“Aku bukan barang yang bisa diperjualbelikan.” —Zea
Zea Callista kehilangan orangtuanya dalam sebuah pembantaian brutal yang mengubah hidupnya selamanya. Diasuh oleh paman dan bibinya yang kejam, ia diperlakukan layaknya pembantu dan diperlakukan dengan penuh hinaan oleh sepupunya, Celine. Harapannya untuk kebebasan pupus ketika keluarganya yang serakah menjualnya kepada seorang mafia sebagai bayaran hutang.
Namun, sosok yang selama ini dikira pria tua berbadan buncit ternyata adalah Giovanni Alteza—seorang CEO muda yang kaya raya, berkarisma, dan tanpa ampun. Dunia mengaguminya sebagai pengusaha sukses, tetapi di balik layar, ia adalah pemimpin organisasi mafia paling berbahaya.
“Kau milikku, Zea. Selamanya milikku, dan kau harus menandatangani surat pernikahan kita, tanpa penolakan,”ucap Gio dengan suara serak, sedikit terengah-engah setelah berhasil membuat Zea tercengang dengan ciuman panas yang diberikan lelaki itu.
Apa yang akan dilakukan Zea selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BEEXY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6 - Mencoba Mencari Jalan Keluar
Mata Zea masih menatap tajam Giovanni Alteza yang berdiri hanya beberapa sentimeter di depannya. Bisa-bisanya pria itu dengan mudahnya mengatakan kalau dia akan membunuh siapapun demi mencapai puncak. Mendengar alasan Giovanni menjadi seorang mafia membuat Zea kesal.
Namun, Tubuh Zea seketika menegang ketika Gio bergerak dekat, membuat napasnya terasa sesak. Zea berdiri hendak pergi.
Namun, sebelum Zea sempat bergerak, Gio menjepitnya ke dinding. Lalu mencengkram dagu Zea dengan erat.
"Kau sudah tau kan bagaimana aku tidak akan segan membunuh orang-orang disekitarku, mereka yang tidak tunduk padaku," bisik Gio, suaranya dalam dan mengancam. Smirk tampil di wajah lelaki itu,"maka dari itu ... kau jangan main-main denganku, apalagi yang lebih parah ... mencoba kabur dariku.” ekor mata Gio menatap tajam Zea yang nafasnya tercekat.
Gadis itu seperti kehilangan kata-katanya.
Gio kembali bicara, “kau adalah properti ku dan kau harus selalu ada di sisiku, aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi.”
Zea menelan ludah. Jantungnya berdetak kencang di dalam dadanya. Ia bisa merasakan dinginnya dinding di punggungnya, juga kehangatan tubuh pria di depannya.
"Satu langkah saja mencoba kabur," lanjut Gio, ibu jarinya menyentuh bibir bawah Zea, "aku sendiri yang akan menghabisimu."
Zea terbelalak, mendengar kata menghabisi membuat Zea marah dan ingin melawan. Dia tidak ingin hidup dalam belenggu Giovanni alteza.
“Aku manusia yang butuh kebebasan!"ucapan menantang muncul dari mulut Zea.
Zia merasa takut tapi dia juga tidak suka dengan pengekangan Giovanni.
“Bebas? Kau pikir kau bisa kemana? Tempat ini dikelilingi hutan. Kau tidak akan bisa kabur kemana-mana.” Gio menyeringai kecil, tetapi tidak ada tanda-tanda kelembutan di dalam senyumannya. "Jangan mencobanya jika kau tidak ingin tahu jawabannya. Aku tidak main-main dengan ancamanku."
Sebelum Zea sempat membalas, suara ketukan di pintu memecah keheningan.
"Masuk," perintah Gio tanpa mengalihkan tatapannya dari Zea. Tapi, lelaki itu telah melepaskan cengkraman tangannya dari Zea.
Seorang pria berpakaian formal masuk ke dalam kamar. Dia adalah— Asher Aberald— sekretaris pribadi Gio yang sering terlihat dalam wawancara dan berita bisnis. Seorang pria dengan badan tinggi dan kacamata bertengger di hidungnya.
