Deva, seorang gadis petakilan yang menjadi anggota bodyguard di salah satu perusahaan ternama. Meski tingkahnya sering kali membuat rekannya pusing, namun kinerja Deva tak bisa di ragukan. Pada suatu malam, Deva yang baru selesai bertugas membeli novel best seller yang sudah dia incar sejak lama.
Ketika dia sedang membaca bagian prolog sambil berjalan menuju apartemennya, sebuah peluru melesat tepat mengenai belakang kepalanya dan membuatnya tewas.
Hingga sebuah keajaiban terjadi, Deva membuka mata dan mendapati dirinya menjadi salah satu tokoh antagonis yang akan meninggal di tangan tunangannya sendiri. Akankah kali ini Deva berhasil mengubah takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Deva terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya menggeleng dan menjawab. "Bukan lupa, tapi nggak ingat!"
Rora mendengus, "Sama aja kali, gue Rora sahabat lo."
Hening, Deva mencoba mencoba untuk mengingat nama tersebut. Hingga dia pun tak mendapat hasil yang di inginkan, kedua pundaknya merosot lalu menepuk pundak Rora pelan.
"Maaf, Ra. Gue kehilangan beberapa memori gue, jadi gue nggak inget sama lo." Ujarnya tak enak.
Rora tersenyum, "Nggak apa-apa, kita mulai dari awal lagi."
Senyum Rora membuat Deva merasa lebih baik, sampai akhirnya gadis itu mengajak Deva pergi bersama menuju kelas.
"Dev, lo ada acara nggak nanti?" tanya Rora penasaran.
"Nggak tahu, emang kenapa?"
Kini mereka berdua sedang melangkah memasuki gedung, sambil mengobrol ringan.
"Kita hang out, yuk. Udah lama lo nolak gue ajak jalan-jalan." Jawab Rora, kedua matanya begitu berbinar-binar.
Deva berpikir sejenak. Dia ingin bersenang-senang, tetapi rasanya dia masih malas untuk menyusuri kota barunya ini.
"Mungkin akhir pekan, gimana?" jawabnya sambil menatap lurus ke depan.
"Boleh, gue setuju." Sahut Rora antusias.
Setelah beberapa saat berbincang, Deva mendengar suara riuh di halaman kampus. Sontak dia menoleh dan melihat Sera yang sedang berjalan menjauh dari kerumunan di halaman kampus, dia baru saja turun dari mobil Gallen. Tanpa berpikir panjang, Deva berbalik dan mengajak Rora untuk mengikuti gadis itu menuju halaman.
"Sera!" panggil Deva lantang.
Sera terkejut lalu menoleh ke arah koridor dan melihat sosok Deva dan juga Rora sedang berjalan ke arahnya. Saat mereka tiba, Sera mengernyitkan dahi kemudian bertanya pada Deva. "Hai, Dev."
"Hai, eum... Gue cuma mau minta maaf soal tadi pagi," ucap Deva tulus. "Gue nggak seharusnya bersikap seperti itu. Tapi gue beneran nggak bisa boncengin lo pake motor."
Sera mengangguk, meski wajahnya tampak canggung. "Nggak apa-apa. Gue ngerti lo masih belum bisa nerima gue di rumah lo."
Deva merasa lega mendengar jawaban tersebut, meskipun hatinya masih diliputi rasa bersalah. "Thanks, lo udah memaklumi kelakuan gue. Oh, ya mau pergi bareng ke kelas? kita bisa sambil ngobrol," tawarnya.
"Nggak usah, Dev. Gue masih ada urusan lain," jawab Sera, sedikit tersenyum.
Tak ingin menghalangi, Deva memilih mengangguk dan membiarkan Sera pergi lebih dulu meninggalkannya.
Di sampingnya, Rora menatap sahabatnya dengan curiga, "Sejak kapan lo dekat sama jala** itu? bukannya lo benci banget sama dia, Dev?"
"Eh, kok lo ngomongnya kasar gitu? emang gue benci sama dia karena apa? Gue cuma sebal karena dia tinggal di rumah gue aja."
Rora mengangkat alisnya, skeptis. "Nggak mungkin! Lo tahu sendiri, kan? Sera itu selalu bikin masalah sama lo. Dulu dia sempat bikin lo nangis gara-gara gosip yang beredar, dan lo di cap buruk sama satu kampus ini. Makanya lo nggak punya teman kecuali gue. Tapi sekarang, kenapa tiba-tiba lo bisa akur sama dia?"
Deva terdiam sejenak, mencoba mencerna pernyataan Rora. Memang, hubungan mereka tidak selalu baik. Tapi tidak ada ingatan yang menggambarkan sikap buruk Sera padanya.
"Gue nggak inget, dan gue rasa Sera nggak sejahat itu deh?" sahut Deva ragu-ragu.
Rora langsung menggeleng, masih merasa tak setuju dengan jawaban sahabatnya. "Lo yakin? jangan sampai lo di tipu lagi. Orang kayak dia, gampang banget berubah-ubah udah mirip bunglon. Kalo lo nggak hati-hati, lo bisa jadi sasaran empuk buat dia, Dev."
