Riyani Seraphina, gadis yang baru saja menginjak 24 tahun. Tinggal di kampung menjadikan usia sebagai patokan seorang gadis untuk menikah.
Sama halnya dengan Riyani, gadis itu berulang kali mendapat pertanyaan hingga menjadi sebuah beban di dalam pikirannya.
Di tengah penantiannya, semesta menghadirkan sosok laki-laki yang merubah pandangannya tentang cinta setelah mendapat perlakuan yang tidak adil dari cinta di masa lalunya.
"Mana ada laki-laki yang menyukai gadis gendut dan jelek kayak kamu!" pungkas seseorang di hadapan banyak orang.
Akankah kisah romansanya berjalan dengan baik?
Akankah penantiannya selama ini berbuah hasil?
Simak kisahnya di cerita ini yaa!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chocoday, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketemu Mantan
Aku menghela napas lalu kembali berbalik—menoleh pada laki-laki yang sedang bergandengan dengan wanita seksi yang kutemui sewaktu kembali dari kondangan bersama dengan Hanif beberapa hari lalu.
Laki-laki itu tersenyum receh, "kamu pacaran sama dia?" tanyanya pada Hanif sembari menunjukku.
Hanif menggenggam tanganku dengan erat, "bukan pacaran. Saya calon suaminya."
Seketika laki-laki itu terkekeh dengan wanita seksi di sampingnya, "kamu yakin mau jadikan dia istri kamu? Cewek yang gak pernah dandan gini? Yang gendut kayak ibu-ibu juga?"
Hanif mengepalkan tangannya, segera ku tahan agar tidak memperpanjang masalah. Laki-laki itu menoleh padaku—sontak aku menggelengkan kepala—mengisyaratkan untuk tidak menghiraukannya.
Aku melangkah lebih depan dibanding Hanif—menghadap pada laki-laki sombong di depanku, "silahkan kamu mau berpendapat apapun. Saya sama sekali tidak peduli!!"
Aku langsung menarik tangan hanif untuk pergi dari depan toko itu.
Hanif hanya terdiam—bahkan sepanjang perjalanan. Tapi tiba-tiba, ia menghentikan motornya di pinggir jalan.
"Kok berhenti?" tanyaku heran.
"Tunggu dulu di sini ya!" pintanya lalu pergi begitu saja sebelum aku menjawab.
Sembari menunggunya, aku menyambungkan panggilan dari abang.
Abang mau ngapain telepon ya?
Perasaan dia dari pas awal pindah gak pernah bicara apapun sama aku.
"Assalamualaikum abang!"
"Waalaikumsalam neng, lagi apa kamu?"
"Lagi di luar bang,"
"Sama Hanif? Kamu sekarang berani main malem sama cowok?"
"Berani aja bang, kan gak ngapa-ngapain juga. Cuman jajan es krim,"
"Bukannya dulu si paling strict parents?"
Aku terdiam mendengarnya.
"Abang mau apa?"
"Teteh kamu akhirnya hamil. Dia katanya mau ditemenin sama kamu, karena kalau gak ada abang pas malem dia sendirian,"
Aku menghela napas mendengarnya.
"Buat dijadiin pembantu?"
"Neng jangan gitu dong!! Emangnya kamu gak mau bantu teteh kamu? Dia janji gak bakal kayak kemarin kok,"
"Nanti neng pikirin dulu,"
"Jangan banyak mikir neng! Kan kamu juga baru beberapa hari ini ngekost, gak apa-apa lah keluar gitu aja. Bapak sama mamah juga setuju kalau kamu balik lagi ke rumah abang,"
"Kapan abang bicara sama mamah sama bapak? Kok mereka gak bilang,"
"Belum kali, kan abang bicarain teteh hamil sambil minta izin buat ajakin kamu ke rumah abang lagi,"
"Neng tetep mau pikirin bang, kan sayang juga uangnya,"
"Neng, abang ganti. Berapa sih uang kost kamu?"
"800 ribu, abang mau ganti?"
"Iya abang transfer sekarang. Asal kamu mau pindah lagi,"
"Ya udah neng mau. Tapi kalau gak nyaman dan malah memperbudak neng lagi, neng mau pergi dari rumah abang dan masa bodo sama semuanya,"
"Iya neng."
Tuttttt.....
Aku menghela napas mendengarnya.
Emang jodoh cerminan diri.
Abang kelakuannya gak jauh dari teteh.
"Nih!!" ucap Hanif sembari memberikan buket bunga berwarna putih itu padaku.
Aku menoleh padanya, "kok tiba-tiba kasih bunga?"
"Ngide aja sih. Soalnya kalau kamu badmood gak enak diajak bicara," ucapnya membuatku terkekeh.
"Makasih ya!"
"Sama-sama cantik!!! Asal mood kamu balik lagi, Aa bakal selalu usahain," ucapnya lalu kembali melajukan motornya dengan santai.
"Aa gak mau tanya yang tadi siapa?" tanyaku.
"Devan kan?"
