Gisva dan Pandu adalah pasangan kekasih yang saling mencintai. Seiring berjalannya waktu, hubungan keduanya semakin merenggang setelah kehadiran seseorang dari masa lalu.
Hingga saatnya Pandu menyadari siapa yang benar-benar dia cintai, tapi semua itu telah terlambat, Gisva telah menikah dengan pria lain.
**
“Gisva maaf, aku harus ke rumah sakit sekarang juga, Kalila kecelakaan.”
Pandu hendak berbalik badan, tapi tangannya ditahan Gisva. “Tunggu mas.”
“Apalagi Gis, aku harus ke rumah sakit sekarang juga, Kalila kritis.”
“Hiks.. Hiks… Mas kamu tega, kamu mempermalukan aku mas di depan banyak orang.” Gisva menatap sekeliling yang tengah pada penasaran.
“GISVA! sudah aku bilang aku buru-buru. Hari pertunangan kita bisa diulang dihari lain.” Pandu melepaskan tangannya sekaligus membuat Gisva terhuyung dan terjatuh.
“Mass…” Panggil Gisva dengan suara bergetar.
Bagaimana kelanjutan kisah mereka berdua? baca di bab selanjutnya! 😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Athariz271, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bakti terakhir
Sesampainya di rumah sakit, Naresh dan Gisva langsung berlari menuju ruang gawat darurat. Suasana disana masih sangat sepi, penanganan masih belum selesai.
Hingga tak lama seorang dokter keluar dengan wajah lesu.
“Dok bagaimana keadaan papa saya?” Tanya Naresh menodong.
Dokter itu menghela napas panjang, menatap Naresh dengan tatapan prihatin. “Pasien masih kritis, tapi…”
“Tapi apa dokter?” potong Naresh tak sabar.
“Pasien…”
Naresh yang tak sabar langsung menerobos masuk, diikuti Gisva yang berusaha menenangkan.
“Kak, tunggu kak!”
Pemandangan di dalam ruang gawat darurat membuat hati Naresh mencelos. Papanya, terbaring lemah dengan berbagai alat medis menempel di tubuhnya.
"Papa!" seru Naresh lirih, menghampiri ranjang.
Gisva mengikuti di belakangnya, dengan tak kalah terkejutnya. Gadis itu gemetar melihat banyaknya alat medis yang terpasang, luka Surya di bagian kepala hampir seluruhnya memakai perban.
Surya Saputra membuka matanya perlahan, menatap putra semata wayangnya dengan senyum lemah. "Naresh... anakku," ucapnya dengan suara terbata.
"Papa, jangan bicara dulu pa." kata Naresh cemas, menggenggam tangan Papanya. "Papa harus istirahat."
"Tidak, Nak. Papa ingin bicara." jawab Surya, dengan sesekali terbatuk kecil. "Papa tidak punya banyak waktu lagi."
Naresh menggelengkan kepalanya, air mata mengalir di pipinya. "Jangan bicara begitu, Pa. Papa akan sembuh. Papa harus kuat."
Surya tersenyum, lalu mengusap pipi Naresh dengan tangannya yang gemetar. “Papa merindukan mamamu Res.”
"Papa..." isak Naresh, tidak bisa menahan kesedihannya.
Surya mengalihkan pandangannya ke arah Gisva, yang berdiri di samping Naresh.
“Siapa gadis itu, Res?” tanya Surya dengan suara yang semakin lirih,
Naresh menoleh ke arah Gisva, lalu kembali menatap Papanya. Air mata semakin deras mengalir di pipinya. "Dia Gisva, Pa." jawab Naresh dengan suara bergetar. "Dia... dia gadis yang selama ini Naresh cintai."
Surya tersenyum, lalu mengangguk pelan. “Kau sudah menemukannya.”
Naresh mengangguk pelan, sementara Gisva masih diam dalam keterkejutan. Ucapan Naresh yang mencintainya membuat gadis itu tak mampu berkata-kata.
Surya kembali membuka mulutnya, suaranya semakin lirih dan lemah. "Naresh... Papa ingin melihatmu bahagia. Papa tahu, Gisva adalah kebahagiaanmu."
Naresh menggenggam tangan Papanya semakin erat, air matanya semakin deras mengalir. "Papa, jangan bicara begitu. Papa harus sembuh."
Surya menggelengkan kepalanya perlahan. "Tidak, Nak. Papa tahu... Papa tidak punya banyak waktu lagi."
Suara batuk Surya semakin keras, membuat Naresh semakin panik. Ia menoleh ke arah dokter dan perawat yang berjaga.
“Naresh panggilkan dokter sebentar ya, pah.” Naresh berlari memanggil dokter.
Surya tersenyum kearah Gisva yang masih terdiam, tangan Surya melambai dengan lemah. “Nak, papa titip Naresh ya, tolong menikahlah dengannya.”
Gisva berjalan menghampiri Surya dengan masih terisak-isak. “Om…” Suara Gisva lirih.
