One Night Stand With Tuan A

Tepat pukul satu dini hari. Naima mendapatkan pesan dari nomor yang tidak dikenal. Setelah membacanya, tiba-tiba tubuh Naima menegang. Dia membanting ponselnya ke sembarang arah.

"Berani sekali dia mengancam seorang Haura Naima Syah. Dia belum tahu aku ini siapa! Lihat saja kalau nanti aku bertemu dengannya. Aku pastikan, hari ini adalah hari terakhir baginya menghirup udara di dunia." geram Naima. Dia bergegas pergi ke tempat tujuan, tak lupa membawa pistol dan masker. Dirinya juga memakai jubah hitam serta sarung tangan.

[Hai, Tuan Putri keluarga Syah. Apa kau mengenalku? Aku satu-satunya orang yang menjadi saksi kebejatanmu. Kau menghabisi orang yang tidak bersalah. Kedok mu akan terbongkar jika kau tidak menemui ku malam ini. Aku menunggumu di gudang, tempat yang menjadi saksi bisu kematian Diana.]

"Aku yakin orang itu pasti menginginkan uang. Cih! Permainan kotor macam apa ini? Bukan uang yang kau dapatkan, tapi kematian. Kau datang pada orang yang tepat." ucap Naima sambil menyetir mobilnya.

Beberapa menit melakukan perjalanan, kini Naima telah sampai di gudang yang sudah hampir satu tahun tidak dia kunjungi. Dirinya masuk ke dalam sana, tempat itu terlihat sepi, seperti tidak ada jejak siapapun disana.

Terdengar suara derap langkah yang menggema di dalam gudang itu. Delia muncul dengan penyamarannya. Dia memakai wig pendek berwarna hitam, kacamata, dan meletakkan tahi lalat buatan di bawah bibirnya. Wajahnya pun dia dempul segelap mungkin agar Naima tidak mengenalinya.

"Langsung saja, apa maumu? Untuk apa kau mengancam ku seperti itu?" tanya Naima bersuara setelah tatapan mereka beradu.

Delia tersenyum, dia harus berpura-pura memeras Naima agar tidak dicurigai. "Aku butuh uang." dia pun mengubah suaranya.

"Sudah kuduga." Naima tersenyum miring. "Kau tau sedang berurusan dengan siapa? Sudah dua tahun Kematian Diana, dan tidak ada yang menangkap ku. Bahkan, tidak ada yang mencurigai ku sama sekali. Jadi, apa kau ingin memiliki nasib yang sama seperti Diana?" tanyanya dengan mata yang penuh kemarahan.

Delia menelan ludah dengan susah payah. Dia tahu, inilah resikonya jika berurusan dengan Naima. Wanita itu sangat nekat, dan bisa saya menghabisinya kapan saja.

"Maaf, Nona Syah. Aku hanya butuh sedikit uang, untuk pengobatan orangtuaku. Jika tidak, mana mungkin aku mengungkit kembali masa lalu mu ini." alasan yang ada di benak Delia.

"Cih! Orang-orang sepertimu memang cocok menjadi penj*ilat. Tapi, ada satu pertanyaan untukmu. Jika aku memberimu uang apa kau akan tutup mulut?" tanya Naima memastikan dan dijawab anggukan oleh Delia.

"Aku berjanji." ujarnya menjawab.

"Bagus!" Naima mengeluarkan amplop berwarna cokelat, dia melemparkannya tepat di wajah Delia. "Ambil dan pergilah sebelum aku berubah pikiran." usirnya.

Delia sudah cukup dengan bukti pengakuan yang ada di depannya saat ini, ternyata kecurigaannya itu benar. Naima adalah dalang dibalik kematian Diana, dan dia sepertinya sengaja menjebak Aryan.

Delia berjalan pergi sambil membawa amplop yang berisikan uang itu, jantungnya berdegup kencang memikirkan bagaimana jika ini hanyalah tipu muslihat Naima.

Dor!

Bunyi suara tembakan terdengar sangat keras dan menggema di dalam gudang itu. Naima tersenyum lebar, dia menghampiri Delia yang tergeletak di atas tanah. Dia berjongkok di sebelah Delia.

"Ini baru peringatan untukmu, jika kau masih ikut campur dalam urusan Diana, maka bukan hanya punggungmu saja yang tertembak, tapi juga dadamu, bahkan peluruku ini juga akan menembus di kepalamu. Tapi tenang saja, siapa pun kau, aku masih berbaik hati padamu. Aku tidak menghabisimu, dan ku rasa uang yang tadi ku berikan itu, masih cukup untuk biaya pengobatanmu." Naima tertawa jahat, dia berdiri lalu pergi dari sana, meninggalkan Delia yang mengerang kesakitan. Darah segar mengalir di bagian punggungnya.

"Tahan, Delia. Kau harus kuat, kebenaran tidak boleh kalah, dan kejahatan harus terbukti, dia akan diberi hukuman yang setimpal. Argh! Ini sakit sekali." Delia berusaha berdiri, dia berjalan sempoyongan menuju ke mobil taksi yang tadi dia pakai.

"Astaga, Nyonya!" sopir taksi terkejut melihat tubuh Delia yang dipenuhi darah.

"Cepat antar saya pulang kerumah!" perintah Delia sambil masuk ke dalam mobil. Sang sopir pun langsung bergerak cepat menuruti perkataan Delia.

'Untung saja aku berhasil merekam suara pengakuan Kak Naima. Chips ini harus aman, aku akan memberitahukannya pada Aryan tentang kejahatan Kak Naima, dan wanita itu harus secepatnya mendapatkan hukuman. Aku harus bertahan agar chips ini bisa sampai ke tangan Aryan.' batin Delia, dia terus memegangi punggungnya yang mengeluarkan banyak darah.

******

Bersambung

SEMANGAT DELIA 💮