Berawal dari seorang Pelukis jalanan yang mengagumi diam-diam objek lukisannya, adalah seorang perempuan cantik yang ternyata memiliki kisah cinta yang rumit, dan pernah dinodai oleh mantan tunangannya hingga dia depresi dan nyaris bunuh diri.
Takdir mendekatkan keduanya, hingga Fandy Radistra memutuskan menikahi Cyra Ramanda.
Akankah pernikahan kilat mereka menumbuhkan benih cinta di antara keduanya? Ikuti kelanjutan cerita dua pribadi yang saling bertolak belakang ini!.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lia Ramadhan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5. SAYA BERSEDIA MENIKAHINYA
Fandy meraih tubuh Cyra ke dalam pelukan, lalu melihat kondisinya. Cyra tidak sadar dan jatuh pingsan. Darah menetes dari kepala dan tangannya. Terdiam Fandy sesaat, melihat lagi luka dan memar pada tangan Cyra.
Pengendara mobil tadi menegur Fandy. "Mas maaf saya tidak menabraknya, tetapi mbak ini yang menabrakkan dirinya ke mobil saya. Apa mbak ini perlu saya tolong antarkan ke Rumah Sakit?” Sepertinya lukanya cukup parah dan tidak sadarkan diri,” tanya si Pengendara tadi dan menawarkan pertolongan.
“Saya akan bertanggung jawab sepenuhnya Mas, jangan khawatir. Ayo bawa masuk Mbaknya ke mobil! Saya antar ke UGD Rumah Sakit terdekat.”
Fandy langsung sadar, lalu bergerak mengangkat tubuh Cyra dan membawanya ke dalam mobil si pengendara.
Mobil lalu melaju membelah kerumunan yang menyebabkan macet tadi. Bapak pengendara mengemudikan mobilnya agak cepat.
Dia sepertinya paham situasi, kalau Cyra harus segera mendapat pertolongan medis sebelum terlambat.
Cyra berada di pangkuan Fandy, kepala Cyra hati-hati Fandy sandarkan di dadanya, darah di kepala dan tangan Cyra menempel pada kaos putih Fandy. Iba Fandy melihat keadaannya saat ini.
Fandy menyeka darah yang masih menetes di sekitar wajah Cyra, rambut Cyra diselipkan ke belakang telinganya, lalu Fandy usap pipinya perlahan.
Wajah cantik Cyra terlihat sangat pucat dan lemah. Perlahan Fandy peluk erat tubuh Cyra dan keningnya dikecup lama olehnya. Tidak perduli jika Cyra sudah bertunangan, saat ini Fandy merasa sangat khawatir.
“Maaf ya Mas, kalau saya bawa mobilnya agak cepat. Mbaknya harus segera ditangani oleh tim medis sebelum terlambat.” Bapak pengendara menatap Fandy lewat kaca spion belakang dan menjelaskan alasannya. Dia ikut merasa khawatir dengan keadaan Cyra.
"Tidak apa-apa Pak, saya paham. Bapak mau menolong dan menemani kami sampai rumah sakit saja saya merasa sangat bersyukur,” ucap Fandy tulus.
Tidak lama kemudian, mereka tiba di UGD Rumah Sakit Sahabat Keluarga. Tim medis yang berjaga langsung sigap mengambil Cyra dari pangkuan Fandy dan membaringkannya di brankar.
Dokter dan perawat bergerak cepat memeriksa kondisi Cyra yang hampir kritis. Lima belas menit kemudian, dokter jaga menghampiri Fandy dan Bapak pengendara di ruang tunggu UGD.
“Apakah Anda berdua keluarganya?” Dokter bertanya.
“Bukan Dok, hanya kebetulan saya dan Bapak ini ada di lokasi kejadian bersama korban,” jawab Fandy dan bapak pengendara menggangguk sopan pada dokter.
“Mbak tadi harus dioperasi untuk menghentikan pendarahannya, lalu saya butuh persetujuan keluarganya untuk tindakan medis lebih lanjut dan prosedur operasi segera.” Dokter menjelaskan situasinya.
“Mohon segera menghubungi pihak keluarganya. Telepon genggam pasien tadi nanti perawat akan mengembalikannya pada Anda. Kami tunggu konfirmasinya segera Bapak! Permisi.” Dokter kembali menegaskan dan berlalu dari hadapan kami.
