bercerita tentang seorang gadis buruk rupa bernama Nadia, ia seorang mahasiswi semester 4 berusia 20 tahun yang terlibat cinta satu malam dengan dosennya sendiri bernama Jonathan adhitama yang merupakan kekasih dari sang sahabat, karna kejadian itu Nadia dan Jonathan pun terpaksa melakukan pernikahan rahasia di karenakan Nadia yang tengah berbadan dua, bagaimana kelanjutan hidup Nadia, apakah ia akan berbahagia dengan pernikahan rahasia itu atau justru hidupnya akan semakin menderita,,??? jangan lupa membaca 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34
Siang itu, suasana rumah begitu tenang. Nadia sedang duduk di balkon kecil dengan selimut menutupi kakinya, menikmati semilir angin sambil membaca buku. Jonathan sedang menyelesaikan pekerjaan dosennya di ruang kerja, mengetik beberapa catatan untuk seminar daring minggu depan. Suara burung-burung dan gemerisik pepohonan menciptakan latar suara yang damai.
Namun ketenangan itu terganggu oleh dering telepon yang nyaring. Jonathan mengernyit saat melihat nama yang muncul di layar.
Mama
Ia menarik napas panjang sebelum menjawab.
“Halo, Ma.”
“Jonathan, kamu bisa datang malam ini ke rumah? Mama dan Papa mau ngobrol sebentar. Sekalian makan malam, ya. Bawa serta istrimu.”
Jonathan menoleh ke arah balkon, melihat sosok Nadia yang sedang tersenyum tenang. Ia ragu. Rasanya ia belum ingin membawa Nadia ke lingkungan keluarganya yang kaku dan penuh ekspektasi, terlebih di kondisi kehamilannya yang masih harus banyak istirahat.
"Sayang, malam ini... kita diundang makan malam ke rumah Mama dan Papa," ujarnya perlahan.
Nadia terangkat pandangannya, sedikit terkejut. "Makan malam? Aku diajak juga?"
Jonathan mengangguk. "Iya. Mama yang minta."
Ada sedikit gugup di mata Nadia, tapi ia mencoba tersenyum.
"Baiklah. Aku siap-siap."
Malam pun tiba. Nadia memilih gaun sederhana berwarna krem, rambutnya diikat rapi. Ia terlihat anggun meski tanpa perhiasan mewah. Jonathan mengenakan kemeja biru tua dan celana bahan hitam, tampil rapi seperti biasa.
Sebuah mobil hitam yang mereka kendarai. berhenti di halaman rumah besar bergaya kolonial milik keluarga Jonathan. Lampu-lampu taman menyala temaram, menambah kesan megah namun dingin. Jonathan turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk Nadia yang melangkah keluar dengan hati-hati. Perutnya yang mulai membuncit membuat gerak tubuhnya lebih lamban, dan Jonathan dengan sigap menyodorkan tangannya. Mereka berjalan beriringan, jemari mereka saling menggenggam.
Pintu rumah terbuka begitu mereka mengetuk. Sigit berdiri di ambang pintu, mengenakan batik tenang berwarna cokelat tua. Senyumnya merekah, hangat dan tulus.
"Jonathan, Nadia... selamat datang," ucapnya sambil memeluk singkat putranya, lalu menatap Nadia. "Nadia, kamu makin terlihat bersinar. Semoga kehamilannya lancar, ya."
"Terima kasih, Pah," jawab Nadia sopan, tersenyum kecil. Kehangatan Sigit sedikit meredakan ketegangan yang menggumpal di dadanya.
Namun semua itu runtuh begitu mereka melangkah ke ruang tamu.
Di sana, Lidya duduk anggun di atas sofa krem yang dilapisi kain halus. Gaunnya merah menyala, rambutnya disanggul rapi. Namun tak ada kehangatan di wajahnya, hanya sorot mata tajam yang langsung tertuju pada Nadia seolah ingin menguliti penampilannya. Ia tidak berdiri, tidak menyapa, bahkan tidak mengangguk. Yang keluar darinya hanyalah lirikan meremehkan yang menusuk tajam.
Nadia menunduk sedikit, mencoba tetap sopan. Tapi hatinya bergetar. Ia tahu sejak awal Lidya tidak pernah benar-benar menerimanya. Statusnya sebagai perempuan biasa dari keluarga sederhana jelas bukan tipe menantu idaman seorang wanita elit seperti Lidya.
Di samping Lidya, seorang pria muda duduk bersandar santai. Kevin. Wajahnya penuh percaya diri, namun mata itu. mata yang sejak dulu menyimpan ketertarikan pada Nadia. kini berbinar lagi. Tatapannya terpaku pada sosok perempuan yang kini duduk di samping kakaknya.
Nadia terlihat berbeda malam itu. anggun meski sederhana, dan senyumnya, meski dipaksakan, tetap memikat. Hati Kevin mencelos. Ada rasa bahagia bisa melihatnya kembali, namun juga rasa getir karena tahu perempuan itu kini milik orang lain. Milik kakaknya sendiri.
Namun hatinya tak bisa berbohong. Ia terpukau. Dan untuk sesaat, ia lupa menahan diri.
Sorot matanya begitu terang, menelusuri wajah dan tubuh Nadia tanpa sadar. Hingga Jonathan, yang sedang berbincang dengan ayahnya, menoleh ke arah adiknya dan menangkap pandangan itu. Seketika rahangnya menegang.
“Kevin,” ucap Jonathan datar, namun nada suaranya mengandung teguran tajam.
Kevin sedikit terkejut, tapi cepat menyembunyikan ekspresinya dengan senyum santai.
“Kenapa, Kak? Cuma lihat-lihat, kan nggak salah,” ujarnya ringan, meski hatinya penuh gejolak.
