Sang raja terakhir tiada, dan bayangan mulai merayap di antara manusia.
Ketika dunia runtuh, satu-satunya harapan tersisa hanyalah legenda yang tertulis di sebuah buku tua. Riski, pemuda yang mencari ibunya yang menghilang tanpa jejak, menemukan bahwa buku itu menyimpan kunci bukan hanya untuk keluarganya… tetapi juga untuk masa depan dunia.
Dalam perjalanannya, ia harus melewati misteri kuno, bayang-bayang kutukan, dan takhta yang menuntut pengorbanan jiwa.
Apakah ia akan menemukan ibunya… atau justru menjadi Raja Terakhir yang menanggung beban akhir zaman?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dranyyx, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 : Arc Penjelajahan Bagian 6
Suara angin malam yang berhembus pelan, membawa hawa dingin yang menusuk ke tulang. Riski berjalan keluar dari rumah tua itu dengan pelan. Ia memegang secarik kertas petunjuk yang di tinggalkan oleh Parakan." Gubuk tua... Pria asing... " Ia menarik nafas dengan berat sembari menatap lekat ke secarik kertas itu. Ia berjalan perlahan. Mencoba mencari tahu dimana lokasi tempat itu berada.
"Kamu mencari lokasi Parakan yah." Terdengar suara samar dari balik tembok tua dari kayu itu.
"Kamu siapa lagi? Sebutkan saja kamu lawan atau kawan. Aku sedang terburu-buru." Kata Riski dengan tegas, tanpa ia menoleh sedikitpun.
"Aku? Bisa jadi kawan, bisa jadi lawan. Tergantung motif dan tujuanmu ada di duniamu ini. Tapi, secara garis besar—kamu masih masuk zona aman." Pemilik suara itu memunculkan sosoknya yang sedari tadi sembunyi di balik tembok itu.
"Aku Yellow swan." Terlihat seorang wanita yang bersetelan pakaian medieval. Pakaian itu berwarna putih dengan corak kuning.
"Suaranya seperti Dinda. Tapi aku tidak ada waktu untuk mengurus hal itu." Kalimat itu berputar terus di pikirannya. Riski menoleh sejenak." Aku tidak akan meminta tolong kepada kamu meski apapun yang terjadi."
"Kamu tidak perlu melakukan itu. Lagipula aku menolong kamu karena aku punya keperluan sedikit. Musuh dari musuhmu adalah teman."
Suasana seketika menjadi hening. Hanya suara desiran angin dan suara burung yang menghiasi ruang malam.
"Beritahukan kepadaku tempatnya. Bukan berarti aku minta tolong." Riski menatap wanita yang bertopeng itu.
"Dibelakang rumah ini, sekitar 300 meter di depan. Kamu akan mendapati jembatan dari kayu gelondongan. Lewati jembatan itu dan kamu akan menemukan kebun jagung terbengkalai. Lokasinya disitu."
Riski tak berucap apa-apa. Tak lama, wanita itu pergi meninggalkan Riski tanpa bicara apapun lagi. Ia menghilang bak tertiup angin malam.
Riski masih memegang pedang dan pisau belatinya. Ia tak akan memaafkan dirinya sendiri jika terjadi apa-apa dengan sahabat-sahabat nya. Ia menatap ke depan dan mulai berjalan dengan cepat.
"Di belakang rumah tua, bukan di depan dasar bodoh." Terdengar suara wanita dari balik tembok.
"Aku tau, kamu juga kenapa belum pergi." Riski menoleh ke samping." Tolong jaga ucapanmu jika tidak ingin kuremas mulutmu. Cih." Lanjut Riski dengan wajah memerah karena malu.
Riski kemudian menoleh sekilas ke belakang—napasnya memburu, dadanya naik turun. Tangan kanannya menggenggam erat gagang pedang yang dinginnya menusuk telapak. Tanpa ragu ia menerobos pagar kayu di belakang rumah, kakinya menghantam tanah basah yang licin.
Angin malam menyapu wajahnya, membawa aroma tanah lembap dan dedaunan busuk. Di sekitarnya, suara jangkrik bersahutan, ritmenya teratur seperti genderang perang alam. Kodok rawa memanggil dari balik lumpur, sesekali diiringi cipratan air yang memecah keheningan.
Namun ada sesuatu yang lain—desis lirih yang tak berasal dari hewan. Di sudut matanya, Riski menangkap siluet pucat bergerak di antara batang pohon, terlalu cepat untuk dikenali. Bayangan itu lenyap begitu ia menoleh. Ia masih fokus ke tujuannya tanpa ingin terlibat dengan hal yang tidak penting.
Langkahnya terhenti ketika geraman rendah terdengar dari kegelapan. Mata-mata berkilat muncul satu per satu, delapan pasang, mengitari. Anjing-anjing liar keluar dari semak, bulu mereka kusut, gigi terhunus berkilau dalam cahaya bulan.