"Asher, "ucap Gio lalu mundur menjauhi Zea yang masih mengatur irama jantungnya. “Kau sudah menyiapkan semuanya?”
“Iya, tuan. Semua telah siap, dewan direksi juga akan datang pukul 9 pagi nanti.”
“Bagus.”
Tatapan mata Asher kemudian menangkap sosok Zea. “Dia .."
"Bukan urusanmu,"ucap Giovanni ketus dengan tatapan mata mengerikan untuk Asher. "Jangan melihatnya jika kau masih menyayangi bola matamu.”
Asher seketika bergidik dan mengalihkan pandangannya. Dia tau semua perintah Giovanni harus dituruti jika tidak, konsekuensinya sangatlah nyata.
"Kita berangkat sekarang."
Asher mengangguk sopan. "Baiklah, Mobil telah saya siapkan, Tuan Alteza."
Gio menatap Zea sekali lagi, tatapannya memperingatkan. “Kau ingat apa yang kukatakan tadi kan? Jangan berusaha kabur.”
Zea terbelalak merasakan desiran menakutkan dalam dadanya.
Lalu, Gio menambahkan ucapannya, “Mandi dan turun ke bawah, aku telah menyuruh Federico menyiapkan makanan untukmu. Makan. Aku tidak ingin melihat properti ku kurus kering."
“Aku bukan properti mu!”
“Lantas kau ingin ku panggil apa? Wanitaku?”
"Tidak juga!”
"Jika kau ingin menjadi wanitaku, kau harus belajar untuk menuruti semua perintah ku."
Setelah mengatakan itu Gio berjalan keluar bersama Asher.
---
Zea akhirnya mandi dan turun ke bawah menuruti perintah Gio. Dia dituntun oleh Federico.
Zea mengikuti Federico menuju ruang makan. Mansion ini memang luar biasa besar, bahkan ruang makan saja terasa seperti restoran mahal dengan meja panjang dan dekorasi klasik yang mencerminkan kemewahan pemiliknya.
Di atas meja, berbagai macam hidangan tersaji. Bau rempah yang menggoda memenuhi udara, tetapi Zea tidak bisa mengabaikan perasaan curiganya.
Saat piring diletakkan di depannya, Zeamenatap makanan itu dengan ekspresi waspada.
"Apa ini beracun?" tanyanya tanpa basa-basi.
Federico menatapnya datar. "Kalau begitu, aku juga akan mati, karena kami makan makanan yang sama."
Zea tetap menatapnya curiga. "Siapa yang bisa menjamin kalau kau tidak kebal racun?"
Federico menghela napas, lelah menghadapi kecemasan Zea. Ia mengambil sendok dan mengambil potongan daging dari piring Zea lalu memakannya. “Lihat? aku masih hidup. Makanannya aman."
Zea masih belum sepenuhnya percaya. Tapi perutnya yang kosong tidak bisa berbohong.
Dengan enggan, ia mulai menyuapkan makanan ke mulutnya. Rasa lapar mengalahkan ketakutannya, dan begitu makanan itu menyentuh lidahnya, ia menyadari betapa lezatnya hidangan itu.
Namun, saat makan, pikirannya tetap sibuk dengan satu hal—bagaimana cara kabur dari tempat ini?
---
Setelah selesai makan, Zea menatap Federico dengan hati-hati.
"Apakah aku diizinkan berkeliling mansion?" tanyanya, berusaha agar suaranya terdengar santai agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Federico menatapnya sebentar sebelum menjawab, "Tentu. Selama kau tidak melewati batas yang dilarang."
Itu adalah jawaban yang tidak sepenuhnya buruk. Zea tersenyum manis membuat Federico si pelayan muda mansion itu sedikit tercengang, tidak ada yang pernah menampilkan ekspresi cerah seperti itu di mansion ini. Sedikit ulasan senyum tercipta di bibirnya.
