapan dari balik dinding ruang obat. Suara itu jelas—keras dan tanpa sensor.
"Kalau dia tidak cantik dan deket sama Pak Raka, mana mungkin langsung dipercaya megang pasien kunjungan rumah,” ujar suara lelaki yang tidak asing: Rendi.
“Setiap dia ngomong di rapat, semua langsung nurut dan mengangguk. Padahal yang dia usul itu ya biasa aja. Tapi karena dia ‘dokter cantik dari kota’, semua klepek-klepek!” jelas terdengar ucapan itu dikeluarkan dengan rasa iri dan dengki yang dalam.
“Rendi, pelan dikit dong. Dia bisa denger,” bisik seseorang.
“Biarin. Biar dia tahu orang sini juga bisa kesel! Kenapa harus takut?!”
Kirana berdiri terpaku. Dadanya menghangat, bukan karena marah... tapi karena sedih. Ia sudah mencoba bersikap ramah, berbaur, bahkan menahan diri dari membalas sindiran yang jelas-jelas tertuju padanya. Tapi tetap saja… ia masih mendengar hal seperti ini.
Dara melangkah masuk ke ruangan kecil tempat suara itu berasal. Semua yang berada di ruangan itu langsung terdiam. Rendi yang tengah duduk bersandar di kursi plastik menegakkan badan, tapi tak ada suara yang keluar dari mulutnya.
“Mas Rendi!” panggil Kirana pelan namun tegas. “Kalau ada yang perlu disampaikan soal pekerjaan saya, saya menerima dengan tangan terbuka. Tapi lebih baik disampaikan langsung, bukan lewat tembok!”
Rendi tertawa kecil. “Eh dokter nguping, Ya?” ujar Rendi menyindir.
“Tidak perlu menguping untuk apa yang Mas ucapkan. Hanya orang budeg yang tak dapat mendengar suara Mas dari ruangan sebelah!”
“Saya cuma bicara jujur, Dok. Gak usah baper. Kita di sini kan juga kerja, bukan pelengkap doang. Jadi jangan terlalu over, Dok!”
Kirana menarik nafas, menahan rasa kesal. Karena pria itu jelas tidak merasa salah. Malah terlihat santai.
“Saya nggak pernah anggap siapapun pelengkap atau tidak penting. Kita satu tim. Tapi saya juga nggak bisa pura-pura nggak dengar kalau dianggap cuma modal tampang.”
Rendi berdiri. “Yah, saya bilang aja apa yang semua orang pikir. Bukan saya doang yang ngerasa begitu.”
Sebelum suasana memanas, terdengar suara berat memotong.
“Rendi!!”
dr. Raka berdiri di ambang pintu. Wajahnya seperti biasa: tenang, datar, tapi sorot matanya terlihat tajam.
“Kalau kamu merasa nggak dihargai, tunjukkan lewat kinerja! Bukan komentar receh yang bahkan tidak lucu.”
Rendi diam sejenak, lalu berdiri dan mengambil botol airnya. Ia melangkah keluar ruangan dengan memperlihatkan wajah kesal. Para staf lain pura-pura sibuk, dan satupun berani bicara.
Raka menatap Kirana. “Kamu baik-baik saja?”
Kirana mengangguk pelan. “Saya bisa hadapi. Dulu juga sering begitu. Tapi... tetap nyesek.”
Raka menghela napas. “Kamu punya hak untuk dihargai. Tapi kamu juga harus kuat menghadapi orang yang belum siap melihat perempuan cerdas berdiri lebih tegak dari mereka.”
Kirana menatapnya, senyumnya tipis. “Itu maksudnya... pujian?”
Raka menahan senyum. “Itu... observasi ilmiah.”
***
Siang itu udara di Talago Kapur terasa lebih panas dari biasanya. Langit cerah, tapi angin tak kunjung datang. Suasana Puskesmas agak lengang selepas jadwal imunisasi. Kirana sedang mengecek stok obat di ruang logistik saat Dina datang tergopoh.
“Kir! Ada pasien anak dilarikan ke sini. Katanya kejang, baru jatuh dari pohon mangga di sekolah.”