Riski menyiapkan kuda-kuda. "Come on baby... Akan Kucincang kalian semua...!" Teriak Riski memecah keheningan malam di hutan belantara.
Anjing pertama menerjang—Riski mengayunkan pedang, bilah baja itu memantulkan cahaya pucat sebelum menghantam sasarannya. Pekikan melengking memecah malam. Dua ekor lagi melompat dari sisi, tapi ia memutar tubuh, tebasannya memotong udara dan bulu, memaksa mereka mundur. Darah segar dari anjing liar itu terciprat membasahi daun yang sudah basah oleh embun malam. Ia menarik nafas panjang. Matanya liar menatap ke segala penjuru arah.
Di balik barisan pepohonan, makhluk tinggi berwajah kabur berdiri diam, matanya merah redup. Ia tak bergerak, hanya mengawasi… lalu menghilang seperti kabut tertiup angin.
Pertarungan berlangsung singkat namun sengit. Nafas Riski berat, pedangnya berlumur lumpur dan darah. Ketika kawanan itu akhirnya mundur, hanya suara detak jantung dan desir angin yang tersisa.
Ia mengangkat pandangan. Di hadapannya, jembatan balok tua berdiri di tengah kabut tipis yang menggantung rendah di udara. Jembatan tua yang sudah tak memiliki tali pegangan, terlihat sedikit lapuk dan berlumut.
Riski berdiri diam beberapa detik, menggenggam pedang lebih erat.
Suara desiran air sungai mengalir deras, diiringi oleh suara jangkrik dan kodok sungai. Ia berjalan perlahan. Di tepi sungai ia membersihkan pedang dan pisau belatinya. Tapi matanya tetap awas. Perhatiannya tak sedikitpun teralihkan oleh sesuatu apapun itu. Ia pun melanjutkan perjalanannya. Ia berjalan perlahan melewati jembatan balok kayu, Tapi, karena lumut yang licin, ia hampir terjatuh ke bawah. Ia bergelantungan dengan memegang balik yang bisa untuk berpegang. Ia menarik tubuhnya dengan sekuat tenaga untuk naik keatas. Saat ia sudah berdiri lagi, ia berjalan perlahan dan hati-hati. Akhirnya ia sampai di ujung jembatan. Ia berlari sekuat tenaga masuk menuju ladang jagung terbengkalai.
Ia sampai di ladang jagung tua, nafasnya tersengal-sengal karena ia sedikit kelelahan. Ia mengatur nafasnya lagi.
Dari kejauhan tampak sebuah bangunan tua, pabrik pengolahan jagung dengan gudang yang besar. Ia berjalan perlahan, bersembunyi di balik rumput dan ilalang. Terlihat beberapa orang bertudung hitam mondar-mandir mengelilingi gudang tua. Mereka memegang pedang dan ada juga yang memegang senjata api rakitan ilegal.
Malam begitu hening, hanya suara jauh jangkrik dan desir angin yang menyapu permukaan tanah. Bulan separuh tergantung di langit, memandikan ladang tua dengan cahaya pucat kebiruan.
Riski berdiri di tepi lahan kosong, jemarinya menggenggam gagang pedang. Uap napasnya terlihat jelas di udara malam yang dingin.
Krkk…
Suara rumput terinjak—halus, tapi jelas.
Ia berbalik secepat kilat. Pedangnya terangkat, berkilau singkat saat memantulkan sinar bulan. Udara terbelah oleh desingan baja, namun sebelum bilah itu mengenai sasaran, sebuah suara familiar membelah ketegangan.
“Tenang! Itu aku!” Langkah Yellow Swan muncul dari bayangan, mantel panjangnya bergoyang pelan. Rambutnya sedikit berantakan, matanya sempat melirik pedang yang hampir saja menyentuhnya.
“Kau hampir membuat kepalaku melayang,” katanya dengan nada setengah bercanda.
Riski menghela napas, menurunkan pedang. “Jangan mendekat seperti itu. Suara langkahmu seperti angin.”
Yellow Swan menatap ke arah utara, ke sebuah bangunan tua yang hanya terlihat sebagian di balik gulungan kabut. Atapnya reyot, jendela-jendelanya gelap.
“Itu gudangnya?” tanya Riski.
Yellow Swan mengangguk. “Kita masuk dari belakang. Ada celah di dekat pagar. Kalau lewat depan, mereka akan melihat kita sebelum sempat masuk.”
Riski menatap ke arah yang dimaksud. Ladang jagung tua membentang—batang-batang kering setinggi dada, daun-daunnya bergesekan menimbulkan bisikan seperti rahasia yang tak ingin terungkap.
“Di antara itu?”
“Ya. Mereka tidak akan mengira kita lewat sana. Tapi sekali kita masuk, tidak ada jalan mundur.”
Angin malam bertiup, membuat jagung kering bergoyang seperti ribuan tangan yang melambai. Riski dan Yellow Swan saling bertukar pandang—kesepakatan tanpa kata.
Lalu, mereka bergerak menuju gelapnya ladang.
Bersambung