Dengan langkah hati-hati, Zea mulai berjalan di sepanjang koridor mansion.
Mansion ini lebih besar dari yang ia bayangkan. Setiap sudutnya dipenuhi kemewahan—marmer mahal, lukisan klasik, dan lampu gantung kristal yang megah di langit-langit.
Namun, semua itu tidak menarik perhatiannya.
Yang ia cari adalah jalan keluar.
Zea memperhatikan jendela-jendela besar yang ada di mansion ini. Beberapa jendela terlihat bisa dibuka, tapi dari luar, terlihat pagar tinggi dan penjaga yang berjaga di beberapa titik.
Ia melanjutkan langkahnya, menyusuri lorong-lorong yang lebih sepi.
Ia harus mencari titik lemah dalam mansion ini.
---
Zea tiba di sebuah lorong yang tampak lebih sepi dari yang lain. Tidak ada penjaga yang terlihat, hanya deretan pintu yang tertutup rapat.
Hatinya berdebar.
Dengan hati-hati, ia mencoba membuka salah satu pintu. Terkunci.
Ia beralih ke pintu berikutnya. Sama saja.
Zea mulai Frustasi, ia terus berjalan, mencoba menemukan sesuatu yang bisa membantunya. Hingga akhirnya, ia menemukan sebuah jendela kecil yang tampaknya mengarah ke luar mansion.
Zea mendekat, tangannya terulur untuk membuka kunci jendela tersebut.
Namun sebelum ia sempat menariknya, suara langkah kaki terdengar dari belakang.
Zea membeku.
"Sedang apa kau di sini?"
Suara dingin milik Federico terdengar di telinga Zea membuat gadis itu membeku. Zea perlahan berbalik, berusaha tetap terlihat tenang.
"Aku hanya penasaran dengan mansion ini," jawab Zea dengan nada ceria, mencoba bersikap santai. Sedang Federico jelas tau maksud terselubung Zea.
Federico langsung menatap Zea dengan tajam, seakan tahu betul bahwa Zea sedang menyembunyikan sesuatu.
"Jangan mencoba sesuatu yang bodoh," kata Federico dingin. "Kau mungkin mendapatkan izin untuk berkeliling, tapi itu bukan berarti kau bisa pergi sesuka hati."
Zea mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"
Federico melangkah lebih dekat. "Mansion ini bukan tempat yang bisa kau tinggalkan dengan mudah. Penjagaan di sini lebih ketat dari yang kau kira."
Zea mengepalkan tangannya. Jadi benar, mansion ini bukan hanya rumah biasa. Ini adalah penjara.
Federico masih menatapnya dengan waspada.
"Aku menyarankan kau menikmati waktumu di sini, Zea," katanya, suaranya lebih tenang. "Percayalah, kau tidak ingin melihat apa yang terjadi pada orang yang mencoba melawan Giovanni Alteza."
Zea menatapnya balik, tercengang. Zea menggigit bibir bawahnya merasakan irama jantungnya yang berdebar kencang.
"Tapi aku bukanlah properti yang bisa ia tahan di sini."
"Kau di sini sebagai Bayaran atas hutang paman dan bibimu, itu adalah konsekuensi dan fakta yang harus kau terima."
"Mereka yang berhutang dan kenapa aku yang harus ..." Zea tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. "Aku hanya ingin bebas ..."
"Telah masuk ke sini, berarti kebebasan hanyalah angan. Terimalah fakta yang ada dan jangan pernah berani menentang Giovanni Alteza."
Zea menggigit bibirnya.
Tidak ada yang berani menentang Giovanni.
Dan yang paling penting—tidak ada yang bisa kabur darinya.
Namun, satu hal yang pasti: Zea tidak akan menyerah begitu saja. Zea tidak ingin terkurung selamanya di penjara mansion yang terlihat mewah ini. Dia harus mencari jalan keluar. Zea bukanlah burung dalam sangkar. Zea bukanlah properti.