NovelToon NovelToon
ARLOJI BERDARAH - Detik Waktu Saksi Bisu

ARLOJI BERDARAH - Detik Waktu Saksi Bisu

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Cinta Terlarang
Popularitas:208
Nilai: 5
Nama Author: Ardin Ardianto

📌 Pembuka (Disclaimer)

Cerita ini adalah karya fiksi murni. Semua tokoh, organisasi, maupun kejadian tidak berhubungan dengan dunia nyata. Perselingkuhan, konflik pribadi, dan aksi kriminal yang muncul hanya bagian dari alur cerita, bukan cerminan institusi mana pun. Gaya penulisan mengikuti tradisi novel Amerika Utara yang penuh drama dan konflik berlapis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ardin Ardianto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

pelanggan norma - dan perpisahan

Rintik gerimis membasahi arloji Solerom di belakang rumah sakit, arloji Solerom menunjukkan pukul 10.20. Udara malam terasa lembab, seperti napas kota yang menahan rahasia. Ia bersandar di kap mobil taktisnya yang sederhana, diparkir di bayang pohon akasia yang bergoyang pelan. Jaket hitamnya menyerap tetesan air, tapi matanya tetap kering, tajam, menunggu siluet yang sudah hafal bentuknya.

Tak lama, Lina muncul dari pintu belakang kantor—mantel panjang kremnya mengepak seperti sayap burung malam, rambutnya kini terurai bebas, basah di ujung-ujungnya oleh gerimis yang kian gencar. Ia tak membawa tas, hanya kunci mobil yang menggantung di jarinya, dan tatapan yang langsung mencari Solerom di kegelapan. "Kau tepat waktu," katanya, suaranya campur antara lega dan gugup, seperti hembusan angin yang membawa aroma tanah basah.

Solerom membuka pintu penumpang, tangannya menyentuh punggung Lina sekilas—sentuhan yang hangat, penuh janji. "Selalu untukmu." Ia meluncur ke kursi pengemudi, mesin mobil menderu pelan, hampir tak terdengar di tengah deru hujan yang mulai menggelegar. Wiper bergerak ritmis, menyapu air dari kaca depan, sementara Jalan Melati terbentang di depan seperti urat nadi kota yang berdenyut. Mereka tak banyak bicara; cukup tatapan sekilas, jari Lina yang merayap ke paha Solerom, dan senyum tipis yang menyiratkan badai yang akan datang.

Hujan deras menyambut mereka di ujung jalan, di mana Hotel Gagak 3 berdiri menyendiri seperti benteng rahasia—bangunan tiga lantai dengan neon biru pudar yang berkedip "Vacant", dikelilingi segitiga taman liar yang tak terurus. Tempat itu bukan kemewahan; hanya kamar-kamar sederhana dengan dinding tebal dan tirai beludru yang menelan cahaya. Solerom memarkir mobil di bawah atap parkir yang bocor, air mengalir deras di sisi-sisinya seperti tirai air yang menjaga privasi. "Alam di pihak kita malam ini," gumamnya, matanya menyipit ke langit yang gelap gulita. Bagi Solerom, hujan deras ini bukan sekadar cuaca; itu pelindung sempurna, penutup suara desah Lina yang akan mengalir bebas nanti, tak terdengar oleh siapa pun di luar dinding tebal itu.

Mereka berlari kecil ke lobi, tetesan air beterbangan dari pakaian mereka. Resepsionis tua—pria dengan kumis putih dan mata setengah terpejam—hanya mengangguk malas, menyerahkan kunci kamar 207 tanpa bertanya nama. "Hujan deras malam ini, ya? Jangan lupa handuk ekstra," katanya, suaranya hilang dalam gemuruh petir yang menggelegar. Lina menekan lengan Solerom, jarinya gemetar sedikit—bukan dingin, tapi antisipasi.

