"Biar saya yang menikahi Dira, Om."
"Apa? Gak bisa! Aku gak mau!"
***
Niat hati menerima dan bertunangan dengan Adnan adalah untuk membuat hati sang mantan panas, Indira malah mengalami nasib nahas. Menjelang pernikahan yang tinggal menghitung hari, Adnan malah kedapatan berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Di saat yang bersamaan Rada—mantan kekasihnya, datang menawarkan diri untuk menjadi pengganti Adnan. Indira jelas menolak keras karena masih memiliki dendam, tetapi kedua orang tuanya malah mendukung sang mantan.
Apa yang harus Indira lakukan? Lantas, apa yang akan terjadi jika ia dan Rada benar-benar menjadi pasangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deshika Widya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Pertama
Rada mengerjapkan mata hingga perlahan terbuka saat sebuah tangan hinggap di wajahnya. Ternyata tangan Indira tengah berkelana entah ingin ke mana.
Pria itu tak marah atau merasa kesal. Ia justru mengulas senyum manis dengan tatapan yang tertuju pada wanita di sampingnya. Wanita yang semalam berhasil membuat ia setengah gila.
Ya, tanpa aba-aba Indira menyerang begitu saja. Menyeretnya ke atas ranjang dan melakukan hal yang tak diduga. Sungguh Rada terkejut dibuatnya. Bagaimana bisa Indira yang semula selalu bersikap ketua, tiba-tiba menyerahkan diri padanya begitu saja?
Bahkan masih jelas dalam ingatan Rada jika semalam wanita itulah yang dominan. Sementara ia hanya bisa pasrah saking terkejutnya. Meski begitu, ia dan Indira sama-sama berhasil merasakan sensasi terbang ke atas awan hingga tanpa sadar waktu sudah larut malam.
Hem, Rada jadi ingin tertawa.
Sekali lagi ia tatap wajah tenang sang istri yang masih belum mau membuka mata. Diberinya sebuah kecupan lembut kening wanita cantik itu.
"Sekarang kamu beneran jadi milikku, Dira Sayang," bisiknya.
Rada benar-benar tidak menyangka. Setelah badai besar yang ia lewati, kini bahagia pun menghampiri.
5 tahun lalu ia adalah seorang pemuda yang sangat hancur karena harus kehilangan kedua orang tua secara bersamaan. Tak berselang lama setelah lulus SMA, ia pun harus rela pindah ke luar kota untuk tinggal di rumah tantenya sembari melanjutkan pendidikan. Namun, karena keputusan itu, ia harus melerakan hubungannya dengan Indira berakhir begitu saja. Membiarkan mimpi yang sudah mereka bangun melebur ditelan luka.
"Maaf karena aku gak bisa temani kamu setelah hari itu, Dir. Tapi percayalah, aku pergi pun biar bisa kembali sama kamu dalam keadaan yang pantas."
Pantas secara pendidikan, karir, dan finansial. Itulah yang ada di pikiran Rada. Dan sekarang ia berhasil meraihnya.
Perlahan jari-jari Rada terulur, menyibak rambut Indira yang menutupi sebagian wajah. Bibirnya tersenyum manis. Paling manis daripada senyum-senyum yang pernah ia tunjukkan sebelumnya.
Belum sempat ia larut lebih jauh dalam menyelami wajah sang istri, suara notifikasi ponsel yang diletakkan di atas meja nakas berbunyi nyaring. Rada menoleh sekilas, tak memedulikan benda pipih itu. Namun, setelah beberapa saat kemudian, entah mendapat dorongan dari mana, ia langsung mengambil benda itu dan menyalakan layar.
Satu pesan dari nama yang ia kenal.
Dita.
[Gimana, Dir? Gak bisa, kan? Aku, sih, udah bisa nebak kalau kamu itu gak handal.]
Rada membeku. Apalagi setelah membaca pesan yang Dita kirim pada istrinya semalam.
"Jadi, Dira seberani itu karena gak diterima diejek Dita? Dasar, sialan!"
Tangan pria itu mencengkeram ponsel dengan kuat. Dadanya bergemuruh, menahan amarah pada wanita yang tega menusuk Indira dengan sebegitu kuatnya.
"Sekali-sekali dia emang harus dikasih pelajaran!"
Dengan gerakan cepat, ia meletakkan ponsel sang istri cukup keras ke atas meja nakas di sisi tempat tidur. Siapa sangka suara benturan itu cukup membuat Indira terlonjak kaget dan membuka matanya.
"Suara apa itu?" gumam wanita itu dengan serak, matanya masih setengah tertutup.
Rada tak menjawab. Ia hanya menatap Indira dalam diam.
Wanita itu duduk perlahan sembari merapikan rambut yang berantakan. Namun, saat kesadarannya mulai kembali penuh dan bertatapan dengan Rada, rona merah langsung menjalar cepat ke pipinya.
"Ya ampun! Apa yang udah aku lakuin semalam?" jerit wanita itu dalam hati. Sesaat kemudian, ia menutup wajahnya menggunakan kedua tangan.
Rada hanya terkekeh. Ia paham apa yang tengah dipikirkan istrinya saat ini.
