Setelah dua tahun menikah, Laras tidak juga dicintai Erik. Apapun dia lakukan untuk mendapatkan cinta suaminya tapi semua sia-sia. Laras mulai lelah, cinta Erik hanya untuk Diana. Hatinya semakin sakit, saat melihat suaminya bermesraan dengan Dewi, sahabat yang telah dia tolong.
Pengkhianatan itu membuat hatinya hancur, ditambah hinaan ibu mertuanya yang menuduhnya mandul. Laras tidak lagi bersikap manja, dia mulai merencanakan pembalasan. Semua berjalan dengan baik, sikap dinginnya mulai menarik perhatian Erik tapi ketika Diana kembali, Erik kembali menghancurkan hatinya.
Saat itu juga, dia mulai merencanakan perceraian yang Elegan, dibantu oleh Briant, pria yang diam-diam mencintainya. Akankah rencananya berhasil sedangkan Erik tidak mau menceraikannya karena sudah ada perasaan dihatinya untuk Laras?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni Juli, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7. Jangan Pura-pura Kaget
Beberapa piring kotor masih tertinggal di atas meja makan saat Erik membuka pintu rumah. Aroma makanan basi menyambutnya lebih dulu, menusuk hidung dan memicu dengusan kesal yang pelan. Sorot matanya menelusuri dapur yang berantakan. Panci belum dicuci, meja lengket, dan sisa makan malam masih tercecer di sana-sini.
Dia tahu ada yang aneh pada istrinya. Laras, tidak lagi seperti yang dia kenal.
Biasanya rumah itu bersih, rapi, seolah disentuh oleh tangan-tangan lembut yang penuh perhatian. Setiap kali Erik pulang, Laras selalu menyambut dengan senyum tipis dan aroma wangi dari tubuhnya. Tapi tidak malam ini. Rumah itu kosong dari kehangatan. Dingin, kotor, dan penuh tanda tanya.
Dia mematikan lampu dapur dengan satu sentuhan. Tak sanggup melihat kekacauan yang memenuhi ruangan.
Langkahnya berlanjut menuju kamar, namun baru beberapa meter berjalan, kakinya tersandung sesuatu. Sebuah tumpukan pakaian berserakan di lantai. Erik hampir terjatuh.
Matanya menatap sekeliling dengan kesal. Lantai ruang tengah berantakan, kamar lebih parah lagi. Tisu, sampah, dan pakaian dalam tersebar begitu saja di atas ranjang. Bahkan makeup Laras tampak ditinggalkan terbuka, bercampur seperti palet warna yang jatuh dari tangan pelukis mabuk.
Dia mengepalkan jas di tangannya. Apakah Laras sengaja melakukan ini untuk menguji kesabarannya?
Di balik tirai yang terbuka separuh, terlihat tubuh Laras tertidur dengan posisi malas. Rambutnya berantakan, dan kulit wajahnya tampak pucat dalam cahaya temaram lampu tidur. Erik berdiri mematung sejenak, menahan amarah yang menggelegak di dadanya.
Tangannya terulur memunguti pakaian, meletakkannya di keranjang cucian. Dia membuka pintu kamar mandi, dan pemandangan di dalamnya tak jauh berbeda. Lipstik terbuka, foundation tumpah di wastafel, sikat gigi dan parfum berserakan.
“Kau benar-benar menguji kesabaranku, Laras!” serunya sambil membanting pintu kamar mandi dengan keras.
Suara itu membangunkan Laras.
Wanita itu membuka matanya perlahan. Sekilas mengerjap. Wajahnya tidak menunjukkan keterkejutan sedikit pun, seolah sudah memperkirakan semuanya.
Tidak menyangka Erik akan pulang tapi beruntungnya dia sudah menyiapkan semua skenarionya dengan begitu cermat. Mulai dari piring kotor hingga sampah di kamar mandi. Semuanya adalah bagian dari rencananya.
Dia sengaja tidak mencuci piring dan membuat rumah itu begitu berantakan. Dia ingin memanfaatkan Erik untuk menambah pundi uang dan dia pun ingin pria itu tahu jika dia bukanlah istri yang bisa melakukan apa saja.
Laras bangkit perlahan, mengambil segelas air di nakas samping tempat tidur, lalu duduk dengan santai. Bibirnya membentuk senyum tipis, senyum yang tak lagi hangat. Dia menanti Erik keluar dari kamar mandi, siap untuk percakapan yang akan mereka jalani atau lebih tepatnya, pertarungan.
Beberapa menit kemudian, Erik keluar. Rambutnya basah, handuk tersampir di bahu. Mata mereka bertemu. Tatapan dingin bertabrakan di udara yang sudah sejak tadi penuh ketegangan.
“Aku pikir kau tidak akan pulang malam ini,” sindir Laras tajam. “Apa tidak masalah meninggalkan Dewi sendirian?”
Nada bicaranya setajam belati, sementara tangannya bermain-main dengan cincin pernikahan di jari manisnya. Dilepas, lalu dipasang kembali.
Erik mendesah. “Apa yang dia katakan padamu?”
