"Pada akhirnya, kamu adalah luka yang tidak ingin aku lepas. Dan obat yang tidak ingin aku dapat."
________________
Bagaimana rasanya berbagi hidup, satu atap, dan ranjang yang sama dengan seseorang yang kau benci?
Namun, sekaligus tak bisa kau lepaskan.
Nina Arunika terpaksa menikahi Jefan Arkansa lelaki yang kini resmi menjadi suaminya. Sosok yang ia benci karena sebuah alasan masa lalu, namun juga cinta pertamanya. Seseorang yang paling tidak ingin Nina temui, tetapi sekaligus orang yang selalu ia rindukan kehadirannya.
Yang tak pernah Nina mengerti adalah alasan Jefan mau menikahinya. Pria dingin itu tampak sama sekali tidak tertarik padanya, bahkan nyaris mengabaikan keberadaannya. Sikap acuh dan tatapan yang penuh jarak semakin menenggelamkan Nina ke dalam benci yang menyiksa.
Mampukah Nina bertahan dalam pernikahan tanpa kehangatan ini?
Ataukah cinta akan mengalahkan benci?
atau justru benci yang perlahan menghapus sisa cintanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rumachi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perasaan Tak Terbaca
"Semalam kau pulang jam berapa?"
"Tengah malam"
"Kau yang memindahkanku ke kamar?"
"Iya, tidak mungkin terbang sendiri kan"
Nina tersenyum kecil, ia menatap lekat wajah yang selalu tersetting datar pada suaminya itu. Bohong jika Nina mengatakan saat ini dia tidak berdebar, mengingat kejadian semalam yang membuat hati Nina damai. Kecupan pertama yang ia rasakan dari lelaki ini. Ingin sekali Nina bertanya hal itu.
Tapi sesuatu menahannya untuk tetap berpura-pura tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya.
"Mulai sekarang aku mau terus sarapan dirumah, apa kau keberatan" ucap Jefan sembari mengunyah omurice yang masih hangat.
Mata Nina berbinar, Nina menyukai nya. Nina sangat suka saat Jefan terlihat membutuhkan nya, mungkin jiwa melayani Nina sudah mendarah daging.
"Aku biasa menyiapkan sarapan, jadi itu tidak akan merepotkan"
Jefan melirik singkat, pandangan yang tak pernah bisa Nina artikan.
"Kemarin...apa terjadi sesuatu?" tanya Nina canggung.
"Tidak ada"
"Jadi, kenapa kau pulang larut?"
"Ada sedikit pekerjaan yang belum selesai"
"Kupikir kau lupa soal makan malam bersama"
Jefan menegak air putih yang ada dimeja, "Apa kau menunggu ku hanya karena aku mengajak mu makan malam bersama?"
Nina menegakkan duduknya, ia mengerutkan kening bingung. Bukankah itu sudah jelas, kenapa masih bertanya.
"Sepertinya kebencian mu padaku sudah hilang ya, sampai mau menungguku begitu"
Nina tertegun. Dia sendiri bingung harus menjawab apa, kadang otak dan hatinya terlalu bertolak belakang. Masalahnya di kasus Nina, hatinya lebih menonjol dibanding otak kecilnya.
"Atau jangan-jangan kau masih menyukaiku?"
Deg!
Ekspresi itu. Ekspresi yang sama saat dia mempermainkan perasaan Nina dulu. Wajah yang seakan tak bersalah itu. Kembali menyadarkannya, bahwa dia adalah sumber dari hancurnya hidup Nina.
"Aku masih membencimu, aku melakukannya sebagai balas budiku" jawab Nina dingin, binar matanya hilang dan berubah menjadi kilatan emosi yang menumpuk.
Jefan memandang nya diam. kesalahan nya memang cukup besar untuk dilupakan begitu saja. Apa masih ada celah maaf untuk mengubur kesalahanya itu?
"Kalau begitu, lakukan itu seumur hidupmu"
"Apa?"
"Balas budi. Berikan itu padaku selama kau masih bernapas"
Nina tersenyum miris, matanya memandang nanar pada suaminya. Baru saja ia merasa senang, sekarang Nina kembali tertampar realita yang ada.