Bapak Adi si pengendara mobil, sempat mengajakku berkenalan saat menunggu Cyra tadi, lalu memberikan pendapat. “Jika mbaknya tadi bukan keluarganya Mas, mungkin ke orang yang Mas Fandy kenal yang ada kaitannya dengan mbak Cyra.”
“Oh iya! Ada memang Pak. Teman sekantornya ada dikontak telepon saya kebetulan,” ingat Fandy spontan.
Tetapi sebelum Fandy akan menelepon Nia, seorang perawat menghampirinya dan memberikan telepon genggam Cyra yang sejak tadi terus berdering katanya.
“Pak, ini telepon genggamnya pasien sedari tadi berdering terus. Mungkin keluarga atau orang yang kenal dengannya yang menelepon.” Perawat berkata sambil memberikannya pada Fandy.
“Jangan lupa pesan dokter tadi ya Pak, kami tunggu kedatangan pihak keluarga, atau koleganya jika pasien hanya seorang diri saja. Kalau sudah ada kabar, pihak keluarga langsung saja ke bagian informasi. Permisi.” Perawat meninggalkan kami setelah mengingatkan amanat dari dokter tadi.
Telepon genggam Cyra kembali berdering, Fandy lihat nama peneleponnya Mamaku. Dia refleks menekan tombol terima, lalu mendengarkan penelepon berbicara.
“Halo Cyra sayang, dari mana saja kamu, Nak? Mama sedari tadi telepon kamu, tetapi kamunya tidak respon sms, whatsapp dan telepon Mama juga. Kamu baik-baik saja sayang?” Mama Cyra bertanya setelah tersambung dan seolah sangat khawatir.
“Halo maaf Tante, ini saya Fandy yang sedang menunggu Cyra di UGD. Cyra tadi mengalami kecelakaan di jalan raya dekat kantornya. Apa Tante bisa hadir segera? Menyusul ke Rumah Sakit Sahabat Keluarga, karena dokter menunggu persetujuan keluarganya,” jelas Fandy pada mama Cyra.
Mamanya terkejut dan panik terdengar. ”Apa? Kecelakaan? Tuhanku, oh tidak! Baik Nak Fandy, saya dan papanya Cyra segera datang ke Rumah Sakit setelah ini. Terima kasih sudah menemani anak Tante. Tolong tunggu kami ya, Nak! Titip Cyra sampai kami datang.”
“Baik Tante, sama-sama ya. Maaf sudah lancang menerima panggilan teleponnya ini.”
“Tidak apa-apa Nak. Karena memang tidak ada kabar dan balasan dari Cyra sejak siang tadi. Terima kasih sekali lagi Fandy,” tutup Mama Cyra.
Setengah jam kemudian, kedua orang tua Cyra tiba di UGD. Mamanya bertanya pada staf jaga di mana anaknya berada kini.
Saat Fandy mendengar nama Cyra disebut, dia dan pak Adi langsung menghampiri orangtua Cyra.
“Permisi... maaf, dengan orang tuanya Cyra ya?” tanya Fandy sopan.
“Iya benar, saya Mamanya Cyra dan ini Papanya. Kamu pasti Fandy?” Mereka mengulurkan tangan dan mengajak bersalaman.
“Fandy benar Tante, dan ini Pak Adi yang telah menolong mengantarkan saya dan Cyra ke UGD ini,” sahut Fandy ramah.
“Terima kasih Fandy dan Pak Adi sudah menolong anak kami. Setidaknya dia sudah ditangani oleh tim medis.” Papa Cyra merasa berterima kasih pada Fandy dan pak Adi.
“Sebaiknya langsung bertemu dengan dokter Bimo, yang sedang menunggu konfirmasinya Om dan Tante untuk penanganan lebih lanjut,” jelas Fandy.
“Baik Nak Fandy, dan jangan pulang dulu ya mohon tunggu sebentar lagi. Permisi dulu, kami mau ke ruangan dokternya.”
Tidak lama kemudian, keduanya menghampiri Fandy dan pak Adi.
“Cyra akan segera dioperasi dan sedang menunggu beberapa prosedur. Sebelum itu, boleh kita berbincang sebentar tentang apa yang terjadi pada Cyra?” Papa Cyra mengajak Fandy dan pak Adi ke ruang tunggu pasien.
