Niat hati hanya ingin membalas perbuatan sepupunya yang jahat, tetapi Arin justru menemukan kenyataan yang mengejutkan. Ternyata kemalangan yang menimpanya adalah sebuah kesengajaan yang sudah direncanakan oleh keluarga terdekatnya. Mereka tega menyingkirkan gadis itu demi merebut harta warisan orang tuanya.
Bagaimana Arin merebut kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nita kinanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Menumpahkan Minuman
"Kapan kamu pulang? Om hampir tidak mengenalimu kalau bukan karena hidung mancungmu itu," ucap Pandu seraya mengurai pelukannya.
Pandu sampai tidak sadar jika semua mata tertuju pada mereka.
"Pa, aku ingin mengenalkan tamu penting." Tania tiba-tiba muncul lalu menarik lengan papanya. "Dia sudah menunggu di sana," lanjutnya, menunjuk asal ke suatu arah.
Pandu mengangguk. "Kapan-kapan, mainlah ke rumah. Kita sudah lama sekali tidak bertemu. Om ingin ngobrol denganmu," ucapnya kemudian pergi mengikuti kemana Tania menuntunnya.
Tania pergi bersama Pandu, sementara Fatma tetap berdiri di tempatnya menemani para tamu. Arin tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia segera berjalan mendekati Gama yang sedang sendirian lalu secara sengaja dan dengan kesadaran penuh menabrakkan dirinya pada Gama.
"Maaf... " ucap Arin dengan wajah pura-pura polosnya.
Laki-laki itu hanya diam. Dia menatap Arin dingin lalu pergi begitu saja.
Tania memperhatikan kejadian ini dari kejauhan. Mata perempuan itu tidak bisa lepas dari Arin sejak gadis itu menyapanya. Mengajak Pandu menemui tamu penting itu juga cuma akal-akalan Tania untuk menjauhkan papanya dari Arin, agar dia tidak menjadi pusat perhatian.
Tania segera menghampiri Arin. "Apa kau sedang berusaha merayu tunanganku?!" tanyanya, menyembunyikan rasa gusar yang menguasai hatinya.
Sebagai seorang perempuan Tania tahu gerak-gerik Arin tidaklah biasa. Tania bisa merasakan jika Arin sedang berusaha menarik perhatian tunangannya.
"Entahlah ... Mungkin saja," jawab Arin seraya mengangkat bahunya santai. Sekalian saja menyiram minyak ke hati Tania yang sudah membara.
Pertemuan Arin dengan Tania di butik kemarin membuat Arin ingin membalas dendam. Merebut tunangan Tania adalah cara yang waktu itu terlintas di pikirannya. Arin tidak peduli jika orang akan memandang buruk dirinya nanti. Toh namanya sudah terlanjur buruk di kota ini.
"Kamu pikir Gama akan tergoda olehmu? Hubunganku dan Gama sangat istimewa. Dia tidak akan tergoda meski kamu telanjang di hadapannya, sama seperti Ken. Dia sama sekali tidak melirikmu meski kamu sudah mencopoti pakaianmu," serang Tania. "Ups... Apa aku salah bicara?!" lanjutnya diiringi tawa kecil.
Seketika raut wajah Arin berubah. Kejadian itu sangat memalukan bagi Arin, bahkan sampai menghancurkan hidupnya. Tetapi Tania membicarakannya seolah-olah itu adalah sebuah lelucon yang patut ditertawakan.
Wajah polos dan ramah yang sedari tadi Arin tunjukkan perlahan menghilang berganti dengan ekspresi dingin dan tatapan tajam.
Tekad Arin untuk membalas dendam semakin kuat. Tania harus diberi pelajaran.
"Tertawalah sepuasmu sekarang. Aku akan membuatmu menangis sama seperti aku menangisi nasibku dulu. Akan ada giliran dimana aku yang tertawa, sementara kamu menangis!"
"Oh... benarkah? Kapan? Aku tidak sabar menunggu waktu itu tiba!" balas Tania semakin mengejek.
"Lihat saja, akan kurebut tunanganmu seperti mamamu merebut om Pandu dari tunangannya. Akan aku hancurkan kariermu seperti kamu menghancurkan hidupku! Tidak akan ada yang tersisa dari seorang Tania Putri Laksamana!" ucap Arin penuh penekanan diiringi tatapan mata yang seakan menunjukkan dendam yang kembali membara setelah selama ini sudah dia kubur dalam-dalam.
"Coba saja! Kau pikir aku takut?! Aku seorang Tania Putri Laksmana, dan kau... " Tania mendorong tubuh Arin dengan telunjuknya. "Kau pikir kau siapa?!" tantangnya.