“Memangnya apa yang kau harapkan, Erik?” Laras menyeringai. “Kau pikir dia akan menutupi perselingkuhan dan malam yang kalian habiskan bersama?”
“Kau salah paham. Kami hanya bicara urusan pekerjaan.”
Laras tertawa hambar. “Aku tidak menduga kau masih saja menutupi perselingkuhanmu padahal dia telah menunjukkan buktinya.”
Ekspresi Erik menegang. “Apa maksudmu?”
“Jangan pura-pura bodoh. Aku sudah katakan, aku bukan istri bodoh yang akan terus kau tipu. Dulu, mungkin. Tapi sekarang, tidak lagi.”
“Oh, sebab itulah kau tidak membersihkan rumah dan membiarkannya berantakan?” Erik membalikkan badan, wajahnya kini memerah menahan amarah. “Apa seperti ini caramu menunjukkan tanggung jawabmu sebagai seorang istri?”
Laras mendongak, menatapnya tanpa gentar. “Aku memang sengaja melakukannya karena aku bukan pelayanmu, Erik.”
“Tapi kau adalah istriku! Apa pun yang terjadi, kau punya tanggung jawab menjaga rumah ini. Ini bagian dari tugasmu!”
“Oh, kita mulai bicara tentang tanggung jawab?” Laras bangkit dari tempat tidur, menyilang tangan di dada.
"Jika ingin mengungkit soal tanggung jawab, aku rasa kaulah yang seharusnya malu. Kau meminta aku membantu di perusahaan, aku membantumu. Kau menuntut aku menjadi istri yang sempurna, sudah aku lakukan berkali-kali tapi kau tidak pernah menghargai aku. Aku telah menegaskan, aku tidak mau menjadi istri yang bodoh lagi. Berikan aku uang lebih, aku akan membersihkan rumah ini dengan baik atau mengambil seorang pembantu yang dapat membantuku. Kau tidak mau dianggap sebagai suami pelit tukang selingkuh, kan?"
Erik mengatupkan rahang. “Apa uang yang kuberikan kurang?”
“Jelas kurang!” jawab Laras cepat, nada suaranya kini seperti cambuk. “Kau pikir merawat diri semudah membeli sabun mandi? Make up-ku mahal, perawatan wajah, pakaian, semuanya tidak murah. Dan kau pikir aku akan terus melakukannya tanpa kompensasi, sementara selingkuhanmu kau manja dengan salon dan barang mewah?”
“Dulu kau tidak seperti ini,” desis Erik. “Apa yang mengubahmu?”
“Tuan Wijaya,” sahut Laras sarkastik, “Apa kau ingin dikenang sebagai suami yang membedakan antara istri dan simpanan? Mereka kau berikan segalanya, sementara aku... aku ini apa?”
“Berhenti menyamakan dirimu dengan mereka!”
Laras tersenyum miring. “Oh, satu hal lagi, mengenai foto yang dikirimkan oleh Dewi, berapa banyak uang yang bisa aku dapatkan dari foto-foto tersebut?”
Erik mendekat dengan sorot mata yang membara.
“Apa lagi yang kau inginkan, hah?”
“Aku bisa sebarkan foto-foto itu ke seluruh kantor. Semua orang akan tahu siapa Tuan Wijaya sebenarnya.”
“Jangan coba-coba, Laras!” bentak Erik, suaranya mengguncang dinding.
“Kalau begitu, besok... ikuti permainan yang kutentukan. Jika tidak, konsekuensinya jelas.”
Hening menyelimuti kamar. Napas Erik berat. Dia tahu Laras serius.
Setelah beberapa detik, Erik menarik napas dalam-dalam. “Baik. Besok aku akan naikkan uang bulananmu. Akan kutambah gajimu. Tapi bersihkan rumah ini. Dan berhenti mempermalukanku.”
“Terima kasih, Tuan Wijaya. Dengan uang, istri pun bisa patuh,” balas Laras enteng.
Erik menatapnya tajam sebelum menyambar bantal dan selimut. Dia melangkah menuju pintu kamar, namun berhenti sesaat di depan Laras.
Kau semakin menunjukkan rupamu dengan tak tahu malunya!"
“Itulah aku. Menikahimu demi uang. Bukankah itu yang kau percayai selama ini? Jangan pura-pura kaget.”
Erik tak menjawab. Pintu kamar dibanting keras hingga menggema di seluruh rumah. Laras terperanjat sejenak, namun tak ada air mata yang jatuh. Dia hanya tersenyum kecil. Dingin dan kosong.
Laras mulai memunguti pakaian yang tadi sengaja dia sebarkan. Rumah akan kembali bersih. Tapi bukan karena cinta, melainkan karena strategi.
Tak apa. Semakin dibenci, semakin baik.
Besok... dia akan membuat Dewi benar-benar terbakar.
hayuu Erik n Ratna cemuuuunguut utk tujuan kalian yg bersebrangan 🤣🤣
semangat utk mendapat luka Erik 🤣
hayuuu Briant gaskeun 😁
buat Erik kebakaran jenggot 🤣🤣