JATUH KEPELUKAN SANG PANGERAN
Zhao, putri bangsawan yang terkenal cantik dan keras kepala, kembali membuat kehebohan di kediaman keluarganya. Kali ini, bukan karena pesta atau keributan istana… tapi karena satu hal yang paling ia hindari seumur hidup: perjodohan!
Dirinya dijodohkan dengan Pangeran Wang pangeran kerajaan yang dikenal dingin, tegas, dan katanya... kejam?! Zhao langsung mencari cara kabur, apalagi hatinya telah tertambat pada sosok pria misterius (pangeran yu) yang ia temui di pasar. Tapi semua rencana kacau saat ia malah jatuh secara harfia ke pelukan sang pangeran yang tak pernah ia pilih.
Ketegangan, kekonyolan, dan adu mulut menjadi awal dari kisah mereka. Tapi akankah hubungan cinta-benci ini berubah jadi sesuatu yang lebih hangat dari sekadar perjodohan paksa?
Kisah cinta kerajaan dibalut drama komedi yang manis, dramatis lucu, tegang dan bikin gemas!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarah Siti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEMBALI TANPA NAMA
TUJUH TAHUN KEMUDIAN
Suara pasar perbatasan menggema riuh, bercampur dengan teriakan para pedagang yang menawarkan dagangannya. Di tengah keramaian itu, seorang wanita berambut panjang terikat tinggi melangkah cepat sambil menenteng dua ekor kelinci hutan yang masih segar. Wajahnya cantik, tapi tatapannya menyala liar jelas bukan wanita biasa.
"Lian...!" suara berat namun jernih terdengar dari arah gerobak dagang paling besar di sisi utara pasar.
Wanita itu menoleh, bibirnya melengkung nakal. "Aku cuma keluar sebentar, kakak. Lihat nih, makan malam kita!" ujarnya sambil mengangkat kelinci-kelinci yang sudah tak berdaya.
Yuan, pria bertubuh tegap dengan jubah sederhana namun tatapan tajam seorang pendekar, berdiri dengan tangan terlipat di dada. Ada nada kesal di matanya, tapi juga secercah rasa lega.
"Berapa kali aku bilang, kau tak perlu berburu kalau hanya untuk makan malam," ucapnya datar.
"Kalau begitu, siapa yang akan mengajari kelinci-kelinci malang itu cara menyerah dengan terhormat?" sahut Lian santai, membuat beberapa pedagang di sekitar mereka tertawa kecil.
Yuan menghela napas panjang, lalu melangkah mendekat. "Kalau kau terus begini, aku khawatir suatu hari kau akan membawa pulang masalah, bukan kelinci," gumamnya sambil mengambil hasil buruannya. Namun matanya tetap menatap lekat-lekat, seolah memastikan Lian benar-benar pulang tanpa luka.
Tak ada yang tahu bahwa tujuh tahun lalu, di tengah kekacauan istana dan perang saudara, Yuan membawa lari Lian yang sekarat akibat racun. Butuh waktu dua tahun penuh baginya, dengan bantuan gurunya, untuk menetralkan racun itu. Saat Lian akhirnya membuka mata… ia tak mengingat apa pun tentang masa lalunya.
Bagi Yuan, itu adalah anugerah. Lebih baik Lian hidup bebas di dunia luar, menjadi gadis liar yang tertawa keras di pasar, daripada kembali menjadi wanita yang setiap hari dihantui intrik istana.
Namun ia juga tahu cepat atau lambat, masa lalu akan menemukan mereka.
Langkah kaki Lian terhenti ketika melihat segerombolan pria berwajah kasar menodongkan pedang ke arah seorang anak laki-laki yang memeluk sekeranjang apel. Mata Lian langsung menyipit.
“Bocah itu berutang pada kami, jadi barangnya jadi milik kami,” ucap salah satu bandit, menarik keranjang itu. Anak itu berteriak, “Bukan! Ini untuk Ibu!”
Tanpa pikir panjang, Lian melemparkan kelinci buruannya tepat ke kepala si bandit. “Hei! Kalau mau berkelahi, lawan yang sepadan! Atau kalian cuma bisa melawan anak kecil?” teriaknya sambil melangkah maju.