Hujan deras menyambut mereka di ujung jalan, di mana Hotel Gagak 3 berdiri menyendiri seperti benteng rahasia—bangunan tiga lantai dengan neon biru pudar yang berkedip "Vacant", dikelilingi segitiga taman liar yang tak terurus. Tempat itu bukan kemewahan; hanya kamar-kamar sederhana dengan dinding tebal dan tirai beludru yang menelan cahaya. Solerom memarkir mobil di bawah atap parkir yang bocor, air mengalir deras di sisi-sisinya seperti tirai air yang menjaga privasi. "Alam di pihak kita malam ini," gumamnya, matanya menyipit ke langit yang gelap gulita. Bagi Solerom, hujan deras ini bukan sekadar cuaca; itu pelindung sempurna, penutup suara desah Lina yang akan mengalir bebas nanti, tak terdengar oleh siapa pun di luar dinding tebal itu.

Mereka berlari kecil ke lobi, tetesan air beterbangan dari pakaian mereka. Resepsionis tua—pria dengan kumis putih dan mata setengah terpejam—hanya mengangguk malas, menyerahkan kunci kamar 207 tanpa bertanya nama. "Hujan deras malam ini, ya? Jangan lupa handuk ekstra," katanya, suaranya hilang dalam gemuruh petir yang menggelegar. Lina menekan lengan Solerom, jarinya gemetar sedikit—bukan dingin, tapi antisipasi.

Di dalam lift,Solerom menutup jarak, tangannya menyusuri pipi Lina, menghapus tetesan air yang masih menempel. "Di sini aman," bisiknya, suaranya rendah, seperti perintah yang dibalut kelembutan. "Tak ada Prakai, tak ada regu. Hanya kita."

Mereka masuk kamar. Lampu masih terang. Lina duduk di kasur, tangannya meremas ujung seprai. "Aku mau, tapi jujur, sebenarnya aku takut," katanya pelan, mata menunduk ke lantai.

Solerom berlutut di depannya, tangan menyentuh lutut Lina lembut, seperti menyentuh sesuatu yang rapuh. "Takut apa, sayang? Gerebekan kemarin itu cuma sial, bukan akhir. Prakai tak akan curiga—dia percaya kau sepenuhnya. Bilang aja kamu lembur malam ini, urus laporan darurat. Itu alasan aman, tak ada yang tanya lebih jauh." Suaranya rendah, penuh rayuan, jari-jarinya naik pelan menyusuri betis Lina. "Kau cantik saat ragu begini, tapi bayangkan kalau kita lepas... Aku janji, malam ini hanya milik kita. Aku butuh kau, Lina. Biarkan aku buktikan."

Lina menggeleng pelan, tapi tak menarik kakinya. "Kalau ketahuan lagi? Prakai... dia bisa hancurkan semuanya." Matanya berkaca, ingatan kos yang digerebek masih membekas, suara pintu jebol dan tatapan kecewa yang tak pernah pudar.

Solerom mendekat, bibirnya menyentuh pelipis Lina sekilas. "Tak akan. Aku yang jaga. Kau istirahat dulu, mandi—biar air panas hilangkan ragu itu. Aku tunggu di sini, janji." Ia bangkit, membuka pintu kamar mandi, memutar keran air hingga uap mulai mengepul.

Lina menghela napas panjang, lalu bangkit. Ia melepas gaun basahnya di ambang pintu, biarkan kain itu jatuh ke lantai. Di bawah shower, air panas mengguyur kulitnya, tangannya menggosok lengan dan bahu pelan, mencoba cuci bayang gerebekan itu. Sabun berbusa meluncur di punggungnya, tapi keraguan masih menempel seperti embun dingin. Ia berdiri lama, mata tertutup, biarkan air membasuh napasnya yang tersendat.

Selesai mandi, Lina keluar hanya terbungkus handuk putih yang menempel ketat di tubuhnya, rambut basah menetes ke bahu. "Masih takut," gumamnya, berdiri di tengah kamar, tangan memeluk dada.