"Kok tau?" tanyaku lagi dengan wajah terkejut.
"Ya tau, ibunya aja kemarin nyebelin apalagi anaknya. Lagian kamu kenapa sih bisa pacaran sama cowok begitu?" tanyanya.
"Kan dulu buta," jawabku singkat membuatnya terkekeh pelan.
Aku mencubit perutnya yang kupeluk dari belakang, "ngetawain? kayak yang gak pernah kecintaan aja."
"Ya gak pernah lah. Orang kecintaannya cuman sama kamu, Aa juga gak pernah pacaran," jawabnya.
"Emang gak pernah suka sama orang?"
Hanif menggelengkan kepalanya, "aa jatuh cintanya sama bidadari. Makanya sampe kecintaan."
Aku mendecak mendengarnya, "aa gombal mulu."
"Lagian kamu gak pernah percaya kalau Aa bilang cantik atau misalnya bilang jatuh hati sama kamu. Kan emang bener," ucapnya.
"Abisnya omongan cowok banyak bohongnya. Devan juga dulu bilangnya aku cantik terus sayang sama aku, tapi pada akhirnya cuman kasian katanya," jawabku.
Hanif menggenggam tanganku yang memeluknya, "neng emang kamu gak perlu percaya omongan setiap cowok ataupun setiap orang. Tapi kamu gak bisa samain semua orang kayak begitu."
Aku terdiam mendengarnya—bahkan sampai di depan kost-an. Aku turun dari motornya lalu berkata, "maaf ya Aa!!"
"Udah bisa berpikir jernih sekarang?" tanya Hanif.
Aku mengangguk lalu memegang kemejanya, "jangan pasang wajah gitu!! Neng takut."
Hanif menghela napasnya lalu mengulas senyuman. Ia genggam tanganku dengan tatapan lembutnya, "neng.... wajar kalau kamu gak percaya sama omongan aa. Tapi Aa takutnya kamu gak akan pernah yakin dengan perlakuan orang lain ke kamu, padahal niatnya baik."
"Iya, neng sadar kalau Aa emang beda sama Devan. Neng juga gak bermaksud nyamain kalian, cuman omongan yang sama malah jadi trust issue buat neng," jelasku sembari mulai menangis.
Hanif menghapus air mataku, "aa minta maaf kalau malah jadi nangisin kamu ya! Kita jalani bareng-bareng, belajar semuanya sama-sama juga ya!"
"Emang aa mau jalan sama-sama, sama neng?" tanyaku.
Hanif mencubit pipiku, "ya ampun cantiknya aku ini ya!!" gemasnya.
"Ih Aa!!"
"Ya lagian kamu ini malah tanya begitu, Aa kan udah bilang kalau kita harus sama-sama belajar. Ya pasti ngajak kamu lah," ucapnya membuatku tersenyum.
"Neng mau cerita sesuatu sebenarnya, tapi ini udah malem banget," ucapku.
"Ya udah di telepon aja, mau?" tanyanya membuatku mengangguk.
"Ya udah Aa pulang dulu, nanti Aa hubungi kalau udah sampe," ucapnya lalu pamit padaku.
Setelah Hanif pamit, aku memilih untuk membersihkan badan lebih dulu lalu mengganti pakaian untuk bersiap tidur.
Tidak lama setelahnya, panggilan masuk dari Hanif membuatku langsung menyambungkannya.
"Assalamualaikum Aa, udah sampe?"
"Waalaikumsalam neng. Alhamdulillah udah sampe ini baru masuk,"
"Padahal ganti dulu baju aja, baru telepon neng,"
"Nanti tuan putri keburu bobo,"
Aku terkekeh mendengarnya.
"Mau cerita apa?"
"Aa-nya ganti baju dulu aja. Nanti neng cerita kalau Aa udah santai,"
"Ya udah sebentar,"
Terdengar suara decitan pintu lemari, laki-laki itu segera mengganti pakaiannya.
"Udah," jawabnya dengan napas yang sedikit menggebu.
Aku terkekeh mendengarnya.
"Aa buru-buru ya ganti bajunya?"
"Iya, soalnya takut banget kamu nunggu lama,"
"Ya ampun,"
"Jadi gimana? Mau cerita apa?"
Aku menceritakan kembali apa yang terjadi dan dibicarakan abang di telepon tadi.
"Menurut Aa, aku harus gimana?"
"Sebenernya Aa gak bisa kasih pendapat yang pasti, cuman Aa mau bilang sama kamu gini. Kalau misalnya kamu mau tinggal lagi di rumah abang, kan kamu juga bisa bantu-bantu teteh kamu yang hamil muda. Tapi kalau kamu ngerasa gak yakin dan gak nyaman tinggal di rumah abang kamu, mending tetep kost aja,"
"Ah Aa kok gak ngasih solusi,"
"Kan itu solusinya cantik... Jadi kamu bisa pikirin itu mateng-mateng,"
"Neng sebenernya mau aja ngurus teteh. Tapi—"
"Tapi apa?"