Bandit itu memicingkan mata, menatap wanita muda dengan pakaian sederhana tapi gerakan penuh percaya diri. “Kau ini siapa?”
“Orang yang akan membuat kalian menyesal lahir ke dunia kalau berani menyentuh anak itu,” jawab Lian sambil menghunus pisau belati yang selalu ia sembunyikan di pinggangnya.
Beberapa detik kemudian, keributan pecah. Lian bergerak cepat, menghindari tebasan dan membalas dengan pukulan keras ke dagu salah satu bandit. Dua orang lainnya tumbang setelah ia tendang tepat di perut. Pasar jadi heboh sebagian penonton bersorak, sebagian lagi kabur karena takut.
Di tengah kekacauan itu, sebuah suara berat menggema. “LIAN ER!”
Lian menoleh, dan wajahnya sedikit menciut saat melihat kakaknya berjalan mendekat dengan langkah panjang, tatapannya tajam seperti pisau. “Aku cuma… membantu,” ujarnya sambil tersenyum canggung.
“Membantu? Kalau kau ingin membantu, ada banyak cara yang tidak melibatkan membuat tiga bandit pingsan di tengah pasar,” ujar Yuan datar. Ia lalu mengangkat tangannya, dan semua bandit yang masih sadar langsung mundur, jelas mengenali reputasi Yuan sebagai ketua kelompok pedagang yang disegani dan ditakuti.
Yuan menoleh pada anak kecil yang masih gemetar, lalu menepuk kepalanya. “Pulanglah pada ibumu.”
Saat kerumunan mulai bubar, Yuan menatap Lian lama. “Kau beruntung aku yang menemukanmu duluan. Kalau bangsawan yang punya hubungan dengan bandit ini lebih dulu yang tahu, kita akan dapat masalah besar lagi.”
Lian mengangkat bahu. “Masalah itu seperti bumbu dalam hidup, kakak. Kalau hambar, untuk apa hidup?”
Yuan mengusap wajahnya, separuh kesal separuh menyerah. Meski begitu, di dalam hatinya ada rasa hangat. Tujuh tahun berlalu, ia masih bisa melihat Lian tertawa, berjalan, dan bernafas. Itu saja sudah cukup baginya… untuk sekarang.
Namun jauh di lubuk hatinya, ia tahu dunia luar tidak akan selamanya cukup luas untuk bersembunyi dari masa lalu mereka.
Sudah lewat tujuh musim dingin sejak pemberontakan di istana. Di tempat yang jauh dari keramaian ibu kota, di antara padang rumput dan hutan yang lebat, seorang gadis muda dengan tatapan tajam dan kaki yang lincah melompat turun dari punggung kudanya sambil membawa busur panjang dan seekor rusa di pundaknya.
“Lian Er!” teriak seorang lelaki dari kejauhan, suaranya penuh tekanan, “Kau keluar lagi tanpa izin, dan ini sudah kali keberapa kau melanggar batas wilayah para bangsawan?!”
Gadis itu tertawa, suaranya lepas seperti angin liar, “Tapi lihat hasilnya, kakak! Kita akan makan enak lagi!” katanya sembari melempar rusa itu ke atas tumpukan kayu.
pria muda yang mengenakan pakaian sederhana namun sikapnya penuh wibawa itu, hanya bisa menghela napas panjang. Ia mendekat dan memeriksa luka kecil di lengan gadis itu. “Kau terluka lagi… dan kau bahkan tidak merasa bersalah?”
Lian mengedipkan matanya. “Ah, luka kecil begini nggak akan bikin aku mati kok.” Ia melompat ke belakang, berdiri di atas tong kayu dengan gaya teatrikal. “Lian tak terkalahkan!”
Yuan menahan senyum, tapi tetap menatapnya serius. “Aku tak ingin kau mengulang luka tujuh tahun lalu, Lian. Apa kau lupa bagaimana tubuhmu hampir… mati?”