Solerom bangkit dari kursi, matanya tak lepas dari Lina yang berdiri gemetar di tengah kamar, handuk putih itu menempel rapat seperti pelindung terakhir yang rapuh. Dengan gerakan halus, ia meraih ponsel dari saku jaketnya, meletakkannya di nakas miring—sudut tepat agar lensa menghadap kasur tanpa bayang, suara rekamannya bisu di balik mode diam. Lina tak sadar, tatapannya masih tertunduk, napasnya pendek-pendek seperti daun yang bergoyang di angin.

Ia mendekat, langkah pelan hingga jarak mereka hilang, tangannya menyentuh bahu Lina dulu—hangat, menenangkan. "Takut itu cuma ada di perasaanmu," bisiknya, suaranya seperti hembusan yang membelai telinga Lina, jari-jarinya turun pelan menyusuri lengkung lehernya. "Biarkan aku hapuskan malam ini. Kau aman di sini, bersamaku."

Lina menggigit bibir bawahnya, mata naik bertemu tatapan Solerom yang penuh api terkendali. Tangannya yang memeluk dada mulai longgar, tak kuasa menahan saat jari Solerom merayap ke simpul handuk di dadanya. Kain itu terlepas pelan, jatuh ke lantai seperti daun kering yang menyerah pada musim gugur, memperlihatkan kulitnya yang masih hangat dari air mandi—payudaranya naik-turun dengan napas yang kian cepat, perutnya rata bergetar halus, dan lekuk pinggul yang mengundang tanpa kata.

"Hapus napsumu," gumam Lina, suaranya pecah antara ragu dan hasrat, tangannya kini meraih lengan Solerom, menariknya lebih dekat. "Setubuhi aku layaknya seorang suami." Kata-kata itu seperti kunci yang terbuka, melepaskan bendungan yang selama ini ia tahan.

Solerom tak menunggu lagi. Ia membaringkan Lina pelan ke kasur, punggungnya menyentuh seprai dingin yang segera hangat oleh tubuhnya. Lina menggeliat sebentar, tapi tatapannya tak lagi menolak—malah, ia membiarkan Solerom memandu tangannya ke atas kepala, jari-jarinya menjepit pergelangan Lina dengan lembut tapi tegas, seperti janji yang tak boleh lepas. Ia menunduk, bibirnya menyusuri leher Lina dulu—ciuman lambat yang meninggalkan jejak basah, turun ke tulang selangkanya, lalu ke puncak payudaranya yang mengeras di udara malam. Lidahnya menyentuh putingnya pelan, mengelilingi dengan lingkaran hangat yang membuat Lina melengkung, napasnya keluar sebagai desah panjang yang tertelan gemuruh hujan di luar: "Ahh... Rom..."

Tangan Solerom turun lebih rendah, menyusuri perut Lina yang bergetar, jari-jarinya menyentuh tepi paha dalamnya—melebarkan kakinya pelan, membuka rahasia yang selama ini tersembunyi. Lina mengangkat pinggulnya sedikit, mengundang, saat Solerom menekan lebih dalam: jempolnya menyentuh inti kelembabannya yang sudah siap, menggosok ritmis lambat dulu, lalu lebih cepat, membuat tubuh Lina menegang seperti busur yang ditarik. Ia merasakan kehangatan itu membasahi jarinya, desah Lina semakin intens—"Ohh... ya, begitu..."—tapi Solerom tak berhenti di situ. Ia melepas ikat pinggangnya sendiri, membiarkan celananya jatuh, memperlihatkan keinginannya yang tegang, panjang dan tebal—jauh lebih besar daripada yang pernah Lina rasakan dari Prakai, membuat matanya melebar kacau saat melihatnya, bibirnya tergigit keras, ekspresi wajahnya campur antara syok dan lapar yang tak terkendali.

