‼️DILARANG ATM & PLAGIAT. KALAU MAU JADI PENULIS PIKIRKAN SAJA ALUR SENDIRI, JANGAN SUKA NYOLONG PIKIRAN PENULIS LAIN‼️
Penolakan Aster Zila Altair terhadap perjodohan antara dirinya dengan Leander membuat kedua pihak keluarga kaget. Pasalnya semua orang terutama di dunia bisnis mereka sudah tahu kalau keluarga Altair dan Ganendra akan menjalin ikatan pernikahan.
Untuk menghindari pandangan buruk dan rasa malu, Jedan Altair memaksa anak bungsunya untuk menggantikan sang kakak.
Liona Belrose terpaksa menyerahkan diri pada Leander Ganendra sebagai pengantin pengganti.
"Saya tidak menginginkan pernikahan ini, begitu juga dengan kamu, Liona. Jadi, jaga batasan kita dan saya mengharamkan cinta dalam pernikahan ini."_Leander Arsalan Ganendra.
"Saya tidak meminta hal ini, tapi saya tidak pernah memiliki kesempatan untuk memilih sepanjang hidup saya."_Liona Belrose Altair.
_ISTRI KANDUNG_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi_Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 : Permainan Dimulai
...🥀SUAMINYA LIONA BELROSE🥀...
...🎶Britney Spears _ Criminal🎶...
...Jangankan pembunuhan, kalian jatuhkan saja air mata istriku, akan aku cucurkan darah dari tubuh kalian. ...
..._Leander Arsalan Ganendra_...
...Tenangnya seorang Leander itu sangat mematikan, dia tidak perlu sebuah teriakan untuk menyatakan sebuah peperangan. Tak perlu gerakan berlebihan untuk membuktikan dirinya berkuasa. Cukup dengan satu kata ‘do it’ itu sudah menunjukkan bahwa dia tidak bisa dikuasai dan dirinya penuh kendali. ...
..._Aster Zila Altair_...
...🥀...
“Satu kali lagi, aku mohon. Sekali saja.” Leander mencondongkan tubuhnya ke arah Aster dan memegang dagu wanita itu.
“Bermain atau mati. Pilih antara dua hal itu.” Aster semakin pucat, keringatnya semakin banyak mengalir mendengar perkataan Leander barusan.
“Ayo pilih,” desak Leander.
“Bermain.” Leander kembali menyandarkan tubuhnya di sofa dan mengibaskan tangan agar Aster menjauh darinya.
Satu pengawal selesai memasang alat pada Luciana dan pengawal lain bersiap membuka tirai di dinding yang berukuran cukup besar.
Leander mengangguk pada Batara, seketika pengawal tersebut membukakan tirai itu hingga memperlihatkan sebuah layar yang mana terdapat beberapa bola kecil di dalamnya.
Pengawal itu menempelkan alat kecil ke leher Aster lalu mengangguk pada Leander.
“Permainannya sangat sederhana, Aster. Di layar itu ada lima belas bola dan di bawahnya ada lubang dengan angka. Kamu tinggal masukkan bola-bola itu ke angka yang tidak ada di tubuhnya Luciana. Karena kalau bola masuk di angka tersebut, maka alat yang tertempel di tubuh Luciana akan meledak dan memecahkan pembuluh darahnya,” jelas Leander mengenai permainan ini.
Mata Luciana membelalak kaget, karena ada lima alat di tubuhnya dengan angka 12, 03, 07, 15, dan 09. Semua angka yang tertempel adalah chip peledak yang mampu membuat korban kehilangan keseimbangan dan pecahnya pembuluh darah.
Semua angka itu tertempel di titik-titik vital tubuh Luciana, seolah Leander sengaja memilih bagian yang bisa membuat siapa pun yang melihatnya bergidik.
Angka 12 menempel tepat di sisi kanan pelipisnya, hanya berjarak beberapa milimeter dari arteri yang mengalir ke otak.
Angka 03 menempel di atas dada, sedikit miring ke arah jantung, membuat setiap napas Luciana terasa seperti menghitung detik menuju ledakan.
Angka 07 dipasang di sisi lehernya, di atas pembuluh karotis yang berdenyut jelas.
Angka 15 menempel di bawah tulang rusuk kiri, di mana limpa berada. Satu pukulan saja sudah mematikan, apalagi jika chip itu benar-benar meledak.
Dan angka 09 tertempel di perut bagian bawah, dekat dengan garis pinggang, tepat di atas pembuluh darah besar yang menghubungkan tubuh bagian atas dan bawah.
Luciana menggigil, tubuhnya menegang, seolah setiap bagian tubuh yang dipasangi angka itu kini berubah menjadi bom waktu yang siap menghancurkan dirinya kapan saja.
Leander hanya menatapnya sambil tersenyum tipis. “Kau mengerti, Aster? Satu kesalahan saja, dan wanita ini akan mati perlahan. Darahnya akan keluar dari semua jalur yang tak pernah kau bayangkan.”
Batara berdiri tegak di sisi layar, menunggu instruksi selanjutnya, sementara Aster terhuyung mundur dengan wajah pucat pasi.
Luciana menoleh pada Aster dengan tatapan memohon, agar bola yang dia masukkan tidak sampai ke lubang dengan nomor yang ada di tubuhnya.