Gadis itu mengernyit, lalu mengangkat bahu. “Aku nggak ingat. Tapi tiap kali kau bicara soal masa lalu, wajahmu selalu seperti orang yang kehilangan sesuatu yang sangat berharga.”
Yuan terdiam. Sesaat ada bayangan memori yang muncul di kepalanya wajah seorang wanita yang pucat saat melahirkan, racun yang menghancurkan tubuhnya, dan perjuangannya menyembuhkan nya dengan bantuan gurunya yang tinggal di gunung terlarang.
“Aku menghapus ingatanmu agar kau bisa hidup tanpa beban, Zhao... meski bagiku, setiap hari adalah pengingat bahwa aku mencintaimu diam-diam dan tak bisa memilikinya.”
Yuan menggeleng pelan, menepis pikiran itu. Ia menatap Lian , yang sekarang tengah asyik membuat api unggun sambil bernyanyi lagu daerah dengan suara fals yang menyebalkan.
“Kadang aku tak tahu harus bersyukur atau menangis karena kau berubah jadi seperti ini…” gumamnya.
Malam itu, langit mendung menggantung. Angin pegunungan bertiup lembut, namun cukup dingin menusuk tulang. Di dalam pondok kayu sederhana mereka, Yuan duduk di sisi ranjang, menatap Lian yang meringkuk sambil memegangi dadanya.
"Apa sesak lagi?" suara Yuan pelan, penuh kecemasan. Ia lalu menyandarkan kepala Lian ke dadanya, membelai rambutnya lembut, mencoba menenangkan.
Lian mengangguk pelan, wajahnya pucat dan penuh keringat dingin. Nafasnya berat, seperti ada beban tak terlihat yang menghimpit dadanya.
"Sudah beberapa tabib memeriksamu," lanjut Yuan dengan nada lembut namun getir, "tak ada satu pun yang bilang itu penyakit."
Lian menggigit bibirnya. "Lalu kenapa aku terus merasa seperti ini, Kak? Rasanya... menyiksa sekali..."
Yuan menarik napas dalam-dalam, berusaha menyembunyikan rasa bersalah yang kerap menghantuinya. "Entahlah. Tapi aku yakin kau baik-baik saja. Luka di dalam hati memang tak selalu terlihat. Tapi... kau tidak sendirian. Aku di sini."
Lian memejamkan matanya perlahan. Kehangatan dada Yuan menenangkannya, seperti rumah yang ia tak pernah tahu pernah ia miliki atau tidak. Dan dalam pelukannya, Lian pun tertidur.
Yuan menunduk menatap wajah gadis itu. Bibirnya bergerak tanpa suara, hanya dalam batin, ia berseru pelan,
“Apa kau benar-benar tidak mengingat sedikit pun... masa lalumu, Zhao?”
Keesokan paginya, seluruh kelompok perdagangan sedang bersiap untuk perjalanan besar. Setelah bertahun-tahun membangun jaringan kecil, kini Yuan mulai diincar oleh banyak bangsawan dan pedagang besar. Mereka ingin bekerja sama, dan untuk itu, Yuan harus membuka pusat perdagangan baru di... ibu kota.
“Jadi... kita pindah?” tanya Lian, sedikit heran. “Aku kira kau benci ibu kota.”
“Bukan benci,” sahut Yuan sambil mengikat pergelangan kudanya. “Tapi terlalu banyak kenangan yang ingin kuhindari. Tapi sekarang... sepertinya sudah waktunya kembali menghadapi semuanya.”
Lian berdiri sambil mengangkat alis. “Apa aku akan bertemu banyak bangsawan menyebalkan dan tuan muda sok keren?”
Yuan terkekeh. “Mungkin. Tapi jangan buat keributan lagi. Kalau kau ditangkap karena menghajar anak gubernur seperti waktu itu, aku tidak akan bisa menyelamatkanmu di ibu kota.”
Lian mendengus. “Kalau mereka cari gara-gara duluan, jangan salahkan aku.”
Yuan juga memberikan satu peringatan serius.