Dengan gerakan pasti, Solerom memposisikan dirinya di antara kaki Lina yang kini terbuka lebar, ujungnya menyentuh pintu masuknya yang basah dan hangat. Ia dorong pelan dulu, masuk separuh, memberi waktu bagi Lina untuk menyesuaikan—rasa penuh yang luar biasa itu membuatnya menggigit bibir lebih dalam, mata tertutup rapat saat Solerom mendorong lebih dalam lagi, sepenuhnya menyatu dalam pelukan daging yang saling menggenggam. "Ahh! Rom... terlalu... besar..." gumam Lina erangan, suaranya pecah, wajahnya kacau dengan alis berkerut dan pipi memerah hebat, seperti terbelah antara sakit manis dan kenikmatan yang membanjiri. Tubuh mereka bergerak selaras: Solerom menarik pinggulnya mundur, lalu maju lagi, ritme lambat yang membangun gelombang—setiap dorongan menyentuh titik dalam Lina yang membuatnya menjerit pelan, kakinya melingkar di pinggang Solerom, menariknya lebih dekat. "Lebih... ahh, kau... lebih dari dia..." erangnya lagi, gumamannya tersendat di antara desah yang kian liar, "Prakai... tak pernah... ohh, Rom, jangan berhenti..."

Ia percepat, tangannya memegang pinggul Lina, jari-jarinya mencengkeram kulitnya saat ia dorong lebih keras, lebih dalam, merasakan dinding dalam Lina mengerut di sekelilingnya, basah dan panas seperti api yang membara. Lina melengkung hebat, tangannya mencakar punggung Solerom, kuku meninggalkan garis merah samar saat puncaknya datang—"Aaaah! Ya, Rom... aku...!"—tubuhnya menegang, getaran panjang yang membuatnya bergetar utuh, desahnya pecah menjadi erangan yang tertahan, mata terpejam dalam ledakan kenikmatan, ekspresi wajahnya kacau total dengan mulut terbuka lebar dan air mata kenikmatan mengalir di sudut mata. Solerom tak berhenti, dorongannya kini liar tapi terkendali, hingga akhirnya ia merasakan getarannya sendiri—melepaskan di dalam Lina dengan dorongan terakhir yang dalam, hangatnya menyembur pelan, menyatu dengan kelembaban mereka.

Mereka terengah, tubuh saling menempel berkeringat, napas bercampur di udara kamar yang kini beraroma mereka. Solerom tak langsung mundur; malah, ia tetap di atas Lina, menarik selimut menutupi keduanya, bibirnya menyentuh dahi Lina lembut. Seperti seorang suami, ia memanjakan Lina—cium pipinya pelan, tangan menyisir rambut basahnya, bisik "Kau sempurna, sayang" berulang kali, hingga ragu Lina benar-benar luntur, diganti kedamaian yang hangat, sementara ponsel di nakas terus merekam diam-diam, menyimpan rahasia malam itu utuh.

Napas Lina masih tersengal, dada naik-turun seperti ombak yang baru saja surut, kulitnya lengket oleh keringat yang dingin di ujung-ujungnya—campuran panas tubuh Solerom dan hembusan AC yang pelan menyusup dari celah jendela. Ia merasakannya: denyut samar di dalam dirinya, sisa getaran yang membuat pahanya bergetar halus setiap kali Solerom bergeser sedikit, masih menyatu dengannya seperti akar yang tak mau lepas tanah. "Rom..." gumamnya lagi, suara pecah seperti daun kering di bawah kaki, tangannya naik pelan menyentuh pipi Solerom—jari-jarinya gemetar, merasakan garis rahangnya yang kasar, bau sabun mandi campur aroma maskulin yang membuat hidungnya mengerut nikmat.

