Jangan pernah sesumbar apapun jika akhirnya akan menelan ludah sendiri. Dia yang kau benci mati-matian akhirnya harus kau perjuangkan hingga darah penghabisan.
Dan jangan pernah meremehkan seseorang jika akhirnya dia yang akan mengisi harimu di setiap waktu.
Seperti Langit.. dia pasti akan memberikan warna mengikuti Masa dan seperti Nada.. dia akan berdenting mengikuti kata hati.
.
.
Mengandung KONFLIK, di mohon SKIP jika tidak sanggup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NaraY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Trouble informasi.
"Aku titip anak dan istriku, tolong jaga mereka baik-baik..!!" Ucapnya bersimbah darah saat para anggota memberondongnya dengan tembakan.
"Baang Aaaarrr..!!!!!!"
"Cepat bantu Dindra. Anak ku sudah mau lahir, Nav. Dia anak perempuan ku."
~~
Nafas Pak Navec terbangun dengan nafas memburu, jantungnya berdenyut kencang.
"Ayaaah.. ayah mimpi apa lagi??" Tanya Mama Dindra.
"Apakah aku sudah menjadi suami dan ayah yang baik untuk anak-anak, Ma??"
Mama Dindra bersandar pada lengan suaminya. "Kenapa Ayah bohong sama Mama?? Kayanya Ayah sudah bisa melupakan kejadian itu, nyatanya Ayah yang belum bisa melupakan Almarhum."
"Bukan begitu, Ma......."
"Bang Ar tetap ada di hati Dindra, apalagi ada dua anak dari hasil pernikahan kami. Tapi di kesemua lembar kisah hidup Dindra, hanya Abang yang paling kucintai. Erlangga dan Dinar adalah adalah bukti bahwa Dindra tulus mencintaimu, Bang." Ujar Dindra mengungkapkan perasaannya.
"Abang tau." Pak Navec mengusap pipi sang istri. "Sampai saat ini, Abang tidak bisa melupakan kejadian itu. Bang Ar tertembak di depan mataku dan Abang melihat Nada terlahir di tepi sungai. Ketakutan itu membekas luka dan lara yang tidak pernah hilang, apalagi sebelum kejadian berdarah itu Bang Ar tau.. Abang sempat jatuh hati dengan istrinya sampai di hajarnya habis-habisan. Dan sekarang memori hitam itu membuat Abang ketakutan setengah mati karena Ranca dan Langkit menyukai kedua putri kita. Hanya saja Abang tidak tau.. siapa menyukai siapa."
"Haaaaaaahh.. Kenapa Mama nggak tau apa-apa, Yah??"
"Sekarang Mama sudah tau. Ayah selalu jantungan setiap kali memikirkan anak-anak perempuan kita, Ma. Takut mereka di sakiti kedua luwak itu. Terutama Ratanca, namanya itu buruk sekali kalau soal perempuan. Ayah takut anak kita di apa-apakan."
Mama Dindra tersenyum geli mendengarnya. "Mama rasa nggak akan, yah. Anak perempuan kita akan merasakan apa yang ibunya rasakan. Jika ibunya di sayangi sepenuh hati, begitu pula dengan putrinya."
"Sumpah demi Allah, sejak menikah denganmu, Ayah tidak berani bertingkah, semua nakal dan bengal itu sudah Ayah buang jauh, tobat dan tidak pernah ingin lagi berurusan dengan perempuan. Ayah harap begitu adanya. Anak perempuan kita di cintai, seperti sedalam-dalamnya Ayah mencintai mu, Ma."
***
Nada mengapit lengan Ayahnya dengan senyum bahagia. "Nada sukanya sama Bang Langkit, yah."
Hati Pak Navec terasa terpukul, itu berarti Letnan Ratanca yang mencintai putrinya, Dinar. Dari jauh Pak Navec melihat Dinar terlihat memaksakan senyumnya lalu pergi meninggalkan ruang tengah seakan ada sesuatu yang mencurigakan.
~
"Kenapa kamu nangis??"
"Dinar bahagia, Yah." Jawab Dinar.
"Adakah bahagia sampai menangis??" Tanya Pak Navec.
"Dinar bahagia.. sangat bahagia." Dinar memeluk Ayahnya dan kembali terisak-isak. "Nikahkan Dinar sama Om Ranca ya, Yah..!!"
"Ada apa, sayang?? Kamu belum boleh nikah sampai Mbak Nada menikah." Dinar semakin erat memeluk Ayahnya.
"Pokoknya Dinar harus menikah, semuanya sudah terlanjur." Jawab Dinar.
"Apaaaaaa????? Apa yang kalian lakukan?????" Pak Navec sampai murka mendengarnya.
"Semalam Om Ranca memasukannya, di cafe."
"Allah Ya Rabb..!!" Jantung Pak Navec rasanya berhenti berdetak.
...
baagghh.. buugghh.. baaghhh.. buugghh..
"Kurang ajar kamu Ranca, kamu merusak anak perempuan saya..!!" Pak Navec kalap dan menghajar Bang Ratanca habis-habisan.
Bang Ratanca hanya bisa pasrah dan terdiam tanpa tau kesalahannya. Ia masih menerka letak kesalahannya.