"M-maaf, soal semalam. Aku—"
"Gak perlu minta maaf. Aku justru berterima kasih karena gak harus mulai duluan," potong pria itu cepat sambil mengedipkan sebelah mata. Sengaja menggoda istrinya.
Sontak bibir Indira mengerucut kesal. Namun, rona merah di pipinya malah kian kentara. Tentu saja pemandangan itu menjadi hiburan tersendiri untuk Rada.
"Dari dulu makin merah pipinya, makin cantik aja, ya?"
"Rada!"
***
Meski baru satu hari resmi menjadi pengantin baru, pagi itu Rada tetap harus menjalani kewajiban sebagai karyawan baru yang sedang dalam masa training. Setelah salat subuh dan mandi, ia mengenakan kemeja putih dan celana bahan abu gelap, tampil rapi meski wajahnya masih menunjukkan sisa-sisa kantuk semalam.
Karena tak sempat turun ke restoran hotel, mereka memesan sarapan ke kamar. Dua porsi nasi goreng spesial dan dua gelas jus jeruk tersaji di atas meja kecil dekat jendela. Indira yang kini juga sudah rapi dengan dress rumahan, duduk di seberangnya sambil menyeruput air putih.
Suasana hening, hanya terdengar suara alat makan yang saling beradu di atas piring. Hingga tiba-tiba Rada bertanya, "Kenapa kamu gak blokir nomor Dita?"
Kunyahan Indira langsung terhenti. Ia menatap Rada dengan bingung, nyaris tersedak sebelum akhirnya berhasil menelan makanannya perlahan.
"Kenapa tanya gitu?" balasnya pelan, mencoba terdengar tenang.
"Dia itu toxic, Dir," ujar Rada sambil menatap langsung ke arah istrinya. "Dia pasti gak akan berhenti kirim pesan-pesan aneh ke kamu. Aku gak mau kamu terpengaruh hal buruk dari dia."
Indira tak langsung menjawab. Ia menunduk, membiarkan pikirannya bekerja keras menyatukan potongan kemungkinan. Lalu, seperti ditampar kenyataan, ia teringat akan satu pesan Dita semalam yang belum sempat ia hilangkan jejaknya.
"Apa Rada baca chat dari Dita?" batinnya panik. Namun, ia terlalu enggan membuka pembahasan soal pesan menyebalkan itu, apalagi mengungkit momen semalam.
Jadi, alih-alih bertanya balik, Indira hanya mengangguk pelan dan berkata, "Okey. Aku blokir nomor dia nanti."
"Sekalian nomor si Adnan juga."
Sontak Indira mendesah kecil, lalu meletakkan sendoknya sedikit kasar. "Kamu pikir, aku masih mau pelihara dia setelah kepergok selingkuh? Gak banget, deh!"
Pria itu terkekeh pelan, lantas mengangkat kedua jempolnya ke depan. "Bagus!"
Beberapa saat hening kembali mengisi kamar. Rada makan dengan santai, sementara Indira menyandarkan tubuh pada kursi, sesekali melirik jam di dinding. Wanita itu sudah mengakhiri makannya meski isi piring masih terlihat banyak.
Selama terdiam, mata Indira tak henti memerhatikan wajah Rada yang tampak tenang. Hingga tiba-tiba saja ia teringat akan sesuatu yang belum pernah dibahas sejak sebelum mereka menikah.
Tempat kerja Rada.
Seolah terlalu dipusingkan oleh pernikahan yang mendadak mengganti mempelai pria, baik Indira maupun kedua orang tuanya sampai lupa menanyakan hal sepenting itu pada Rada.
"Sebenernya kamu kerja di mana, sih?"
Rada mengangkat alis. Sedikit heran karena sang istri baru bertanya sekarang. Meski begitu, ia tetap menjawab dengan santai, "Di Nuswantara Properti.
"Uhuuk-uhuuk!"
Seketika Indira tersedak air liurnya sendiri mendengar jawaban sang suami. Nuswantara Properti? Kenapa bisa?
Sementara itu, Rada bergerak cepat—berdiri di samping istrinya. Ia sodorkan ujung gelas yang berisi jus ke dekat bibir wanita itu.
"Minum dulu," katanya. "Kok, bisa kesedak segala, sih?" omelnya pelan.
Indira meneguk jusnya perlahan dengan dibantu Rada. Setelah dirasa cukup, ia menjauhkan ujung gelas itu dari mulutnya.
"K-kamu bercanda gak, sih, Rad?" tanyanya dengan napas yang masih tersengal.
Beberapa kerutan seketika muncul di kening Rada. Ia makin menatap sang istri heran. "Ck! Ya enggak, lah, Dira Sayang. Aku emang baru kerja di Nuswantara Properti. Emang kenapa, sih?"
Sontak saja mata Indira membola. Ia menggelengkan kepala sembari menggoyang-goyangkan lengan Rada. "Ini bahaya, Rad ... bahaya!"
"Hah? Maksudnya apa, sih?"
"Aku udah lama kerja di kantor itu, Rada. Dan peraturannya jelas—gak boleh ada sesama karyawan yang punya hubungan, apalagi sampai nikah!"
"Apa?!"
mau berpaa kali pun mah gasken kan halal'