“Let’s begin the game, shall we?” suara Leander terdengar lembut, tapi tekanannya menusuk seperti pisau yang ditempelkan ke kulit.
Batara menyerahkan alat kendali itu ke tangan Aster. Bentuknya kecil, dengan tuas dan tombol yang menyala merah samar. Begitu Aster menggenggamnya, layar besar di depan memunculkan bola-bola kecil yang berputar cepat di atas papan digital berisi lima belas lubang angka.
“Gerakkan tuasnya,” instruksi Leander dingin. “Kau yang menentukan ke mana bola itu jatuh.”
Tangan Aster gemetar hebat, suaranya tercekat ketika menjawab, “A-aku… aku tidak bisa…”
“Bisa,” potong Leander singkat, matanya menyala penuh ancaman. “Atau kau ingin melihat Luciana hancur di depanmu?”
Luciana terbelalak, tubuhnya menegang. Lima chip yang tertempel di tubuhnya berkedip samar—seperti bom kecil yang menunggu satu kesalahan fatal.
Dengan ragu, Aster menggeser tuasnya. Bola digital di layar meluncur, memantul ke dinding-dinding papan, membuat suara dentingan logam yang seolah nyata memenuhi ruangan.
Setiap pantulan membuat Aster menutup mulutnya, jantungnya serasa melompat dari dada. Luciana hampir menjerit setiap kali bola itu mendekat ke angka yang sama dengan chip di tubuhnya.
Akhirnya, bola berhenti.
Lubang angka 06 menyala hijau.
Suara tepukan Leander terdengar pelan namun jelas, menimbulkan getaran dingin di udara. “Hidupnya selamat untuk sementara.” Leander selalu membuat mental mereka berdua terguncang dengan ucapan-ucapannya itu.
Luciana terisak pelan, menunduk dengan bahu bergetar, sementara Aster jatuh terduduk di kursinya, air mata sudah memenuhi pelupuk matanya.
Leander hanya tersenyum tipis, lalu mengibaskan tangannya sekali lagi. “Ronde berikutnya. Jangan terlalu lama atau aku yang akan menekan tombol itu untukmu.”
Aster masih terisak, tetapi Leander hanya menggeleng pelan, tatapannya penuh rasa muak bercampur geli.
“Air mata tidak akan menyelamatkan siapa pun di sini. Pegang alat itu, Aster. Permainan belum selesai.”
Bagi Leander, hanya air mata istrinya saja yang mampu meluluhkan hatinya. Sementara yang lain masih bisa dia sangkal.
Tangan Aster yang gemetar kembali meraih alat kendali. Jarum jam di dinding berdetak nyaring, seakan ikut menghitung nasib Luciana. Di layar, bola baru muncul, berputar lebih cepat dari sebelumnya.
“Sekarang,” ujar Leander, suaranya turun setengah nada, dingin dan penuh kendali, “tunjukkan apakah keberuntungan masih berpihak padanya atau tidak.”
Aster menarik napas panjang, lalu menggulir tuas. Bola meluncur, memantul dengan suara dentingan keras. Tik—tik—tik. Setiap pantulan membuat semua orang di ruangan itu menahan napas.
Luciana menggigil, tubuhnya menegang kaku. Cahaya merah dari chip di lehernya berdenyut seirama dengan jantungnya.
Bola itu berputar … turun … lalu klik! Hampir masuk ke lubang angka 07, tepat di angka yang tertempel di sisi leher Luciana.
Luciana menjerit tertahan, matanya melebar panik. Chip di lehernya berkedip terang sesaat, membuat semua orang mengira ledakan itu benar-benar akan terjadi.
Namun detik berikutnya, bola terpental ke sisi lain papan. Bunyi dentingan terakhir terdengar, hingga akhirnya bola berhenti tepat di angka 14. Layar menyala hijau.
Aster terjatuh dari kursinya, tubuhnya lemas. Air matanya mengalir deras, dadanya naik turun tak terkendali.
“Aku… aku hampir membunuhnya…” suara Aster pecah dengan tangan gemetar hebat.
Leander berdiri perlahan, menepuk tangannya dua kali. Tepukan yang tenang, tapi justru terasa lebih menakutkan daripada ancaman apa pun.
“Indah sekali. Itu baru permainan,” katanya, mata Leander berkilat puas.
Luciana hampir roboh, tapi pengawal di sampingnya menahan tubuh Luciana agar tetap berdiri. Chip di tubuhnya kembali meredup, seperti bom yang baru saja dibatalkan ledakannya.
Leander berjalan mendekati Aster, lalu berbisik dengan nada datar, “Ronde ketiga akan lebih menarik. Karena keberuntunganmu tidak mungkin selalu berpihak.”
Aster menelan air ludahnya dengan wajah pucat pasi. Kali ini dia tidak memiliki peluang untuk kabur atau melawan. Sekali saja Aster membantah, bisa saja Leander akan membunuhnya detik itu juga.
“Lain kali, hidup saja dengan normal. Tidak perlu mengusik orang lain yang tidak pernah mengusikmu sama sekali,” kata Leander memperingati Aster dan Luciana.
Mata gue sembab, tissue gue abis, lagu apapun yg gue dengerrin gak bisa nenangin. Hati gue hancur lebur/Sob//Sob//Sob//Sob//Sob//Sob/