"Bagaimana kalau Dinar sampai hamil??"
Kini Bang Ratanca sedikit memahami asal kemarahan Pak Navec padanya. "Kalau memang semua itu terjadi, saya akan bertanggung jawab. Masalahnya.. saya tidak melakukan apapun pada putri Bapak. Saya memang bertemu dengan Dinar semalam, tapi kami membahas hal lain."
"Hal apa?????"
Bang Ratanca terdiam dan tidak menjawabnya. Jelas hatinya ikut sakit dengan kejadian semalam. Gadis sepolos Dinar bisa melakukan hal seperti itu demi Ayah dan kakak perempuannya.
"Diam mu tidak akan menyelesaikan masalah, Ran..!! Tadi pagi Dinar menangis ingin di nikahkan denganmu. Sebagai ayahnya, saya merasa sedih. Dinar adalah gadis yang sangat ceria namun tidak biasanya hari ini dia terlihat sangat sedih. Lagipula saya belum bisa menikahkan Dinar sekarang, selain Nada belum menikah.. usia Dinar masih terlalu muda." Kata Pak Navec.
Bang Ratanca berusaha untuk bangkit, tapi sekujur tubuhnya sudah terasa hancur lebur.
"Keluarga saya memang hancur, saya memang bejad, saya memang b*****t, hidup saya sudah sangat hitam dan kelam tapi komandan pun merasakan apa artinya jatuh cinta, mungkin terlalu dangkal untuk di cerna. Komandan pasti paham, kita laki-laki akan selalu bertahan dan berjuang untuk satu wanita yang kita cinta. Saya tau, saya tidak cukup baik, tapi saya berjanji.. demi Dinar, saya akan menjadi manusia yang lebih baik." Pandangan Bang Ratanca berkunang-kunang. Seluruhnya terasa gelap hingga akhirnya ia tidak mengingat apapun lagi.
bblllgghh..
"Rancaaa???????" Pak Navec sampai kaget melihat Bang Ratanca hilang kesadaran di hadapannya. "Meeed.. Memeeeeedd, tolong bantu saya, mantu saya pingsan..!!" Ucapnya pada Pratu Memed, mudinya.
...
"Kau buat masalah apa Ran??? Kenapa Pak Navec menghajarmu?????" Bisik Bang Langkit saat mendengar kabar bahwa sahabatnya itu pingsan di ruangan Panglima daerah.
Terlihat Pak Navec masih sibuk dengan para rekan dan dokter di rumah sakit.
"Mungkin setelah ini, aku yang pengajuan nikah duluan." Kata Bang Ratanca.
"Eehh.. Wareng..!! Jangan bilang ada apa-apa antara kamu dan Dinar semalam. Semalam kamu dan Dinar ketemuan, kan???" Tanya Bang Langkit.
"Ya itu.. karena masalah semalam itu." Jawab Bang Ratanca.
"Astaga Tuhan, makanya jadi laki tuh jangan nggragas. Aku juga punya pikiran ngeres, tapi aku nggak sampai hati acak-acak anak orang." Oceh Bang Langkit.
Bang Ratanca tersenyum saja mendengarnya. Ia malas menanggapi ocehan sahabatnya.
...
Malam hari Dinar menjenguk Bang Ratanca di rumah sakit. Terlihat wajah dan tubuh pria itu lebam dan memar.
Bang Ratanca tidak bisa menahan tawanya melihat Dinar terus mengunyah apel yang ada di meja.
"Om Ran beneran nggak mau apelnya?? Dinar kupasin nih."
"Nggak, buat kamu saja. Om Ran nggak selera makan apapun. Sudah kenyang juga." Jawab Bang Ratanca sembari melihat cincin di jari manis tangan kanannya.
"Ya sudah, Dinar habiskan sendiri nih ya..!!"
"Iyaaa..!!" Bang Ratanca terus memperhatikan paras wajah cantik Dinar yang masih meninggalkan sembab. "Sebenarnya kamu bilang apa sama Ayahmu??"
"Nggak bilang apa-apa. Cuma bilang, Om Ran sudah masukin semalam." Jawab Dinar dengan wajah polos tanpa dosa.
"Owalaah.. pantas. Kamu bilang atau tidak, benda apa yang di masukkan??" Tanya Bang Ratanca.
"Nggak, masa nggak ngerti jari yang di masukin cincin. Ini kan terlihat jelas."
"Kamu yang nggak jelas. Makanya kalau kasih informasi jangan setengah-setengah. Iya kalau Ayahmu mikir jari yang itu, kalau jari yang lain??????" Kata Bang Ratanca.
"Yang lain apa? Semua jari sama saja." Dinar sibuk melihat kesepuluh jari lentiknya.
"Sudahlah, paling bener kita kawin. Jantung saya nggak aman mikir kamu. Tolong banget ya dek, tolooong..!! Kalau nggak ada saya di sampingmu, jangan pernah mau di ajak orang kemana-mana. Terutama laki-laki lain."
Dinar tersenyum dengan ekspresi usilnya. "Memangnya kenapa???"
"Jangan macam-macam..!!! Sekali saya main jari.. kembung berbulan-bulan kamu, dek..!!" Jawab Bang Ratanca sampai mendengus kesal.
.
.
.
.