"Maksudmu, kau akan menjadikanku tawananmu seumur hidup?"
"Tawanan? Kau menganggap nya begitu? Apa aku menyiksamu disini?"
Nina tak bisa menjawab. Jika dipikir kembali, Jefan memang tak pernah membuatnya menderita dalam bentuk fisik. Ia tak pernah memaksakan apapun, tak pernah juga mengekang Nina. Nina sebenarnya hidup bebas. Namun, terlalu bebas didunia luas ini untuk Nina yang serba sendirian.
"Nina, kukatakan padamu sekali. Hanya sekali ini. Dan ingatlah ini sampai kapanpun. Aku tidak akan pernah melepas mu. Apapun yang terjadi"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...****************...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hera menyilangkan kedua tangannya didada, rasanya Hera benar-benar ingin menjambak laki-laki didepannya saat ini.
"Apa tidak bisa komunikasikan saja padanya? Kau itu terlalu banyak menutup diri padanya!"
Jefan menyalakan rokoknya, tangan kanannya berada didalam saku, ia menatap langit siang yang bersih dan luas dari atas rooftop.
"Mana mungkin aku katakan padanya"
"Astaga pria ini! Nina itu gadis baik, dia pasti mengerti."
"Benar Hera, dia memang gadis baik. Bahkan terlalu baik"
Jefan tersenyum singkat. Senyum itu justru membawa perih dihatinya.
"Dasar bodoh"
"Aku sudah memaksa nya menikah denganku, aku tidak bisa memaksa nya lagi memiliki keturunan denganku"
"Tapi ayahmu bisa melakukan hal buruk, kau tau itu kan"
"Aku tidak akan membuat ayahku bisa menyentuh Nina lagi. Masa lalu itu, tidak akan terulang lagi"
"Tapi, tidak pernah kah kau berpikir, bisa jadi Nina bisa memaafkan mu soal masa lalu itu?"
Jefan tersenyum kecil membayangkan wajah istrinya "Ya, mungkin kalau aku berlutut dan terus memohon ampun, dia akan memaafkan ku. Tapi... "
Hera memandang serius punggung laki-laki yang tengah menghembuskan asap rokok itu. Terlihat kokoh diluar saja, padahal sangat mudah goyah.
"Aku tidak bisa Hera... dia tidak pantas menerima permintaan maafku, dia tidak pantas memberiku maaf"
"Kalau kau jadi Nina, apa kau mau menerima laki-laki yang menghancurkan hidupmu?" lanjutnya.
Jefan menginjak rokok yang baru terbakar sedikir itu. Menekannya sampai padan dan hancur. Sehancur perasaanya tadi pagi saat melihat kilatan kebencian dimata Nina.
"Nina mungkin bisa memaafkan ku, tapi untuk menerimaku, tidak mungkin dia menginginkan itu"
Hera terdiam, ia mendesah pelan, kepalanya tertunduk ikut frustasi dengan masalah teman nya ini.
"Jefan... "
"Ini caraku agar dia bisa tetap bersamaku, walau dengan kebencian. Aku ingin dia tetap bersamaku"
"Bisa saja dia juga menginginkan hal yang sama"
"Ya tapi, saat dia mengetahui semuanya mana mungkin itu bisa terjadi? Dia pasti tidak tahan bersama denganku bahkan untuk sebentar"
Jefan menatap Hera dalam, mata nya yang selalu tegas kini terlihat layu dan sendu. Lelaki itu pasti tidak tau lagi harus melakukan apa demi kebahagian gadisnya.
"Setidaknya, katakan padanya tentang perasaanmu"
Jefan kembali tertunduk lesu, ia menghela napas panjang "Entahlah, Kalau aku melakukanya, aku takut akan melewati batas"
"Bagaimana jika Nina yang mengatakannya? bahwa Nina... masih mencintaimu?"
"Bahaya, aku mungkin tidak berpikir duakali untuk melewati batas itu"
Jefan mengangkat kepalanya, ia tersenyum kecil, "Untuk itu, kuharap dia tetap membenciku. Agar aku masih bisa terus menahan diri"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...