"Kita lihat saja nanti!" balas Arin kembali ke mode ramah dan sumringah, centil dan siap untuk menarik perhatian.
Kemudian Arin mengambil segelas minuman dari seorang pelayan yang kebetulan lewat di sampingnya.
"Permisi, aku tidak ingin menyia-nyiakan pesta ini!" kata Arin, mengerlingkan sebelah matanya dengan genit, lalu pergi.
Tania tidak merespon apa-apa. Dia hanya menatap sinis, lalu pergi ke belakang.
Arin kembali mengedarkan pandangannya. Tidak peduli jika beberapa orang terus memperhatikannya dengan tatapan aneh. Malam ini dia tidak akan membiarkan pesta pertunangan Tania berjalan lancar.
Seorang laki-laki paruh baya menghadang Arin. "Benar kamu anak Angga Laksmana?" tanyanya.
"Iya, Saya Arina Putri Laksmana," jawab Arin.
"Saya Danu, panggil saja Om Danu. Dulu Om pernah bekerja sama dengan papamu."
"Oh... Benarkah? Maaf saya tidak tahu." Arin, menatap laki-laki itu penuh selidik.
Setelah papanya meninggal, hampir tidak ada seorangpun teman papanya yang terlihat peduli kepada Arin. Aneh jika tiba-tiba sekarang ada yang datang dan mendekatinya.
"Dulu papamu pernah mengajak kamu berkunjung ke rumah Om. Lalu anak laki-laki Om menceburkan kamu ke kolam renang. Apa kamu masih ingat kejadian itu? Om masih bisa mengingatnya dengan jelas karena kejadian itu membuat Om merasa sangat bersalah kepada papamu."
Arin mengangguk. Dia ingat kejadian itu dengan jelas. Anak salah seorang rekan papanya sangat nakal dan menceburkan dirinya ke kolam renang. Kalau tidak salah, kejadian itu hanya beberapa hari sebelum papanya mengalami kecelakaan.
"Ada sesuatu yang ingin Om bicarakan denganmu. Tapi Om pikir ini bukanlah waktu dan tempat yang tepat. Mungkin kita bisa bicara lain waktu?"
"Maaf Om Danu, besok saya sudah harus kembali ke kota X. Jadi sepertinya tidak bisa," tolak Arin halus. Bukannya tidak ada waktu, tetapi Arin memang tidak mau. Setelah kejadian memalukan itu Arin jadi lebih berhati-hati dan tidak mudah percaya dengan kata-kata orang.
"Oh... Sayang sekali." Pria paruh baya itu tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Kemudian dia mengeluarkan sebuah kartu nama. "Simpanlah ini!" ucapnya seraya menyerahkan kartu itu pada Arin. "Kalau sewaktu-waktu kamu kembali ke kota ini dan kamu ada waktu, tolong hubungi aku," lanjutnya.
"Baik, Om. Akan kusimpan kartu nama ini. Akan aku kabari kalau aku kembali, permisi!" Arin mengangguk lalu pergi.
Arin menerima kartu nama itu lalu menyimpannya bahkan tanpa melihatnya sama sekali. Wajahnya terlihat datar tetapi dalam hatinya Arin bertanya-tanya kenapa laki-laki di hadapannya ini begitu ingin berbicara dengan dirinya.
Apakah ada sesuatu yang sangat penting yang ingin dia sampaikan? Atau hanya sekedar basa basi saja? Laki-laki itu terlihat tulus, tetapi sayang Arin sudah tidak percaya siapapun di kota ini, selain Pandu dan ibunya.
Masih membawa segelas minuman di tangannya, Arin terus beredar mencari mangsanya, Gama.
Kalau mendengar cerita Tania, Gama sangat setia bahkan mungkin sudah cinta mati kepadanya. Mungkin ini akan membuat Arin kesulitan, apalagi Arin tidak memiliki pengalaman dengan laki-laki sebelumnya. Tapi Arin akan tetap berusaha.
Arin melihat Gama sedang berbincang dengan seseorang sementara Tania tidak terlihat berada di sekitar laki-laki itu. Buru-buru Arin berjalan mendekati Gama. Ketika tinggal berjarak beberapa langkah dari laki-laki itu, kaki Arin tersandung sesuatu.
Arin kehilangan keseimbangan lalu menabrak Gama dan menumpahkan minuman yang dia bawa di pakaian Gama.
"Maafkan aku." Arin buru-buru memperbaiki posisinya. Tangannya berusaha mengelap baju Gama yang basah karena minuman yang dia tumpahkan, meskipun itu tidak membantu sama sekali.
Laki-laki itu tidak menjawab. Dia menepis tangan Arin, menghembuskan nafas kasar dan menatap Arin dengan tatapan sebal.