kisah fiksi, ide tercipta dari cerita masyarakat yang beredar di sebuah desa. dimana ada seorang nenek yang hidup sendiri, nenek yang tak bisa bicara atau bisu. beliau hidup di sebuah gubuk tua di tepi area perkebunan. hingga pada akhirnya sinenek meninggal namun naas tak seorangpun tahu, hingga setu minggu lamanya seorang penduduk desa mencium aroma tak sedap
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Rasan-Rasan di Balik Pawon
Pagi itu di Desa Tirnawati, langit tampak cerah. Namun ada awan tipis di hati sebagian besar warga. Rumah Mbah Sanem—yang dulunya hanya dianggap rumah tua kosong—kini seperti magnet bagi rasa penasaran dan ketakutan.
Di dapur umum belakang rumah Pak Suro, sisa hajatan masih terasa. Beberapa ibu-ibu masih berkumpul, mencuci piring, mengembalikan baskom, dan—tentu saja—rasan-rasan.
Bu Rini membuka obrolan sambil menggiling kelapa. “Aku denger semalem si Udin pas ronda lihat bayangan di jendela rumah Mbah Sanem.”
Bu Narsih yang sedang mengelap loyang kue langsung menimpali, “Lha iya! Terus si Pedot katanya sampai nggak bisa tidur, menggigil katanya. Padahal biasanya dia itu paling jago ngomong, giliran setan keluar, malah mingkem!”
Ibu-ibu yang lain tertawa pelan, tapi tawa itu terdengar hambar—seperti terselip rasa waswas.
Bu Sarti menurunkan suara. “Aku khawatir sama Udin, Mbakyu. Dia belum sembuh betul. Kadang malam itu menggigau, nyebut-nyebut ‘mata tua’ sama ‘lidah yang robek’...”
Bu Rini: “Astaghfirullah… serem, Bu.”
Bu Narsih: “Kira-kira… Mbah Sanem itu beneran arwah penasaran ya, Mbakyu?”
Bu Sarti: “Aku ndak tahu. Tapi wong matinya juga tragis. Lidahnya hancur, dan baru ditemukan seminggu kemudian. Kalau jiwanya masih berkeliaran, aku ndak kaget.”
Sementara di warung kopi depan masjid, para lelaki desa juga tak kalah sibuk membahas isu yang sama. Pak Minto sibuk menuangkan kopi ke gelas-gelas kaca, sementara Pak Surip, Pak Kromo, dan Pak RT Bardi duduk di bangku kayu, menikmati pagi yang tampak tenang.
Pak Surip: “Pak RT, saya itu jadi kepikiran terus. Apa ndak sebaiknya rumah Mbah Sanem itu dibersihkan, dijampi atau gimana gitu?”
Pak RT Bardi: “Saya sepakat. Tapi ndak bisa sembarangan, Pak Surip. Kalau memang ada ‘isi’, salah-salah bisa jadi marah. Mending nunggu Mbah Tejo, beliau lebih paham.”
Pak Minto menyela, “Saya denger dari anak saya, katanya ada yang pernah lihat orang berjubah hitam keluar dari halaman rumah itu tengah malam. Larinya cepet, ndak jelas mukanya.”
Pak Kromo: “Hlaaah, piye to, Minto! Bisa jadi itu maling atau anak-anak iseng.”
Pak Minto: “Lha iya, tapi katanya begitu lewat, lampu-lampu rumah tetangga langsung redup semua. Kucing-kucing ndak ada yang bersuara. Ndak biasa.”
Pak RT Bardi menarik napas panjang. “Semakin banyak yang melihat aneh-aneh, semakin kuat dugaan bahwa rumah itu memang ndak beres. Tapi kita tetap harus tenang.”
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari ujung jalan. Warga menoleh. Mbah Tejo datang membawa kantong kain hitam dan tongkat tuanya.
Mbah Tejo: “Assalamu’alaikum…”
Warga: “Wa’alaikumsalam, Mbah!”
Pak RT: “Pas banget, Mbah. Kami mau ngobrol soal rumah Mbah Sanem.”
Mbah Tejo: “Saya memang sengaja ke sini, Pak RT. Tadi malam… saya mimpi didatangi perempuan tua berjubah putih. Dia ndak ngomong, cuma nunjuk arah pohon beringin yang tumbuh di belakang rumah Mbah Sanem.”
Pak Surip: “Beringin itu dari dulu sudah dianggap angker, Mbah.”
Mbah Tejo: “Saya akan ke sana siang ini. Tapi saya minta tolong, malam ini jangan ada yang keluyuran dekat rumah itu. Saya akan pasang pagar gaib. Kalau sampai dilanggar, bisa bahaya.”
Semua mengangguk. Aura Mbah Tejo yang kalem namun berwibawa membuat warga tak berani membantah.
Sore harinya, anak-anak kecil bermain layangan di lapangan desa. Suara mereka riang, namun sebagian ibu menyuruh mereka pulang lebih cepat. Bahkan Pak Lurah sempat keliling mengingatkan warga.