Solerom menunduk, matanya setengah terpejam, menangkap setiap detail wajah Lina yang kacau indah: bibir bengkak merah dari ciuman kasar tadi, alis yang masih berkerut samar seperti tak percaya pada ledakan yang baru saja meledak di tubuhnya, dan air mata kenikmatan yang mengering di sudut matanya, meninggalkan garis garam tipis. Ia rasakan kehangatan Lina di sekelilingnya, dinding dalam yang masih mengerut pelan, seperti pelukan rahasia yang tak ingin berakhir. "Kau milikku sekarang," bisiknya, suaranya rendah bergema di dada Lina, getarannya terasa di tulang selangkanya. Tangan kanannya turun, menyusuri lengkung pinggang Lina dengan telapak yang hangat—bukan buru-buru, tapi lambat, seperti membaca braille pada kulitnya yang sensitif, membuat bulu kuduk Lina merinding lagi. "Lihat dirimu... begitu lepas, begitu utuh. Prakai tak pernah beri ini padamu, kan? Hanya aku yang tahu betapa kau haus."

Lina menggeleng pelan, tapi bukan penolakan—hanya hembusan napas yang keluar sebagai desah kecil, "Ahh... jangan bilang gitu..." Matanya terbuka, bertemu tatapan Solerom yang gelap, penuh janji gelap yang membuat jantungnya berdegup tak karuan—seperti jatuh dari tebing tapi tahu ada tangan yang pegang erat. Ingatan gerebekan kemarin muncul sekilas, suara pintu jebol dan tatapan Prakai yang hancur, tapi kini terasa jauh, seperti kabut yang tersapu angin hujan di luar. Hujan masih deras, gemuruhnya seperti detak jantung kedua yang menyelimuti kamar, menutupi erangan terakhirnya tadi—"Aaaah! Ya, Rom... aku...!"—yang kini bergema di telinganya sendiri, membuat pipinya memanas. Tapi di sini, di pelukan Solerom, takut itu luntur; diganti rasa aman yang aneh, seperti minum air dingin setelah lari panjang, segar tapi bikin haus lagi.

Ia angkat pinggul sedikit, rasakan Solerom bergeser dalam dirinya—penuh, tebal, lebih dari yang pernah ia bayangkan dari Prakai, membuatnya erang pelan lagi, "Ohh... kau... terlalu sempurna..." Wajahnya kacau total sekarang, mulut terbuka lebar saat gelombang kecil datang lagi, tangan mencengkeram bahu Solerom hingga kuku meninggalkan bulan sabit merah. Solerom tersenyum licik, dorong pinggulnya pelan sekali—sekali lagi, dalam, menyentuh titik yang membuat bintang meledak di balik kelopak matanya. "Biarkan aku panjakan kau selamanya," gumamnya, bibir menyentuh telinga Lina, napas panasnya seperti api kecil yang menyala di kulit basahnya. Ia tarik diri pelan, keluar dengan suara basah samar yang membuat Lina menggigit bibir, lalu balik lagi—ritme lambat, seperti tarian rahasia, tangan kirinya naik ke payudaranya, jempol menggosok puting yang sensitif hingga Lina melengkung, desahnya pecah: "Rom... lagi... ahh, suami... milikmu..."

Di nakas, ponsel Solerom diam tak bergeming, lensa menangkap setiap lengkungan tubuh Lina yang berkilau keringat, setiap erangan yang tertahan,

Solerom berhenti tiba-tiba, dorongannya terhenti di tengah, meninggalkan Lina tergantung di ambang gelombang kedua—tubuhnya menegang, otot perut bergetar seperti tali biola kencang. Napasnya tersengal, panas membara tak tertahankan, dan hembusan kecil keluar—cairan hangat licin mengalir pelan dari inti kelembabannya, membasahi perut Solerom yang rata dan berotot, jejak berkilau seperti embun pagi di bawah cahaya fajar tipis tirai.

Solerom merasakannya seketika—kehangatan itu undangan rahasia, matanya menyipit lapar. Ia menunduk, bibir menyentuh tepi aliran di perutnya, lalu turun, lidah menyusuri garis basah, menghisap lembut di pertemuan kulit Lina—gerakan lambat, memanggil lebih banyak. Rasa asin-manis membasahi lidahnya, membuat Lina melengkung hebat. "Ahh! Rom... jangan... terlalu... ohh..." erangnya pecah, wajah kacau, mata terpejam, pipi membara, bibir tergigit putih. Lidah Solerom seperti api di titik sensitif, menarik getaran, cairan lain mengalir pelan—tubuhnya bergetar, paha menjepit kepala Solerom, desah bergema di kamar bergemuruh hujan redup.

