Nadira tak pernah menyangka bekerja di perusahaan besar justru mempertemukannya kembali dengan lelaki yang pernah menjadi suaminya tujuh tahun lalu.
Ardan, kini seorang CEO dingin yang disegani. Pernikahan muda mereka dulu kandas karena kesalahpahaman, dan perpisahan itu menyisakan luka yang dalam. Kini, takdir mempertemukan keduanya sebagai Bos dan Sekretaris. Dengan dinginnya sikap Ardan, mampukah kembali menyatukan hati mereka.
Ataukah cinta lama itu benar-benar harus terkubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 34.
Siang itu di kantor, Ardan tengah sibuk memeriksa tumpukan dokumen ketika pintu ruangannya diketuk. Nadira masuk dengan senyum yang tak biasa.
“Pak Bos, ada tamu yang ingin bertemu.“ Ucapnya, nada suaranya menggoda.
Ardan menatap heran. “Senyummu mencurigakan, Nona Nadira.” Alisnya terangkat, seolah tahu ada sesuatu yang disembunyikan istrinya.
Nadira mendengus sambil menahan tawa. “Tamunya wanita cantik, namanya Veronica. Jangan-jangan penggemar rahasia Tuan CEO?”
Ardan tergelak, menyandarkan punggung di kursi. “Hmm… jadi kamu cemburu? Pantas saja, aku mencium aroma gosong.”
“Mas Ardan!” Nadira langsung manyun, tapi cepat-cepat kembali menjaga wajah profesional. “Baiklah, saya persilakan tamu Anda masuk.”
Senyum tipis muncul di bibir Ardan. “Jangan lupa bawakan dua kopi ya, sayang. Dan kau ikut duduk di ruangan ini, supaya jelas... aku tak akan tertarik pada wanita mana pun selain kamu.”
Pipi Nadira merona tipis, bibirnya akhirnya mengembang juga. Ia keluar dengan langkah ringan, lalu menelepon pantry untuk menyiapkan kopi.
Tak lama, pintu terbuka. Seorang wanita muda berwajah tegas dan elegan masuk. Ardan berdiri, menyambutnya dengan sopan.
“Saya Veronica, dari CTY Group. Anda pasti mengenal Papa saya, dia... Tuan Damar.” Katanya sambil mengulurkan tangan.
Ardan sedikit terkejut, tapi tetap meraih uluran itu. “Silakan duduk.”
Mereka sama-sama duduk di sofa, Veronica membuka percakapan dengan senyum tipis.
“Sebenarnya, Papa tidak menyuruh saya ke sini. Saya baru saja kembali dari Jerman sebulan lalu. Belum resmi bekerja di perusahaan Papa, tapi saya cukup tahu tentang dunia bisnis. Mungkin Anda tidak mengingat saya… beberapa malam lalu kita sempat bersenggolan di pesta.”
Ardan mengernyit kecil, jelas tak punya ingatan soal itu. Baginya, selain Nadira semua wanita tak berarti. “Maaf, tapi saya tidak ingat.“
Veronica tak ambil hati, ia melanjutkan. “Dalam pesta itu, saya melihat Papa saya bersama seorang wanita. Setelah saya bertanya pada kenalan, mereka bilang… wanita itu adalah Ibu Anda.”
Seketika tatapan Ardan berubah waspada. Fakta bahwa gadis di depannya adalah putri dari Damar dan Medina, membuat situasi terasa sensitif.
Veronica menyadarinya, lalu tersenyum menenangkan. “Tidak usah tegang, Tuan Ardan. Saya justru datang ingin mendukung Papa saya. Jika memang Ibu Anda wanita yang bisa membahagiakan beliau, saya bersyukur. Jujur saja, orang tua saya… memang tidak berjodoh. Dan saya, sudah menerima itu.”
Ardan membuka mulut, hendak memberi jawaban, namun...
Tok tok tok.
Pintu diketuk, Nadira masuk dengan nampan berisi dua cangkir kopi. Ia menaruhnya di meja, lalu melirik sekilas ke arah Veronica sebelum akhirnya menatap suaminya.
“Silakan, kopinya... Pak Bos.” ucapnya ramah.
“Terima kasih, Nadira.” Ardan menyambut dengan senyum dan kedipan nakal yang hanya bisa ditangkap oleh istrinya.
Nadira terkekeh, lalu menoleh sopan ke arah tamu. “Silahkan diminum, Nona Veronica.“
“Terima kasih.“ Veronica berkata singkat.
“Sama-sama, sudah tugas saya sebagai sekretaris.” Nadira menekankan kata sekretaris, lalu menoleh ke Ardan dengan tatapan menggoda. “Dan sebagai suami, tentu Tuan Ardan tahu bagaimana bersikap... bukan?”
“Tentu saja,” Ardan membalas dengan nada penuh arti, ia lalu menoleh pada Veronica. “Ah ya, Nadira ini bukan hanya sekretaris saya. Dia juga istri saya...”
“Oh maaf, saya tidak tahu. Senang berkenalan, Nona Nadira. Saya putri satu-satunya Tuan Damar, dan datang ke sini bukan untuk urusan bisnis... tapi ingin memberi dukungan pada Papa dan Tante Rarasati.”
Tatapan Veronica teduh, namun ada kilatan aneh yang ia sembunyikan.
