Cerita ini mengisahkan perjalanan lima teman—Aku, Danang, Rudi, Indra, dan Fandi—yang memutuskan mendaki Gunung Lawu. Namun, perjalanan mereka penuh ketegangan dan perdebatan sejak awal. Ketika mereka tiba di pasar aneh yang tampaknya terhubung dengan dimensi lain, mereka terperangkap dalam siklus yang tidak ada ujungnya.
Pasar Setan itu penuh dengan arwah-arwah yang terperangkap, dan mereka dipaksa untuk membuat pilihan mengerikan: memilih siapa yang harus tinggal agar yang lainnya bisa keluar. Ketegangan semakin meningkat, dan mereka terjebak dalam dilema yang menakutkan. Arwah-arwah yang telah menyerah pada pasar itu mulai menghantui mereka, dan mereka semakin merasa terperangkap dalam dunia yang tidak bisa dijelaskan. Setelah berjuang untuk melarikan diri, mereka akhirnya sadar bahwa pasar setan itu tidak akan pernah meninggalkan mereka.
Keputusasaan semakin menguasai mereka, dan akhirnya mereka harus menerima kenyataan bahwa mereka ternyata tidak pernah keluar dari pasar setan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pradicta Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusan yang Membunuh Jiwa
Kami semua terdiam, tak ada satu kata pun yang keluar dari mulut kami. Wajah kami tertutup ketakutan, dan meskipun kami berdiri bersama, rasanya kami semua berjalan sendirian di dalam kegelapan yang mencekam. Pilihan yang ditawarkan pria tua itu—pilihan yang begitu mengerikan—seperti pisau yang tajam, siap menghancurkan semuanya. Mengorbankan satu jiwa untuk kebebasan yang lain. Itu bukan hanya sebuah pilihan, tapi sebuah keputusan yang akan menghancurkan siapa saja yang memilihnya.
Pria tua itu berdiri di depan kami, matanya yang kosong menatap kami dengan penuh harapan, seolah ingin melihat siapa yang akan menyerah, siapa yang akan memilih untuk mengorbankan dirinya. Senyumannya yang lebar itu mengerikan, menambah tekanan yang semakin berat. Kami tahu, ini adalah ujian terakhir. Pasar setan itu tidak akan membiarkan kami keluar tanpa membayar harga yang sangat mahal.
“Pilihlah,” kata pria tua itu, suara seraknya menggema di udara yang semakin dingin. “Kalian bisa keluar, tetapi hanya jika satu di antara kalian yang rela tinggal. Pasar ini sudah menunggu, dan hanya dengan pengorbanan itu kalian bisa bebas.”
Setiap kata yang keluar dari mulutnya semakin menambah rasa takut yang sudah memenuhi dada kami. Tidak ada yang bisa menyangka akan berhadapan dengan pilihan seperti ini. Kami sudah melalui begitu banyak cobaan, melewati ketakutan yang tiada henti, tetapi sekarang kami dihadapkan pada pilihan yang jauh lebih buruk daripada yang pernah kami bayangkan.
Kami semua saling menatap, tidak ada yang berani berbicara. Tidak ada yang tahu apa yang harus dipilih. Kami sudah merasa terperangkap, namun pilihan itu terasa seperti jalan buntu. Tidak ada yang bisa melarikan diri dari sini. Pasar itu sudah mengikat kami dalam cara yang tak terbayangkan, dan kini, kami harus membuat keputusan yang tak hanya akan memengaruhi hidup kami, tetapi juga jiwa kami.
“Apa kita benar-benar harus memilih?” tanya Rudi dengan suara gemetar. “Gue nggak bisa… gue nggak bisa ngorbankan siapa pun di antara kita. Gue nggak bisa pilih.”
Semua mata tertuju pada Rudi. Tidak ada yang bisa menjawab. Kami semua merasakan apa yang dia rasakan. Rasanya, apa pun yang kami pilih, itu akan menghancurkan bagian dari diri kami. Kami tidak ingin mengorbankan teman-teman kami, tetapi jika kami menolak, kami tahu konsekuensinya. Kami akan terjebak di sini selamanya, bersama arwah-arwah yang sudah terperangkap, bersama pasar setan yang tak pernah memberi jalan keluar.
“Ini benar-benar pilihan yang nggak manusiawi,” kata Danang, suaranya penuh kebingungan dan keputusasaan. “Kenapa kita harus terus menghadapi ini? Kenapa pasar ini nggak berhenti menguji kita?”
Tawa pria tua itu terdengar kembali, lebih keras kali ini. Seolah-olah dia sedang menunggu keputusan kami, menunggu kami menyerah. “Pasar ini adalah ujian terakhir bagi kalian. Satu dari kalian harus memilih. Tidak ada yang bisa melarikan diri.”
