NovelToon NovelToon
MR. LEONARDO

MR. LEONARDO

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / CEO / Cinta setelah menikah / Percintaan Konglomerat / Beda Usia / Menyembunyikan Identitas
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: nura_12

Leonardo, seorang pria berusia 30 tahun pengusaha kaya raya dengan aura gelap. Dari luar kehidupan nya tampak sempurna.

Namun siapa yang tahu kalau pernikahannya penuh kehampaan, bahkan Aurelia. Sang istri menyuruhnya untuk menikah lagi, karna Aurelia tidak akan pernah bisa memberi apa yang Leo inginkan dan dia tidak akan pernah bisa membahagiakan suaminya itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nura_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Arinda yang lugu

Mobil melaju semakin jauh dari jalanan kota, menembus kawasan yang mulai dipenuhi pepohonan rindang. Hingga akhirnya, mobil itu berbelok masuk ke sebuah gerbang besi tinggi yang dijaga ketat oleh beberapa satpam berseragam. Pintu otomatis terbuka, dan pemandangan yang membuat Arinda ternganga muncul di hadapannya.

Sebuah bangunan megah berdiri anggun di tengah halaman yang luas. Rumah itu lebih mirip istana ketimbang hunian biasa. Pilar-pilar tinggi menopang bagian depan, kaca-kaca besar memantulkan cahaya sore, dan taman hijau yang tertata rapi membentang di sisi kiri-kanannya. Air mancur di tengah halaman memercikkan butiran air yang berkilauan terkena sinar matahari.

Mata Arinda melebar. Mulutnya hampir terbuka lebar, namun buru-buru ia tutup. Ia memandang tak percaya.

“Tu… tuan…” suara Arinda akhirnya pecah juga, meski terdengar gugup. “Kita… kenapa kita ke hotel? Arinda pikir tuan akan mengajak Arinda ke rumah tuan. Kenapa… kenapa malah ke sini? Tuan kan sudah punya mobil mewah, Arinda pikir rumah tuan…”

Leo tidak menjawab. Lelaki itu dengan tenang mematikan mesin mobil, lalu turun begitu saja. Ia melangkah ke sisi Arinda, membuka pintu mobil dengan sikap elegan yang tanpa sadar membuat gadis itu semakin gugup.

“Tuan…?”

“Turun.” Ucapnya singkat.

Arinda menelan ludah. Ia turuti, kedua kakinya menapak pada lantai marmer halaman yang dingin. Seketika pandangan matanya kembali berkeliling, terpukau oleh luasnya tempat itu.

Begitu mereka melangkah ke dalam, Arinda semakin terkejut. Para pelayan yang berbaris di sepanjang lorong pintu masuk langsung menundukkan kepala dalam-dalam. “Selamat datang, Tuan Muda… Selamat datang, Nona…” suara mereka terdengar serentak, penuh hormat.

Arinda hampir kehilangan kata.

“Mereka… mereka memanggil Arinda… nona?” gumamnya dengan suara lirih.

Leo melirik sekilas, lalu kembali melangkah tanpa menjawab. Arinda buru-buru menyusul, meski langkahnya sempat canggung.

Interior rumah itu bahkan lebih mengejutkan daripada bagian luarnya. Lantai marmer putih mengilap, chandelier kristal besar tergantung di langit-langit, dinding dihiasi ukiran klasik dan lukisan berbingkai emas. Arinda berdiri terpaku di ruang tamu, matanya tak berhenti bergerak mengikuti setiap detail.

“Tuan…” ucapnya spontan, “ini… ini beneran rumah? Bukan hotel? Tapi… tapi kok besar sekali… bahkan rumah Arinda tidak ada apa-apanya dibandingkan ini. Rumah Arinda kecil… benar-benar kecil sekali…”

Leo berhenti melangkah. Ia menoleh perlahan, menatap gadis itu dengan ekspresi datar.

“Ini rumah saya. Bukan hotel.”

Arinda tercekat. Pipinya merona malu. “Oh… maaf… Arinda… hanya… kagum.”

Leo tidak menanggapi lagi. Ia menepuk tangan pelayan yang berdiri tak jauh dari sana. Seorang perempuan dengan seragam maid, berusia sekitar 27 tahun, segera melangkah mendekat. Wajahnya anggun, rambut hitamnya disanggul rapi.

“Sofia.”

“Ya, Tuan.” Suaranya sopan dan lembut.

“Mulai hari ini, kau menjadi asisten pribadi Arinda.”

Sofia menunduk dalam. “Baik, Tuan. Saya mengerti.”

Arinda mengedip, bingung. “Tuan… apa? Asisten pribadi… untuk Arinda? Tapi… tapi Arinda tidak butuh…”

Namun sebelum sempat melanjutkan protesnya, Sofia sudah menoleh dengan senyum ramah. “Nyonya, mari ikut saya. Saya akan menunjukkan kamar Anda.”

“Kamar…?” Arinda refleks menoleh ke Leo. “Tuan… maksudnya Arinda akan… tinggal di sini?”