Ardan mengangguk tipis, menyimak kalimat terakhir Veronica. “Jadi... kedatanganmu lebih ke urusan keluarga, bukan bisnis?” tanyanya memastikan.
Veronica menegakkan punggungnya, sorot matanya mantap. “Ya. Papa mungkin tak pernah terbuka soal apapun, tapi sebagai anak… aku melihat semuanya. Jika Tante Rarasati bisa membuat Papa bahagia, maka aku ingin berada di pihaknya. Aku sudah lelah melihat Papa dan Mama saling menyakiti.”
Ardan menghela napas pelan, kalimat itu terdengar tulus. Tapi ia tahu, ia harus tetap waspada.
“Kalau begitu, aku menghargai sikapmu,” jawab Ardan hati-hati.
Sementara itu Nadira sudah ikut duduk dan menatap Veronica sambil menyilangkan kaki, senyum tipis tersungging di wajahnya.
“Bagus sekali kalau begitu, Nona Veronica. Tapi, sebagai sesama wanita… izinkan aku mengingatkan. Dukungan bukan hanya soal kata-kata manis. Kadang, dukungan justru harus dibuktikan dengan tindakan. Apalagi, asal Anda tau... ibu Anda masih belum rela melepas Ayah Anda.” Nada Nadira terdengar lembut, tapi menyimpan ketajaman.
Mata Veronica berkilat, ia menoleh pada Nadira dengan senyum kaku. “Tentu saja, Nona Nadira. Saya tidak sekadar bicara, saya tahu Mama saya seperti apa.“
Ardan melirik kedua wanita itu, seolah menyaksikan duel tanpa suara. Ia memilih menyeruput kopi, memberi ruang bagi mereka untuk ‘bermain’.
Nadira menyandarkan tubuh, ekspresinya santai. “Hmm… kalau begitu, saya lega. Setidaknya, kamu sudah bisa menilai siapa yang lebih baik untuk ayahmu."
Veronica terdiam sejenak, lalu ia tersenyum manis. “Saya mengerti, dan saya harap… kalian juga tidak salah menilai saya. Karena saya tidak ingin jadi musuh, justru saya ingin jadi sekutu untuk menyatukan orang tua kita.”
Ardan akhirnya berdehem. “Baiklah, kurasa cukup untuk perkenalan hari ini. Nona Veronica, aku akan sampaikan niatmu pada Mama. Aku yakin beliau akan menghargai itu.”
Veronica berdiri anggun, merapikan gaunnya. “Terima kasih, Tuan Ardan. Dan Nona Nadira… semoga kita bisa bekerja sama dengan baik di masa depan.”
“Panggil saja aku Nadira,” balas Nadira singkat. “Aku bukan tipe orang yang suka basa-basi, Veronica. Kalau memang tulus, aku bisa jadi teman terbaikmu. Tapi kalau ada permainan tersembunyi… aku juga bukan tipe yang mudah ditipu.”
Tatapan mereka bertemu sekali lagi.
“Oke,” sahut Veronica ringan, sebelum berpamitan dan melangkah keluar.
Begitu pintu tertutup, Ardan langsung mendengus sambil menahan tawa.
“Ya ampun, sayang. Kau ini kalau sudah perang dingin, bikin udara satu ruangan jadi membeku.”
Nadira berpura-pura polos. “Aku hanya mengingatkan. Lagipula, dia itu... anaknya Medina. Kita harus berhati-hati dan tak mudah terperdaya, Mas.“
Ardan meraih tangan istrinya, menciumnya dengan senyum penuh bangga. “Aku justru suka kamu seperti ini. Sekretaris sekaligus istriku… ternyata sekarang sudah bisa jadi tembok pelindung keluarga.”
Nadira terkekeh, ia hanya menduga jika Veronica mungkin tampak tulus tapi wanita itu adalah darah daging Medina. Ada potensi besar, Veronica bisa berubah menjadi ancaman kapan saja.
Sementara di balik kemudi mobil mewahnya, Veronica menggenggam setir begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Rahangnya mengeras, bibirnya terkatup rapat menahan bara. Matanya menatap jalan, tapi pikirannya penuh amarah.
Pria yang sempat menarik perhatiannya beberapa malam lalu, bukan hanya sudah menikah melainkan juga putra dari wanita yang kini bersaing dengan ibunya.
Kuku jarinya menancap pada kulit setir. Hatinya terasa terbakar setiap kali membayangkan senyum Nadira yang begitu percaya diri di depannya tadi. Dan itu, justru membuatnya makin terobsesi untuk meruntuhkannya.
“Aku tidak akan tinggal diam...” gumamnya dengan tatapan tajam menusuk bayangannya sendiri di kaca spion. “Papa tidak boleh bersama wanita itu. Dan kau, Ardan... suatu hari, akan bertekuk lutut di hadapanku.”
Ia menghela napas keras, lalu menyalakan mesin mobil dengan hentakan kasar. Bunyi raungan mesin memecah kesunyian dalam kabin.
“Tunggu saja, kalian semua! Keluarga kalian akan hancur!” jeritnya penuh kebencian, suaranya menggema di ruang sempit itu.
Dengan itu mobil Veronica melesat meninggalkan parkiran, membelah jalan malam menuju ibunya tinggal sekarang setelah bercerai.
Aku suka cerita kakak 👍👍👍