“Naresh sangat mencintaimu dari dulu, dia terus mencari keberadaanmu tapi tak kunjung ketemu. Dia memutuskan pindah keluar kota untuk memulai hidupnya yang baru. Tapi.. Dia masih terus mencari-mu.” Surya menjelaskan dengan tersengal-sengal.
Dan setelah dia menemukan mu malam itu, dia sangat bahagia, dia terus tersenyum. Papa mohon Gisva, menikahlah dengan Naresh, papa titip dia.”
“Tapi om, a-aku…”
“Papa mohon..” Surya memelas meminta Gisva untuk menuruti ucapannya. “Tolong percaya sama dia apapun yang terjadi nanti. Bukan dia yang menginginkan semua itu terjadi, tapi itu kesalahan papa.”
“Pa.. Pa.. Mo.. Hon,, nak.”
“Om.. Om Surya. Om jangan bicara apapun dulu ya om.” Gisva semakin panik melihat keadaan Surya yang semakin melemah.
“Ja-ngan per-nah ting-galkan Na.. Resh sam-pai ka-pan pun….”
“Om Surya!… Kak Naresh, kak.. Om bangun...”
"Om!"
Naresh datang berlarian diikuti dokter dibelakangnya, dokter sempat memeriksa pasien lain di ruang sebelah.
“Papa… Papa….” Naresh mendekat, menggeser keberadaan Gisva dari sana.
Dokter dan suster sibuk dengan alat-alat mereka, mencoba menyelamatkan Surya. Naresh memegang tangan Papanya erat, air mata membanjiri wajahnya.
"Papa, bertahanlah, Pa! Jangan tinggalkan Naresh!" isak Naresh, suaranya pecah. "Papa harus sembuh! Papa harus hidup lebih lama!"
Gisva berdiri di samping Naresh, tak henti-hentinya menangis. Kata-kata Surya masih terngiang jelas di telinganya, permintaan terakhir yang begitu berat.
Dengan nafas yang semakin dalam Surya meraih tangan putra semata wayangnya. “Ka-lian me-nikah-lah. Ma-ma-mu su-su-dah jem-put pa-pa Resh.”
Tangan Surya yang menggenggam tangan Naresh perlahan melemah, mata yang tadi menatap Naresh dengan penuh kasih sayang, kini meredup. Detak jantung di monitor berubah menjadi garis lurus yang panjang.
"Papa! Papa!" teriak Naresh histeris, mengguncang tubuh Papanya yang kini tak bergerak lagi. "Papa!...”
Dokter menggelengkan kepala, memberikan isyarat. Dokter dan suster segera menghentikan tindakan mereka, menunduk dengan wajah sedih. Mereka tahu, perjuangan Surya Saputra telah berakhir.
"Maafkan kami," ucap dokter dengan nada prihatin. "Pak Surya... telah berpulang."
Dunia Naresh runtuh. Ia menjerit histeris, memeluk tubuh Papanya yang kini dingin dan tak bernyawa. "Papa! Papa! Bangun pah!"
Gisva, yang menyaksikan semua itu, merasakan seluruh tubuhnya lemas. Air mata mengalir deras di pipinya. Gisva memeluk Naresh dari belakang, mencoba menahan tubuh pria itu yang hampir limbung.
"Kak Naresh, sabar Kak." bisik Gisva di telinga Naresh, air mata membasahi bahu pria itu. "Om Surya udah gak sakit lagi."
Naresh terus meraung, menolak melepaskan Papanya. Gisva tahu, ia harus melakukan sesuatu. Tapi keadaan yang tidak memungkinkan, kesedihan Naresh sangat dalam dan perlu waktu.
Dengan sisa kekuatan yang ada, Gisva melepaskan pelukannya dari Naresh. Ia menatap Naresh yang terus terisak di samping ranjang Papanya.
"Kak," panggil Gisva, suaranya bergetar.
Suasana di ruang gawat darurat terasa begitu berat dan memilukan. Kesedihan Naresh begitu mendalam, hingga membuat siapa pun yang melihatnya ikut merasakan kesedihan yang sama. Kehilangan, kesepian, dan keputus asaan menjadi satu, menciptakan suasana begitu kelam dan menyayat hati.
“Kak..”
Naresh tak bergeming, isakannya semakin keras memeluk erat dirinya sendiri. Dunia di sekelilingnya seolah berhenti berputar.
Dokter dan suster memberikan ruang bagi Naresh, memahami betapa besar kehilangan yang sedang ia rasakan.
“Kak… Kakak jangan seperti ini, istighfar kak. Om Surya udah gak sakit lagi, dia sudah tenang kak berkumpul dengan istrinya.” Ucap Gisva berusaha membantu Naresh bangkit.
Perlahan Naresh mengangkat wajahnya yang sembab, menatap Gisva dengan mata memerah penuh duka. "Papa... Papa pergi, Gis…”
“Iya kak. Biarkan beliau pergi dengan tenang.” Gisva mengangguk pelan dan mengulas senyum.
Hingga akhirnya Naresh bangkit, dan bersiap untuk melakukan bakti terakhirnya pada sang papa, dia takut papanya menunggu terlalu lama.
Bersambung..
Happy reading😍😍 Terimakasih yang sudah membaca. 💜