Leo menatapnya sejenak. “Kau istri saya. Jadi tentu saja kau tinggal di sini.”

Jantung Arinda berdegup kencang. Kata ‘istri’ yang diucapkan Leo begitu ringan, namun justru membuat dirinya semakin salah tingkah. Ia ingin bertanya lebih jauh, tetapi lidahnya kelu.

“Mari, Nyonya.” Sofia memberi isyarat halus dengan tangannya.

Arinda melangkah pelan, namun sebelum benar-benar menjauh, ia mendengar suara Leo lagi.

“Antar dia ke lantai tiga.”

Sofia tampak ragu. “Tuan… itu kan ruang pribadi Anda…”

Leo menatapnya dingin. “Dia istri saya. Itu berarti ruang pribadi saya juga miliknya. Kamar dia ada di sebelah kamar saya.”

Sofia langsung menunduk patuh. “Baik, Tuan.”

Arinda mematung di tempatnya. Kata-kata Leo barusan bergema jelas di telinganya. ‘Sebelah kamar saya…’

Pipinya terasa panas, wajahnya memerah. Ia menunduk dalam, tidak berani menatap lelaki itu lagi. Dengan hati yang berdebar kencang, ia hanya bisa mengikuti langkah Sofia menaiki tangga marmer yang berliku indah menuju lantai tiga.

Sementara itu, Leo masih berdiri di bawah, tatapannya mengikuti punggung mungil istrinya yang perlahan menghilang di ujung tangga. Matanya menyipit tipis, seakan sedang menyembunyikan sesuatu yang tidak ingin ia tunjukkan pada siapapun.

Sofia berjalan di samping Arinda, menuntunnya melewati koridor panjang yang begitu mewah. Lantai marmer berkilauan, lampu kristal tergantung megah di langit-langit, dan dinding dihiasi lukisan klasik yang membuat suasana rumah terasa seperti istana. Arinda sesekali menoleh kanan-kiri, matanya berbinar kagum seperti anak kecil yang baru pertama kali masuk ke dunia dongeng.

“Ini… beneran rumah ya, Mbak?” tanya Arinda lirih, suaranya masih sarat keheranan.

Sofia tersenyum kecil. “Iya, Nona. Ini rumah tuan Leo. Dan mulai sekarang… juga rumah Nona.”

Arinda mengangguk pelan, walau wajahnya masih menyimpan keraguan. Baginya, rumah semewah ini hanya ada di sinetron atau majalah. Sulit ia percaya kalau dirinya yang berasal dari rumah kecil sederhana kini akan tinggal di tempat seperti ini.

Sesampainya di lantai tiga, Sofia membuka pintu besar berwarna putih gading. “Silakan masuk, Nona. Ini kamar Nona Arinda.”

Arinda melangkah masuk dengan hati-hati. Begitu kakinya menapaki karpet tebal yang lembut, ia sontak berhenti dan membelalak. “Ini kamar apa lapangan bola? Luas sekali!” serunya polos.

Sofia menahan tawa, menutup bibir dengan tangannya. “Ini masih kamar standar kok, Nona. Kamar utama ada di sebelah, milik Tuan Leo.”

Arinda berputar-putar, matanya tak henti memandangi setiap sudut ruangan. Tempat tidurnya begitu besar dengan sprei putih bersih, ada meja rias dengan lampu bulat mengelilingi kaca, lemari pakaian yang begitu luas, hingga pintu kecil yang ternyata menuju ke ruang khusus berisi rak skincare.

“Ya ampun, Mbak…” Arinda mendekat ke rak itu. “Ini semua botol apa? Isinya apa? Kayak di toko kosmetik. Banyak sekali!”

Sofia terkekeh. “Itu skincare, Nona. Nanti kalau butuh, saya ajarkan cara pakainya. Satu-satu, jangan bingung dulu.”

Arinda memegang salah satu botol toner, memutarnya ke kanan dan kiri. “Di rumah Arinda biasanya cuma cuci muka pakai sabun mandi, Mbak. Mana ngerti beginian. Kalau pake ini semua… bisa sampai besok baru selesai kayaknya.”

Sofia tertawa lepas kali ini, benar-benar gemas melihat kepolosan Arinda. “Tenang saja, Nona. Tidak harus dipakai sekaligus. Ada urutannya.”

Arinda hanya mengangguk polos, lalu melangkah ke arah pintu lain yang sedikit terbuka. Begitu didorong, ternyata itu adalah kamar mandi pribadi. Matanya langsung membesar lagi. “Ini kamar mandi apa kolam renang?”

Sofia masuk dan menunjuk beberapa fasilitas. “Ada shower di sini, ada bathtub juga kalau ingin berendam. Handuk sudah tersedia di lemari kecil. Kalau butuh, tinggal panggil saya.”

Arinda berjalan ke arah shower, menatap pancuran air yang menempel di dinding. Alisnya berkerut. “Mbak… kalau mandi gayungnya di mana?”