Di hari fokusnya—Prakai sibuk rotasi regu pagi, meninggalkan Lina melayang ke hotel ini—Solerom tak beri ampun. Ia angkat wajah sebentar, mata bertemu mata Lina berkaca kenikmatan. "Kamu manis sekali, Lin... biar aku rasain semuanya," gumamnya serak, lalu turun lagi, bibir dan lidah menari dalam, mengisap inti kelembabannya ritmis, jari merangkul paha Lina. "Biarkan mengalir, sayang... aku minum semuanya," bisiknya di antara hembusan panas, suara rendah bergetar di kulitnya. Lina tak kuasa—tubuh menegang seperti busur dilepas. "Aaaah... Rom, aku... lagi...! Jangan berhenti, tolong... lebih dalam!" erangnya panjang, cairan menyembur pelan, membasahi wajah Solerom yang menyambut dengan ciuman basah lebih dalam, tangan menyusuri punggungnya.

Gelombang demi gelombang, hisapan Solerom tarik lebih banyak, napas Lina tersendat, tangan cengkeram seprai robek samar, kaki gemetar lemas. "Cukup... ahh, suami... aku tak tahan... Rom, pelan-pelan, ya? Aku... mau pecah lagi!" gumam erangan, wajah basah keringat dan air mata kenikmatan, mulut terbuka, alis berkerut pasrah. Solerom angkat kepala, bibir berkilau. "Kamu indah saat begini, Lin. Aku suka lihat kamu lepas gini," katanya pelan, lalu naik, menaungi dengan tubuh hangat, dorongan lambat dalam, menyatu penuh. "Bilang kalau kamu milikku hari ini," desaknya, bibir di telinga Lina. "Aku... milikmu, Rom... sepenuhnya... ahh, ya, begitu!" balas Lina, suara pecah di antara desah. Hingga Lina lemas, ambruk di pelukannya seperti boneka sutra lelah, napas pelan menyatu detak jantung Solerom—bara hangat abadi di pagi baru.

Mereka berbaring lama, dada Solerom naik-turun di bawah telinga Lina, aroma hujan dan keringat bercampur manis. Lina tutup mata, biarkan kehangatan meresap, tapi pikiran melayang ke pagi tadi—ke kata-kata suaminya yang pelan tapi tegas, ajakan yang buat dadanya sesak. Solerom gerak pelan, peluk pinggangnya lebih erat, mata setengah buka. "Lin? Kamu kenapa? Masih mikirin apa? Kamu diam banget hari ini," gumamnya serak, jari usap pipi Lina yang basah samar.

Lina hembus napas panjang, tatap mata Solerom yang penuh perhatian, tapi kini ada bayang sedih di sana. "Rom... sebentar lagi suamiku ajak aku pindah kota. Ke kampung halamannya. Orang tuanya sakit parah, katanya dia minta rotasi tugas ke sana—minimal setahun, mungkin lebih. Minta aku ikut, bilang kita mulai lagi dari nol di sana, rawat keluarga bareng. Tapi... aku tahu ini akhirnya, Rom. Mungkin ini terakhir kita begini. Terakhir aku bisa lari ke sini, ke kamu."

Solerom diam sejenak, tangannya berhenti usap, matanya menyipit seperti terluka tapi coba sembunyikan. "Pindah? Ke kampung? Lin... kamu serius? Dia ajak gitu aja, tanpa tanya kamu dulu? Dan kamu... mau ikut?" Suaranya rendah, tapi ada getar yang tak biasa—bukan amarah, tapi kehilangan yang menusuk.