Jonathan menghela napas, lalu menarik tangan Nadia lebih erat. Tatapannya singkat tapi mengandung peringatan. Jangan main api.
Lidya hanya mengangkat alis, seolah mencatat semuanya dalam diam. Ia melihat interaksi itu dengan mata seorang ibu yang tajam membaca situasi. Dan ia tidak menyukai apa yang ia lihat.
Perempuan ini akan menimbulkan masalah lebih besar dari yang kubayangkan.
...
Makan malam disiapkan di ruang makan besar, meja panjang dengan taplak putih bersih dan lilin-lilin kecil yang menyala temaram. Sigit mempersilakan semua duduk, dan seorang pelayan membawakan hidangan satu per satu. Suasana awal cukup tenang, hanya denting sendok dan garpu yang menemani.
Nadia duduk di samping Jonathan, berusaha menjaga senyum meski sedikit canggung. Lidya duduk di seberang, menatap mereka berdua sejenak, sebelum akhirnya memulai pembicaraan.
“Jonathan, Papa dan Mama ingin bicara soal masa depanmu,” ucapnya, nadanya tegas namun terukur. Ia menaruh sendok perlahan di sisi piring.
“Kami sudah lama mempertimbangkan ini, dan menurut kami... sudah waktunya kamu kembali ke keluarga.”
Jonathan menatap ibunya, lalu ayahnya. “Maksud Mama...?”
Sigit ikut angkat bicara, suaranya lembut tapi mantap.
“Kami ingin kamu berhenti menjadi dosen dan bergabung dalam manajemen inti PT Nusa Nikel Mandiri. Perusahaan itu perlu pemimpin baru. Dan Papa rasa, kamu orang yang tepat.”
Nadia terkejut, menoleh ke arah suaminya. Namun Jonathan hanya diam, tatapannya menegang.
“Ma... Pa... Aku mencintai pekerjaanku. Menjadi dosen bukan hanya pilihan karier. Itu bagian dari jati diriku,” jawab Jonathan perlahan, mencoba menahan diri agar tetap sopan.
Lidya mendengus pelan.
“Jati diri itu bisa dibentuk ulang, Nak. Kamu anak sulung. Keluarga ini butuh kamu. Bisnis itu adalah warisan, tanggung jawab. Kamu tidak bisa terus hidup di dunia idealis dosen kampus sambil membiarkan adikmu yang belum matang memegang bisnis keluarga.”
Kevin yang sejak tadi diam langsung tersedak pelan.
“Maksud Mama, aku belum cukup layak?”
Lidya meliriknya dingin. “Kamu tahu sendiri, Kevin. Kamu belum punya kedisiplinan yang dibutuhkan untuk memimpin perusahaan sebesar itu.”
Suasana meja makan mendadak tegang. Sigit mencoba menengahi.
“Ini bukan soal layak atau tidak, Kev. Ini tentang siapa yang lebih siap. Dan Jonathan punya pengalaman kepemimpinan, latar belakang akademis, dan ketegasan yang dibutuhkan.”
Jonathan menghela napas panjang.
“Aku paham maksud Mama dan Papa. Tapi ini terlalu mendadak. Aku punya tanggung jawab di kampus, pada mahasiswaku.”
Lidya menyilangkan tangan di dada.
“Tanggung jawab utama adalah pada keluarga, Jonathan. Apalagi dengan kondisi istrimu yang sedang mengandung. Apa kamu ingin anakmu tumbuh dalam ketidakpastian finansial hanya karena kamu ingin ‘mengabdi’ di dunia pendidikan?”
Nadia menunduk. Perkataannya seperti pukulan halus yang ditujukan pada keduanya. Ia ingin membela Jonathan, tapi sadar ini bukan tempatnya.
Jonathan menatap ibunya lekat-lekat.
“Aku tidak hidup dalam ketidakpastian. Gajiku cukup. Tabunganku aman. Anak kami tidak akan kekurangan. Dan aku tidak akan mengorbankan prinsip hanya demi kemewahan.”
“Ini bukan soal kemewahan,” ujar Lidya dengan tajam.
“Ini tentang warisan. Tentang tanggung jawab darah. Kamu pikir kami membangun bisnis ini hanya agar kamu meninggalkannya demi ruangan dosen kecil dan seminar daring?”
Sigit menepuk meja pelan.
“Cukup, Lidya. Jangan buat suasana jadi panas. Kita hanya menyampaikan harapan.”
Suasana makan malam pun berubah muram. Kevin menatap Jonathan dengan ekspresi campur aduk, antara lega dan bersalah. Sementara Nadia meremas tangan Jonathan di bawah meja, memberinya kekuatan.
Setelah makan malam selesai, Jonathan dan Nadia pamit lebih cepat. Di mobil, suasana hening cukup lama sebelum akhirnya Jonathan bersuara.
“Bagaimana menurutmu?”
Nadia menoleh.
“Aku tahu kamu mencintai pekerjaanmu. Tapi... jika suatu saat kamu berubah pikiran, itu pun bukan kelemahan.”
Jonathan mengangguk pelan.
“Aku hanya ingin jadi ayah yang bisa dibanggakan anak kita... bukan boneka pewaris.”
Nadia menggenggam tangannya.
“ Mas. Kamu sudah jadi sosok itu. Dengan atau tanpa gelar direktur.”
salut sma Thor pinter bngt. di buat kbakaran jdi Bella gda tempat tinggal lgi klu kebakran...
gda alasan Ntuk Bella bertahan di gubuknya...
Kevin pasti bwa Bella ke kota🥰
smoga kelak Tuhan mmngganti brkali lipat bahagia untukmu bella... atas smua luka dan duka yg km rsakn slm ini...