Pertanyaan itu sukses membuat Sofia terkejut sejenak, lalu menahan tawa yang hampir meledak. “Gayung?” ulangnya memastikan.

Arinda mengangguk serius. “Iya, gayung. Kalau di rumah, biasanya mandi pakai ember sama gayung. Kalau di sini… embernya di mana? Atau gayungnya disimpan di lemari?” tanyanya polos.

Sofia akhirnya tak tahan lagi, tawanya pecah hingga harus menutup perut. “Astaga, Nona Arinda… aduh lucu sekali! Tidak ada gayung di sini. Kalau mandi, cukup buka keran shower ini, airnya keluar dari atas. Lihat, saya contohkan ya.”

Ia memutar knop kecil, dan seketika air deras mengalir turun dari pancuran. Arinda refleks mundur selangkah, menatap air itu dengan wajah panik sekaligus kagum. “Jadi airnya jatuh sendiri dari atas? Kayak hujan di dalam rumah!” serunya heboh.

Sofia masih tertawa geli. “Iya, memang begitu cara kerjanya, Nona. Lebih praktis daripada pakai gayung.”

Arinda menggaruk kepala yang tidak gatal. “Tapi kalau airnya deras banget, nanti Arinda bisa kelelep nggak, Mbak?”

Sofia hampir terpingkal lagi mendengar kekhawatiran itu. “Tenang saja, Nona. Airnya cuma jatuh seperti hujan, tidak mungkin bikin tenggelam. Dan ada tombol untuk mengatur deras atau pelan.”

Arinda mendekat ke bathtub, menyentuh permukaannya yang halus. “Kalau ini buat apa? Kayak ember raksasa.”

Sofia sudah tidak bisa menahan senyum lebarnya. “Itu bathtub, Nona. Tempat untuk berendam. Jadi bisa isi air hangat, lalu duduk rileks di dalamnya.”

Arinda membelalak lagi. “Berendam? Jadi mandi sambil duduk? Wah, aneh banget. Kalau di rumah Arinda… mandi ya berdiri sambil nyiram pake gayung. Kalau duduk di air gini, nanti bisa kedinginan.”

Sofia benar-benar gemas melihat kepolosan Arinda. Ia merasa seperti sedang menghadapi anak kecil yang baru pertama kali melihat fasilitas modern. “Kalau pakai air hangat, tidak akan kedinginan. Malah enak sekali. Nanti saya ajari caranya isi air panas dan sabun busa.”

Arinda mengangguk-angguk, meski jelas sekali masih bingung. Ia lalu menunjuk wastafel yang dilengkapi cermin besar. “Kalau itu? Kayak bak cuci piring, Mbak. Apa buat nyuci gelas?”

Sofia sampai menepuk dahinya, lalu tertawa kecil. “Bukan, Nona. Itu wastafel, tempat cuci muka atau gosok gigi. Bukan untuk nyuci piring.”

Arinda menutup mulutnya dengan kedua tangan, wajahnya memerah malu. Sofia menggeleng cepat seakan tau isi pikiran majikannya. “Tidak apa-apa, Nona. Justru saya senang. Nona jujur, apa adanya, polos sekali. Membuat suasana jadi menyenangkan.”

Mereka berdua akhirnya duduk sebentar di kursi empuk dekat meja rias. Sofia mulai menjelaskan peraturan rumah: jam makan, cara memanggil maid atau pelayan dengan bel kecil di kamar, dan kebiasaan tuan Leo yang menyukai ketenangan. Arinda mendengarkan dengan serius, tapi sesekali bertanya dengan polos.

“Mbak, kalau Arinda pengen makan mie instan tengah malam… boleh nggak?”

Sofia menahan tawa. “Boleh saja, Nona. Tinggal bilang, nanti dapur menyiapkan.”

Atau, “Kalau Arinda nyasar di rumah ini gimana, Mbak? Soalnya besar banget. Bisa kayak labirin.”

Sofia menjawab sambil tersenyum, “Kalau nyasar, tinggal tekan bel di dinding. Nanti ada yang datang menjemput.”

Setiap ucapan Arinda membuat Sofia semakin merasa gemas. Ia jarang sekali menemui majikan yang sepolos ini. Biasanya, orang yang masuk rumah besar akan berusaha terlihat berwibawa atau sok tahu. Tapi Arinda benar-benar lugu, jujur dengan rasa herannya, tanpa kepura-puraan sedikit pun.

Dalam hati, Sofia mulai menyukai tugas barunya ini. Menjadi asisten pribadi Arinda terasa seperti punya adik kecil yang harus dijaga dan diajari banyak hal baru. Ia bahkan yakin, dengan sifat polos seperti ini, Arinda akan membuat semua penghuni rumah jatuh hati padanya.

1
Khalisa
kyknya seru nih cerita
CantStopWontstop
Makin suka sama cerita ini.
Luna de queso🌙🧀
Gak sabar next chapter.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!