Kirana langsung menutup laptopnya. “Siapa yang jaga ruang tindakan sekarang?”
“Rendi.”
Kirana mengangguk. Dalam hati, ia menarik napas panjang. Rendi. Orang yang belum 24 jam lalu menuduhnya cuma modal cantik, sekarang jadi rekan kerjanya menghadapi pasien gawat.
Ia berlari ke ruang tindakan, dan benar saja — Rendi sedang menyiapkan alat bantu napas dan membuka infus. Anak laki-laki usia sekitar 8 tahun terbaring di ranjang, wajahnya pucat, napas cepat, dan di pelipisnya tampak memar besar.
Kirana langsung memakai sarung tangan. “Tekanan darah?”
“90/60. Nadi cepat,” jawab Rendi datar.
“Muntah berapa kali?”
“Dua kali. Kata guru sekolahnya, anak ini sempat kejang pas jatuh.”
Kirana mengangguk cepat. “Kita rujuk. Tapi stabilkan dulu. Deksametason intravena, dosis anak, dan pasang O2. Sambil siapin pengantar ke ambulans.”
Rendi bergerak cepat, tanpa bicara. Tapi untuk pertama kalinya, tak ada nada sinis dalam geraknya. Mereka saling oper instruksi, bekerja dalam diam, namun efisien. Kirana terkejut — bahkan dalam kesunyian itu, kerja sama mereka berjalan lancar.
Beberapa menit kemudian, kondisi anak mulai stabil. Raka masuk ke ruangan dan melihat mereka.
“Siap untuk rujuk?”
Kirana mengangguk. “Sudah. Rendi bantu koordinasi ambulans dan orang tuanya.”
Raka menatap Rendi. “Terima kasih. Tanggapannya cepat.”
Rendi hanya menjawab pelan, “Ya, Dok.”
Sore harinya, saat suasana mulai sepi dan Kirana tengah merapikan peralatan, Rendi masuk ke ruang tindakan lagi. Ia berdiri di ambang pintu, tangan di saku celana.
“Dok.”
Kirana menoleh. “Ya?”
Rendi mendekat, lalu bicara tanpa melihat mata Kirana. “Tadi... kerja sama kita bagus. Kamu... sigap. Aku akui itu.”
Kirana tidak langsung menjawab. Ia menatap Rendi yang kini wajahnya tak segarang biasanya.
Rendi melanjutkan, agak canggung, “Aku emang sempat... sebel. Tapi setelah tadi, aku sadar kamu nggak cuma bawa senyum. Kamu bawa ilmu juga.”
Kirana tersenyum kecil. “Makasih. Aku juga sadar kamu lebih cepat dari yang aku kira. Ternyata, meski galak, bisa kerja bareng juga.”
Rendi terkekeh pelan. “Masih galak, tapi... bisa dikurangin dikit lah.”
Di teras belakang, sore menjelang maghrib, Dina berkomentar saat melihat Kirana duduk dengan wajah sedikit lebih lega.
“Rendi ngajak kamu nonton wayang, ya?”
“Enggak. Tapi dia bilang aku bukan cuma modal cantik.”
Dina menggoda, “Lho? Tumben dia bisa muji tanpa nyinyir.”
Kirana mengangkat bahu. “Mungkin karena tadi kita berdua dihadapkan sama kenyataan: saat nyawa ada di ujung tanduk, ego itu nggak relevan.”
Dina tersenyum. “Nah, baru berasa jadi tim. Pelan-pelan, Kir, satu-satu mulai ngeliat kamu bukan dari casing-nya doang.”
***
Malamnya, Kirana membuka catatan hariannya.
Hari ini aku dan seseorang yang membenciku… menyelamatkan anak kecil bersama. Mungkin itu bukan rekonsiliasi. Tapi mungkin... awal dari saling menghargai
Dan di beranda rumah dinasnya, Raka duduk dengan kopi hangat, membaca laporan tindakan. Di ujung laporan tertulis:
Pasien ditangani oleh dr. Kirana Azzahra dan sdr. Rendi. Koordinasi cepat dan tepat.
Raka mengangguk kecil.
Kirana sedang membuktikan dirinya — bukan dengan bicara… namun dengan tindakan.
***