"Jika kau bertemu dengan siapa pun dari keluarga istana," katanya, dengan wajah serius yang jarang Lian lihat, "hindarilah mereka. Jangan terlalu dekat. Jangan menarik perhatian."
Lian memiringkan kepala, bingung. "Kenapa? Apa kita punya urusan dengan mereka?"
Yuan menunduk sebentar, lalu menjawab tegas, "Kita adalah anak buronan yang sedang menyembunyikan diri. Kita harus tetap waspada."
Lian mengangguk patuh. “Baik, Kak. Aku akan berhati-hati.”
Beberapa saat kemudian,
Dua penunggang kuda memasuki batas luar ibu kota saat matahari nyaris tergelincir ke barat. Debu menempel di jubah dan wajah mereka, namun tak sedikit pun terlihat lelah terutama gadis yang menunggang kuda di depan.
“Kita sudah sampai!” seru Lian lantang sambil menarik tali kudanya agar berdiri sedikit. “Hidupku baru saja dimulai, Ibu kota... tunggulah aku!”
Yuan yang berada di belakangnya hanya mendesah panjang, mengusap peluh di dahinya. “Turun dulu dari kuda sebelum kamu mencuri perhatian penjaga.”
Tapi tentu saja gadis itu tak mendengarnya.
Lian menatap megahnya ibu kota dari kejauhan, senyum lebarnya tak bisa disembunyikan. Ada kilau kebebasan di matanya, juga rasa ingin tahu yang berlebihan.
Ia memacu kudanya lebih cepat, berlari melewati gerbang kota, lalu berputar satu putaran penuh di pelataran jalan utama seperti ksatria yang baru pulang perang.
“Wahaha! Lihat itu, ada toko obat! Dan itu, itu toko pedang! Kita harus beli pedang baru, kak!” serunya dengan mata menyala-nyala.
Yuan menyusul perlahan sambil menggertakkan gigi. “Kita kemari bukan untuk main.”
“Aku tahu, kita ke sini buat berdagang, kan? Tapi, masa nggak boleh senang-senang sedikit?”
Yuan tak menjawab. Pandangannya telah kosong, tenggelam dalam arus kenangan yang tiba-tiba menyerbu dari segala arah. Jalanan yang mereka lewati sekarang adalah jalan yang dulu sering ia lintasi bersama Zhao, Meilan, dan... Pangeran Jaemin.
Semua kenangan itu masih jelas di ingatannya tawa Meilan yang khas, rengekan Zhao yang ceroboh dan selalu membuat masalah, serta senyum tipis Pangeran Jaemin yang sering mengalah demi kebahagiaan mereka bertiga.
Dan... kakaknya Pangeran Wang, yang kini menjadi Putra Mahkota. Sosok itu... tak lagi bisa ia dekati.
"Kakak... kumohon... jangan pernah memaafkanku..." batinnya lirih.
---
Mereka memilih tinggal di sebuah rumah sewaan kecil di kawasan pinggiran. Tempatnya cukup tenang, tapi strategis untuk para pedagang atau pengembara seperti mereka.
Saat malam tiba, Yuan sibuk mengatur barang di dalam, sementara Lian masih di luar, duduk di bawah pohon sambil makan apel.
“Aku tidak mau tidur malam ini! Aku ingin keliling kota! Pasti banyak penjambret atau preman yang bisa kuhadapi!” serunya.
Yuan keluar dengan wajah dingin. “Lian. Kita tidak sedang di pegunungan. Ini ibu kota. Kalau kamu buat masalah, yang datang bukan preman tapi penjaga istana. Dan kamu tahu siapa penguasa tertinggi kota ini, kan?”
Lian diam sejenak. Kemudian tersenyum lebar. “lalu dia akan mendatangimu dan mencariku, lalu menangkapku dan memenjarakanku, astaga ibu kota sekejam itukah.”
Yuan menutup mata, menarik napas dalam-dalam.
Kenapa rasanya... dia sedang membesarkan kembali Zhao yang dulu
Namun yang satu ini... lebih lincah, lebih bebas, dan lebih sulit dikendalikan.