Indra menunduk, menutup wajahnya dengan tangan. “Gue nggak bisa. Gue nggak bisa pilih siapa yang harus pergi. Semua ini terlalu berat. Kita udah sama-sama berjuang untuk keluar, kenapa sekarang harus ada yang mengorbankan diri?”
Tapi suara tawa itu terus berlanjut, semakin menggetarkan jiwa kami. Kami tahu, tidak ada jalan keluar selain memilih. Pilihannya sederhana, tetapi sangat mematikan—satu dari kami harus tinggal, terperangkap di pasar setan, sementara yang lainnya bisa pergi. Jika kami menolak untuk memilih, kami semua akan terjebak selamanya.
Aku merasa jantungku hampir berhenti berdetak. Rasa takut itu semakin besar, menyelimuti seluruh tubuhku. Bagaimana mungkin kami bisa memilih? Bagaimana bisa kami mengorbankan salah satu dari kami? Teman-teman yang sudah begitu dekat, yang sudah melalui semua ini bersama-sama. Kami semua merasakannya—keputusan ini bisa membunuh jiwa kami, bahkan jika kami berhasil keluar dari sini.
“Apa kita akan terperangkap selamanya kalau kita nggak pilih?” tanya Rudi dengan suara parau, matanya mulai berkaca-kaca. “Kita udah nyerah, kan? Kita nggak bisa pergi. Kita semua udah terperangkap di sini.”
Danang, yang biasanya lebih tenang, akhirnya berbicara dengan suara yang patah-patah. “Gue nggak tahu. Gue nggak tahu kalau kita terjebak di sini selamanya. Gue nggak tahu kalau kita nggak punya pilihan.”
Kami semua terdiam. Tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan itu. Tidak ada yang bisa memberi jawaban yang pasti. Yang kami tahu, pasar itu tidak akan membiarkan kami keluar tanpa membayar harga yang sangat besar.
Tiba-tiba, arwah-arwah yang tadi berdiri memandang kami mulai bergerak maju. Mereka tidak berkata apa-apa, hanya tersenyum lebar dengan senyum yang semakin mengerikan. Senyuman itu bukan hanya senyuman biasa—itu senyuman yang mengingatkan kami bahwa kami sudah menyerah, bahwa kami tidak bisa lagi melarikan diri dari pasar itu. Mereka semakin mendekat, dan kami bisa merasakan ketakutan itu semakin menguasai kami.
“Kalian bisa pergi, tapi hanya jika kalian tinggalkan satu orang di sini,” kata pria tua itu sekali lagi, dengan senyum yang semakin lebar. “Pasar ini sudah menunggu, dan sekarang adalah waktunya untuk memilih.”
Aku menatap teman-temanku. Kami semua terdiam, merasa seperti waktu berhenti. Tidak ada satu pun dari kami yang bisa mengeluarkan kata-kata. Rasanya, jika kami memilih, bagian dari diri kami akan hancur selamanya. Tetapi jika kami tidak memilih, kami akan tetap terperangkap di sini, bersama pasar yang tidak pernah benar-benar pergi.
“Apa yang kita lakukan sekarang?” tanya Indra, suaranya terputus-putus. “Kita nggak bisa terus begini. Apa kita harus meninggalkan satu di antara kita?”
Kami semua saling menatap, mencoba membaca ekspresi satu sama lain. Tidak ada yang ingin mengorbankan satu orang, tetapi juga tidak ada yang ingin terperangkap selamanya. Kami tahu bahwa pasar itu hanya ingin melihat kami saling menghancurkan, saling mengorbankan.
“Kalau kita nggak pilih, apa yang bakal terjadi?” tanya Rudi dengan suara lirih.
“Jika kalian tidak memilih, kalian akan terjebak di sini selamanya,” jawab pria tua itu, suaranya penuh dengan kepastian. “Pasar ini tidak akan memberi kalian jalan keluar tanpa pengorbanan.”
Kami terdiam. Tidak ada yang bisa berkata apa-apa. Setiap detik yang berlalu semakin menambah beratnya beban yang kami rasakan. Bagaimana kami bisa memilih satu orang untuk pergi? Teman-teman yang sudah berjuang bersama-sama, yang sudah melalui semua ketakutan ini. Tidak ada yang siap menghadapi kenyataan bahwa satu dari kami harus mengorbankan diri.
“Gue nggak tahu kalau gue bisa melakukannya,” kata Danang dengan suara penuh kebingungan. “Kita nggak bisa pilih. Semua ini terlalu berat.”
Pria tua itu hanya berdiri diam, menunggu keputusan kami. Tidak ada lagi kata-kata. Hanya ada kami yang terperangkap dalam dilema yang tak bisa kami hindari.
Kami harus membuat keputusan. Keputusan yang akan menentukan hidup atau mati kami. Tetapi, tidak ada satu pun dari kami yang siap menghadapinya. Kami hanya bisa menunggu, menunggu untuk membuat keputusan yang akan mengubah hidup kami selamanya.