Kekhawatiran Rora membuat semburat merah di pipi Deva, gadis itu menggandeng lengan Rora dan menyenderkan kepalanya.
"Makasih, Ra. Lo perhatian banget sama gue deh, jadi baper." Ujarnya sambil tersenyum malu-malu.
Rora mendesah, lalu menepuk pelan kepala Deva, "Gue cuma nggak mau hal buruk menimpa lo lagi, Dev. Mau bagaimana pun, lo sahabat gue jadi lo harus hati-hati. Jangan sampe lo jadi korban dia lagi."
Deva mengangguk, dia menghargai kekhawatiran Rora. Ada perasaan hangat yang muncul di sudut hatinya.
Akan tetapi, perkataan Rora juga membuatnya penasaran dengan sikap asli Sera. Meski Sera terlihat tomboi dan acuh, namun gadis itu tak mungkin berbicara tanpa adanya bukti.
Deva berusaha mengingat kembali percakapannya dengan Sera. Ada ketulusan dalam suara Sera yang jarang dia dengar sebelumnya. Akan tetapi, Deva tak memungkiri jika perasaan tak nyaman lebih dominan ketika dia berhadapan dengan Sera.
"Dia nggak mungkin manipulatif, kan?" Gumamnya lirih agar tidak terdengar oleh Rora.
Deva melanjutkan langkahnya ke kelas, berharap bisa menemukan cara untuk mendapatkan memori dari tubuh barunya. Agar dia bisa memastikan sendiri seperti apa sikap protagonis asli novel yang dia rasuki.
'Gue harus cari tahu, Sera beneran gadis baik atau hanya pura-pura untuk menutupi kelakuannya yang asli.' Batin Deva bertekad.
***
Di dalam kelas, Deva menatap kosong ke arah jendela. Kehidupan barunya sangat melelahkan, baru saja dia ingin menenangkan pikiran. Suara bangku di tendang memaksa dia kembali sadar, bahwa dunia nyata menantinya.
"Apa-apaan lo?" tegur Deva kesal.
"Harusnya gue yang nanya, maksud lo apa pake ngurung Sera di toilet hah?" bentak Gio, wajahnya merah padam menahan amarah.
Gio lah yang datang, dan menendang kursi di samping Deva. Hingga menimbulkan suara gaduh, namun orang-orang di sekitarnya hanya menatap mereka tanpa mau memisahkan. Seolah kejadian seperti itu sudah menjadi tontonan sehari-hari.
Deva menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosinya. "Gue nggak pernah ngurung dia, Gi! dari tadi gue juga nggak kemana-mana. Kalo nggak percaya, tanya tuh sama mahasiswa yang ada di sini."
Gio melipat tangan di dada, menatapnya dengan tajam. "Halah, ngelak aja terus. Lo setiap hari bisanya cuma nyusahin orang lain terus. Lo nggak malu apa, udah jahat sama gadis sebaik Sera?"
"Lo budek hah?! Gue udah bilang kalo gue nggak ngurung dia, tolol!" Bentak Deva marah.
"Berani lo melawan gue?" Gio terkekeh sinis. "Lo tahu, lo itu hama yang nyusahin orang di sekitar lo."
Deva merasa terpojok. Memang, sejak jiwanya berpindah dia merasa selalu di salahkan atas hal yang tidak dia lakukan.
Terutama yang bersangkutan dengan Sera, semua seakan menjadi salahnya. Padahal dia hanya duduk dan bernapas di kelas saja sudah di sangkut pautkan pada Sera, seakan semua pergerakannya salah di mata orang yang melihatnya.
Deva merasa asing dan tidak di terima, di lingkungan tersebut. Semua orang tampak memiliki ikatan yang kuat dengan protagonis utama, sementara dia hanya seorang pendatang baru tanpa tahu alur seperti apa yang harus dia lalui ke depannya.
"Jahat? Nyusahin, lo tahu arti kata jahat nggak? Gue bahkan bisa robek kulit wajah Sera bukan cuma ngurung dia itu terlalu kecil buat gue, emang di kampus ini cuma gue yang bisa bersikap jahat sama gadis itu hah?!" sentak Deva meluapkan kekesalannya.
Gio nampak terkejut, kening pemuda itu berkerut halus. Baru kali ini, dia melihat Deva berani membentaknya dan melontarkan kata-kata yang sulit di bantah olehnya.
"Jelas-jelas itu ulah lo, karena lo iri sama Sera yang menjadi primadona kampus." Ejek Gio.
Kesabaran Deva yang setipis tisu di belah dua langsung habis, dia mendorong kursi ke belakang dan menarik kerah baju Gio dengan kasar hingga jarak mereka tinggal sejengkal.
"Iri? dari segi mana gue harus iri sama Sera hah! soal fisik gue lebih bagus, wajah? wajah gue jelas lebih cantik." Deva menatap lekat ke arah bola mata Gio dan melanjutkan. "Body? body gue lebih aduhai, uang? uang gue lebih banyak dari dia. Coba lo sebutin bagian mana yang bikin gue iri sama orang modelan triplek kaya Sera?"