Pak Lurah: “Mohon malam ini tidak ada kegiatan ronda. Pos jaga ditutup sementara. Pak Tejo akan melakukan pembersihan energi di rumah Mbah Sanem. Kita harus menghormati.”
Di balai desa, Pak Lutfi tengah menyalin beberapa ayat suci ke dalam kertas yang akan digunakan untuk membantu Mbah Tejo.
Pak Lutfi: “Saya bantu sebisa saya, Mbah. Doa dan ayat-ayat ini insya Allah bisa memperkuat pagar batin yang akan Mbah pasang.”
Mbah Tejo: “Terima kasih, Pak Ustaz. Saya butuh itu. Saya rasa malam ini… arwah Mbah Sanem akan mencoba berkomunikasi lebih jelas. Ia belum tenang.”
Menjelang magrib, suasana desa berubah. Burung-burung lebih cepat masuk ke sarangnya. Angin sore bertiup agak dingin, dan pintu-pintu rumah ditutup lebih awal. Bahkan anjing-anjing yang biasanya menggonggong sembarangan tampak gelisah dan melolong sesekali.
Di rumah Mbah Sanem, Mbah Tejo berdiri sendiri di tengah halaman. Sebuah dupa menyala pelan di depannya. Di sekeliling rumah, ia menancapkan beberapa potongan bambu kecil berisi kembang tujuh rupa dan sobekan kertas bertuliskan aksara Jawa kuno.
Dari kejauhan, warga mengintip dalam diam.
Udin yang diam-diam menonton dari balik pohon bersama Pedot berbisik pelan.
Udin: “Pedot… lihat, asap dupa itu bentuknya kayak muter ke atas. Beda dari biasanya.”
Pedot: “Iya… dan itu suara kok kayak ada yang nangis ya?”
Udin: “Aku dengar. Suara serak… seperti perempuan tua.”
Tiba-tiba, asap dupa berubah warna. Dari putih menjadi agak kebiruan. Daun-daun di pohon beringin bergemerisik meski angin tidak bertiup. Mbah Tejo berdiri kaku. Matanya menatap kosong.
“Namanya… Dulman,” suara Mbah Tejo pelan, seperti bukan miliknya sendiri.
Udin dan Pedot saling pandang.
Udin: “Pak Dul?!”
Pedot: “Bukannya itu… yang dulu sering mangkal di warung Pak Minto?”
Seketika itu juga, suara seperti geraman terdengar dari dalam rumah. Tanah bergetar halus.
Mbah Tejo menarik napas panjang dan mengangkat tangan. “Saya tahu, Mbah Sanem… saya akan bantu. Tapi jangan menyakiti warga. Biarkan saya yang buka tabirnya.”
Malam itu, para warga berdiam di rumah masing-masing. Tapi rasa ingin tahu terus tumbuh. Dari warung ke warung, dari pawon ke pawon, nama Dulman mulai disebut.
Warga mulai teringat hal-hal aneh di masa lalu: kehilangan alat kebun, uang hilang dari pos jaga, dan... suara-suara di kebun saat panen raya beberapa tahun lalu.
Namun, belum ada yang berani bicara langsung.
Dan malam itu, di pojokan warung Pak Minto, terdengar suara Pak Surip bergumam.
Pak Surip: “Kalau bener Dulman yang mbunuh Mbah Sanem… saya ndak heran. Tapi kenapa lidahnya dirobek? Apa Mbah Sanem tahu sesuatu?”
Suara itu hilang bersama angin yang lewat pelan. Tapi malam belum selesai. Dan rahasia masih terpendam… menunggu untuk digali.
Pagi itu, udara desa Tirnawati terasa lebih berat. Kabut belum benar-benar pergi, meskipun matahari sudah tinggi. Warga tidak seperti biasa. Aktivitas pagi tetap berjalan, namun senyum dan canda terasa berkurang. Seolah semalam, masing-masing rumah menyimpan mimpi buruk yang sama.
Di serambi balai desa, Pak RT Bardi, Pak Surip, Pak Kromo, dan Pak Lurah tengah duduk berbincang. Cangkir-cangkir teh sudah tinggal setengah, namun tak seorang pun menyentuhnya lagi.
Pak RT Bardi: “Saya rasa kita harus kumpulkan warga sore nanti. Terlalu banyak yang digunjingkan, tapi belum ada yang benar-benar dibuka.”
Pak Kromo: “Betul itu, Pak RT. Tadi malam saya dengar dari anak saya, katanya Udin dan Pedot lihat langsung Mbah Tejo kesurupan waktu bersih-bersih rumah Mbah Sanem.”
Pak Lurah: “Saya juga sudah bicara dengan Pak Lutfi. Beliau setuju kalau doa bersama diadakan minggu ini. Tapi... kita juga butuh kejelasan. Nama Dulman disebut. Tapi siapa sebenarnya dia?”
Pak Surip menunduk. Lama ia diam sebelum akhirnya berujar pelan.
Pak Surip: “Dulman… dulunya memang orang sini. Tapi waktu itu, sekitar sepuluh tahun lalu, ia terlibat masalah. Pernah dituduh mencuri hasil panen warga.”