Yuan duduk di teras, memandangi langit malam. Bayangan masa lalu menari dalam pikirannya. Kota ini adalah saksi kejatuhannya... dan kini, ia kembali membawa Zhao dalam bentuk lain.
Semoga kali ini, ia tidak gagal melindunginya.
Pasar ibu kota pagi itu ramai bukan main. Lian seperti anak kecil lepas kandang berlari ke sana-sini, mencoba kue beras dari pedagang tua, mengobrol dengan penjual bunga, hingga menawar pedang kecil dengan nada nyolot yang bikin pedagangnya garuk-garuk kepala.
“Hei, Pak Tua! Masa pedang begini doang harganya segitu? Ini mah buat ngupas buah, bukan buat bertarung!”
“Kalau buat kamu, ya cukup itu. Badanmu aja segitu doang,” ejek si pedagang.
Lian mengangkat alis. “Mau duel kita sekarang?”
Sebelum benar-benar rusuh, Yuan menarik kerah bajunya dari belakang dan menyeretnya menjauh.
“Kamu bikin masalah lagi.”
“Aku cuma nawar, kakak! Nih, lihat, ada banyak preman tuh di ujung jalan! Gatal tanganku.”
Yuan menghela napas dan melanjutkan jalan, tapi tentu saja dunia tak pernah tenang kalau ada Lian di sekitarnya.
Saat mereka melewati gang sempit, suara jeritan seseorang membuat Lian reflek berhenti. Seorang perempuan berlari sambil memeluk kantong kecil di dadanya, dikejar dua pria bertubuh besar dengan wajah kasar.
“Cepat serahkan dompetnya, dasar pengemis kecil!”
Tanpa pikir panjang, Lian menendang gentong di pinggir jalan hingga menggelinding dan menghantam kaki salah satu pria.
“Kalau berani sentuh dia, lutut kalian takkan bisa dipakai jalan lagi!” serunya lantang.
Anak kecil itu berlindung di belakang Lian yang langsung berdiri sigap, kuda-kuda terbuka.
"Astaga jangan bilang dia mulai lagi..." gumam yuan
Dua pria itu mencibir. “Dasar perempuan gila!”
Tapi sedetik kemudian, salah satunya terkapar dengan siku Lian yang menghantam tepat di dagu. Yang satunya mundur, panik.
Namun sebelum Lian sempat mengejar, suara langkah berat terdengar. Tiga penjaga istana berseragam lengkap muncul dari ujung jalan, menatap tajam ke arah keributan.
“Apa yang terjadi di sini?!”
Wajah Lian langsung berubah dari ganas jadi polos.
“Aku... hanya main-main?”
Yuan langsung maju dan menggenggam pergelangan tangan Lian, menyeretnya cepat-cepat menjauh.
“Maaf, Tuan Penjaga! Adikku sedikit ceroboh, tapi tidak jahat!” katanya sambil membungkuk dalam, lalu kabur bersama Lian sebelum penjaga itu sempat bertanya lebih jauh.
---
Mereka baru berhenti di gang buntu dekat toko tembikar, napas masih terengah.
“kakak! Aku menyelamatkan anak kecil! Masa harus kabur juga?” protes Lian.
“Kalau kamu bikin keributan di ibu kota dan ditangkap penjaga istana, kita tamat.”
Lian menatapnya bingung. “Kenapa sih kamu segitu takutnya sama istana?”
Yuan menunduk sebentar. “Karena istana itu... bukan tempat main.”
“Hmm...” Lian menyipitkan mata, lalu menyenggol lengannya. “Kamu sembunyiin sesuatu ya? Tapi... nggak apa-apa. Aku nggak akan maksa.”
"Aku kan sudah pernah bilang jika kita itu adalah anak buronan, jadi jaga sikapmu selama di sini" ucap yuan
“Ah baiklah, aku juga punya rahasia. Aku pernah hampir dihukum mati karena nekat masuk ke rumah pejabat buat nyolong daging... jadi kita impas, ya?”
Yuan akhirnya tertawa kecil.
Perjalanan mereka baru saja dimulai... dan masalah sepertinya akan datang silih berganti.