KETOS ALAY yang sedang mengincar murid baru disekolahnya, namu sitaf pria itu sangat dingin dan cuek, namun apakah dengan kealayannya dia bisa mendapatkan cinta Pria itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayinos SIANIPAR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 35
Hari ini adalah hari ujian pertama. Tentunya Hanifa harus mengikutinya secara daring, dari kamar rumah sakitnya yang serba putih. Walaupun ujian dilakukan secara daring, Hanifa mengerjakannya secara jujur dan tekun. Ia membolak-balikkan kertas coret-coretannya, menuliskan rumus-rumus dan perhitungan, mencari jawaban di antara tumpukan pemikirannya sendiri. Ya, mata kuliah pertamanya tentunya Fisika. Sebuah mata kuliah yang menguras energi dan pikiran. Apa tidak stres kepala ini, berpikir keras sambil mencoba pulih dari sakit? Pelipisnya sedikit berkerut, bibirnya sesekali komat-kamit membaca soal.
Sedangkan Alvaro, yang ujiannya sudah selesai dari minggu lalu, sudah bisa tenang dan bersantai. Ia hanya duduk di kursi samping ranjang Hanifa, mengamati gadis itu yang sedang berjuang melawan soal-soal Fisika dan rasa laparnya. Varo tahu, Hanifa belum makan sama sekali sejak pagi, dan itu membuatnya khawatir.
"Makan dulu, yuk," ajak Varo dengan nada lembut, sembari membawa semangkuk bubur hangat untuk sarapan Hanifa. Bubur itu mengepulkan uap tipis, aromanya samar. Seperti biasanya, Nifaa tak melepaskan pandangannya dari kertas ujiannya sedikit pun. Tangannya terus sibus mencoret-coret, menghitung angka-angka rumit yang hanya ia pahami.
"Jangan ganggu aku dulu," ujar Hanifa tanpa menoleh, suaranya sedikit teredam konsentrasi, ia terus menulis angka-angka di kertasnya itu.
"Kalau kamu telat makan, berarti minum obatnya juga telat," ujar Varo dengan nada sedikit rewel, sebuah teguran yang sarat perhatian. "Heh, menyebalkan. Bukankah biasanya yang rewel itu wanita?" batin Varo geli, menyadari betapa ia terdengar seperti ibu-ibu yang mengomel.
"Nanti aku akan makan, tapi sebentar, ya. Jangan berisik, nanti aku tidak konsentrasi," ujar Hanifa menatap Varo dengan kesal, matanya menyipit karena terganggu. Varo terkekeh kecil, melihat ekspresi kesal yang justru terlihat menggemaskan itu. Tanpa banyak bicara, Varo menyodorkan satu suapan bubur ke bibir Hanifa.
"Ya sudah, kamu fokus mengerjakan, aku yang menyuapi," ujar Varo lembut, suaranya mengandung otoritas yang menenangkan, dan ia menyuruh Hanifa membuka mulut. Hanifa, yang tidak ingin memperpanjang perdebatan atau membuang-buang waktu berharganya untuk ujian, akhirnya menurutinya. Ia membuka mulutnya, membiarkan suapan bubur masuk, sementara matanya tak berkedip dari kertas soal di tangannya. Alvaro melihat Hanifa yang sangat fokus belajar. Dedikasi dan ketekunannya membuat Varo sedikit kagum. "Pantas saja dia mau jadi dokter, ternyata dia serajin ini," pikir Varo dalam hatinya, sambil menatap kagum gadis di hadapannya. "Pasti Kak Melin dulu begini juga, telaten dan cerdas."
Varo dengan sabar menyuapi bubur itu ke Hanifa, sesendok demi sesendok, sampai makanan itu habis tak bersisa di mangkuk. Setelah bubur habis, Varo memberinya minum dengan sedotan. Ketika Hanifa menyeruput air, tanpa sengaja tangan Varo mengusap bibir Hanifa yang ada remahan nasi di sudut bibirnya. Sentuhan itu sangat lembut dan tak terduga. Tangan Hanifa yang sedari tadi terus menulis, tiba-tiba berhenti. Jantungnya berdebar pelan.
"Aku mau disuapi kamu karena terpaksa, bukan berarti kamu bebas memegang bibirku," ujar Hanifa kesal, menatap Varo tajam, mencoba menyembunyikan keterkejutannya. Pipi Hanifa sedikit merona, entah karena marah atau malu. Alvaro tersenyum tipis, menangkap perubahan ekspresi di wajah gadis itu.
"Aku hanya mengambil nasi di sudut bibirmu," ujarnya santai, sembari menunjukkan sebutir nasi yang bertekstur lembut itu di ujung jarinya. Setelah itu, tanpa ragu, ia memakan nasi itu.
"Ihh, jorok sekali sih kamu! Bekas bibirku kamu makan!" ujar Hanifa kesal, matanya membelalak, lalu ia memukul lengan pria itu dengan keras. Rasa kaget dan jijik bercampur aduk, namun ada juga sedikit geli yang tak bisa ia pungkiri.
"Aduh, sakit!" ujar Varo meringis, mengusap lengannya yang dipukul Hanifa, namun senyumnya tak hilang.
"Sebentar, itu kan bekas bibirku... ke bibirmu... artinya..." Hanifa menggantungkan kalimatnya, otaknya mulai memproses implikasi dari tindakan Varo itu. Wajahnya semakin merona. Varo melihatnya dan dengan cepat memotong pembicaraan Hanifa.
"Sudah, kamu kerjakan soal Fisikamu saja, nanti telat!" ujar Varo, mengabaikan pembicaraan yang mulai mengarah ke arah yang canggung namun menarik itu. Hanifa langsung melihat jam di ponselnya, matanya membelalak menyadari waktu yang tersisa. Ia bergegas mengalihkan pikirannya, kembali fokus sepenuhnya untuk mengerjakan tugasnya yang belum selesai. Hanifa kembali tenggelam dalam rumus-rumus dan perhitungan, melupakan sejenak kejadian yang baru saja terjadi. Hingga akhirnya, bel berbunyi menandakan waktu ujian telah usai. Sebuah desah lega keluar dari bibirnya. Ia pun memotret jawabannya dan mengumpulkannya ke Google Classroom.
Karena merasa lelah luar biasa, seluruh energinya terkuras habis, akhirnya ia memilih untuk tidur. Ia memejamkan mata, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam kelelahan yang nyaman. Sedangkan Varo, yang sedari tadi mengamati, meraih kertas ujian Hanifa yang sudah selesai. Ia meneliti coretan-coretan Hanifa, melihat tulisan rapi dan alur berpikir yang jelas. Varo takjub melihat gadis itu. "Bahkan dengan menyandang status sebagai Ketua OSIS, selalu menghadiri rapat-rapat yang panjang, ditambah lagi sedang sakit, tapi pelajarannya tidak pernah ketinggalan," ujar Varo dalam hatinya, takjub pada ketangguhan dan kecerdasan Hanifa. Ada rasa hormat yang mendalam tumbuh dalam dirinya. Gadis ini bukan hanya cantik, tapi juga memiliki tekad dan kecerdasan yang luar biasa.
HOLLA GUYS JANGAN LUPA UNTUK LIKE DAN KOMENNYA YAH
akumaudibintangi