Pak RT: “Saya masih ingat. Tapi waktu itu tak ada bukti. Lalu dia pindah, katanya ke kota.”
Pak Lurah: “Tapi kalau benar dia yang menyebabkan kematian Mbah Sanem…”
Pak Surip: “Kita harus cari tahu. Kita butuh bukti.”
Sementara itu, di rumah Pak Minto, warung kopinya kembali jadi tempat rasan-rasan pagi.
Udin dan Pedot duduk di pojok, wajah mereka masih tegang meskipun tangan mereka sibuk dengan gorengan.
Udin: “Dot, semalam aku sempat lihat ada bayangan di belakang rumah Mbah Sanem lagi. Tapi bukan perempuan... besar, bungkuk, dan jalannya pelan.”
Pedot: “Kowe yakin bukan bayangan pohon?”
Udin: “Aku jamin. Aku ndak bisa tidur semalaman. Aku yakin itu bukan manusia biasa.”
Pak Minto yang sedang menuang kopi ikut menyimak.
Pak Minto: “Kalian berdua jangan terlalu dekat-dekat ke sana. Sekarang bukan waktunya main-main. Mbah Tejo dan Pak Ustaz Lutfi sedang urus itu.”
Pedot: “Tapi Pak, aku penasaran. Kalau benar itu arwah Mbah Sanem, kenapa dia muncul terus? Apa dia masih pengin ngomong sesuatu?”
Pak Minto: “Mungkin. Tapi bisa juga dia minta tolong. Wong matinya tragis begitu, dan belum jelas siapa pelakunya. Mungkin dia minta kita nyelesein.”
Suasana menjadi hening sejenak.
Udin: “Pak, jenazah Mbah Sanem dulu dikubur di pemakaman umum kan? Apa... makamnya ndak terganggu?”
Pak Minto: “Waktu itu pemakaman biasa. Tapi aku inget, waktu penguburan, banyak hal aneh. Langit mendadak gelap. Bahkan imam masjid sempat pingsan sebelum baca doa terakhir.”
Pedot: “Astaghfirullah… pak, ini beneran makin serem.”
Udin: “Tapi juga bikin aku makin kepikiran. Kenapa lidah Mbah Sanem yang jadi sasaran? Seolah... ada sesuatu yang nggak boleh dia katakan.”
Sore harinya, seperti yang direncanakan, warga berkumpul di balai desa. Pak Lurah memimpin, didampingi Pak RT, Pak Ustaz Lutfi, dan Mbah Tejo.
Pak Lurah: “Bapak ibu sekalian, terima kasih sudah datang. Kita semua tahu, beberapa hari ini, desa kita terusik. Bukan hanya oleh rasa takut, tapi juga oleh pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab.”
Warga menyimak dalam diam. Sesekali terdengar gumaman.
Pak RT: “Kami ingin buka ruang diskusi. Siapa pun yang tahu sesuatu soal Mbah Sanem atau Dulman, silakan bicara.”
Suasana sempat hening. Lalu dari pojok ruangan, seorang laki-laki paruh baya angkat tangan.
Pak Leman: “Saya pernah lihat Dulman di sekitar kebun dua tahun lalu. Waktu itu saya pikir dia cuma lewat. Tapi... anehnya, dia sempat tanya-tanya soal Mbah Sanem.”
Pak Lurah: “Tanya soal apa?”
Pak Leman: “Tentang kebun lama milik Mbah Sanem. Dia tanya apakah Mbah Sanem masih kerja di sana. Lalu setelah itu… saya ndak pernah lihat dia lagi.”
Mbah Tejo menunduk, lalu pelan bicara.
Mbah Tejo: “Tadi siang, saya sempat kembali ke rumah Mbah Sanem. Di belakang lemari tua, saya temukan secarik kain... penuh darah kering. Di dalamnya, ada sepucuk surat.”
Semua warga terperanjat.
Mbah Tejo: “Isinya tidak jelas. Tapi ada satu kalimat yang terbaca: ‘Aku tahu siapa kamu, Dulman. Aku akan bicara.’”
Riuh mulai terdengar di ruangan. Bisik-bisik menyebar cepat.
Pak Ustaz Lutfi: “Saya rasa, inilah mengapa lidah Mbah Sanem jadi sasaran. Mungkin dia sempat menulis surat itu sebelum peristiwa terjadi.”
Bu Rini: “Astaghfirullah… jadi dia dibunuh agar tak sempat buka suara?”
Pak Surip: “Tapi siapa Dulman sekarang? Apa dia masih hidup? Atau justru… sudah jadi bagian dari kegelapan itu sendiri?”
Di luar balai desa, malam sudah merayap. Langit menggantungkan bulan separuh, sinarnya pucat. Anjing kembali melolong di kejauhan. Dan rumah Mbah Sanem berdiri di ujung jalan—sunyi namun seolah hidup. Seolah mendengar semua yang diperbincangkan malam itu.
Dari balik jendela, sesosok bayangan bergerak pelan.
Menunggu.