Fandy dan pak Adi silih berganti menjelaskan siapa mereka dan kronologinya dari awal sampai kecelakaan itu terjadi.
Pak Adi juga menawarkan menanggung biaya operasi dan ruang perawatan sampai Cyra sembuh, tetapi orang tua Cyra menolak dengan sopan. Mama, Papa Cyra terlihat sangat terkejut saat mendengar penjelasan Fandy dan pak Adi.
Terutama saat Fandy ceritakan awal mulanya Cyra kenapa sampai berbuat nekat ingin bunuh diri. Mamanya langsung menangis seolah tidak percaya, Cyra hilang akal sehatnya karena depresi.
Terlebih lagi Cyra tidak pernah menceritakan masalah yang dihadapi padanya atau papanya. Sedih dan kecewa sekali keduanya saat ini. Cyra mengalami situasi sangat sulit dan mereka tidak mengetahuinya sama sekali.
Setelah berbincang cukup lama, Fandy dan pak Adi pamit undur diri. Sebelum keluar dari UGD, Fandy minta izin apakah besok atau lusa boleh menjenguk Cyra.
Keduanya mengizinkan dan meminta nomor telepon yang dapat dihubungi dan langsung Fandy berikan. Mereka akan segera mengabari jika Cyra sudah sadar.
Esok harinya ada nomor asing menghubungi Fandy, segera dia angkat karena dipikir pasti kabar dari orangtua Cyra dan benar adanya.
“Syukurlah operasinya sukses dan Cyra sudah sadar. Baik Tante, InsyaAllah besok saya menjenguknya, kalau hari ini tidak bisa karena ada pesanan lukis langsung di lapak. Terima kasih sudah mengabari,” tutup Fandy mengakhiri telepon.
Besoknya Fandy bersiap menuju Rumah Sakit, membawa sedikit buah tangan untuk Cyra. Tiga puluh menit kemudian Fandy sampai di depan kamar VIP tempat Cyra dirawat kini.
Saat akan mengetuk pintu terdengar di dalam ada sedikit perdebatan antara Cyra dan orang tuanya.
“Cyra, kamu harus tetap menikah dengan Boy. Bajingan itu harus bertanggung jawab atau Papa akan membunuhnya dengan tanganku sendiri.” Papa Cyra berusaha menahan emosinya.
“Iya sayang, benar kata Papamu. Sebaiknya kamu pikirkan lagi dengan matang,” sambung Mama sambil mengelus lembut rambut Cyra.
“Tidak Papa, maaf Mama, Cyra tidak akan menikah dengan Boy atau meminta pertanggung jawabannya jika nanti aku sampai hamil. Cukup sudah, dia merusak mental dan membuatku patah hati dan depresi. Aku tidak ingin bersama dan mengenalnya lagi. Tolong blokir akses dia saja agar sulit menemuiku.” Cyra memohon sambil menangis.
“Jika memang tidak ada satupun laki-laki yang dapat menerima keadaanku suatu hari nanti, biarkan Cyra hidup sendiri selamanya atau pindah keluar negeri. Aku yakin dapat melewati semuanya ini,” pinta Cyra.
Orang tua mana yang sanggup membiarkan putri kesayangannya menderita lagi jika mereka sampai mengabulkan permintaan Cyra tadi.
“Cyra, kami tidak akan membiarkan lagi kamu menanggung masalah atau beban hidupmu sendirian lagi. Kamu anak kami satu-satunya, kami akan selalu menemani. Jangan buat kami sedih dan kecewa lagi sayang.” Mamanya lirih berkata dan ikut menangis.
Fandy tidak sanggup untuk mendengar kelanjutan perbincangan mereka, dia memutuskan untuk tetap mengetuk pintu kamar dan izin masuk menengok Cyra.
Saat Fandy masuk dan melihat Cyra menangis sedih dia sempat tertegun sesaat, tetapi Cyra langsung menghapus air matanya dengan cepat.
Entah apa yang merasuki pikiran Fandy. Tiba-tiba dirinya mendapatkan keberanian, lalu menatap Cyra dan orang tuanya bergantian.
“Permisi Cyra, Om dan Tante. Maaf, jika kedatangan saya ini mengganggu perbincangan kalian. Jika kalian tidak keberatan, saya bersedia akan menikahi Cyra tanpa syarat apapun karena saya mulai menyayanginya,” ucap Fandy yakin.