Lina angguk pelan, air mata menggenang di sudut matanya, jari meremas lengan Solerom seperti tak mau lepas. "Aku... belum jawab pasti. Tapi Rom, di sana semuanya bakal beda. Jauh dari kota ini, dari rutinitas yang bikin aku bisa curi waktu sama kamu. Kita nggak bisa selingkuh lagi—nggak bisa pesan kamar diam-diam, nggak bisa peluk gini setiap kali aku butuh api yang dia nggak pernah kasih. Aku takut, Rom. Takut sendirian di sana, tapi lebih takut ninggalin ini... ninggalin kamu."

Solerom tarik napas dalam, duduk pelan dan rangkul Lina lebih erat ke dada lebarnya, dagunya di atas kepala Lina. "Sayang... jangan bilang 'akhir'. Aku... aku nggak siap denger itu." Suaranya pecah samar, tangan gemetar saat usap punggung Lina, seperti prajurit yang kalah tapi masih pegang senjata. "Kamu tahu aku tunggu kamu kapan aja—kampung atau kota, aku datang curi kamu. Tapi ya Tuhan, Lin, bayangin aja... nggak ada lagi hembusan kamu di telingaku, nggak ada lagi rasa kamu di lidahku. Ini... ini yang bikin aku hidup, kamu tahu? Kalau kamu pergi, aku kayak mati setengah."

Lina angkat wajah, tatap mata Solerom yang berkaca—bukan air mata prajurit tangguh ini, tapi getar bibir yang buat hatinya remuk. "Rom... aku juga sedih. Setiap kali aku di sini sama kamu, rasanya hidup. Suamiku... dia baik, tapi dingin. Janji-janjinya kosong, regunya abadi. Kamu yang bikin aku merasa utuh. Tapi kalau aku tinggal... aku hancurin keluarga. Kalau ikut... aku hancurin kita." Ia peluk leher Solerom erat, napasnya tersengal di lehernya. "Mungkin ini terakhir, Rom. Peluk aku lebih kencang, ya? Biar aku inget rasanya selamanya."

Solerom cium keningnya pelan, tapi lama, seperti mau serap esensi Lina ke dalam dirinya. "Nggak ada 'terakhir', Lin. Aku janji—kalau kamu di kampung, aku cari jalan. Telepon malam-malam, kirim surat rahasia, atau aku pura-pura tugas ke sana. Tapi hari ini... hari ini milik kita. Jangan mikir besok dulu." Ia hembus napas gemetar, pelukannya mengerat seperti tak rela lepas. "Aku cinta kamu, Lin. Lebih dari api ini."

"Aku juga, Rom... cinta kamu," bisik Lina, suara pecah di antara isak kecil yang ia tahan. Mereka diam lama, tubuh saling menempel, hujan di luar reda pelan, meninggalkan genangan air yang cermin kekacauan hati—pagi baru lahir, tapi kali ini penuh bayang perpisahan yang berbisik pilu.

1
Suzy❤️Koko
Makin penasaran nih!
Ardin Ardianto: "Semoga segera terobati penasaranmu! Bab berikutnya akan segera hadir. Kami akan sangat menghargai bantuan Anda dengan saran dan masukan Anda untuk membuat cerita ini semakin menarik."
total 1 replies
Daisy
Aku jadi nggak sabar pengen baca kelanjutannya! 🤩
Ardin Ardianto: Terima kasih atas kesabaran Anda. Bab berikutnya akan segera tayang dengan konten yang lebih menarik
total 1 replies
foxy_gamer156
Tidak sabar untuk sekuelnya!
Ardin Ardianto: "Terima kasih atas antusiasme dan kesabaran Anda! Kami sangat menghargai dukungan Anda dan senang mendengar pendapat Anda. Kami menerima masukan dan saran Anda untuk membantu kami meningkatkan kualitas konten kami. Silakan berbagi pendapat Anda tentang apa yang ingin Anda lihat di bab berikutnya!"
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!